Mengancam Irna

Sementara itu, di tempat lain, Lidya tengah mematung di kamar, mengamati seisi ruangan yang penuh dengan barang-barang antik dan mahal.

Sedari dulu, Lidya suka mengoleksi barang-barang tersebut, karena melihat Ibunya. 

Ya, mendiang Nyonya Jonathan adalah seorang wanita penyuka barang antik dan mahal. Hingga, tak disangka hobinya itu justru menurun pada Lidya--anak bungsunya.

"Sayang!"

Sontak, Lidya berbalik badan, menatap Jonathan Pratama--Papa kandungnya yang sengaja berkunjung ke rumah.

"Iya, Pa. Kenapa?"

Jonathan tersenyum kecut, netranya sempat menatap Lidya dengan lekat. Sebelum akhirnya, ikut menelisik seisi kamar.

"Apa yang sedang kamu lakukan, Nak?"

Lidya memutuskan kontak mata dengan Jonathan, dia kembali mengamati sekeliling.

Detik berikutnya, Lidya berjalan menuju sebuah pigura berukuran besar yang terpasang di dinding. Tanpa ragu, dia langsung mencopotnya dan meletakkannya di bawah.

"Aku mau membersihkan kamar ini. Maksudku melepas dan membuang yang seharusnya."

"Apa Iqbal tak pernah menghubungimu?"

Lidya menggeleng pelan, sudut bibirnya tetap datar, menandakan jika dia sudah tak peduli lagi dengan pria itu.

"Tidak ada, Pa. Aku malas, bila harus berhubungan lagi dengannya."

"Baguslah, memang itu yang Papa inginkan. Sekali lagi, Papa minta maaf, karena telah menjodohkanmu dengan dia. Pasti saat ini mendiang mamamu sedih, akan semua yang telah terjadi."

Lidya sempat termangu sejenak, dadanya ikut sesak dengan hati yang terasa perih, tiap kali dia mendengar seseorang membahas wanita yang telah melahirkan itu.

Meskipun hati dan perasaan Lidya terluka, tetapi dia tetap merasa senang, karena bisa mewujudkan impian sang Mama.

Ya, dulu Nyonya Jonathan dan Ani adalah teman baik, keduanya sepakat menjodohkan Lidya dan Iqbal, tanpa banyaknya perimbangan, hingga terjadilah seperti ini.

"Tidak apa-apa. Asalkan sebelum Mama pergi, dia sempat tersenyum, ketika melihat pernikahanku dan Mas Iqbal."

Tubuh Lidya sedikit bergetar, pandangannya mulai berembun, ketika secara sengaja ekor matanya melirik sebuah foto sepasang pengantin dengan senyum merekah yang di apit oleh orang tua masing-masing.

"Baiklah, ayo kita bicara di luar, ada yang ingin Papa katakan."

Lidya mengangguk, dia lantas mengusap wajahnya dengan kasar, sebelum akhirnya mulai melangkah, mengikuti Papanya dari belakang.

***

Tepat di sebuah taman yang ada di samping rumah, Lidya dan Jonathan tengah duduk di sebuah meja bundar dengan posisi saling berhadapan.

Di mana tepat di hadapan keduanya, terdapat sebuah gelas berisi kopi hitam yang masing mengepulkan asap.

Sejak pertama kali duduk, Lidya langsung mengepalkan tangan, saling meremas satu sama lain.

"Jadi, apa yang akan Papa bicarakan?" tanya Lidya seraya meraih gelas dan mulai menyesap kopi.

Lidya sempat terpejam selama beberapa detik, merasakan cairan kopi hitam yang mulai menyusuri tenggorokannya. Cukup menenangkan!

"Ini mengenai masalah Iqbal."

"Memangnya ada apa, Pa?" Lidya mengernyitkan kening, menunggu kembali jawaban Papanya.

"Papa, sudah memutuskan akan memboikot nama Iqbal dari perusahaan."

Sontak, Lidya langsung mengangguk pelan. Seringai muncul di wajahnya, kala mendengar penuturan Jonathan.

Sedari awal, memang ini yang Lidya inginkan. Membuang sampah pada tempatnya kembali. 

Ya, kacang lupa kulitnya memang sudah sepatutnya diperlakukan seperti itu. Tak ada toleransi lagi.

"Apa kamu setuju?"

Lidya mendongak, kemudian mengangguk tanpa ragu. Mimik wajah wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu terlihat begitu serius.

"Tentu saja! Lagipula, memang hal itu yang aku inginkan."

"Baguslah! Nanti, Papa, akan menghubungimu kembali, kalau semisal Iqbal kembali ke kantor. Papa, yakin kalau pria tak punya urat malu itu, akan kembali ke sana. Karena bagaimanapun itu, dia harus menafkahi istri barunya."

"Setelah itu Papa akan langsung memecatnya?"

Jonathan menyeringai, pria paruh baya yang terlihat masih tampan dan gagah di usianya yang hampir ada di angka enam puluhan tahun itu, lantas merogoh sebungkus rokok yang ada kantong celananya.

Tanpa pikir panjang, Jonathan langsung mengeluarkan sebatang rokok dan pemantik, kemudian menempelkan rokok di bibir dan mulai menyesapnya.

Lidya berdecak. Dalam hati dia terus mengutuki perbuatan Papanya yang masih terlihat keren. Pantas saja, banyak sekali wanita muda maupun tua yang berusaha mendekatinya.

Namun, sayangnya Jonathan tak terlalu meresponnya. Dia terlalu fokus pada pekerjaan dan anak-anaknya, hingga mengabaikan masalah rumah tangganya sendiri.

"Tentu saja! Memangnya atas dasar alasan apa, Papa harus mempertahankannya? Bekerja saja tak kompeten."

***

Ting!

Lidya yang tengah berkutat dengan laptop, ditemani secangkir kopi dan beberapa buah makanan kering, sedikit bergeming kala mendengar suara notifikasi masuk.

Gegas tangan kanan Lidya meraih gawai, di mana tak lama kemudian, keningnya langsung mengkerut, ketika mendapati sebuah pesan dari nomor yang tak di kenal.

[Dasar tidak tahu diri! Kalau bukan karena suamiku, mungkin perusahaanmu sekarang tidak akan berkembang pesat. Tetapi, kenapa sekarang kalian malah menyingkirkannya?!]

Awalnya Lidya sempat mematikan gawai, berniat mengabaikan pesan tersebut. Tetapi, rasanya ada yang menganggu pikirannya.

Maka dari itu, Lidya pun bergegas kembali menyalakan gawai dan membalas pesan tersebut.

[Siapa kamu, kenapa mengirimkan pesan tersebut padaku?]

Baru beberapa detik pesan dari Lidya terkirim, centang biru sudah terlihat dan pesan balasan kembali muncul.

Sontak saja, mata Lidya langsung melebar, hingga tak lama kemudian tawanya benar-benar pecah. B*d*hnya, Lidya sampai menutup wajah, tak percaya dengan apa yang dia baca.

[Aku istrinya Mas Iqbal. Memangnya kenapa? Kurang ajar! Dasar kacang lupa kulitnya!]

"Ya ampun lucu sekali!" Lidya bergumam, tawa renyah sesekali lolos dari mulutnya.

Pemecatan tak hormat terhadap Iqbal baru saja terjadi dan Lidya sendiri memilih untuk tak hadir. 

Mungkin akibat itu, Iqbal langsung mengadu pada istri barunya dan berakibat dengan Irna yang mengirimkan pesan pada Lidya. Seolah-olah memang Iqbal-lah yang terdzolimi. 

Ting!

Lidya menghela napas berat, kemudian kembali menatap gawai, membaca sebuah pesan yang kembali masuk.

Namun, kali ini tawa Lidya kembali pecah, menggema di seisi ruangan. Hingga dia sampai memegangi perutnya sendiri.

[Wanita licik! Itu adalah perusahaan yang suamiku bangun, cepat kembalikan atau aku akan membuat keributan di sana!]

Sesekali Lidya mengusap ujung matanya yang berair, akibat tertawa terlalu keras. Lidya duga kalau Iqbal sudah benar-benar mengelabui gadis polos tersebut.

"Yaampun miris sekali. Karena si gadis polos itu malah tertipu oleh pria bermulut besar seperti Iqbal." Lidya membatin.

[Ya, tinggal kamu lakukan saja. Silahkan, aku tak keberatan!] tantangku melalui pesan singkat.

***,