Kacau Balau

Acara hajatan yang seharusnya begitu meriah, mewah dan juga mengesankan bagi kedua belah keluarga. Justru harus berakhir dengan begitu mengerikan.

Satu-persatu tamu beranjak pergi, meninggalkan tempat hajatan yang di laksanakan di lapangan yang cukup luas. Gunjingan serta cemoohan tak henti-hentinya keluar dari mulut mereka.

Lilis menginginkan, agar para tamu undangan memuji dirinya, karena hajatan yang mewah. Sebab, dari jauh-jauh hari, keluarga Irna sudah menggembor-gemborkan soal Irna yang akan menikah dengan pria kaya raya.

Akan tetapi, harapan hanya tinggal harapan. Lilis--Ibu kandung Irna tersungkur ke lantai, air matanya luruh begitu saja, ketika membayangkan pujian yang akan dia dapatkan dari warga, sirna seketika.

"Bu," lirih Irna seraya menghampiri Ibunya yang tengah terisak.

"Kenapa hal ini bisa terjadi?" hardik Lilis di sela-sela isak tangis. "Semuanya telah sirna. Apa kata orang nanti, aku benar-benar malu!"

Lilis menangis meraung-raung, membayangkan cibiran yang akan warga lontarkan, membuat amarah dan dadanya sesak.

Sementara itu, Iqbal yang merasa amat bersalah pada keluarga Irna, terlihat mengepalkan tangan dengan gigi bergemertuk hebat.

"Awas saja, Lidya. Aku akan membalas semua perbuatanmu. Ini sungguh memalukan!" batin Iqbal.

"Ini semua gara-gara kamu, Iqbal!" 

Sontak, Iqbal langsung bergeming, dia menoleh ke arah Ayah mertuanya yang tengah menyorotinya tajam.

"Ma-maafkan saya, Pak!" Iqbal tertunduk, menyesali semua yang telah terjadi.

Meskipun begitu, di dalam relung hatinya yang paling dalam, Iqbal tidak henti-hentinya mengutuki perbuatan Lidya yang sudah di luar batas.

Secara tak langsung, Lidya dan Papa mertuanya telah mempermalukan dirinya di hadapan orang banyak. Maka dari itu, Iqbal berjanji pada dirinya sendiri, kalau dia tak akan tinggal diam begitu saja.

"Kamu kira maaf akan mengembalikan semuanya? Tentu saja tidak, Iqbal!"

Jajang bangkit dari posisi berjongkoknya, dia melangkah, menghampiri Iqbal yang masih mematung di tempat.

Tatapan mata Jajang begitu tajam, mengarah langsung pada manik Iqbal yang terlihat sendu. Hingga pada detik berikutnya, sebuah tangan melayang, mengenai pipi Iqbal dengan keras.

Plak!

"Kurang ajar kamu, Iqbal! Andai saja, anakku tak sedang mengandung benihmu, maka akan aku habisi dirimu saat ini juga," ancam Jajang dengan gigi bergemertuk dan rahang mengeras.

Ani yang membeliak, dia yang melihat Iqbal telah ditampar, bergegas menarik lengan anaknya dengan kasar.

"Kenapa kamu menampar anakku!" teriak Ani, dadanya kembang-kempis dengan wajah memerah menahan amarah.

"Anakmu kurang ajar! Kamu juga." Jajang balas berteriak, pria tua itu terlihat begitu murka. "Kalian telah menipu kami!" 

Detik berikutnya, Jajang beralih menatap Irna yang tengah berusaha menenangkan Lilis yang masih mengamuk. 

Urat leher Jajang menegang, darahnya terasa mendidih. Beberapa kali, pria tua yang sudah melepas kopiah yang bertengger di kepalanya itu, menghela napas berat.

"Katakan pada Bapak Irna, apa Iqbal telah menipunya juga?!" sambung Jajang.

Irna menunduk dalam, bibirnya mengatup rapat dengan napas pendek-pendek.

"Jawab pertanyaan Bapakmu, Irna!" bentak Lilis seraya mendorong Irna, hingga tubuh mungilnya terjatuh. 

Untuk yang kesekian kalinya, Irna tak bergeming sedikitpun. Bibirnya masih mengatup, hingga tak lama kemudian dia menggeleng pelan.

"Maafkan aku, Bapak, Ibu," lirih Irna hingga membuat Jajang langsung mengusap wajahnya dengan kasar. 

"A-aku sangat mencintai Mas Iqbal, Pak. Jadi, aku mohon jangan pisahkan aku dengan dia. A-aku rela bila harus menjadi istri kedua dan--"

Plak!

Satu tamparan mendarat dengan begitu mulus di pipi Irna. Wanita bergaun biru muda itu terhuyung, pipinya pun ikut memerah.

Irna meneguk ludah, sebisa mungkin dia tetap terdiam, menahan perih yang terasa menjalar di sekujur pipinya. 

"Apa Bapak pernah mengajarimu berbuat seperti itu, Irna?" tanya Jajang dengan penuh penekanan.

Jajang akui, kalau dadanya begitu sesak kali ini. Pasokan udara di sekitar terasa menipis, belum lagi kepalanya terasa berdenyut.

Di saat-saat seperti ini, Jajang masih bersyukur, karena dia tak memiliki riwayat sakit jantung atau darah tinggi. Andai hak itu terjadi, mungkin dirinya sudah tak bisa berpijak lagi di tanah.

"Bu, ayo kita pulang ke rumah!" ajak Jajang tanpa menghiraukan putrinya yang masih terdiam membisu.

Rasa kecewa dan sakit hati, masih terasa menghantam sekujur tubuh Jajang, hingga dia tak mampu berpikir apapun lagi.

"Pak!" lirih Lilis. Wanita yang sudah sedikit tenang itu, langsung bangkit dari posisi duduk, kemudian menyentuh pundak suaminya. "Pak, Ibu, mohon maafkan semua kesalahan, Irna."

"Apa Ibu tak punya hati? Iqbal, sudah menikah, dia memiliki keluarga lain!" tegas Jajang pada istrinya.

"Pak!" Lilis kemudian mengusap pundak suaminya, menyoroti matanya tajam. "Nak, Iqbal itu orang kaya, dia pasti bisa menafkahi dua istri, bahkan lebih."

Jajang terhenyak, tanpa pikir panjang, dia langsung mundur beberapa langkah, menjauhi Lilis.

"Ya Tuhan, apa yang Ibu pikirkan?!"

Lilis yang sudah kehilangan kesabaran, kembali menghampiri suaminya.

"Bapak, jangan banyak bicara! Bapak, jangan membantah perkataan, Ibu."

Ani yang secara tak sengaja mendengar percakapan Jajang dan Lilis, langsung berdehem. Hingga netra pasangan suami-istri itu langsung tertuju padanya.

"Apa yang Bu Lilis katakan benar juga! Bapak, tidak usah khawatir, soal kehidupan Irna. Iya, 'kan, Iqbal?"

"Betul sekali! Saya akan menjamin kehidupan Irna dan semua yang di katakan Lidya tidak benar."

Seketika saja, mata Lilis yang masih sembab oleh air mata, langsung berbinar ketika mendengar penjelasan Iqbal.

"Ja-jadi, semuanya bohong?"

Iqbal mengangguk sebagai jawaban. Meksipun sebenarnya, hatinya cukup gundah.

"Kalian ini benar-benar orang kaya, 'kan? Semua kekayaan yang kalian bicarakan, itu asli harta kalian, bukan harta istri dan mertuamu?"

"Betul sekali, besan," sahut Ani seraya tersenyum lebar.

"Dengar, Pak. Nak, Iqbal tak berbohong, jadi Bapak tak usah khawatir!" Masih dengan rona kebahagiaan, Lilis menarik tangan Irna, hingga wanita itu bangkit dari posisinya. "Kamu takkan hidup sengsara, Irna."

Namun, Jajang sendiri memilih untuk diam, mata elangnya tak lepas menyoroti Iqbal dan Ani yang tengah mengobrol dengan istrinya.

Dalam hati kecilnya, Jajang masih marah dan tak terima dengan apa yang terjadi. Hanya saja, dia tak bisa berbuat banyak.

"Iqbal, ayo ikut Bapak. Mari kita bicara empat mata!" tekan Jajang di tiap kata.

***