MENGEMBALIKAN BARANG MILIK SUAMI DI ACARA PERNIKAHANNYA
***
"Li-Lidya, apa yang kamu lakukan di sini?"
Wanita berkulit putih, berkebaya merah cerah, dipadukan dengan make up yang terkesan begitu berani tersebut. Berjalan menuju acara hajatan, di mana seorang pria berjas hitam tengah duduk di sebuah kursi pelaminan.
"Selamat atas pernikahan keduamu itu, Mas!" ucap Lidya dengan senyum merekah di bibir.
Tak ada mimik wajah sedih, kecewa ataupun sebagainya. Lidya justru terlihat amat sangat bahagia, netranya berbinar-binar.
Melihat hal tersebut, Iqbal--pria yang tengah berdiri mematung dengan mata membulat dan mulut menganga tersebut, langsung di rundung rasa penasaran yang amat sangat dalam.
Di satu sisi, Iqbal amat sangat senang, karena sepertinya Lidya merestui pernikahan diam-diamnya itu. Tetapi, di sisi lain Iqbal juga merasa heran, kenapa Lidya bisa menerima semuanya dengan semudah ini.
Karena pengeras suara sedang menyala, maka tidak ada satupun tamu yang curiga ataupun penasaran dengan siapa Lidya sebenarnya.
"Oh, iya, mana istrimu itu, Mas?"
"A-anu, dia--"
"Mas!" Sontak, ucapan Iqbal terpotong oleh sebuah panggilan. Di mana dia dan Lidya langsung menoleh secara bersamaan.
"Mas, siapa dia?"
Tanpa ragu, Irna--istri kedua Iqbal langsung menggandeng tangan pria yang tak lain adalah suaminya itu.
Sesekali Irna mendelik ke arah Lidya, dadanya pun ikut memanas, karena sadar jika Lidya tak mau beranjak dari hadapan suaminya.
"Di-dia ...." Iqbal yang merasa kebingungan, harus menjawab apa, lantas menggaruk tengkuk.
"Siapa, Mas?" Irna kembali mendelik, satu sudut bibirnya terangkat ke atas. "Mbak, bisa turun dari sini, gak? Tamu yang lain mau ucapin selamat pada kami," ucap Irna dengan amat sangat sinis.
Mendengar hal tersebut keluar dari mulut istri kedua suaminya. Lidya pun tanpa ragu merogoh gawai dari tas, lalu mengetikkan sesuatu.
[Lakukan perintahku, sekarang!]
Sedetik setelah Lidya mengirimkan pesan tersebut, tiba-tiba pengeras suara mati, para tamu yang sedang menikmati hidangan maupun yang baru datang ke tempat hajatan, terlihat saling pandang.
"Kamu mau tau siapa saya?" tanya Lidya dengan lantang.
"Tidak perlu!" hardik Irna. Tatapan sinis masih menyoroti Lidya. "Lagipula apa pentingnya buat aku, tidak ada, 'kan?"
Namun, belum sempat Lidya membuka mulut, tiba-tiba saja seseorang memanggil namanya dengan begitu nyaring.Hingga berhasil menarik perhatian semua orang untuk menoleh ke sumber suara.
"Lidya!"
"Ada apa, ya?!" Lidya kembali bertanya dengan nada yang terkesan santai.
Wanita tua yang memakai kebaya dengan rambut di sanggul, serta hiasan tebal yang menutupi keriput di wajahnya tersebut, terlihat membulatkan mata.
Malahan bibirnya yang berwarna merah terang ikut bergetar hebat, begitupun dengan tangannya yang tengah mencengkeram sebuah kipas.
"Ke-kenapa kamu ada di sini?" Ani--wanita yang tak lain adalah Ibu kandung Iqbal, bertanya dengan gelagapan.
"Apa aku tak boleh datang ke sini, Bu?"
Wajah Ani langsung berubah pias, bibirnya pucat pasi. Rasanya tenggorokan Ani begitu tercekat, ketika sorot tajam menantunya itu menusuk ke bagian dalam bola matanya.
"Bu, memangnya di siapa?"
Ani sempat melirik ke arah Irna sekilas, sebelum kembali menatap Lidya yang tengah tersenyum sinis.
"Yaampun, kenapa wajah Ibu tegang sekali. Bu, tinggal jawab pertanyaan dia apa susahnya, sih?" pertanyaan Lidya, sudah terdengar seperti sebuah cemoohan bagi Ani.
"Ada apa ini ribut-ribut?"
Dari arah lain, tiba-tiba datang seorang pria dan wanita tua yang memakai kebaya berwarna senada dengan Ani.
Dari ekspresi wajah yang Ani perlihatkan, kentara sekali kalau dia amat sangat tertekan dengan situasi yang ada.
Iqbal yang sadar akan hal tersebut, memilih untuk terdiam. Dia dan Ani sama-sama tertekan kali ini, mereka tak pernah menduga, kalau situasinya akan sangat mencekam ini.
"Maaf, karena telah membuat keributan di sini. Tetapi, saya ingin meluruskan sebuah hal."
"Apa maksudmu dan siapa kamu?" Jajang--Ayah kandung Irna kembali mengajukan pertanyaan. Sementara itu, Ibu kandung Irna memilih untuk membisu, pandangan tertuju pada Lidya seorang.
"Ibu dan Mas Iqbal, bisa jawab pertanyaannya?"
Karena tak kunjung angkat suara, Lidya pun terpaksa kembali membuka mulut.
"Saya Lidya, istri pertama Mas Iqbal dan saya masih sah menjadi istri sahnya!"
Sontak, Jajang langsung termangu di tempat, mulutnya menganga dengan mata membulat. Pria tua itu masih tak bergeming, begitupun dengan istrinya.
Sementara itu, para tamu yang tak sengaja mendengar penuturan Lidya, tak kalah terkejutnya.
Malahan tak sedikit dari mereka yang ikut mencemooh keluarga masing-masing pengantin maupun ada yang ikut mengabadikan momen tersebut.
"Saya datang ke sini, tak bermaksud menghancurkan pesta kalian. Tetapi, bermaksud baik, yaitu membawakan barang-barang Mas Iqbal yang masih berada di rumah saya!"
"Apa maksudmu, Lidya?!" Iqbal berteriak, dia maju satu langkah, lebih dekat lagi dengan Lidya.
"Aku bermaksud baik!" sahut Lidya seraya menaikkan kedua alisnya. Di mana selang beberapa detik kemudian, beberapa orang pria masuk, membawakan barang-barang milik Iqbal.
"Apa maksud kalian?!" pekik Iqbal. Dia kenal betul, siapa saja orang-orang tersebut.
Ya, para karyawannya di kantor. Iqbal mengusap wajah kasar, ketika para karyawannya itu tak mengindahkan pertanyaannya sedikitpun.
"Kamu tidak bisa melakukan ini padaku, a-aku masih suamimu dan rumah serta barang-barang mewah yang ada di rumahmu, masih hakku. Karena aku yang bekerja selama ini!"
Lidya memalingkan wajah, seringai terlukis di wajah cantiknya. Meskipun begitu, sorot mata setajam elang milikinya tak pernah pudar.
Hingga tak lama kemudian, Lidya tertawa, membuat pandangan semua orang terfokus padanya.
"Lucu sekali!" Lidya menghentikan tawa, lalu menarik kerah baju Iqbal, hingga tatapan keduanya saling beradu. "Kamu hanya pria miskin yang beruntung, karena telah menikah denganku. Tak ingat 'kah kamu, di mana kamu bekerja?"
Iqbal terperanjat, bisik demi bisik mulai memenuhi rongga telinganya. Bersamaan dengan itu, wajah Irna, kedua orangnya serta Ani langsung memerah padam, kala mereka semua sadar, para tamu mulai beranjak pergi dari tempat mereka berpesta bersamaan dengan cemoohan para tamu.
"Ini akibat, kalau kamu bermain-main dengan kami. Kamu telah masuk ke dalam kandang yang salah, Iqbal!"
Sontak, semua pandangan langsung tertuju pada seorang pria tua yang tengah berdiri di tengah-tengah tempat hajatan.
Pria tua itu menyilangkan tangan di dada, mata tajamnya menyorot langsung ke arah Iqbal. Hingga tak lama kemudian, dia kembali menimpali ucapannya.
"Maafkan Papa, Lidya. Karena Papa telah menjodohkanmu dengan pria busuk ini!"
***
Acara hajatan yang seharusnya begitu meriah, mewah dan juga mengesankan bagi kedua belah keluarga. Justru harus berakhir dengan begitu mengerikan.Satu-persatu tamu beranjak pergi, meninggalkan tempat hajatan yang di laksanakan di lapangan yang cukup luas. Gunjingan serta cemoohan tak henti-hentinya keluar dari mulut mereka.Lilis menginginkan, agar para tamu undangan memuji dirinya, karena hajatan yang mewah. Sebab, dari jauh-jauh hari, keluarga Irna sudah menggembor-gemborkan soal Irna yang akan menikah dengan pria kaya raya.Akan tetapi, harapan hanya tinggal harapan. Lilis--Ibu kandung Irna tersungkur ke lantai, air matanya luruh begitu saja, ketika membayangkan pujian yang akan dia dapatkan dari warga, sirna seketika."Bu," lirih Irna seraya menghampiri Ibunya yang tengah terisak."Kenapa hal ini bisa terjadi?" hardik Lilis di sela-sela isak tangis. "Semuanya telah sirna. Apa kata orang nanti, aku benar-benar malu!"Lilis menangis meraung-raung, membayangkan cibiran yang akan war
Sementara itu, di tempat lain, Lidya tengah mematung di kamar, mengamati seisi ruangan yang penuh dengan barang-barang antik dan mahal.Sedari dulu, Lidya suka mengoleksi barang-barang tersebut, karena melihat Ibunya. Ya, mendiang Nyonya Jonathan adalah seorang wanita penyuka barang antik dan mahal. Hingga, tak disangka hobinya itu justru menurun pada Lidya--anak bungsunya."Sayang!"Sontak, Lidya berbalik badan, menatap Jonathan Pratama--Papa kandungnya yang sengaja berkunjung ke rumah."Iya, Pa. Kenapa?"Jonathan tersenyum kecut, netranya sempat menatap Lidya dengan lekat. Sebelum akhirnya, ikut menelisik seisi kamar."Apa yang sedang kamu lakukan, Nak?"Lidya memutuskan kontak mata dengan Jonathan, dia kembali mengamati sekeliling.Detik berikutnya, Lidya berjalan menuju sebuah pigura berukuran besar yang terpasang di dinding. Tanpa ragu, dia langsung mencopotnya dan meletakkannya di bawah."Aku mau membersihkan kamar ini. Maksudku melepas dan membuang yang seharusnya.""Apa Iqbal
Iqbal sudah resmi menjadi pengangguran, tabungannya mulai menipis, akibat resepsi pernikahan besar-besaran yang diadakan oleh keluarga Irna.Belum lagi, Ani terus meminta jatah uang pada Iqbal tiap minggunya. Itu karena Ani sudah menjadi janda, suaminya meninggal dua bulan setelah anak sulungnya itu menikah dengan Lidya.Sementara itu, Iqbal juga memiliki seorang adik perempuan yang masih bersekolah di tingkah akhir, membuat pengeluarannya semakin banyak saja."Mas, minta uang dong, aku mau beli rujak!"Iqbal yang tengah meratapi nasibnya di teras rumah, lantas mendongak, menatap Irna yang tengah menengadahkan tangan."Ini masih pagi, Sayang. Masa udah mau rujak aja, sih!" Tanpa sadar, Iqbal mengomel, membuat Irna langsung mengerucutkan bibirnya."Mas, ini kemauan calon anak kita, bukan kemauan aku. Masa kamu tolak gitu aja, sih!" Irna balik mengomelinya Iqbal, hingga membuat pria yang hanya memakai kaos oblong yang dipadukan dengan celana pendek tersebut bangkit dan bergegas masuk k
"Apa kamu tak bercanda, Lidya?"Reza--Kakak kandung Lidya tertawa terbahak-bahak, ketika adiknya itu menceritakan soal pesan yang dia dapatkan dari Irna.Malahan saking gelinya, Reza yang terkenal lebih kejam dan menyeramkan di bandingkan Jonathan, seketika kehilangan pamor tersebut di hadapan Lidya.Pria berkulit sawo matang, berambut hitam legam, serta berhidung mancung dan memiliki rahang kokoh tersebut, sesekali mengumpat pada Iqbal yang tak ada di hadapannya."Ah, s*al! Kalau saja ada Iqbal di sini, mungkin aku sudah menyuapi mulut besarnya itu dengan kolor polkadot milik Pak Abas."Sontak, Lidya yang tengah menyeruput segelas teh hangat, langsung terbatuk-batuk kala mendengar penuturan Reza yang bisa di bilang cukup aneh.Disimpannya kembali gelas tersebut di atas meja dengan kasar, lalu Lidya menyoroti Reza tajam."Apa maksudmu. Ke-kenapa kamu tahu Pak Abas memiliki kolor polkadot?"Jauh dari lubuk hatinya, Lidya sedikit curiga, kalau Reza tak sepenuhnya lurus. Mengingat siapa
"Sayang!" Iqbal terus memanggil Irna, berharap wanita itu membalikkan badan. Karena semenjak mereka merebahkan tubuh di ranjang, Irna langsung mengambil posisi membelakangi suaminya, membuat Iqbal amat sangat kesal di buatnya.Padahal sedari tadi, Iqbal sudah tak bisa menahan diri, ingin segera menuntaskan hasratnya yang terus tertunda sedari kemarin.Akan tetapi, Irna malah mengabaikan Iqbal, tak menjawab panggilan maupun sahutan yang keluar dari mulut suaminya."Sayang, jangan marah!" Iqbal merajuk, berharap Irna bisa luluh kali ini.Namun, Irna malah menepis tangan Iqbal dengan kasar, tanpa menoleh sedikitpun."Aku tahu kamu mau apa, Mas. Tetapi, aku takkan pernah memberikannya sampai perusahaan tempat Lidya bekerja kembali jatuh ke tanganmu!"Bak sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Iqbal begitu terperanjat ketika mendengar penuturan Irna, mulutnya membulat sempurna dengan mata membeliak."A-apa maksudmu, Sayang?" Dengan gelagapan, Iqbal bertanya pada Irna."Aku rasa kamu paham den
Dengan perasaan marah, kesal dan kecewa. Irna masuk kembali ke rumah seraya sesekali menghentakkan kaki ke lantai. Bibirnya mengerucut dan alis saling bertautan.Malahan Irna sampai tak mengindahkan pertanyaannya Ibunya, mengenai sayuran yang hendak dia masak. Wanita berusia dua puluh tahunan yang memakai piyama biru tua itu bergegas pergi ke kamar.Meskipun umur Irna dan Iqbal berjarak hampir sepuluh tahunan. Tetapi, Irna merasa tak masalah, karena memang umur bukanlah segalanya.Bagi Irna, Iqbal mencintainya serta kaya raya saja, sudah cukup menguntungkan dan membahagiakan.Akan tetapi, kali ini Irna tak berpikir seperti itu. Dadanya amat sangat sesak, ketika mendengar cemoohan ibu-ibu tentang dirinya. Sehingga timbul dalam hatinya, penyesalan karena telah menikah dengan Iqbal."Lah, Sayang, sejak kapan kamu berdiri di sana?"Iqbal yang baru saja bangun, lantas mengajukan pertanyaan kepada Irna yang tengah berdiri di bibir pintu seraya menyilangkan tangan di dada."Kamu tak perlu ta
Tok ... tok ...."Masuk!"Lidya yang tengah berada di kamar tidurnya, membereskan beberapa barang-barang miliknya dengan di bantu oleh Mbok Yun--asisten rumah tangganya.Tak lama kemudian pintu kamar Lidya yang terbuat dari ukiran kayu jati terbuka lebar, menimbulkan suara decitan kecil."Ada apa?" tanya Lidya tanpa melihat ke arah orang yang baru saja datang tersebut.Ya, pria berpakaian hitam lengkap dengan sepatu berwarna senada yang amat sangat mengkilap, tengah mematung di bibir pintu seraya menautkan kedua tangannya."Saya di beri tugas oleh Tuan Jonathan, untuk mengirimkan surat gugatan cerai Nyonya kepada Pak Iqbal."Sontak, Lidya langsung menghentikan gerakan tangannya. Dia bangkit dari posisi berjongkok, menghampiri pria yang masih mematung di tempat yang sama."Serahkan pada saya!" sahut Lidya seraya menengadahkan tangan. Mimik wajahnya cukup serius.Pria berpakaian hitam itu tersentak, dia menatap Lidya dengan netra sedikit melebar. "Berikan surat gugatan cerai tersebut p
Beberapa kali Lidya menghela napas berat, ketika dia harus pulang dengan tangan kosong. Karena Iqbal dan Irna tak ada di rumah.Dari yang Lidya dengan dari Lilis, katanya Iqbal tengah mengajak Irna pergi ke toko emas, ingin membelikan kalung serta cincin untuk istrinya.Akan tetapi, Lidya hanya tersenyum tipis. Dia tidak percaya begitu saja pada ucapan Lilis. Lagipula Iqbal punya uang dari mana?Pelihara babi ngepet? Ya, itu baru sedikit masuk akal. Mengingat Iqbal hanyalah seorang pengacara alias pengangguran banyak acara.Pria kere seperti Iqbal, tak mungkin bisa membelikan Irna emas atau barang berharga lainnya, mengingat bagaimana kondisi Iqbal saat ini."Nyonya!"Sontak, Lidya menoleh, menatap Andri yang tengah menyorotinya intens. Pria itu tengah bersandar pada tembok.Sadar jika Lidya balik menatapnya, Andri justru memalingkan wajah, merasa salah tingkah bila di tatap balik oleh bosnya yang sangat cantik.Dag-dig-dug ser!"Ada apa?" Lidya menautkan kedua alisnya, kebingungan de
Akhir-akhir ini Iqbal banyak melamun. Kalau tidak di belakang rumah, memandangi kebun warga, maka dia akan duduk seharian di teras. Irna yang menyadari perubahan sikap Iqbal, bukannya berusaha membujuk atau melakukan yang terbaik agar suaminya berubah, dia justru malah bersikap sebaliknya."Mas, kamu tuh gak ada usaha sama sekali, bukannya cari kerja malah duduk terus di teras!" omel Irna pada suaminya.Iqbal menghela napas panjang, kemudian bangkit dari teras, mengenakan sandal jepit milik mertuanya yang hampir putus."Iya, besok aku cari kerja!" balas Iqbal tak bersemangat."Boro-boro cari kerja, kepalaku saja hampir meledak saat ini, gara-gara perceraianku dan Lidya sudah di depan mata." Iqbal membatin. Dia terus melangkah keluar pekarangan rumah tanpa menghiraukan teriakan Irna."Pokoknya kamu harus cari uang banyak! Aku tak mau, acara syukuran anak kita diadakan kecil-kecilan! Bisa malu aku sama mantan-mantan kekasihku yang terkenal kaya raya." Dengan sengaja, Irna bergumam dia
[Irna, cepat pulang! Lidya, datang kemari, bahkan dia sampai memfitnah Iqbal. Pokoknya kamu harus cepat pulang dan minta semua hak suamimu!]Sontak, Irna yang tengah berjalan-jalan di pinggir sawah bersama Iqbal, langsung tercengang. Mulutnya menganga lebar, matanya membeliak serta tubuh yang tiba-tiba bergetar hebat, menahan amarah.Tanpa memberitahu Iqbal terlebih dahulu, Irna bergegas mengetikkan pesan balasan untuk Lilis.[Yang benar, Bu? Baiklah, aku akan pulang sekarang dan mempermalukan Lidya di hadapan semua tetangga. Pokoknya Ibu harus mengumpulkan semua tetangga, agar mereka tahu siapa diriku yang sebenarnya!]Masih dengan dada kembang-kempis, Irna mengepalkan tangan kuat-kuat. Kali ini dia lebih bersemangat dan berapi-api."Sayang, ada apa?"Iqbal yang sadar dengan perubahan raut wajah istrinya, gegas melontarkan sebuah pertanyaan."Tidak ada, Mas. Aku hanya lelah, jadi ayo pulang!""Ayo, sayang!"Iqbal yang juga sudah kelelahan dan kepanasan, gegas mengiyakan ajakan istri
Beberapa kali Lidya menghela napas berat, ketika dia harus pulang dengan tangan kosong. Karena Iqbal dan Irna tak ada di rumah.Dari yang Lidya dengan dari Lilis, katanya Iqbal tengah mengajak Irna pergi ke toko emas, ingin membelikan kalung serta cincin untuk istrinya.Akan tetapi, Lidya hanya tersenyum tipis. Dia tidak percaya begitu saja pada ucapan Lilis. Lagipula Iqbal punya uang dari mana?Pelihara babi ngepet? Ya, itu baru sedikit masuk akal. Mengingat Iqbal hanyalah seorang pengacara alias pengangguran banyak acara.Pria kere seperti Iqbal, tak mungkin bisa membelikan Irna emas atau barang berharga lainnya, mengingat bagaimana kondisi Iqbal saat ini."Nyonya!"Sontak, Lidya menoleh, menatap Andri yang tengah menyorotinya intens. Pria itu tengah bersandar pada tembok.Sadar jika Lidya balik menatapnya, Andri justru memalingkan wajah, merasa salah tingkah bila di tatap balik oleh bosnya yang sangat cantik.Dag-dig-dug ser!"Ada apa?" Lidya menautkan kedua alisnya, kebingungan de
Tok ... tok ...."Masuk!"Lidya yang tengah berada di kamar tidurnya, membereskan beberapa barang-barang miliknya dengan di bantu oleh Mbok Yun--asisten rumah tangganya.Tak lama kemudian pintu kamar Lidya yang terbuat dari ukiran kayu jati terbuka lebar, menimbulkan suara decitan kecil."Ada apa?" tanya Lidya tanpa melihat ke arah orang yang baru saja datang tersebut.Ya, pria berpakaian hitam lengkap dengan sepatu berwarna senada yang amat sangat mengkilap, tengah mematung di bibir pintu seraya menautkan kedua tangannya."Saya di beri tugas oleh Tuan Jonathan, untuk mengirimkan surat gugatan cerai Nyonya kepada Pak Iqbal."Sontak, Lidya langsung menghentikan gerakan tangannya. Dia bangkit dari posisi berjongkok, menghampiri pria yang masih mematung di tempat yang sama."Serahkan pada saya!" sahut Lidya seraya menengadahkan tangan. Mimik wajahnya cukup serius.Pria berpakaian hitam itu tersentak, dia menatap Lidya dengan netra sedikit melebar. "Berikan surat gugatan cerai tersebut p
Dengan perasaan marah, kesal dan kecewa. Irna masuk kembali ke rumah seraya sesekali menghentakkan kaki ke lantai. Bibirnya mengerucut dan alis saling bertautan.Malahan Irna sampai tak mengindahkan pertanyaannya Ibunya, mengenai sayuran yang hendak dia masak. Wanita berusia dua puluh tahunan yang memakai piyama biru tua itu bergegas pergi ke kamar.Meskipun umur Irna dan Iqbal berjarak hampir sepuluh tahunan. Tetapi, Irna merasa tak masalah, karena memang umur bukanlah segalanya.Bagi Irna, Iqbal mencintainya serta kaya raya saja, sudah cukup menguntungkan dan membahagiakan.Akan tetapi, kali ini Irna tak berpikir seperti itu. Dadanya amat sangat sesak, ketika mendengar cemoohan ibu-ibu tentang dirinya. Sehingga timbul dalam hatinya, penyesalan karena telah menikah dengan Iqbal."Lah, Sayang, sejak kapan kamu berdiri di sana?"Iqbal yang baru saja bangun, lantas mengajukan pertanyaan kepada Irna yang tengah berdiri di bibir pintu seraya menyilangkan tangan di dada."Kamu tak perlu ta
"Sayang!" Iqbal terus memanggil Irna, berharap wanita itu membalikkan badan. Karena semenjak mereka merebahkan tubuh di ranjang, Irna langsung mengambil posisi membelakangi suaminya, membuat Iqbal amat sangat kesal di buatnya.Padahal sedari tadi, Iqbal sudah tak bisa menahan diri, ingin segera menuntaskan hasratnya yang terus tertunda sedari kemarin.Akan tetapi, Irna malah mengabaikan Iqbal, tak menjawab panggilan maupun sahutan yang keluar dari mulut suaminya."Sayang, jangan marah!" Iqbal merajuk, berharap Irna bisa luluh kali ini.Namun, Irna malah menepis tangan Iqbal dengan kasar, tanpa menoleh sedikitpun."Aku tahu kamu mau apa, Mas. Tetapi, aku takkan pernah memberikannya sampai perusahaan tempat Lidya bekerja kembali jatuh ke tanganmu!"Bak sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Iqbal begitu terperanjat ketika mendengar penuturan Irna, mulutnya membulat sempurna dengan mata membeliak."A-apa maksudmu, Sayang?" Dengan gelagapan, Iqbal bertanya pada Irna."Aku rasa kamu paham den
"Apa kamu tak bercanda, Lidya?"Reza--Kakak kandung Lidya tertawa terbahak-bahak, ketika adiknya itu menceritakan soal pesan yang dia dapatkan dari Irna.Malahan saking gelinya, Reza yang terkenal lebih kejam dan menyeramkan di bandingkan Jonathan, seketika kehilangan pamor tersebut di hadapan Lidya.Pria berkulit sawo matang, berambut hitam legam, serta berhidung mancung dan memiliki rahang kokoh tersebut, sesekali mengumpat pada Iqbal yang tak ada di hadapannya."Ah, s*al! Kalau saja ada Iqbal di sini, mungkin aku sudah menyuapi mulut besarnya itu dengan kolor polkadot milik Pak Abas."Sontak, Lidya yang tengah menyeruput segelas teh hangat, langsung terbatuk-batuk kala mendengar penuturan Reza yang bisa di bilang cukup aneh.Disimpannya kembali gelas tersebut di atas meja dengan kasar, lalu Lidya menyoroti Reza tajam."Apa maksudmu. Ke-kenapa kamu tahu Pak Abas memiliki kolor polkadot?"Jauh dari lubuk hatinya, Lidya sedikit curiga, kalau Reza tak sepenuhnya lurus. Mengingat siapa
Iqbal sudah resmi menjadi pengangguran, tabungannya mulai menipis, akibat resepsi pernikahan besar-besaran yang diadakan oleh keluarga Irna.Belum lagi, Ani terus meminta jatah uang pada Iqbal tiap minggunya. Itu karena Ani sudah menjadi janda, suaminya meninggal dua bulan setelah anak sulungnya itu menikah dengan Lidya.Sementara itu, Iqbal juga memiliki seorang adik perempuan yang masih bersekolah di tingkah akhir, membuat pengeluarannya semakin banyak saja."Mas, minta uang dong, aku mau beli rujak!"Iqbal yang tengah meratapi nasibnya di teras rumah, lantas mendongak, menatap Irna yang tengah menengadahkan tangan."Ini masih pagi, Sayang. Masa udah mau rujak aja, sih!" Tanpa sadar, Iqbal mengomel, membuat Irna langsung mengerucutkan bibirnya."Mas, ini kemauan calon anak kita, bukan kemauan aku. Masa kamu tolak gitu aja, sih!" Irna balik mengomelinya Iqbal, hingga membuat pria yang hanya memakai kaos oblong yang dipadukan dengan celana pendek tersebut bangkit dan bergegas masuk k
Sementara itu, di tempat lain, Lidya tengah mematung di kamar, mengamati seisi ruangan yang penuh dengan barang-barang antik dan mahal.Sedari dulu, Lidya suka mengoleksi barang-barang tersebut, karena melihat Ibunya. Ya, mendiang Nyonya Jonathan adalah seorang wanita penyuka barang antik dan mahal. Hingga, tak disangka hobinya itu justru menurun pada Lidya--anak bungsunya."Sayang!"Sontak, Lidya berbalik badan, menatap Jonathan Pratama--Papa kandungnya yang sengaja berkunjung ke rumah."Iya, Pa. Kenapa?"Jonathan tersenyum kecut, netranya sempat menatap Lidya dengan lekat. Sebelum akhirnya, ikut menelisik seisi kamar."Apa yang sedang kamu lakukan, Nak?"Lidya memutuskan kontak mata dengan Jonathan, dia kembali mengamati sekeliling.Detik berikutnya, Lidya berjalan menuju sebuah pigura berukuran besar yang terpasang di dinding. Tanpa ragu, dia langsung mencopotnya dan meletakkannya di bawah."Aku mau membersihkan kamar ini. Maksudku melepas dan membuang yang seharusnya.""Apa Iqbal