"Sayang!"
Iqbal terus memanggil Irna, berharap wanita itu membalikkan badan. Karena semenjak mereka merebahkan tubuh di ranjang, Irna langsung mengambil posisi membelakangi suaminya, membuat Iqbal amat sangat kesal di buatnya.
Padahal sedari tadi, Iqbal sudah tak bisa menahan diri, ingin segera menuntaskan hasratnya yang terus tertunda sedari kemarin.
Akan tetapi, Irna malah mengabaikan Iqbal, tak menjawab panggilan maupun sahutan yang keluar dari mulut suaminya.
"Sayang, jangan marah!" Iqbal merajuk, berharap Irna bisa luluh kali ini.
Namun, Irna malah menepis tangan Iqbal dengan kasar, tanpa menoleh sedikitpun.
"Aku tahu kamu mau apa, Mas. Tetapi, aku takkan pernah memberikannya sampai perusahaan tempat Lidya bekerja kembali jatuh ke tanganmu!"
Bak sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Iqbal begitu terperanjat ketika mendengar penuturan Irna, mulutnya membulat sempurna dengan mata membeliak.
"A-apa maksudmu, Sayang?" Dengan gelagapan, Iqbal bertanya pada Irna.
"Aku rasa kamu paham dengan apa yang aku maksud!" ketus Irna tanpa mempedulikan perasaan serta hasrat suaminya yang sudah berada di puncak.
Karena merasa kesal sekaligus marah pada Irna, sebab tak mau melayaninya malam ini. Iqbal pun bergegas bangun dari posisi rebahan, kemudian keluar dari kamar tidur tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
***
"S*al*n, ini semua gara-gara, Lidya! Andai saja dia tak datang kemari, mungkin saja hal ini takkan terjadi!" sungut Iqbal seraya menyesap sebatang rokok dan menghembuskan asapnya ke udara.
Malam ini, Iqbal memilih untuk keluar rumah, duduk santai di teras rumah sambil berusaha menenangkan dirinya yang masih di selimuti hasrat tinggi.
Iqbal juga ikut menyalakan gawai, menjelajah di dunia maya, bermaksud mengusir rasa jenuh yang sesekali menggerogoti dirinya.
Ting!
[Hai.]
Sontak, Iqbal terkesiap, ketika mendapati sebuah pesan masuk dari akun bernama Kinasih Putri.
Netra Iqbal langsung berbinar, kala melihat foto profil akun tersebut yang ternyata adalah seorang wanita cantik berhidung mancung yang memiliki senyum manis.
"Wah, mumpung gak ada Irna, mendingan bales chat dari cewek cantik ini aja. Lagian dia juga gak mau melayaniku malam ini."
Iqbal membatin. Seringai penuh kemenangan tercetak di wajah tampannya yang mulai di penuhi bulu-bulu halus.
[Hai cantik.]
Seperti biasa, Iqbal selalu mengeluarkan jurus andalannya tiap kali berkenalan dengan wanita, termasuk Irna sendiri.
Belum lagi, foto profil serta unggahan Iqbal di akun media sosialnya cukup banyak. Selain suka pamer harta dan kemewahan yang merupakan milik Lidya, Iqbal juga suka sekali memamerkan potret dirinya yang sering berjalan-jalan ke luar negeri.
Namun, itu semua juga berkat Lidya. Jika, tanpa Lidya semua orang pun yakin, kalau Iqbal takkan pernah menginjakkan kakinya di luar negeri sekalipun.
Iqbal yang tengah termangu, menunggu balasan dari akun bernama Kinasih Putri, seketika saja tersentak ketika mendengar bunyi notifikasi.
[Makasih sudah dibalas pesannya, Mas!]
[Sama-sama, cantik. Oh iya, Mas Iqbal panggil siapa, nih? Kina, Putri atau Sayang?]
Sesudah mengirimkan balasan tersebut, Iqbal terkekeh pelan, merasa kegelian dengan apa yang telah dia lakukan.
[Ih, Mas, bisa aja. Panggil Kina dulu jangan langsung sayang, Mas.]
Obrolan Iqbal dan wanita bernama Kina yang dia kenal melalui media sosial itu terus berlanjut.
Akan tetapi, karena rasa kantuk yang tiba-tiba menyerang, serta udara dingin terus menusuk kulit. Iqbal pun memutuskan untuk bangkit dari duduk dan masuk ke rumah, setelah sebelumnya berpamitan dulu pada Kina.
***
"Sayur, sayur .... Bu, Ibu, sayur ...."
Lilis yang tengah memasak di dapur, lantas menoleh, menatap Irna yang tengah meminum segelas susu Ibu hamil.
"Irna, cepat beli sayur ke depan!" titah Lilis pada Irna yang sudah bangkit dari kursi meja makan.
Awalnya Irna hendak menolak, tetapi melihat sorot tajam Ibunya. Pada akhirnya, Irna pun memutuskan untuk mengurungkan semuanya.
"Baik, Bu."
Dengan sedikit lemas, Irna mulai melangkah keluar rumah, memakai sandal jepit yang tergeletak di tanah. Setelah sebelumnya mengambil uang yang ada di dalam laci.
Sesekali Irna menghela napas berat, kala dia mulai melangkah kecil, menghampiri tukang sayur yang kebetulan berada di luar pagar rumahnya.
Perlahan Irna mendorong pagar besi, menimbulkan suara decitan, sehingga semua mata langsung tertuju padanya. Irna menelan ludah, kala mendapati beberapa tatapan tajam dari orang-orang di sekitarnya yang didominasi oleh ibu-ibu.
"Belanja, Bu!" sapa Irna dengan setengah tersenyum.
"Ya, kamu lihat sendiri, kita lagi ngapain," jawab seorang ibu-ibu berdaster merah dengan amat sangat ketus.
Irna tak menghiraukan wanita tua tersebut, dia malah langsung melangkah ke samping gerobak sayur, memilah-milah makanan yang akan dia beli nantinya.
"Nikah sama orang kaya, kok, belanjanya ke sini, sih?" tanya yang lainnya dengan tak kalah sinis.
"Lah, iya, kenapa gak ke tempat yang lebih keren, sih, Irna. Kayak supermarket gitu, loh. Padahal jaraknya dari sini gak jauh-jauh amat," timpal yang lainnya.
"Malas saja, Bu. Sudah biasa belanja di sini," dalih Irna. Padahal sebenarnya, dia pun ingin pergi ke supermarket.
"Alasan saja!" ketus yang lainnya lagi, di mana wajah Irna langsung memerah, menahan amarah.
Mang Engkos--si penjual sayur hanya mampu geleng-geleng kepala, ketika mendengar para ibu-ibu yang secara tak langsung telah menyindir Irna.
Lagipula semua orang sudah tahu, dengan apa yang menimpa Irna. Malahan kabar tentang pernikahan Irna serta penggerebekan yang di lakukan Lidya pada waktu itu, telah menyebar luas hingga ke mana-mana.
Termasuk ke kampung sebelah yang mana pada saat ini, kabar tentang rentetan kejadian yang menimpa Irna tengah panas-panasnya.
"Oh iya, Irna. Ngomong-ngomong ke mana mobil suamimu yang selalu Ibumu gembor-gemborkan pada kami?"
Sontak, Irna langsung termangu di tempat, dia sedikit gelagapan, ketika seseorang bertanya soal itu padanya.
Mengingat Iqbal sempat berkata pada Irna, kalau mobil miliknya tengah berada di bengkel dan tidak akan dia ambil dalam waktu dekat, karena banyak yang harus diperbaiki.
"Lagi di bengkel, Bu," balas Irna sambil menunduk.
Sontak, beberapa orang ibu-ibu langsung saling bisik, rata-rata dari mereka tak percaya dengan apa yang Irna lontarkan.
"Kenapa gak beli baru aja, sih. Katanya suami kamu kaya, punya perusahaan. Tetapi, kok mobil di bengkel malah di diemin aja, bukannya beli baru sekalian. Mampu kali kalau pengusaha mah, gak kaya kita, ya, bu-ibu."
"Bener, dong!" Semuanya menyahut, menyetujui ucapan si ibu-ibu berdaster merah.
Irna yang merasa tak tahan dengan sindiran yang di layangkan oleh ibu-ibu tersebut, gegas melempar sayur dengan kasar dan beranjak pergi dari tempat kejadian dengan wajah masam.
"Lah, kok ngamuk!" sindir ibu-ibu tersebut secara hampir bersamaan.
***
Dengan perasaan marah, kesal dan kecewa. Irna masuk kembali ke rumah seraya sesekali menghentakkan kaki ke lantai. Bibirnya mengerucut dan alis saling bertautan.Malahan Irna sampai tak mengindahkan pertanyaannya Ibunya, mengenai sayuran yang hendak dia masak. Wanita berusia dua puluh tahunan yang memakai piyama biru tua itu bergegas pergi ke kamar.Meskipun umur Irna dan Iqbal berjarak hampir sepuluh tahunan. Tetapi, Irna merasa tak masalah, karena memang umur bukanlah segalanya.Bagi Irna, Iqbal mencintainya serta kaya raya saja, sudah cukup menguntungkan dan membahagiakan.Akan tetapi, kali ini Irna tak berpikir seperti itu. Dadanya amat sangat sesak, ketika mendengar cemoohan ibu-ibu tentang dirinya. Sehingga timbul dalam hatinya, penyesalan karena telah menikah dengan Iqbal."Lah, Sayang, sejak kapan kamu berdiri di sana?"Iqbal yang baru saja bangun, lantas mengajukan pertanyaan kepada Irna yang tengah berdiri di bibir pintu seraya menyilangkan tangan di dada."Kamu tak perlu ta
Tok ... tok ...."Masuk!"Lidya yang tengah berada di kamar tidurnya, membereskan beberapa barang-barang miliknya dengan di bantu oleh Mbok Yun--asisten rumah tangganya.Tak lama kemudian pintu kamar Lidya yang terbuat dari ukiran kayu jati terbuka lebar, menimbulkan suara decitan kecil."Ada apa?" tanya Lidya tanpa melihat ke arah orang yang baru saja datang tersebut.Ya, pria berpakaian hitam lengkap dengan sepatu berwarna senada yang amat sangat mengkilap, tengah mematung di bibir pintu seraya menautkan kedua tangannya."Saya di beri tugas oleh Tuan Jonathan, untuk mengirimkan surat gugatan cerai Nyonya kepada Pak Iqbal."Sontak, Lidya langsung menghentikan gerakan tangannya. Dia bangkit dari posisi berjongkok, menghampiri pria yang masih mematung di tempat yang sama."Serahkan pada saya!" sahut Lidya seraya menengadahkan tangan. Mimik wajahnya cukup serius.Pria berpakaian hitam itu tersentak, dia menatap Lidya dengan netra sedikit melebar. "Berikan surat gugatan cerai tersebut p
Beberapa kali Lidya menghela napas berat, ketika dia harus pulang dengan tangan kosong. Karena Iqbal dan Irna tak ada di rumah.Dari yang Lidya dengan dari Lilis, katanya Iqbal tengah mengajak Irna pergi ke toko emas, ingin membelikan kalung serta cincin untuk istrinya.Akan tetapi, Lidya hanya tersenyum tipis. Dia tidak percaya begitu saja pada ucapan Lilis. Lagipula Iqbal punya uang dari mana?Pelihara babi ngepet? Ya, itu baru sedikit masuk akal. Mengingat Iqbal hanyalah seorang pengacara alias pengangguran banyak acara.Pria kere seperti Iqbal, tak mungkin bisa membelikan Irna emas atau barang berharga lainnya, mengingat bagaimana kondisi Iqbal saat ini."Nyonya!"Sontak, Lidya menoleh, menatap Andri yang tengah menyorotinya intens. Pria itu tengah bersandar pada tembok.Sadar jika Lidya balik menatapnya, Andri justru memalingkan wajah, merasa salah tingkah bila di tatap balik oleh bosnya yang sangat cantik.Dag-dig-dug ser!"Ada apa?" Lidya menautkan kedua alisnya, kebingungan de
[Irna, cepat pulang! Lidya, datang kemari, bahkan dia sampai memfitnah Iqbal. Pokoknya kamu harus cepat pulang dan minta semua hak suamimu!]Sontak, Irna yang tengah berjalan-jalan di pinggir sawah bersama Iqbal, langsung tercengang. Mulutnya menganga lebar, matanya membeliak serta tubuh yang tiba-tiba bergetar hebat, menahan amarah.Tanpa memberitahu Iqbal terlebih dahulu, Irna bergegas mengetikkan pesan balasan untuk Lilis.[Yang benar, Bu? Baiklah, aku akan pulang sekarang dan mempermalukan Lidya di hadapan semua tetangga. Pokoknya Ibu harus mengumpulkan semua tetangga, agar mereka tahu siapa diriku yang sebenarnya!]Masih dengan dada kembang-kempis, Irna mengepalkan tangan kuat-kuat. Kali ini dia lebih bersemangat dan berapi-api."Sayang, ada apa?"Iqbal yang sadar dengan perubahan raut wajah istrinya, gegas melontarkan sebuah pertanyaan."Tidak ada, Mas. Aku hanya lelah, jadi ayo pulang!""Ayo, sayang!"Iqbal yang juga sudah kelelahan dan kepanasan, gegas mengiyakan ajakan istri
Akhir-akhir ini Iqbal banyak melamun. Kalau tidak di belakang rumah, memandangi kebun warga, maka dia akan duduk seharian di teras. Irna yang menyadari perubahan sikap Iqbal, bukannya berusaha membujuk atau melakukan yang terbaik agar suaminya berubah, dia justru malah bersikap sebaliknya."Mas, kamu tuh gak ada usaha sama sekali, bukannya cari kerja malah duduk terus di teras!" omel Irna pada suaminya.Iqbal menghela napas panjang, kemudian bangkit dari teras, mengenakan sandal jepit milik mertuanya yang hampir putus."Iya, besok aku cari kerja!" balas Iqbal tak bersemangat."Boro-boro cari kerja, kepalaku saja hampir meledak saat ini, gara-gara perceraianku dan Lidya sudah di depan mata." Iqbal membatin. Dia terus melangkah keluar pekarangan rumah tanpa menghiraukan teriakan Irna."Pokoknya kamu harus cari uang banyak! Aku tak mau, acara syukuran anak kita diadakan kecil-kecilan! Bisa malu aku sama mantan-mantan kekasihku yang terkenal kaya raya." Dengan sengaja, Irna bergumam dia
MENGEMBALIKAN BARANG MILIK SUAMI DI ACARA PERNIKAHANNYA***"Li-Lidya, apa yang kamu lakukan di sini?"Wanita berkulit putih, berkebaya merah cerah, dipadukan dengan make up yang terkesan begitu berani tersebut. Berjalan menuju acara hajatan, di mana seorang pria berjas hitam tengah duduk di sebuah kursi pelaminan."Selamat atas pernikahan keduamu itu, Mas!" ucap Lidya dengan senyum merekah di bibir.Tak ada mimik wajah sedih, kecewa ataupun sebagainya. Lidya justru terlihat amat sangat bahagia, netranya berbinar-binar.Melihat hal tersebut, Iqbal--pria yang tengah berdiri mematung dengan mata membulat dan mulut menganga tersebut, langsung di rundung rasa penasaran yang amat sangat dalam.Di satu sisi, Iqbal amat sangat senang, karena sepertinya Lidya merestui pernikahan diam-diamnya itu. Tetapi, di sisi lain Iqbal juga merasa heran, kenapa Lidya bisa menerima semuanya dengan semudah ini.Karena pengeras suara sedang menyala, maka tidak ada satupun tamu yang curiga ataupun penasaran d
Acara hajatan yang seharusnya begitu meriah, mewah dan juga mengesankan bagi kedua belah keluarga. Justru harus berakhir dengan begitu mengerikan.Satu-persatu tamu beranjak pergi, meninggalkan tempat hajatan yang di laksanakan di lapangan yang cukup luas. Gunjingan serta cemoohan tak henti-hentinya keluar dari mulut mereka.Lilis menginginkan, agar para tamu undangan memuji dirinya, karena hajatan yang mewah. Sebab, dari jauh-jauh hari, keluarga Irna sudah menggembor-gemborkan soal Irna yang akan menikah dengan pria kaya raya.Akan tetapi, harapan hanya tinggal harapan. Lilis--Ibu kandung Irna tersungkur ke lantai, air matanya luruh begitu saja, ketika membayangkan pujian yang akan dia dapatkan dari warga, sirna seketika."Bu," lirih Irna seraya menghampiri Ibunya yang tengah terisak."Kenapa hal ini bisa terjadi?" hardik Lilis di sela-sela isak tangis. "Semuanya telah sirna. Apa kata orang nanti, aku benar-benar malu!"Lilis menangis meraung-raung, membayangkan cibiran yang akan war
Sementara itu, di tempat lain, Lidya tengah mematung di kamar, mengamati seisi ruangan yang penuh dengan barang-barang antik dan mahal.Sedari dulu, Lidya suka mengoleksi barang-barang tersebut, karena melihat Ibunya. Ya, mendiang Nyonya Jonathan adalah seorang wanita penyuka barang antik dan mahal. Hingga, tak disangka hobinya itu justru menurun pada Lidya--anak bungsunya."Sayang!"Sontak, Lidya berbalik badan, menatap Jonathan Pratama--Papa kandungnya yang sengaja berkunjung ke rumah."Iya, Pa. Kenapa?"Jonathan tersenyum kecut, netranya sempat menatap Lidya dengan lekat. Sebelum akhirnya, ikut menelisik seisi kamar."Apa yang sedang kamu lakukan, Nak?"Lidya memutuskan kontak mata dengan Jonathan, dia kembali mengamati sekeliling.Detik berikutnya, Lidya berjalan menuju sebuah pigura berukuran besar yang terpasang di dinding. Tanpa ragu, dia langsung mencopotnya dan meletakkannya di bawah."Aku mau membersihkan kamar ini. Maksudku melepas dan membuang yang seharusnya.""Apa Iqbal
Akhir-akhir ini Iqbal banyak melamun. Kalau tidak di belakang rumah, memandangi kebun warga, maka dia akan duduk seharian di teras. Irna yang menyadari perubahan sikap Iqbal, bukannya berusaha membujuk atau melakukan yang terbaik agar suaminya berubah, dia justru malah bersikap sebaliknya."Mas, kamu tuh gak ada usaha sama sekali, bukannya cari kerja malah duduk terus di teras!" omel Irna pada suaminya.Iqbal menghela napas panjang, kemudian bangkit dari teras, mengenakan sandal jepit milik mertuanya yang hampir putus."Iya, besok aku cari kerja!" balas Iqbal tak bersemangat."Boro-boro cari kerja, kepalaku saja hampir meledak saat ini, gara-gara perceraianku dan Lidya sudah di depan mata." Iqbal membatin. Dia terus melangkah keluar pekarangan rumah tanpa menghiraukan teriakan Irna."Pokoknya kamu harus cari uang banyak! Aku tak mau, acara syukuran anak kita diadakan kecil-kecilan! Bisa malu aku sama mantan-mantan kekasihku yang terkenal kaya raya." Dengan sengaja, Irna bergumam dia
[Irna, cepat pulang! Lidya, datang kemari, bahkan dia sampai memfitnah Iqbal. Pokoknya kamu harus cepat pulang dan minta semua hak suamimu!]Sontak, Irna yang tengah berjalan-jalan di pinggir sawah bersama Iqbal, langsung tercengang. Mulutnya menganga lebar, matanya membeliak serta tubuh yang tiba-tiba bergetar hebat, menahan amarah.Tanpa memberitahu Iqbal terlebih dahulu, Irna bergegas mengetikkan pesan balasan untuk Lilis.[Yang benar, Bu? Baiklah, aku akan pulang sekarang dan mempermalukan Lidya di hadapan semua tetangga. Pokoknya Ibu harus mengumpulkan semua tetangga, agar mereka tahu siapa diriku yang sebenarnya!]Masih dengan dada kembang-kempis, Irna mengepalkan tangan kuat-kuat. Kali ini dia lebih bersemangat dan berapi-api."Sayang, ada apa?"Iqbal yang sadar dengan perubahan raut wajah istrinya, gegas melontarkan sebuah pertanyaan."Tidak ada, Mas. Aku hanya lelah, jadi ayo pulang!""Ayo, sayang!"Iqbal yang juga sudah kelelahan dan kepanasan, gegas mengiyakan ajakan istri
Beberapa kali Lidya menghela napas berat, ketika dia harus pulang dengan tangan kosong. Karena Iqbal dan Irna tak ada di rumah.Dari yang Lidya dengan dari Lilis, katanya Iqbal tengah mengajak Irna pergi ke toko emas, ingin membelikan kalung serta cincin untuk istrinya.Akan tetapi, Lidya hanya tersenyum tipis. Dia tidak percaya begitu saja pada ucapan Lilis. Lagipula Iqbal punya uang dari mana?Pelihara babi ngepet? Ya, itu baru sedikit masuk akal. Mengingat Iqbal hanyalah seorang pengacara alias pengangguran banyak acara.Pria kere seperti Iqbal, tak mungkin bisa membelikan Irna emas atau barang berharga lainnya, mengingat bagaimana kondisi Iqbal saat ini."Nyonya!"Sontak, Lidya menoleh, menatap Andri yang tengah menyorotinya intens. Pria itu tengah bersandar pada tembok.Sadar jika Lidya balik menatapnya, Andri justru memalingkan wajah, merasa salah tingkah bila di tatap balik oleh bosnya yang sangat cantik.Dag-dig-dug ser!"Ada apa?" Lidya menautkan kedua alisnya, kebingungan de
Tok ... tok ...."Masuk!"Lidya yang tengah berada di kamar tidurnya, membereskan beberapa barang-barang miliknya dengan di bantu oleh Mbok Yun--asisten rumah tangganya.Tak lama kemudian pintu kamar Lidya yang terbuat dari ukiran kayu jati terbuka lebar, menimbulkan suara decitan kecil."Ada apa?" tanya Lidya tanpa melihat ke arah orang yang baru saja datang tersebut.Ya, pria berpakaian hitam lengkap dengan sepatu berwarna senada yang amat sangat mengkilap, tengah mematung di bibir pintu seraya menautkan kedua tangannya."Saya di beri tugas oleh Tuan Jonathan, untuk mengirimkan surat gugatan cerai Nyonya kepada Pak Iqbal."Sontak, Lidya langsung menghentikan gerakan tangannya. Dia bangkit dari posisi berjongkok, menghampiri pria yang masih mematung di tempat yang sama."Serahkan pada saya!" sahut Lidya seraya menengadahkan tangan. Mimik wajahnya cukup serius.Pria berpakaian hitam itu tersentak, dia menatap Lidya dengan netra sedikit melebar. "Berikan surat gugatan cerai tersebut p
Dengan perasaan marah, kesal dan kecewa. Irna masuk kembali ke rumah seraya sesekali menghentakkan kaki ke lantai. Bibirnya mengerucut dan alis saling bertautan.Malahan Irna sampai tak mengindahkan pertanyaannya Ibunya, mengenai sayuran yang hendak dia masak. Wanita berusia dua puluh tahunan yang memakai piyama biru tua itu bergegas pergi ke kamar.Meskipun umur Irna dan Iqbal berjarak hampir sepuluh tahunan. Tetapi, Irna merasa tak masalah, karena memang umur bukanlah segalanya.Bagi Irna, Iqbal mencintainya serta kaya raya saja, sudah cukup menguntungkan dan membahagiakan.Akan tetapi, kali ini Irna tak berpikir seperti itu. Dadanya amat sangat sesak, ketika mendengar cemoohan ibu-ibu tentang dirinya. Sehingga timbul dalam hatinya, penyesalan karena telah menikah dengan Iqbal."Lah, Sayang, sejak kapan kamu berdiri di sana?"Iqbal yang baru saja bangun, lantas mengajukan pertanyaan kepada Irna yang tengah berdiri di bibir pintu seraya menyilangkan tangan di dada."Kamu tak perlu ta
"Sayang!" Iqbal terus memanggil Irna, berharap wanita itu membalikkan badan. Karena semenjak mereka merebahkan tubuh di ranjang, Irna langsung mengambil posisi membelakangi suaminya, membuat Iqbal amat sangat kesal di buatnya.Padahal sedari tadi, Iqbal sudah tak bisa menahan diri, ingin segera menuntaskan hasratnya yang terus tertunda sedari kemarin.Akan tetapi, Irna malah mengabaikan Iqbal, tak menjawab panggilan maupun sahutan yang keluar dari mulut suaminya."Sayang, jangan marah!" Iqbal merajuk, berharap Irna bisa luluh kali ini.Namun, Irna malah menepis tangan Iqbal dengan kasar, tanpa menoleh sedikitpun."Aku tahu kamu mau apa, Mas. Tetapi, aku takkan pernah memberikannya sampai perusahaan tempat Lidya bekerja kembali jatuh ke tanganmu!"Bak sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Iqbal begitu terperanjat ketika mendengar penuturan Irna, mulutnya membulat sempurna dengan mata membeliak."A-apa maksudmu, Sayang?" Dengan gelagapan, Iqbal bertanya pada Irna."Aku rasa kamu paham den
"Apa kamu tak bercanda, Lidya?"Reza--Kakak kandung Lidya tertawa terbahak-bahak, ketika adiknya itu menceritakan soal pesan yang dia dapatkan dari Irna.Malahan saking gelinya, Reza yang terkenal lebih kejam dan menyeramkan di bandingkan Jonathan, seketika kehilangan pamor tersebut di hadapan Lidya.Pria berkulit sawo matang, berambut hitam legam, serta berhidung mancung dan memiliki rahang kokoh tersebut, sesekali mengumpat pada Iqbal yang tak ada di hadapannya."Ah, s*al! Kalau saja ada Iqbal di sini, mungkin aku sudah menyuapi mulut besarnya itu dengan kolor polkadot milik Pak Abas."Sontak, Lidya yang tengah menyeruput segelas teh hangat, langsung terbatuk-batuk kala mendengar penuturan Reza yang bisa di bilang cukup aneh.Disimpannya kembali gelas tersebut di atas meja dengan kasar, lalu Lidya menyoroti Reza tajam."Apa maksudmu. Ke-kenapa kamu tahu Pak Abas memiliki kolor polkadot?"Jauh dari lubuk hatinya, Lidya sedikit curiga, kalau Reza tak sepenuhnya lurus. Mengingat siapa
Iqbal sudah resmi menjadi pengangguran, tabungannya mulai menipis, akibat resepsi pernikahan besar-besaran yang diadakan oleh keluarga Irna.Belum lagi, Ani terus meminta jatah uang pada Iqbal tiap minggunya. Itu karena Ani sudah menjadi janda, suaminya meninggal dua bulan setelah anak sulungnya itu menikah dengan Lidya.Sementara itu, Iqbal juga memiliki seorang adik perempuan yang masih bersekolah di tingkah akhir, membuat pengeluarannya semakin banyak saja."Mas, minta uang dong, aku mau beli rujak!"Iqbal yang tengah meratapi nasibnya di teras rumah, lantas mendongak, menatap Irna yang tengah menengadahkan tangan."Ini masih pagi, Sayang. Masa udah mau rujak aja, sih!" Tanpa sadar, Iqbal mengomel, membuat Irna langsung mengerucutkan bibirnya."Mas, ini kemauan calon anak kita, bukan kemauan aku. Masa kamu tolak gitu aja, sih!" Irna balik mengomelinya Iqbal, hingga membuat pria yang hanya memakai kaos oblong yang dipadukan dengan celana pendek tersebut bangkit dan bergegas masuk k
Sementara itu, di tempat lain, Lidya tengah mematung di kamar, mengamati seisi ruangan yang penuh dengan barang-barang antik dan mahal.Sedari dulu, Lidya suka mengoleksi barang-barang tersebut, karena melihat Ibunya. Ya, mendiang Nyonya Jonathan adalah seorang wanita penyuka barang antik dan mahal. Hingga, tak disangka hobinya itu justru menurun pada Lidya--anak bungsunya."Sayang!"Sontak, Lidya berbalik badan, menatap Jonathan Pratama--Papa kandungnya yang sengaja berkunjung ke rumah."Iya, Pa. Kenapa?"Jonathan tersenyum kecut, netranya sempat menatap Lidya dengan lekat. Sebelum akhirnya, ikut menelisik seisi kamar."Apa yang sedang kamu lakukan, Nak?"Lidya memutuskan kontak mata dengan Jonathan, dia kembali mengamati sekeliling.Detik berikutnya, Lidya berjalan menuju sebuah pigura berukuran besar yang terpasang di dinding. Tanpa ragu, dia langsung mencopotnya dan meletakkannya di bawah."Aku mau membersihkan kamar ini. Maksudku melepas dan membuang yang seharusnya.""Apa Iqbal