Aku, Clarissa Sayyida. Orang-orang biasanya memanggilku Chaca. Aku suka nama itu. Nama yang disematkan oleh seseorang. Dia bilang karena aku terlihat manis dan imut.
Ya, namanya Hannan Maliki Said. Aku memanggilnya Bang Malik. Aku dan dia tumbuh bersama di sebuah panti asuhan yang terletak jauh dari kota Medan.
Aku dan Bang Malik begitu dekat. Ia begitu menjaga dan menyayangiku seperti adik kandungnya sendiri. Setiap hari dia berencana membawaku pergi dari panti asuhan ini. Panti asuhan yang orang-orang berada di dalamnya selalu menyiksa kami.
Tak jarang mereka juga mengurung dan tak memberi kami makan dengan alasan menghukum anak yang melanggar aturan. Panti asuhan itu hanya sebuah kedok untuk mencari donatur kaya dan menghasilkan uang dari mereka. Uang-uang yang diterima dari para donatur hanya dipakai untuk kepentingan pribadi pemilik panti dan para pengikutnya saja.
Sementara anak-anak banyak yang terlantar tanpa bisa menikmati fasilitas yang seharusnya diterima.
Suatu malam, Malik membuka pintu gudang yang ada di belakang bangunan. Aku yang sedari tadi siang terkurung langsung menangis melihatnya datang. Malik berlari mendekat dan langsung memelukku.
Diusapnya pipiku yang memar akibat tamparan pengurus panti. Bekas darah masih membekas di sudut bibirku.
"Ayo kita pergi dari sini!" Bang Malik menarik tanganku dengan menggendong tas ransel yang terisi penuh. Kami akan melarikan diri malam ini.
"Kita mau kemana, Bang?" tanyaku penuh ketakutan.
"Kemana saja, asal bukan di neraka ini," sahutnya dengan menahan emosi.
"Udah malam Bang, Chaca takut," keluhku, sambil memegangi erat lengan dan berjalan cepat mengikuti langkahnya.
Kami menyusuri jalanan sepi. Jalan yang hanya dilewati beberapa pengendara saja. Kami bergegas hendak keluar dari wilayah panti yang memang sengaja dibangun di daerah perkebunan kelapa sawit yang jauh dari pemukiman warga.
Setelah berjalan kaki hingga berpuluh-puluh kilometer, akhirnya kami sampai juga ke jalan besar.
Aku terduduk lemas saat Bang Malik mengajakku singgah ke sebuah warung yang masih buka pada saat itu.
Ia memesan dua porsi makanan dan minuman apa pun yang ada di situ. Dia bahkan tidak tau apa yang dijual si pemilik warung karena sebelumnya kami tidak pernah keluar dari daerah panti.
Dia hanya bilang, berikan kami makanan karena adiknya sangat lapar.
Tak lama Ibu penjaga warung datang dengan dua mangkuk mie instant yang direbus dengan telur dan sawi hijau. Aku dan Bang Malik makan dengan lahapnya, tak lupa kami menyeruput teh manis hangat yang datang belakangan.
"Kalian mau ke mana malam-malam begini?" tanya penjaga warung setelah kami selesai dengan aksi kami tadi.
Malik mengusap mulutnya yang berminyak, bekas mie instant tadi dengan punggung tangan.
"Medan," jawabnya singkat.
Aku langsung menoleh ke arahnya. Menarik lengan bajunya lalu setengah berbisik.
"Kita tidak punya uang, Bang."
Malik mengusap lembut rambutku, berusaha menenangkan.
"Chaca tenang aja. Pokoknya kita pergi jauh dari tempat ini."
Bang Malik merogoh tas ransel yang tadi dibawanya. Dikeluarkannya selembar uang dari dalam sana dan memberikan kepada penjaga warung untuk membayar apa yang kami makan.
Aku terkejut, bagaimana Bang Malik bisa memperoleh uang tersebut. Seumur-umur kami tidak pernah dibiarkan memegang uang sepeser pun.
Bahkan saat ada donatur panti yang memberi kami amplop berisi uang, selalu dipungut kembali atas perintah kepala panti.
Ibu pemilik warung menolak uang yang disodorkan Bang Malik.
"Simpan saja buat bekal kalian," ujarnya.
"Jam empat subuh nanti ada truk yang akan melintas ke arah Medan. Aku akan bilang sama supirnya untuk turut serta membawa kalian. Ini masih jam satu malam. Bawalah adikmu ke dalam dan beristirahatlah dulu."Kulihat mata Bang Malik berkaca-kaca menatap ibu penjaga warung. Dia sangat berterima kasih dan membawaku pergi untuk beristirahat.
******
Aku tersentak ketika Bang Malik menggoyang-goyangkan badanku. "Bangun, Cha. Truk sudah mau berangkat."Aku membuka mata dengan perlahan. Rupanya aku tadi tertidur pulas karena kelelahan hingga tidak terasa sudah jam empat subuh. Bang Malik meraih tanganku dan kembali menggendong ranselnya yang penuh sesak itu. Warung yang kami singgahi itu ternyata buka selama dua puluh empat jam sebagai tempat persinggahan truk-truk muatan yang singgah, atau sekedar melintas. Hari ini truk dari Pekan Baru yang bermuatan pupuk, akan melintasi Medan menuju Banda Aceh. Ibu pemilik warung sudah menitipkan kami kepada supir yang sudah lama dikenalnya."Hati-hatilah di jalan. Semoga kalian selamat sampai di tujuan. Jaga baik-baik adikmu itu." Pesan ibu penjaga warung, sambil memberikan kami bungkusan untuk bekal di jalan. Truk melaju dengan kencang, membawa sejuta angan, yang kini bermain-main di dalam pikiran kami. Aku dan Bang Malik saling menatap sambil melempar senyum, berharap ada kehidupan yang
Menjelang malam, aku keluar dari rumah. Berjalan kaki sampai keluar dari kompleks perumahan. Memasuki minimarket yang masih satu kawasan, untuk membeli makanan ringan sebagai buah tangan agar Vera menyambutku dengan rasa suka cita.Aku menenteng sekantong plastik camilan keluar dari minimarket. Mengeluarkan ponsel, bermaksud hendak memesan ojek online. Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak."Jambret..., jambret...." Aku menoleh ke arah belakang, seseorang berlari kencang menuju ke arahku. Dengan sigap kujegal kakinya. Laki-laki itu jatuh tersungkur dengan wajah menghadap ke aspal jalan. Kuayunkan tasku ke arah kepalanya. Memukulnya berkali-kali sambil berteriak agar yang lain segera datang menolong. Tak lama orang-orang datang berkerumun, ikut mengeroyok jambret tersebut. Ada yang menedang, bahkan ada juga Ibu-Ibu yang ikut menjambak dan menarik telinganya. Aku keluar dari kerumunan massa sambil menepuk-nepukkan debu di tangan dengan bangga. Aku merasa seperti superhero malam
Bagaimana ini, Pak Malik memintaku mengajaknya ke rumah. Kalau aku bawa dia sekarang, Aira pasti ngamuk-ngamuk. Bisa-bisa kena usir. "Nggak bisa, Pak," sahutku."Kenapa?""Abang ipar saya baru pulang dari luar kota. Nggak enak, nanti mengganggu. Kakak saya masih pengantin baru." Aku beralasan. Lagi pula, usia Aira memang lebih tua dariku. Wajar kalau aku mengakuinya sebagai kakak. Pak Malik mengernyit, seolah tak percaya. Tapi aku yakin, dia tak punya pilihan lain. "Saya bawa ke klinik aja ya, Pak. Biar diperiksa. Siapa tau ada luka dalam, atau tulang-tulang yang patah," ejekku, lalu memberanikan diri mendorong tubuhnya untuk segera berjalan. "Eh, eh, ngapain dorong-dorong?" protesnya, tanpa menolak. Pak Malik melajukan mobil, sementara aku duduk manis di sampingnya. Mengeluarkan ponsel dan memainkan jemariku dengan lihai ke atas layar. [Sori, Ver. Aku agak telat. Ada urusan mendadak!] Aku mengirim pesan. Bip bip. Tak lama terdengar bunyi pesan masuk. [Oke, jangan lupa cem
Ia terkejut bukan main. Matanya membesar mendengar pengakuanku. Tampak marah, lalu memegang keras pundakku. "Apa maksud kamu? Chaca siapa? Jangan main-main, ha! Becandamu nggak lucu!" Dia terlihat gusar dengan napas terengah-engah. Aku semakin menangis menatapnya. "Jangan pernah kamu ngaku-ngaku sebagai adikku. Dia tidak mungkin wanita seperti kamu!" Amarahnya kian terlihat. "Cepat turun!" Ia langsung keluar dari mobil. Membuka pintu di sampingku, lalu dengan kasar menarikku keluar."Jangan pernah lagi bicara padaku! Apa lagi sampai mencari perhatian dengan cara seperti ini. Aku tidak pernah tertarik sama wanita seperti kamu!" bentaknya dengan kasar. Ia meninggalkanku di tepi jalan, tanpa mau mendengar penjelasan. Aku menangis kembali, saat mobil itu melesat pergi menjauh..Aku bekerja seperti biasa. Melirik ke arah kantornya. Terlihat dia sedang fokus mengutak-atik laptop di atas meja. Terlihat wajahnya masih ada bekas memar, dan sedikit membengkak. Anak-anak yang lain saling
Sepulang kerja, aku menunggu ojek online di depan gerbang. Satu persatu para karyawan menghilang. Ada yang berjalan ke simpang jalan besar untuk menunggu angkutan umum. Ada yang berjalan kaki, karena jarak temat kost dekat dari kerjaan, ada juga yang di jemput oleh anggota keluarganya.Tinggallah aku sendiri yang belum juga bergerak karena signal ponselku yang lemah, hingga susah loading untuk memesan ojek online.Terdengar suara klakson mobil mengejutkanku. Kaca depan terbuka, dan laki laki di belakang kemudi memanggilku dari dalam."Naik!" perintahnya. Aku tak begitu saja menurut, kupacu kaki untuk berjalan menjauh. Tak lama mobil itu mendahului, berhenti, dan menghadang jalanku. Aku menghentikan langkah, menanti dia yang dengan sigap sudah berdiri di hadapanku.Deg! Jantung ini kumat lagi*****Ia berdiri kokoh di hadapanku dengan kedua tangan disilangkan ke dada. Aku diam, dengan suara detak jantung yang kian bergemuruh. "Kenapa menghindar terus? Kamu dengar kan, kalau saya ny
Kurasakan dadanya naik turun, ikut menangis. Aku masih histeris, melepaskan diri dari pelukannya. Berulang kali memukul-mukul dadanya dengan kedua tangan yang sedari tadi kukepalkan."Abang jahat, Abang jahat," teriakku. Dia diam tanpa perlawanan, pasrah membiarkanku meluapkan perasaan meski tubuhnya terasa sakit."Maafin Abang, Cha. Maafin Abang, karena nggak ngenalin kamu. Kamu boleh pukul Abang sepuasnya. Abang sungguh-sungguh minta maaf."Aku menghentikan pukulan dan terus menangis. Laki-laki ini menarikku kembali dalam pelukan. Ia memapahku ke sofa, setelah merasa aku sedikit tenang. Dia berlutut menggenggam kedua tanganku.******POV MALIKHannan Maliki Said. Nama itu disematkan padaku dari sebuah surat yang diletakkan di keranjang tempat seseorang meletakkanku.Ya. Mungkin aku bayi yang tidak diinginkan. Diletakkan begitu saja di depan pintu gerbang panti asuhan dengan hanya berbalut selimut dan selembar surat yang ditulis entah oleh siapa. Setidaknya itulah cerita yang kude
Aku kembali ke halaman masjid Raya yang terletak di tengah kota, setelah ke sana sini mencari pekerjaan. Chaca meenyambutku dengan gembira karena aku membelikan makanan yang aku janjikan tadi sebelum pergi.Aku sengaja meninggalkannya di situ, agar tidak merasa bosan di dalam kamar yang aku sewa. Juga tak ingin ia merasa lelah mengikuti perjalananku. Sudah tiga hari ini kami tinggal dan tidur di kamar sempit yang hanya ada kasur tipis. Aku menempati kamar itu atas saran Bapak penjaga kebersihan di masjid. Aku harus segera mendapatkan pekerjaan, agar uang yang kubawa tak terpakai seluruhnya.Syukurlah di hari berikutnya, Abang tukar parkir mau mengajakku turut serta bekerja dengannya. Dan di situlah aku sekarang, menjadi tukang parkir di Masjid Raya Medan.****** Aku menggiring sebuah mobil ke area parkir. Menuntun supir di belakang kemudi mengikuti arahanku. Kendaraan terparkir. Aku memberikan karcis ke supir yang baru keluar.Sesekali ku lirik halaman masjid tempat biasa Chaca be
POV CHACAAku menyandarkan tubuh di sandaran sofa, diikuti juga oleh Bang Malik. Kini kami berdua menjadi lebih tenang setelah sebelumnya saling histeris dan belum bisa menghilangkan rasa keterkejutan masing-masing.Tak banyak yang kami bicarakan. Hanya saling memandang tanpa ucapan. Masing-masing tak tahu harus mulai bertanya dari mana. Tak apa buatku. Asal dia masih ada, dan mau mengakuiku. Bang Malik akan mengenalkanku pada keluarga angkatnya besok. Tak mau lagi menunda-nunda dan merahasiakanku dari mereka. "Mereka pasti juga sangat senang melihatmu, Cha," ujarnya menyemangatiku.Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Terdengar suara pintu depan terbuka, dan tak lama tertutup kembali."Kamu baru pulang, Ra?" tanyaku saat Aira berdiri mematung melihat ada tamu laki laki yang kini duduk mesra di sampingku."Hai," jawabnya setengah melongo, sambil mengangkat telapak tangan untuk menyapa.Aku bangkit dan merangkul lengan Bang Malik untuk berdiri. Kutarik ia mendekati