Share

Part 8

Penulis: Manda Azzahra
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-05 16:44:44

Kurasakan dadanya naik turun, ikut menangis. Aku masih histeris, melepaskan diri dari pelukannya. Berulang kali memukul-mukul dadanya dengan kedua tangan yang sedari tadi kukepalkan.

"Abang jahat, Abang jahat," teriakku. 

Dia diam tanpa perlawanan, pasrah membiarkanku meluapkan perasaan meski tubuhnya terasa sakit.

"Maafin Abang, Cha. Maafin Abang, karena nggak ngenalin kamu. Kamu boleh pukul Abang sepuasnya. Abang sungguh-sungguh minta maaf."

Aku menghentikan pukulan dan terus menangis. Laki-laki ini menarikku kembali dalam pelukan. Ia memapahku ke sofa, setelah merasa aku sedikit tenang. Dia berlutut menggenggam kedua tanganku.

******

POV MALIK

Hannan Maliki Said. Nama itu disematkan padaku dari sebuah surat yang diletakkan di keranjang tempat seseorang meletakkanku.

Ya. Mungkin aku bayi yang tidak diinginkan.  Diletakkan begitu saja di depan pintu gerbang panti asuhan dengan hanya berbalut selimut dan selembar surat yang ditulis entah oleh siapa. 

Setidaknya itulah cerita yang kudengar dari pengurus panti tentang riwayat hidupku. Hari- hariku selama berada di sana tidaklah seindah anak-anak seusiaku pada umumnya. Begitu juga anak-anak lain.

Hidup kami penuh siksaan dan juga derita. Tak ada kasih sayang, bahkan tak ada izin sama sekali untuk orang lain mengadopsi. Mereka lebih senang meminta sumbangan yang diberikan langsung kepada pihak panti.

Saat usiaku enam tahun, aku mendengar suara tangis bayi dari luar pagar. Aku segera berlari memanggil pengurus panti. Bayi itu dibawa masuk untuk kemudian dirawat sebagai penghuni baru.

Tak ada peninggalan apa pun, baik pakaian ganti atau secarik pesan. Hanya terbungkus selimut yang cukup tebal berwarna merah muda, lalu diletakkan di dalam keranjang rotan.

Hanya itu yang kuingat tentang kejadian malam itu. Entah kenapa aku begitu iba pada bayi malang itu, nasibnya tidak lebih baik dari aku. Aku menatap wajah dan bibir mungilnya.

Benar-benar cantik. Cantik seperti bidadari pada buku cerita yang kubaca di perpustakaan panti. 

Annisa. Pengurus panti menyematkan nama itu. Artinya wanita, cuma itu saja. Tak ada arti khusus untuk membuat nama bagi mereka. 

"Aku akan menuliskan nama Annisa pada akte kelahirannya. Kurasa nama itu pun terlalu bagus untuk bayi yang tidak punya asal usul seperti dia," gerutu pengurus panti. 

Wajahnya yang manis dan bibirnya yang imut membuatku begitu menyukainya. Chaca, kuberi dia nama panggilan seperti anak kecil yang belum bisa menyebut kata dengan huruf S. 

Hari berlalu, waktu berganti. Kami tumbuh bersama sebagai kakak adik. Aku tak tega kalau dia juga mendapat perlakuan yang sama dengan kami. Dengan segala cara aku  melindunginya agar tak pernah tersentuh hukuman.

Hingga pada suatu hari Chaca membuat kesalahan fatal. Gadis polos itu berceloteh kepada salah seorang donatur tetap yang mengajaknya ngobrol. Sang donatur menanyakan langsung kepada kepala Panti apakah benar kalau anak-anak di sini tidak pernah diberi makanan yang layak.

Dengan segala cara, ia menjelaskan dan meyakinkan bahwa tidak pernah ada kejadian seperti itu. Ibu kepala panti murka dan marah besar.

Chaca dipukuli dan ditampar berulang kali didepan semua anak. Tubuhnya dipukul dengan rotan yang biasanya memang digunakan untuk menghukum para penghuni. 

Aku berteriak sekuat tenaga untuk membuatnya berhenti. Tapi orang-orang suruhan kepala panti dengan kasar memegangi kedua tanganku hingga tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu kusaksikan sendiri tubuh Chaca digiring menuju lorong dan menghilang.

******

Emosiku berapi-api. Usia remaja tak membuatku takut takut dalam bertindak. Jam sembilan malam saat semua orang tertidur lelap, aku menyelinap masuk ke kantor.

Kubuka paksa lemari itu dengan perlahan, kumasukkan semua yang ada ke dalam tas ransel yang sudah kupersiapkan sebelumnya. Pernah secara tak sengaja aku memergoki Kepala panti menyimpan sesuatu di situ dengan sangat berhati-hati.

Ya. Uang itu kini sudah berpindah kedalam ranselku. Aku bergegas menuju gudang tempat Chaca disekap. Kami melarikan diri malam itu.

.

Menjelang pagi aku dan Chaca berpindah tempat duduk yang semula di samping pengemudi, kini berganti duduk di bak belakang.  Sungguh nikmat udara pagi hari ini. Udara kebebasan yang seumur hidup belum pernah kami rasakan.

Aku berterima kasih kepada Bapak supir yang baik hati,  begitu kami sampai tujuan. Aku hendak memberinya uang,  tapi dia menolak. Beliau pun melanjutkan perjalanan.

"Ini kota Medan ya, Bang?" tanya Chaca dengan senyum tersungging di bibirnya yang masih memar.  Aku mengajaknya beristirahat di halaman sebuah masjid.

"Iya, Cha. Ini kota impian Abang. Kita akan tinggal di kota ini. Chaca mau, kan?"

"Mau. Kemana pun Abang pergi, Chaca pasti ikut."

"Apa pun yang terjadi kita akan tetap tinggal di sini."

"Tapi kita mau tinggal dimana, Bang? Kita kan nggak punya uang."

"Uang kita banyak, Cha. Chaca mau makan apa aja, pasti Abang beliin."

"Betul, Bang?" Chaca tertawa kegirangan.

Aku membersihkan diri dan mengganti pakaian yang mengisi ranselku. Tak lupa kumasukkan sepasang baju untuk Chaca.

Chaca keluar dari kamar mandi masjid dengan wajah bersih dan segar. Aku menyisir rambutnya yang lurus dan memoles bedak bayi di pipi mulusnya.

Sudah jadi kebiasaanku di panti mengurus Chaca seorang diri. Jadi semua kebutuhan Chaca sudah kumasukkan ke dalam ransel.

Orang orang yang keluar masuk area masjid selalu menoleh ke arah kami. Bahkan ada ibu- ibu yang memuji kelihaianku mengurus adik.

Kami pun pergi meninggalkan tempat itu. Kulirik sepenggal alamat di secarik kertas yang aku bawa. Kumasukkan kembali di kantong kecil bagian ransel. 

******

Aku dan Chaca menikmati makan dengan lahap saat kami memasuki sebuah rumah makan Padang. Aku memesan segelas jus jeruk untuk Chaca. Senyumnya merekah dengan tulus. Tak pernah kulihat dia sebahagia itu sebelumnya.

Kami menyusuri jalanan kota Medan. Chaca sungguh takjub melihat gedung- gedung yang menjulang tinggi. Inilah kota impianku. Satu satunya kota yang pernah kulihat seluruh gambarannya dari majalah yang ada di perpustakaan panti. Hingga aku bermimpi untuk bisa menginjakkan kaki dan tinggal di sini.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Zezi AB
seru kayaknya, sedih ada...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 9

    Aku kembali ke halaman masjid Raya yang terletak di tengah kota, setelah ke sana sini mencari pekerjaan. Chaca meenyambutku dengan gembira karena aku membelikan makanan yang aku janjikan tadi sebelum pergi.Aku sengaja meninggalkannya di situ, agar tidak merasa bosan di dalam kamar yang aku sewa. Juga tak ingin ia merasa lelah mengikuti perjalananku. Sudah tiga hari ini kami tinggal dan tidur di kamar sempit yang hanya ada kasur tipis. Aku menempati kamar itu atas saran Bapak penjaga kebersihan di masjid. Aku harus segera mendapatkan pekerjaan, agar uang yang kubawa tak terpakai seluruhnya.Syukurlah di hari berikutnya, Abang tukar parkir mau mengajakku turut serta bekerja dengannya. Dan di situlah aku sekarang, menjadi tukang parkir di Masjid Raya Medan.****** Aku menggiring sebuah mobil ke area parkir. Menuntun supir di belakang kemudi mengikuti arahanku. Kendaraan terparkir. Aku memberikan karcis ke supir yang baru keluar.Sesekali ku lirik halaman masjid tempat biasa Chaca be

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-05
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 10

    POV CHACAAku menyandarkan tubuh di sandaran sofa, diikuti juga oleh Bang Malik. Kini kami berdua menjadi lebih tenang setelah sebelumnya saling histeris dan belum bisa menghilangkan rasa keterkejutan masing-masing.Tak banyak yang kami bicarakan. Hanya saling memandang tanpa ucapan. Masing-masing tak tahu harus mulai bertanya dari mana. Tak apa buatku. Asal dia masih ada, dan mau mengakuiku. Bang Malik akan mengenalkanku pada keluarga angkatnya besok. Tak mau lagi menunda-nunda dan merahasiakanku dari mereka. "Mereka pasti juga sangat senang melihatmu, Cha," ujarnya menyemangatiku.Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Terdengar suara pintu depan terbuka, dan tak lama tertutup kembali."Kamu baru pulang, Ra?" tanyaku saat Aira berdiri mematung melihat ada tamu laki laki yang kini duduk mesra di sampingku."Hai," jawabnya setengah melongo, sambil mengangkat telapak tangan untuk menyapa.Aku bangkit dan merangkul lengan Bang Malik untuk berdiri. Kutarik ia mendekati

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-08
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 11

    Bahagia! Itu yang aku rasakan. Sambutan yang hangat membuatku merasa diterima oleh keluarganya. Meskipun aku tak pernah mengenal mereka secara langsung. Setahuku, Bu Sam tipe wanita yang tidak banyak bicara, disiplin dan juga tegas. Beberapa kali kami bertemu, tapi tak pernah bertegur sapa. Aku takut dia beranggapan aku hanya memanfaatkan Bang Malik dengan maksud tertentu. Bagaimanapun, kehidupan sosialku sudah jelas berbeda dengan Abangku yang sekarang.Bagaimana jika dia mempengaruhi anak angkatnya itu agar tak berhubungan lagi denganku? Ah, semoga ini hanya perasaanku saja.Makan malam kali ini hanya ada kami bertiga. Hal itu sudah terbiasa karena suami Bu Sam memang sering bepergian ke luar kota. Sementara putra kandungnya masih kuliah di luar negeri."Menginap saja di sini. Mama sudah menyuruh Wak Sanah membereskan kamar. Besok kemasi barang- barangmu dan bawalah kemari!" Bu Sam membuka suara di sela-sela makannya.Aku dan Bang Malik saling menoleh."Maksud Mama apa?" Pria berhi

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-08
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 12

    Hari ini aku sedang libur. Bang Malik ingin aku menemaninya ke kantor pemasaran rumah Belanda, di mana aku dan Aira tinggal.Dia bilang cukup tertarik dengan area tempat ini. Atau jangan-jangan dia ingin membeli rumah, agar bisa selalu dekat denganku? Angan-angan yang ada di kepala membuatku tersenyum. "Kenapa senyum-senyum sendiri?" Rupanya diam-diam ia memperhatikan tingkahku."Abang mau beli rumah?" tanyaku girang. "Hem," gumamnya, membenarkan ucapanku."Lihat-lihat dulu. Siapa tau cocok.""Rumahnya bagus kok, Bang. Chaca dan Aira betah tinggal di sini.""O, ya? Nggak mau pindah?" Sepertinya Malik sedang menyindirku atas permintaan Mamanya tempo hari. "Apaan sih," jawabku, sambil mendorong pelan tubuhnya.Namun di dalam hati aku penasaran, seberapa banyak uang yang dimilikinya sampai bisa langsung membeli rumah dengan tiba-tiba seperti ini. Apa dia akan mewarisi semua harta warisan keluarga Bu Sam?Bukannya Bu Sam juga punya anak laki laki, yang pasti akan menjadi pewaris sah s

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-08
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 13

    Setelah saling menempelkan pipi dengan Bang Malik tadi, dia langsung mengarahkan pandangan ke arahku."Hai, kamu pasti Chaca." Wanita itu mengulurkan tangannya dengan senyuman ceria. Terlihat barisan gigi putih berderet, yang membuatnya terlihat sangat manis.Cantik sekali. Membuatku merasa tidak percaya diri berada di tengah-tengah mereka. Aku menyambut uluran tangannya dengan ragu-ragu."Kenalin, aku Tania." Dia melanjutkan ucapannya .Oh, jadi kata Tan yang disebut Bang Malik tadi adalah Tania."Ayo duduk," ajak Bang Malik. Tania kemudian duduk di kursi kosong yang ada di hadapan kami. "Waw, kamu cantik sekali Chaca. Kalian terlihat mirip. Kalau diperhatikan, hidung kamu mancung seperti Malik." Wanita itu terlihat sangat ramah dan mudah melemparkan pujian kepada orang yang baru ditemuinya. Tulus kah? Mirip apanya? Kami bahkan tidak punya ikatan darah sedikit pun."Tentu saja, adikku ini sangat cantik," ujar Bang Malik, sambil mengacak-acak rambutku dengan gemas. "Kapan kamu sampa

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-08
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 14

    Malam ini, Bu Sam kembali memintaku makan malam di rumahnya. Sepulang kerja, Bang Malik mengajakku mampir ke toko baju di sebuah mall, agar tak usah bolak-balik pulang ke rumah.Aku juga tidak ingin merepotkannya, karena letak rumahku dan rumahnya berlawanan arah. Kami memasuki sebuah toko dengan brand ternama. Aku memegang sebuah baju terusan tanpa lengan yang kalau kupakai, pasti akan melekat sampai ke kulit. Kuingat dulu Aira sering memakai baju seperti ini untuk memamerkan tubuh seksinya. Aku terkikik geli melihat baju model begitu."Heh, heh. Apa ini? Mau jadi biduan?" Malik dengan tiba-tiba mengapit leherku dengan lengannya. Berpikir kalau itu adalah baju yang akan aku kenakan."Enggak kok, siapa juga yang mau makek baju kek gini." Aku meletakkan kembali gantungan baju tersebut. Merasa geli."Coba yang ini!" seru nya, sembari menempelkan dress selutut di tubuhku, tanpa melepaskan tangannya dari leherku. Dia menarikku ke depan cermin. "Bagus, kan?" Ia setengah berbisik di telinga

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-08
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 15

    Aku dan Bang Malik sampai ke rumah besar itu lagi. Jantungku kembali berdegub tak karuan. Aku menghela napas, sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki ke pintu depan."Santai aja, ada Abang." Ia mencoba menenangkanku. Merangkulku masuk ke dalam, seolah tahu apa yang sedang aku rasakan.Kami tiba di ruang tamu keluarga dan..."Hai Chaca, kita ketemu lagi." Bak anggota keluarga, Tania muncul menyambutku dengan senyumnya yang elegan."Oh, eh, hai...." Aku merasa gugup menjawab sapaannya."Kamu di sini, Tan?" Bang Malik juga seperti tak tahu kedatangannya."Iya dong. Tante ngundang aku. Nggak boleh, hem?" tanyanya manja.Menyebalkan."Ya boleh, lah." Malik terlihat bersemangat.Hish...."Ayo Chaca, kasi salam sama Papa." Bu Sam menimpali. Aku langsung berjalan mendekati laki-laki yang kuperkirakan usianya hampir enam puluhan itu.Sangat kontras dengan penampilan Bu sam yang

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-09
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 16

    "Hem... " Tania mengangguk pelan. "Aku juga ingin mengenalnya lebih dekat. Aku harap Chaca mau bersikap akrab denganku.""Masih ingin mencari perhatian Bang Malik?" Nada bicara Haikal semakin terdengar kecewa."Kal, kamu jangan seperti itu. Kamu kan tau sendiri gimana perasaan aku sama Abangmu.""Terus, gimana dengan perasaan aku? Padahal kamu tau sendiri gimana rasanya menahan perasaan, tanpa mendapat balasan. Itu juga yang aku rasakan selama ini, Tan."Cih! Cinta segitiga rupanya.Kuabaikan kembali percakapan itu. Bergegas pergi meninggalkan mereka karena takut bang Malik terlalu lama menunggu."Besok temani Abang lagi ya, ke kantor pemasaran rumah. Sepertinya Abang tertarik dengan lokasinya." Bang Malik menyadarkanku dari lamunan.Aku diam, malas membahas urusan pribadinya lagi. Jelas-jelas rumah itu untuk dia tempati bersama Tania. Kenapa juga harus melibatkanku."Bisa, kan?" sergah Bang Malik, karena aku tak me

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-09

Bab terbaru

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 103 ( Ending )

    Aku memohon kepada Mama agar tetap merahasiakan ini kepada semua orang, termasuk om Ridwan sendiri. Aku lebih memilih statusku sebagai yatim piatu yang diadopsi oleh keluarga Om Jaka. Dengan begitu, aku akan belajar memaafkannya, dan memulai hubungan yang baru sebagai menantunya. Itu saja. Aku tak mau lagi ada drama air mata menjelang pernikahan. Biarlah ini sebagai hukuman atas dosa-dosa om Ridwan. Selamanya tidak pernah merasakan kehadiranku sebagai putri kandungnya. Semula Mama memang terlihat keberatan. Namun, melihat sorot mataku yang penuh keyakinan, dia terpaksa menuruti. Egois memang. Tapi, bukankah sebagai manusia yang punya perasaan, aku juga punya hak? Hanya itu satu-satunya cara hatiku bisa menerima kehadiran om Ridwan. Hanya sebagai Papanya Bang Malik."Mama mengerti, maaf kalau kami sebagai orang tua sudah menempatkan luka di hatimu. Menempatkanmu dalam posisi tersulit sebagai korban dari keegoisan orang-orang dewasa."Lagi, kata-kata yang sama seperti yang Aira ucapk

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 102

    Siang ini aku memasak makan siang, membereskan rumah, sementara Aira membawa Alya untuk pergi imunisasi. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Aku membukakan pintu depan. Sesosok wanita itu kini berdiri kembali di hadapanku. Teringat saat terakhir kali kami saling menatap seperti ini. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apa dia sakit? Dia tampak ragu untuk melangkah. Entah karena malu atau takut. Aku pun merasa demikian, masih merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Bukankah seingatku kami memang tak seakrab itu? Tapi entah kenapa gejolak hati ini ingin sekali memeluknya. Menumpahkan rasa rindu yang entah sejak kapan mengikutiku. Selalu berharap dapat kembali bertemu dan membicarakan apa saja layak nya seorang teman, atau..Ibu. "Silahkan masuk, Ma." Aku menawarinya dengan suara yang tertahan. Ingin sekali aku menyentuh dan memeluknya, namun dia juga terlihat sama takutnya denganku. Mama melangkahkan kaki masuk ke dalam. Memperhatikanku dari atas samp

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 101

    Sudah beberapa hari ini kerjaku hanya uring-uringan dan bermain bersama Alya saja. Suntuk juga rasanya menjadi pengangguran, setelah bertahun-tahun lamanya hidup dari kerjaan satu ke kerjaan lainnya. Mungkin aku tak lagi mempermasalahkan soal uang. Karena kini, Bang Malik yang menanggung semua kebutuhanku. Tapi tetap saja itu tak sesuai dengan jalan hidupku yang sehari-hari harus mengurung diri di rumah. Seperti biasa, Bang Malik menyempatkan diri untuk datang selepas bekerja. Aku mengajaknya ke balkon atas. Dia bilang sangat senang melihat bulan bersamaku, seperti waktu itu. "Abang punya sesuatu buat kamu," ucapnya. Aku menoleh untuk melihat apa yang dia bawa. Dia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari kantong celana. Jantungku sudah ser-seran. Berharap apa yang ada dipikiranku, benar adanya. Kemudian dia membuka dan menunjukkannya kepadaku. Seperti yang kukira, itu sebuah cincin. Cantik sekali. Senyumku pun mengembang. Adegan seperti ini persis seperti yang ada di drama-drama ro

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 100

    Lagi-lagi aku berucap kata maaf. Mengaku salah telah meninggalkannya meski tahu dia sedang hamil dan membutuhkan seorang teman. "Alya sedang tidur," ucapnya. "Alya? Keponakanku?" Aira mengangguk. Aira menuntunku masuk ke kamarnya. Ada box bayi dengan mainan yang menggantung di atasnya. Bayi mungil itu tertidur pulas di dalamnya. Aku memberanikan diri untuk menggendong. Menciumi wajah dengan pipinya yang chubby itu. Sungguh terlihat seperti boneka. "Maafkan Tante, sayang. Maafkan Tante karena tidak ada di saat kamu lahir ke dunia ini." Aku kembali menciuminya sampai tubuh itu menggeliat karena merasa terganggu. Aku kembali mengunjungi kamar yang dulu aku tempati, Aira masih di kamarnya menidurkan Alya kembali. "Itu masih kamar kamu. Tinggallah lagi di sini. Aku sudah berpisah dari Mas Harris." Dia mengabarkan meski aku sudah mendengarnya dari Bang Malik. "Kenapa? Apa karena aku?""Entahlah, tapi kurasa itu keputusan yang benar. Aku juga tidak ingin nantinya Alya juga ikut merasa

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 99

    Kami keluar dari gedung pusat SunCo. Aku memang sudah meminta izin kepada Bang Malik untuk menemui Haikal. Dan dia sama sekali tidak keberatan. "Ingat, ya. Kamu sekarang calon istri Abang. Jangan macam-macam," ancamnya. Dia sengaja tak ikut agar tak ada rasa canggung dengan sikap Haikal. Benar saja, sejenak Haikal langsung takut untuk mendekatiku sebelum dia tahu bahwa pria itu hanya mengantarku sampai di luar. Mobil melaju ke arah jalan yang sudah tak asing lagi bagiku. Kemudian dia memasuki gerbang yang sudah setahun ini tak pernah lagi ku kunjungi. Lagi, seperti merasa pulang ke rumah sendiri. "Aku belum gajian. Kita makan siang di sini aja. Gratis," ujarnya sembari melangkahkan kaki ke ruangan. Tak ada yang berubah. Mereka terlihat asik makan dengan lahapnya. Sampai sepasang mata itu menangkap kedatangan kami. "We! Chaca datang. Tengok tu, we. Itu Chaca." Oji berteriak histeris seperti melihat selebriti yang berkunjung ke aula makan dapur SunCo. Puluhan pasang mata menatap

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 98

    Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami mulai memasuki kota Medan. Aku meminta Bang Malik untuk segera singgah ke rumah nenek. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Bukankah mereka keluarga pertama yang harus aku kunjungi? Nenek berdiri mematung dengan tubuh tuanya. Matanya berkaca-kaca saat aku menangis memohon maaf. Nenek memang tak tahu bagaimana caranya menunjukkan kasih sayang, tapi kali ini dia begitu erat memelukku. Tak tahan juga rasanya menahan rindu. "Kau sudah dewasa," ujarnya. "Jangan lagi bersikap seperti itu." Aku kembali menangis di pelukannya. Bang Malik tertidur di ruang tamu beralaskan ambal. Aku sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar, namun dia menolak. "Di sini lebih nyaman," ujarnya. Untuk pertama kalinya aku melihat dia tertidur dengan pulas. Napasnya teratur dengan kedua tangan diletakkan di atas dada.Wajahnya terlihat lelah, hingga tak sadar kalau kini om Jaka juga ikut tertidur di sampingnya. Kupungut ponsel yang sedari tadi tergeletak begitu s

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 97

    Rasa bersalah selalu menghantui. Aku memohon kepada mama untuk tetap berusaha mencarinya. Di jalanan, lampu merah, bahkan melaporkan kehilangan ke kantor polisi. Nihil. Tak ada jejak sama sekali. Bayang-bayang wajah Chaca yang menangis dalam cengkraman tangan preman tersebut selalu muncul dalam mimpiku. Bertahun-tahun lamanya aku hidup dalam bayang-bayang gadis kecil itu. Rasa rindu selalu menyelimuti, berharap bisa menyentuh dan memeluknya lagi. Hari ini hari ulang tahun Chaca. Hari yang diputuskan sebagai tanggal lahirnya di malam di mana dia ditemukan. Jika dia masih hidup, usianya kini sudah tujuh belas tahun. Sweet seventeen, kata gadis-gadis yang dulu satu esema denganku.Aku kembali mengunjungi masjid raya, tempat di mana aku dan Chaca selalu menghabiskan waktu bersama. Tak lupa untuk merayakan ulang tahunnya dengan memberi sedekah ke anak-anak jalanan yang sengaja aku kumpulkan di sana.'Chaca sayang, bagaimana keadaanmu sekarang?' batinku dalam hati. "Maaf, apakah anda Ha

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 96

    POV MALIK.Aku mengenang kala kejadian waktu itu. Tubuhku yang terbaring lemah di... mungkin rumah sakit. Kulihat ada tiang yang menggantungkan cairan yang terhubung langsung dengan urat nadiku.Aku mencoba bergerak, merasai wajahku yang kini terasa tebal dan kaku. Kurasakan seluruhnya terbalut perban dengan rasa sakit yang luar biasa. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Beberapa wanita berpakaian serba putih datang untuk memeriksa apa yang terjadi kepadaku. Tak lama seorang pria dewasa juga muncul, mungkin seorang dokter. Ya, samar kulihat dari pakaian putih bersihnya, dia seorang dokter. Hampir seminggu setelah aku terjaga, dokter membuka seluruh perban di wajahku. Disaksikan oleh sepasang suami istri dan anak lelaki mereka. Memandangku dengan cemas dan was-was. Apa aku ini terlihat seperti hewan buas bagi mereka? Sejenak kemudian, kulihat rasa lega di wajah mereka, seolah semua sedang baik-baik saja. "Siapa namamu, Nak?" tanya wanita paruh baya tersebut. "Hannan Maliki S

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 95

    Seperti janjiku kemarin, kami bersiap-siap berangkat. Aku dan Bang Malik berpamitan dengan mereka satu persatu. Runi memelukku dengan sangat erat, begitu juga dengan Wak Mis.Fatma yang tidak tahu apa-apa hanya tampak murung dan seperti tidak rela membiarkanku pergi. Namun dia kembali tersenyum saat ayahnya mengatakan kalau aku akan segera kembali. Pak Yaz sengaja tidak memberitahukannya, agar dia tidak menangis histeris karena takut kehilanganku. Pak Yaz mengulurkan tangan ke arah Bang Malik. Meminta maaf atas kesalahpahaman kemarin. Tangannya masih menggantung di udara, tanpa sambutan dari laki-laki yang tengah berdiri di sampingku. Masih tidak senang, rupanya. Aku menyenggol bahunya, lalu menariknya agar sedikit menunduk. Aku membisikkan sesuatu di telinganya. "Salamin. Atau Chaca yang akan menyambut uluran tangannya," ancamku. Dengan cepat dia menyambut telapak tangan Pak Yaz, kemudian menggoyang-goyangkannya seperti mereka sudah berteman cukup akrab."Awas kalau sampai bers

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status