"Hem... " Tania mengangguk pelan. "Aku juga ingin mengenalnya lebih dekat. Aku harap Chaca mau bersikap akrab denganku."
"Masih ingin mencari perhatian Bang Malik?" Nada bicara Haikal semakin terdengar kecewa.
"Kal, kamu jangan seperti itu. Kamu kan tau sendiri gimana perasaan aku sama Abangmu."
"Terus, gimana dengan perasaan aku? Padahal kamu tau sendiri gimana rasanya menahan perasaan, tanpa mendapat balasan. Itu juga yang aku rasakan selama ini, Tan."
Cih! Cinta segitiga rupanya.
Kuabaikan kembali percakapan itu. Bergegas pergi meninggalkan mereka karena takut bang Malik terlalu lama menunggu.
"Besok temani Abang lagi ya, ke kantor pemasaran rumah. Sepertinya Abang tertarik dengan lokasinya." Bang Malik menyadarkanku dari lamunan.
Aku diam, malas membahas urusan pribadinya lagi. Jelas-jelas rumah itu untuk dia tempati bersama Tania. Kenapa juga harus melibatkanku.
"Bisa, kan?" sergah Bang Malik, karena aku tak me
Bang Malik seolah baru sadar dari keterkejutannya. Segera ia mendorong tubuhku hingga terhempas ke sandaran sofa. Dia bangkit dengan mata melotot dan wajah memerah.Kurasa dia benar-benar marah kali ini. Dia mundur sejenak tuk menenangkan diri, lalu kembali menghampiri, sambil mengibas-ngibaskan jari telunjuknya ke arah mukaku."Si..si siapa yang ngajarin kamu seperti ini?" Bang Malik bertanya dengan suara gagap.Aku diam, tak berani menjawab. Dipukulnya ubun-ubunku dengan jari tengah yang setengah ditekuk seperti sedang mengepal."Aww... sakit, Bang!" Aku menggosok kepalaku bekas pukulannya. Lumayan juga rasa sakitnya.Mendengar suaraku yang seperti tanpa penyesalan, ia menarik daun telingaku. Hingga mau tak mau aku meninggikan sedikit tubuhku untuk mengikuti gerakan."Ampun, Bang, sakit." Aku mengaduh dan menyerah. Menyingkirkan tangannya, dan kembali mengusap telinga yang pasti sudah memerah."Ay
"Nggak ada kok, kenapa Tania? " Mencoba seramah mungkin."Aku pengen ngobrol aja sama kamu. Nanti sore aku jemput, ya? Kita ngobrol sambil minum kopi." Kata-katanya bukan seperti permintaan, melainkan lebih mirip sebuah perintah."Baiklah." Aku mengakhiri pembicaraan, dan menutup percakapan.Hari ini Bang Malik tidak berada di kantor, karena setelah makan siang, dia tidak kembali karena harus mengadakan inspeksi ke seluruh outlet.Mungkin kesempatan ini dimanfaatkan Tania untuk menemuiku. Karena selama ini, sepulang kerja aku sering menghabiskan waktu bersama Abang yang sudah lama tak bertemu.Sepulang kerja kulihat mobil sedan gadis itu sudah terparkir di seberang jalan. Aku menghampiri, dan langsung masuk menemuinya."Udah lama?" Aku berbasa basi."Enggak. Baru nyampek, kok." Tania menjawab dengan senyum manis seperti biasanya.Tania memarkir mobil di kafe Terrazzo, tempat pertama kali kami berkenalan.
POV TANIAAku, Tania Anjani. Lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang cukup terpandang di Ibu kota. Putri tunggal dari seorang pengusaha tambang dari Kalimantan.Pekerjaan Papa membuat aku dan Mama terpaksa berpindah-pindah kota untuk mengikuti kegiatannya. Sampai akhirnya Mama sering sakit-sakitan, dan memutuskan untuk menetap di Jakarta.Hanya Papa yang sering bepergian ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Medan adalah kota yang paling sering dikunjunginya. Bahkan aku dan mama pernah tinggal selama beberapa tahun di sini, sampai papa tiba-tiba mengajak kami pindah lagi ke Jakarta. Banyak kenangan indah yang terjadi padaku di sini. Saat itu usiaku baru 13 tahun. Papa mengajak aku dan Mama menghadiri acara syukuran di rumah sahabat lamanya.Aku bermain bersama Haikal yang sudah hampir dua tahun tak kutemui. Haikal adalah putra tunggal dari sahabat Papa yang bernama Om Ridwan dan istrinya Tante Syamsiah yang biasa kupanggil Tante Sam.Pasangan suami istri tersebut adalah pemilik salah
Dua tahun berlalu.Malik kembali dari luar negeri untuk meneruskan kuliahnya yang terhenti di sana. Tidak betah katanya. Saat itu aku yang baru lulus sekolah SMA ikut mendaftar di Universitas yang sama.Sejak aku tahu tentang mimpi buruk Malik, aku bercita-cita ingin menjadi seorang psikolog. Aku ingin sekali membantunya lebih dekat, lebih dalam sebagai seorang profesional.Itu semua sudah terwujud, kini aku resmi mendapat gelar seorang Sarjana Psikolog. Cita citaku hanya satu, menjadi psikolog pribadi untuk orang yang kucintai. Saat Malik menjadi senior di kampusku, banyak gadis-gadis yang ingin mendekatinya. Wajah tampan dan sifatnya yang lemah lembut membuat para wanita begitu tergila-gila dibuatnya.Untung saja Malik tak pernah peduli dan memberikan respon berlebih pada mereka. Hal itu membuat perasaanku yang bertahun-tahun sudah terpendam, tak pernah pudar.Suatu hari Tante Sam memberi kabar, bahwa Malik menemukan adik perempuannya. Aku pun turut merasakan kebahagiaan yang sudah
Sudah beberapa hari ini aku dan Bang Malik tak saling bertegur sapa. Sebenarnya aku memang bersalah. Dia punya hak untuk marah dan mendiamkanku seperti ini. Kemarin-kemarin aku mencoba menghubungi, walau tidak digubris. Tapi setelah pertemuan dengan Tania kemarin, aku jadi malas untuk meneruskannya. Aku yang super sensitif dan benci untuk mengemis, tak ingin lagi jadi penghalang di antara mereka. Kubiarkan saja semua berjalan seperti sebelum mengenalnya. Pantang bagiku unyuk merengek, memohon sesuatu di depan seseorang, bahkan Bang Malik sekali pun. kehidupan masa kecil yang kuhabiskan dengan sekolah sambil berjualan di pasar menjadikanku anak yang mandiri. Kerasnya hidup miskin, tak membuatku menjadi gadis yang manja dan meminta belas kasihan orang. "Cha, ada Malik di depan. Aira tiba-tiba muncul di pintu kamar. Aku menutup wajah dengan bantal, tak menggubris. "Nggak mau ketemu Abang lagi?" Suara Bang Malik menyusul dari belakang Aira. Aku membalikkan badan, langsung menen
Sungguh aku begitu terkejut dengan perkataannya. Dari sini aku sudah mengerti, kemana arah pembicaraan ini. Tidak ada bedanya dengan permintaan Tania tempo hari. Dia juga ingin aku menjauh dari anaknya. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bisa menerima niat baik Ibu. Sebenarnya saya juga punya niat untuk melanjutkan kuliah. Tapi tidak sampai jauh-jauh ke luar negeri. Itu pun saya bayar dengan uang saya sendiri. Ibu tidak perlu repot repot," tegasku. Aku berbohong, tak pernah terlintas sedikit pun dibenakku untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Bisa menamatkan sekolah sampai SMA saja aku sudah bersyukur.Saat itu yang kupikirkan adalah bagaimana caranya bekerja menghasilkan uang untuk bertahan hidup. Tapi setelah melihat orang-orang yang hidup bersama Bang Malik, pikiranku mulai berubah.Aku juga bisa seperti mereka. Tak ingin direndahkan oleh orang-orang itu. Aku akan mulai mensejajarkan diri agar bisa hidup berdampingan dengan Abangku. "Malik juga dulu sempat
Mobil memasuki area kompleks, kulirik wajah Haikal tampak muram."Minum kopi?" ajaknya. Eh? Apa dia akan curhat padaku malam ini? Mencurahkan segala isi hati yang saat ini sedang patah? Baiklah, kurasa kini kami sedang senasib. Tidak ada salahnya saling menghibur."Boleh," sahutku. Dia memesan kopi esspresso yang paling pekat. Dahinya nengernyit menyesap kopi kental itu. Pahit, tapi dia terlihat begitu menikmatinya. "Kayak orang tua!" ejeknya saat melihatku meneguk teh jahe panas yang kupesan. "Takut gak bisa tidur." Aku beralasan. "Baca do'a lah," ujarnya seperti seorang ustaz. Cukup membuatku untuk tersenyum. Dia merapatkan punggung ke sandaran kursi. Berulang kali menghela napas. Aku mengerti sekali bagaimana perasaannya saat ini. Haruskah aku bekerja sama dengannya untuk memisahkan mereka? Tidak! Aku sudah sering melihat cara itu di ftv yang dulu sering ku tonton, dan semuanya tidak ada yang berhasil. Pemeran utama akan tetap bersama pemeran utama. Aku dan Haikal, hanyalah
Aku mempersilakan dia untuk masuk. Dilihatnya Haikal dan Aira masih duduk bersila di lantai beralas karpet bulu berwarna coklat, saling melempar kartu.Haikal menoleh, melihat siapa yang datang."Ngapain Abang malam-malam ke sini?" tanyanya heran."Bukannya tadi Abang suruh cepat pulang?" Bang Malik beralasan."Kan Chaca udah di rumah. Kenapa Abang nyusul ke sini?""Ya, buat jemput kamu lah. Udah jam berapa ini? Ayo pulang!" Haikal tampak mengernyit, heran."Tumben," gumamnya. "Biasa juga kalau Haikal pulang pagi, Abang nggak pernah nanyak."Bang Malik tampak tergugup sendiri. Salah tingkah dengan ucapan Haikal. Lalu memandang ke arahku."Duduk dulu, Bang. Chaca buatin kopi, ya?" Aku berusaha menghilangkan kegugupannya. Abangku tersenyum menyambut tawaranku."Nggak usah, Cha. Bang Malik buru-buru. Aku juga udah mau pulang kok." Haikal nyerocos sebelum Bang Malik menjawab. "Iya kan, Ban