Sudah beberapa hari ini aku dan Bang Malik tak saling bertegur sapa. Sebenarnya aku memang bersalah. Dia punya hak untuk marah dan mendiamkanku seperti ini. Kemarin-kemarin aku mencoba menghubungi, walau tidak digubris. Tapi setelah pertemuan dengan Tania kemarin, aku jadi malas untuk meneruskannya. Aku yang super sensitif dan benci untuk mengemis, tak ingin lagi jadi penghalang di antara mereka. Kubiarkan saja semua berjalan seperti sebelum mengenalnya. Pantang bagiku unyuk merengek, memohon sesuatu di depan seseorang, bahkan Bang Malik sekali pun. kehidupan masa kecil yang kuhabiskan dengan sekolah sambil berjualan di pasar menjadikanku anak yang mandiri. Kerasnya hidup miskin, tak membuatku menjadi gadis yang manja dan meminta belas kasihan orang. "Cha, ada Malik di depan. Aira tiba-tiba muncul di pintu kamar. Aku menutup wajah dengan bantal, tak menggubris. "Nggak mau ketemu Abang lagi?" Suara Bang Malik menyusul dari belakang Aira. Aku membalikkan badan, langsung menen
Sungguh aku begitu terkejut dengan perkataannya. Dari sini aku sudah mengerti, kemana arah pembicaraan ini. Tidak ada bedanya dengan permintaan Tania tempo hari. Dia juga ingin aku menjauh dari anaknya. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bisa menerima niat baik Ibu. Sebenarnya saya juga punya niat untuk melanjutkan kuliah. Tapi tidak sampai jauh-jauh ke luar negeri. Itu pun saya bayar dengan uang saya sendiri. Ibu tidak perlu repot repot," tegasku. Aku berbohong, tak pernah terlintas sedikit pun dibenakku untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Bisa menamatkan sekolah sampai SMA saja aku sudah bersyukur.Saat itu yang kupikirkan adalah bagaimana caranya bekerja menghasilkan uang untuk bertahan hidup. Tapi setelah melihat orang-orang yang hidup bersama Bang Malik, pikiranku mulai berubah.Aku juga bisa seperti mereka. Tak ingin direndahkan oleh orang-orang itu. Aku akan mulai mensejajarkan diri agar bisa hidup berdampingan dengan Abangku. "Malik juga dulu sempat
Mobil memasuki area kompleks, kulirik wajah Haikal tampak muram."Minum kopi?" ajaknya. Eh? Apa dia akan curhat padaku malam ini? Mencurahkan segala isi hati yang saat ini sedang patah? Baiklah, kurasa kini kami sedang senasib. Tidak ada salahnya saling menghibur."Boleh," sahutku. Dia memesan kopi esspresso yang paling pekat. Dahinya nengernyit menyesap kopi kental itu. Pahit, tapi dia terlihat begitu menikmatinya. "Kayak orang tua!" ejeknya saat melihatku meneguk teh jahe panas yang kupesan. "Takut gak bisa tidur." Aku beralasan. "Baca do'a lah," ujarnya seperti seorang ustaz. Cukup membuatku untuk tersenyum. Dia merapatkan punggung ke sandaran kursi. Berulang kali menghela napas. Aku mengerti sekali bagaimana perasaannya saat ini. Haruskah aku bekerja sama dengannya untuk memisahkan mereka? Tidak! Aku sudah sering melihat cara itu di ftv yang dulu sering ku tonton, dan semuanya tidak ada yang berhasil. Pemeran utama akan tetap bersama pemeran utama. Aku dan Haikal, hanyalah
Aku mempersilakan dia untuk masuk. Dilihatnya Haikal dan Aira masih duduk bersila di lantai beralas karpet bulu berwarna coklat, saling melempar kartu.Haikal menoleh, melihat siapa yang datang."Ngapain Abang malam-malam ke sini?" tanyanya heran."Bukannya tadi Abang suruh cepat pulang?" Bang Malik beralasan."Kan Chaca udah di rumah. Kenapa Abang nyusul ke sini?""Ya, buat jemput kamu lah. Udah jam berapa ini? Ayo pulang!" Haikal tampak mengernyit, heran."Tumben," gumamnya. "Biasa juga kalau Haikal pulang pagi, Abang nggak pernah nanyak."Bang Malik tampak tergugup sendiri. Salah tingkah dengan ucapan Haikal. Lalu memandang ke arahku."Duduk dulu, Bang. Chaca buatin kopi, ya?" Aku berusaha menghilangkan kegugupannya. Abangku tersenyum menyambut tawaranku."Nggak usah, Cha. Bang Malik buru-buru. Aku juga udah mau pulang kok." Haikal nyerocos sebelum Bang Malik menjawab. "Iya kan, Ban
Jelas-jelas dia tahu malam itu adalah malam pertama aku dan Haikal jalan berdua. Soal terlihat akrab, masak iya aku bilang kalau aku dan dia sama-sama bernasib sial dan lagi patah hati. Bisa-bisa mereka bertengkar gara-gara memperebutkan Tania.Terdengar suara nada dering dari kantongnya. Kulirik ada nama Tania di sana, sedang memanggil. Ada rasa tak enak di wajahnya saat melihatku."Angkat aja, Bang. Chaca nggak papa kok." Ku buang pandangan ke arah jendela, saat iya menjawab panggilan."Aku lagi jalan ke rumah Chaca." Bang Malik menjawab. Entah apa yang Tania tanyakan di seberang sana."Oke, nanti aku ke sana." Ponsel kembali di tutup.Aku diam, bergeming. Enggan untuk bicara, meski di mulut aku berucap menerima, tapi hatiku masih tetap saja merasa sakit."Tania mau melamar kerja di Rumah Sakit." Bang Malik menjawab tanpa kutanya. Aku tak menyahut. Masih membuang pandangan ke jendela."Kebetulan t
Tubuhnya tak lagi sekekar dulu, diabetes ikut menggerogoti lemak-lemak yang dulu menempel di tubuhnya."Masuklah. Nggak kerja kau?" tanyanya dengan jalan yang sudah tidak sekuat dulu."Lagi off, Nek," sahutku sambil menata makanan di meja makan, lalu menyusun belanjaan yang aku beli tadi. Sebagian di kulkas, dan sebagian lagi di lemari untuk keperluan kamar mandi."Minggu depan, Jaka sudah bisa dibebaskan," ujar nenek."Benarkah? Chaca pikir masih beberapa bulan lagi.""Katanya ada remisi, dan masa potong tahanan karena berkelakuan baik."Aku dan nenek tertawa bersamaan. Entah kelakuan baik seperti apa yang dilakukan Om Jaka, sampai-sampai petugas penjara ingin segera membebaskannya."Mudah-mudahan Om Jaka benar-benar bertobat ya, Nek. Nggak mau main judi dan mabuk-mabukan lagi," doaku menyenangkan hati orang tua itu."Biar kapok dia," timpal nenek dengan mata berkaca-kaca."Minggu dep
"Abang kenapa?" tanyaku tergugup. Kulihat wajahnya penuh dengan amarah."Abang tanya, kamu dari mana?" Dia mulai berteriak. Aku jadi takut melihatnya.Cepat aku membuka pintu, lalu menggapai lengannya, memaksanya untuk ikut masuk. Aku tak ingin ada keributan yang didengar oleh tetangga.Dia terduduk di sofa sambil mengusap rambutnya, lalu bersandar. Aku duduk di meja tamu, tepat di hadapannya. Kugenggam kedua tangan yang masih mengepal, belum hilang rasa geramnya mendengar semua omong kosongku tadi."Maafin Chaca ya, Bang. Chaca pergi nggak bilang-bilang sama Abang.""Sejak dari makan siang tadi, Abang bolak-balik ke sini nyariin kamu. Dan kamu bilang baru aja keluar?" Dia kembali mengungkit kebohonganku."Jangan marah, Bang. Chaca pergi ke rumah saudara.""Saudara? Kamu punya saudara?" Aku mengangguk."Siapa?" Aku diam, tak berani menjawab."Dimana? Hem? Kamu bohong lagi, kan?"
Haikal melempar senyum dari kejauhan, setelah tahu aku akan datang."Main kartu?" usulnya, setelah kami mendekat."Udah malam, Kal," sela Bang Malik."Wajah Chaca masih segar tuh, Bang. Ya kan, Cha?" Alisnya naik turun menggodaku."Males, kamu curang," sahutku mengekor di belakang Abangnya.Tak ada penyambutan dari orang tua mereka, mungkin sudah tertidur dari tadi. Lagi pula, ini sudah lewat tengah malam. Masih bisa besok untuk menyapa.Kami bertiga telah sampai di ruangan yang begitu besar. Kamar tamu saja bisa sebesar ini. Haikal merebahkan diri di ranjang yang akan kutempati."Ngapain kamu di situ?" Bang Malik meletakan bungkusan pakaian gantiku di sisi ranjang."Mo bobok sama Chaca," godanya genit, sambil mengedipkan sebelah mata kepadaku.Aku tertawa melihat tingkahnya. Dia terlihat lebih santai ketimbang Abangnya yang hari-hari selalu terlihat serius dan kaku.