Tubuhnya tak lagi sekekar dulu, diabetes ikut menggerogoti lemak-lemak yang dulu menempel di tubuhnya.
"Masuklah. Nggak kerja kau?" tanyanya dengan jalan yang sudah tidak sekuat dulu.
"Lagi off, Nek," sahutku sambil menata makanan di meja makan, lalu menyusun belanjaan yang aku beli tadi. Sebagian di kulkas, dan sebagian lagi di lemari untuk keperluan kamar mandi.
"Minggu depan, Jaka sudah bisa dibebaskan," ujar nenek.
"Benarkah? Chaca pikir masih beberapa bulan lagi."
"Katanya ada remisi, dan masa potong tahanan karena berkelakuan baik."
Aku dan nenek tertawa bersamaan. Entah kelakuan baik seperti apa yang dilakukan Om Jaka, sampai-sampai petugas penjara ingin segera membebaskannya.
"Mudah-mudahan Om Jaka benar-benar bertobat ya, Nek. Nggak mau main judi dan mabuk-mabukan lagi," doaku menyenangkan hati orang tua itu.
"Biar kapok dia," timpal nenek dengan mata berkaca-kaca.
"Minggu dep
"Abang kenapa?" tanyaku tergugup. Kulihat wajahnya penuh dengan amarah."Abang tanya, kamu dari mana?" Dia mulai berteriak. Aku jadi takut melihatnya.Cepat aku membuka pintu, lalu menggapai lengannya, memaksanya untuk ikut masuk. Aku tak ingin ada keributan yang didengar oleh tetangga.Dia terduduk di sofa sambil mengusap rambutnya, lalu bersandar. Aku duduk di meja tamu, tepat di hadapannya. Kugenggam kedua tangan yang masih mengepal, belum hilang rasa geramnya mendengar semua omong kosongku tadi."Maafin Chaca ya, Bang. Chaca pergi nggak bilang-bilang sama Abang.""Sejak dari makan siang tadi, Abang bolak-balik ke sini nyariin kamu. Dan kamu bilang baru aja keluar?" Dia kembali mengungkit kebohonganku."Jangan marah, Bang. Chaca pergi ke rumah saudara.""Saudara? Kamu punya saudara?" Aku mengangguk."Siapa?" Aku diam, tak berani menjawab."Dimana? Hem? Kamu bohong lagi, kan?"
Haikal melempar senyum dari kejauhan, setelah tahu aku akan datang."Main kartu?" usulnya, setelah kami mendekat."Udah malam, Kal," sela Bang Malik."Wajah Chaca masih segar tuh, Bang. Ya kan, Cha?" Alisnya naik turun menggodaku."Males, kamu curang," sahutku mengekor di belakang Abangnya.Tak ada penyambutan dari orang tua mereka, mungkin sudah tertidur dari tadi. Lagi pula, ini sudah lewat tengah malam. Masih bisa besok untuk menyapa.Kami bertiga telah sampai di ruangan yang begitu besar. Kamar tamu saja bisa sebesar ini. Haikal merebahkan diri di ranjang yang akan kutempati."Ngapain kamu di situ?" Bang Malik meletakan bungkusan pakaian gantiku di sisi ranjang."Mo bobok sama Chaca," godanya genit, sambil mengedipkan sebelah mata kepadaku.Aku tertawa melihat tingkahnya. Dia terlihat lebih santai ketimbang Abangnya yang hari-hari selalu terlihat serius dan kaku.
"Iya, biar Chaca tinggal di sini saja. Tidak baik tinggal bersama teman yang sudah bersuami." Lagi-lagi wanita itu memberi alasan. Alasan yang tidak masuk akal bagiku.Bukankah sama saja? Di rumah Aira atau di istana ini, kalian sama-sama orang asing buatku."Setidaknya Abangmu Malik tinggal di rumah ini." Dengan gaya khas bicaranya yang elegan, dia melanjutkan ucapannya. Bu Sam seperti mendengar isi hatiku barusan.Lagi-lagi permintaan konyol. Kalau mau aku pergi dari rumah Aira, ayo belikan aku rumah. Kalau kalian menganggapku keluarga, cepat berikan aku rumah dan sebuah mobil. Aku juga tidak mau kalah dengan Tania.Atau kalau tidak, naikkan jabatanku lebih tinggi dari Bu Rini, atau boleh juga sejajar dengan Bang Malik. Atau kalau perlu jadikan aku direktur atau CEO sekalian.Aku puas walau itu semua hanya mampu kuucapkan dalam hati. Kalau sampai semua kata-kata itu keluar dari mulutku, aku jamin roti selai di piring
Acara perkenalan sudah selesai, semua kembali mengerjakan tugas masing-masing, sembari bergosip. Untung kehadiran Haikal mampu menggeser trending topik hari ini.Mereka lebih memilih membahas pengawas barubitu, ketimbang gosip yang di sebar Oji tentangku pagi tadi."Itu adiknya Pak Malik kan, Cha?" Vera ikut berbisik di sebelahku."Hem... ""Ganteng, tapi sama sekali nggak mirip."Aku hanya tersenyum, tak menjawab. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada desas-desus terdengar kalau Bang Malik memang bukan anak kandung bu Sam.Namun tak seorang pun berani membahasnya, mengingat sifat Abangku yang baik hati dan tidak semena-mena terhadap karyawan. Mereka dengan tulus menghormatinya.Kulirik ke arah kantor, laki-laki itu memasang wajah serius. Sementara Haikal hanya tertawa santai menyikapi keterkejutan Abang angkatnya itu.Haikal pasti hanya ingin mencari kesibukan untuk membantunya melupakan saki
Mobil pun melaju melintasi jalan."Kalau nggak bisa jangan di paksa, Bang. Nggak enak sama Haikal. Lagian, Tania maunya sama Abang.""Enggak lah, sama aja. Mobil Tania lagi di bengkel katanya. Makanya minta jemput.""Emang Tania tinggal di sini sama siapa, Bang?""Dulu Tania dan keluarganya pernah tinggal di Medan. Jadi rumahnya di tinggali sama pekerjanya. Biar ada tempat tinggal kalau datang. Papanya Tania juga hampir setiap bulan berkunjung.""Abang nggak takut, kalau Tania sering-sering sama Haikal. Kalau tiba-tiba mereka saling sukak gimana?""Biarin. Toh dari kecil Haikal juga udah suka sama Tania."Dia tahu? Lantas kenapa tidak keberatan kalau Haikal yang menjemput Tania, ketimbang mengantarku pulang. Apa tidak ada rasa cemburu di hatinya?Sungguh hebat dua kakak beradik ini, masing-masing mau mengalah demi kebahagiaan satu sama lain. Tania sungguh beruntung, dicintai oleh dua pria hebat sekaligus. Aku benar-benar
Kami sampai di rumah nenek. Ternyata cukup ramai di sana, para tetangga juga berdatangan. Kurasa untuk mencegah nenek mengamuk dan memukuli anak laki-lakinya yang sudah ditumbuhi banyak uban itu.Terlihat jelas om Jaka sedang mengusap-usap bahunya, pasti habis kena pukulan nenek. Aku dan Aira tersenyum, lalu masuk dan menyiapkan makanan.Beberapa potong kue kami sediakan untuk tetangga yang hadir, lalu mereka pamit pulang setelah melihat nenek menjadi lebih tenang.Om Jaka berjalan menyeret kakinya. Ya, jalannya tidak lagi sempurna akibat kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Dengan jalan terpincang, dia mendekati nenek tua itu."Maafin Jaka, Mak." Seperti anak kecil dia memegangi bahu nenek yang dari tadi memunggunginya."Mau jadi apa kau, sudah tua tapi masih hidup seperti ini. Apa tidak malu kau dengan yang lain?""Jaka janji akan bertobat, Mak. Udah kapok jadi orang nggak bener.""Dari dulu begitu saja la ja
Seketika kenangan itu muncul kembali. Saat tubuhku dibawa paksa di atas bahu kekar om Jaka, sementara temannya mengikuti dari belakang meninggalkan Bang Malik yang saat itu terlihat sudah meregang nyawa.Aku meronta-ronta menyaksikan Abangku yang sama sekali tak bergerak. Hingga akhirnya kami sampai di sebuah gudang kosong yang aku sendiri tidak tahu di mana. "Gimana ini, Bang? Duitnya udah nggak ada. Apa percaya Nyonya tua itu sama kita. Malah sekarang anak itu sudah mati." Om Jaka terlihat panik karena rencana awal mereka sudah gagal. "Biarin aja. Kita balikin ni bocah ke sana." Kata teman yang satunya. Seketika aku memberanikan diri bersuara."Jangan, Om. Chaca nggak mau balik ke tempat itu. Chaca takut." Aku menangis sejadi-jadinya."Diem lu, bocah. Ngikut aja!" Om Jaka terlihat kesal. "Bang Malik...." tangisku semakin menjadi."Abang lu udah mati. Lu mau ikutan mati juga?" Lagi-lagi om Jaka memarahiku. "Mana duit panti yang kalian bawa?" Temannya terlihat lebih tenang sambil
Dugaanku salah. Nyatanya mereka memperlakukanku layaknya manusia. Mereka merawatku seperti seorang gadis kecil yang memang masih membutuhkan kasih sayang. Bahkan dari lelaki sangar seperti om Jaka. "Doa in Om Jaka ya. Kalau malam ini menang, besok om Jaka beliin boneka berbi buat kau," ujarnya dengan suara pelan agar nek Joyah tak mendengar."Oke, Om." Aku membentuk huruf O dengan telunjuk dan ibu jari.Walau tak lemah lembut, masih terasa kasih sayang nek Joyah layaknya orang tua. Bukan keluarga yang religius, tapi setiap bulan Ramadhan ia selalu membangunkanku untuk makan sahur agar kuat berpuasa pada esok hari. Meski sesekali kupergoki nek Joyah sedang melahap sepiring nasi pada tengah hari. "Nenek sudah tua, tak kuat lagi menahan lapar." Dia beralasan. Tak lupa setiap tahun selalu ada baju lebaran dari om Jaka. Kembang api, lilin, bahkan uang jajan yang tak pernah kudapatkan selama di sana. "Nih terompet, jangan tiup di depan nenek, nanti Om ikut kena maki!" serunya menjelang