Kami sampai di rumah nenek. Ternyata cukup ramai di sana, para tetangga juga berdatangan. Kurasa untuk mencegah nenek mengamuk dan memukuli anak laki-lakinya yang sudah ditumbuhi banyak uban itu.
Terlihat jelas om Jaka sedang mengusap-usap bahunya, pasti habis kena pukulan nenek. Aku dan Aira tersenyum, lalu masuk dan menyiapkan makanan.
Beberapa potong kue kami sediakan untuk tetangga yang hadir, lalu mereka pamit pulang setelah melihat nenek menjadi lebih tenang.
Om Jaka berjalan menyeret kakinya. Ya, jalannya tidak lagi sempurna akibat kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Dengan jalan terpincang, dia mendekati nenek tua itu.
"Maafin Jaka, Mak." Seperti anak kecil dia memegangi bahu nenek yang dari tadi memunggunginya.
"Mau jadi apa kau, sudah tua tapi masih hidup seperti ini. Apa tidak malu kau dengan yang lain?"
"Jaka janji akan bertobat, Mak. Udah kapok jadi orang nggak bener."
"Dari dulu begitu saja la ja
Seketika kenangan itu muncul kembali. Saat tubuhku dibawa paksa di atas bahu kekar om Jaka, sementara temannya mengikuti dari belakang meninggalkan Bang Malik yang saat itu terlihat sudah meregang nyawa.Aku meronta-ronta menyaksikan Abangku yang sama sekali tak bergerak. Hingga akhirnya kami sampai di sebuah gudang kosong yang aku sendiri tidak tahu di mana. "Gimana ini, Bang? Duitnya udah nggak ada. Apa percaya Nyonya tua itu sama kita. Malah sekarang anak itu sudah mati." Om Jaka terlihat panik karena rencana awal mereka sudah gagal. "Biarin aja. Kita balikin ni bocah ke sana." Kata teman yang satunya. Seketika aku memberanikan diri bersuara."Jangan, Om. Chaca nggak mau balik ke tempat itu. Chaca takut." Aku menangis sejadi-jadinya."Diem lu, bocah. Ngikut aja!" Om Jaka terlihat kesal. "Bang Malik...." tangisku semakin menjadi."Abang lu udah mati. Lu mau ikutan mati juga?" Lagi-lagi om Jaka memarahiku. "Mana duit panti yang kalian bawa?" Temannya terlihat lebih tenang sambil
Dugaanku salah. Nyatanya mereka memperlakukanku layaknya manusia. Mereka merawatku seperti seorang gadis kecil yang memang masih membutuhkan kasih sayang. Bahkan dari lelaki sangar seperti om Jaka. "Doa in Om Jaka ya. Kalau malam ini menang, besok om Jaka beliin boneka berbi buat kau," ujarnya dengan suara pelan agar nek Joyah tak mendengar."Oke, Om." Aku membentuk huruf O dengan telunjuk dan ibu jari.Walau tak lemah lembut, masih terasa kasih sayang nek Joyah layaknya orang tua. Bukan keluarga yang religius, tapi setiap bulan Ramadhan ia selalu membangunkanku untuk makan sahur agar kuat berpuasa pada esok hari. Meski sesekali kupergoki nek Joyah sedang melahap sepiring nasi pada tengah hari. "Nenek sudah tua, tak kuat lagi menahan lapar." Dia beralasan. Tak lupa setiap tahun selalu ada baju lebaran dari om Jaka. Kembang api, lilin, bahkan uang jajan yang tak pernah kudapatkan selama di sana. "Nih terompet, jangan tiup di depan nenek, nanti Om ikut kena maki!" serunya menjelang
Hari ini bang Malik tidak masuk kerja. Ponselnya juga tidak di aktifkan. Beberapa pesanku pun juga belum terbaca. Apa yang terjadi padanya? "Kal, nanti aku ikut pulang ya?" Aku meminta pada Haikal. "Bang Malik lagi ke luar kota, Cha. Dia butuh istirahat. Nanti kalau sudah baikan, kamu juga bakal ketemu." Haikal seolah-olah tahu apa yang terjadi dengan kami. "Bang Malik sakit?""Nggak usah khawatir, Abang kamu baik-baik aja. Ada Tania yang sekarang lagi menemaninya."Seketika urung niatku untuk menemuinya. Kenapa harus selalu saja ada Tania di tengah-tengah masalah kami. "Kamu nggak papa, Cha?" Haikal terlihat khawatir denganku. "Memangnya aku kenapa?""Maksudku, kamu nggak papa selama ini tinggal dengan pria yang sudah menculik kamu?"Seketika aku terdiam. Kata-kata Haikal barusan meyakinkan bahwa Bang Malik sudah menceritakan kejadian di rumah om Jaka waktu itu. Aku berjalan meninggalkan Haikal tanpa menjawab. "Chaca!" Dia menahan dengan menarik lenganku. "Pergilah! Jangan ik
"Kal.. " Aku menyentak. Kulihat mata Vera dan bu Rini ikut membesar. Terkejut."Nggak papa, Cha. Semua orang kan juga harus tau, ada hubungan apa kamu sama Bang Malik. Jangan membuat mereka berpikir yang bukan-bukan."Bu Rini dan Vera menatap, saat aku bergegas pergi dengan wajah kesal. "Cha, tunggu!" Haikal mengejarku sampai ke dapur. Hanya ada kami berdua, karna yang lain masih berada di aula."Kamu apa-apaan sih?" tanyaku kesal. "Kenapa? Yang aku omongin kenyataan, kan? Jangan bilang kalau kamu malu mengakui Bang Malik."Tentu saja aku tidak ingin mengakuinya seperti itu. Karena aku tak bisa lagi menganggapnya sebagai kakak. Aku lebih senang kalau yang lain menganggap kami sebagai sepasang kekasih, walaupun itu hanya berita hoaks belaka. "Tapi kamu nggak berhak ngomong begitu sama mereka.""Aku cuman nggak suka mendengar berita kalau kamu punya pacar. Baik Erik atau pun Bang Malik!" Lagi, aku tercengang mendengar ucapannya. "Ada-ada aja tingkah kalian berdua. Ngeselin. Adik Ab
Sudah tiga hari ini Bang Malik belum juga muncul. Selama itu pula Haikal tak melepaskan pandanganya padaku. Selalu mengantarku pulang ke rumah dan baru pulang hingga larut malam.Entah itu menumpang mandi, tidur, atau mengajak kami main kartu. Aku tidak tahu apakah itu atas perintah Bang Malik atau hanya untuk menyibukkan dirinya sendiri dari pikiran tentang Tania. Dan berkat Oji, kini aku menjadi viral bak selebriti yang baru saja dilamar oleh putra pemilik perusahaan. Wah, beruntungnya aku. Belum lagi berita tentang Bang Malik yang sebenarnya adalah kakakku yang sempat terpisah bertahun-tahun lamanya. Pokoknya semua karyawan, kini jadi menaruh rasa sungkan kepadaku.Terima kasih Oji. Ponsel Bang Malik juga tak pernah lagi aktif. Seluruh pesanku tertumpuk hanya bertanda centang satu. Dalam hatiku terasa sunyi, aku begitu merindukannya. Pagi.Aku sampai di tempat kerja seperti biasa. Mengambil posisi dan mempersiapkan segala sesuatu yang ingin dikerjakan. Belum banyak yang hadir, h
Jam makan siang sudah berakhir. Kami kembali pada aktifitas masing-masing. Sejenak berpikir, mungkin ada karyawan baru lagi hari ini. Kulihat di luar ada mobil kantor pusat yang biasanya di pakai oleh kak Juli. Dan setahuku, tugas kak Juli datang ke dapur bagian produksi, pasti hanya untuk memperkenalkan staf baru yang sudah melakukan Interview di kantor pusat. Mungkin posisi admin bagian keuangan yang kemarin cuti melahirkan. Karena setahuku, hanya posisi itu yang tengah kosong sampai saat ini. Jadi kupikir tidak terlalu penting, karena tidak ada hubungannya sama kru bagian dapur. Tapi aku salah, lagi-lagi bu Rini memberi aba-aba agar kami semua berkumpul.Kak Juli masuk dengan... Tania?? Ah, siasat apa lagi ini? Tidak bisakah dia membiarkan aku hidup tenang dengan Bang Malik? Lalu bagaimana juga dengan perasaan Haikal. Dasar wanita tidak berperasaan. Dia memperkenalkan diri dengan senyum termanisnya. Sungguh aku memang kalah jauh darinya. Dengan busana kantor yang elegan, dia
Kini Bang Malik sudah berdiri kokoh di pintu masuk dengan kedua tangan terlipat di dada. Menunggu jawaban."Jari Chaca berdarah, Bang," sahut Haikal."Nggak kenapa-kenapa kok, Bang. Cuman dikit aja. Haikal aja yang berlebihan." Mata Haikal membulat kepadaku."Cepat masuk! Kalau ada yang berpikiran yang bukan-bukan gimana?" Malik terlihat serius."Tau nih! Orang lain mungkin berpikir kalau Chaca sengaja ngambil kesempatan buat malas-malasan kerja. Iya kan, Bang? Haikal sih enak, anaknya Bos. Mana ada yang berani protes." Aku mendukung ucapan Bang Malik."Maksud Abang, bagaimana kalau ada yang berpikir kalau kalian sedang pacaran? Jangan sering-sering berduaan!"Eh?Sepulang kerja kulihat Bang Malik masih berada di kantor. Kali ini aku sudah mulai berani menunggunya di parkiran. Tak sungkan lagi dengan penilaian orang.Lagi-lagi Malik muncul dengan Tania. Padahal kantor mereka tidak berad
Aku merebahkan diri di ranjang. Langsung masuk tanpa menawari Tania untuk singgah setelah mengantarku pulang. Bodo amat.Masih teringat saat Tania memintaku untuk masuk ke keluarga bu Sam sebagai adiknya Bang Malik. Dengan begitu, sudah sah secara hukum kalau kami memang bersaudara, walau tanpa ikatan darah.Bang Malik masih merasa was-was kalau aku akan pergi, lagi dan meninggalkannya. Itulah yang membuat pikirannya terganggu saat bertemu kembali dengan om Jaka.Apa yang harus aku lakukan?Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Aira belum juga pulang. Seharian tak ada mengirimiku pesan.Selesai mandi aku mengeringkan rambut dengan handuk saat kudengar bel berbunyi."Hallo... " Haikal memasang senyum lebar di wajahnya setelah pintu terbuka.Menyusul Bang Malik yang ikut masuk. Kenapa orang-orang disekitarnya selalu saja mengikuti kemana pun dia pergi. Apa tidak boleh kami menikmati waktu berdu