Kini Bang Malik sudah berdiri kokoh di pintu masuk dengan kedua tangan terlipat di dada. Menunggu jawaban."Jari Chaca berdarah, Bang," sahut Haikal."Nggak kenapa-kenapa kok, Bang. Cuman dikit aja. Haikal aja yang berlebihan." Mata Haikal membulat kepadaku."Cepat masuk! Kalau ada yang berpikiran yang bukan-bukan gimana?" Malik terlihat serius."Tau nih! Orang lain mungkin berpikir kalau Chaca sengaja ngambil kesempatan buat malas-malasan kerja. Iya kan, Bang? Haikal sih enak, anaknya Bos. Mana ada yang berani protes." Aku mendukung ucapan Bang Malik."Maksud Abang, bagaimana kalau ada yang berpikir kalau kalian sedang pacaran? Jangan sering-sering berduaan!"Eh?Sepulang kerja kulihat Bang Malik masih berada di kantor. Kali ini aku sudah mulai berani menunggunya di parkiran. Tak sungkan lagi dengan penilaian orang.Lagi-lagi Malik muncul dengan Tania. Padahal kantor mereka tidak berad
Aku merebahkan diri di ranjang. Langsung masuk tanpa menawari Tania untuk singgah setelah mengantarku pulang. Bodo amat.Masih teringat saat Tania memintaku untuk masuk ke keluarga bu Sam sebagai adiknya Bang Malik. Dengan begitu, sudah sah secara hukum kalau kami memang bersaudara, walau tanpa ikatan darah.Bang Malik masih merasa was-was kalau aku akan pergi, lagi dan meninggalkannya. Itulah yang membuat pikirannya terganggu saat bertemu kembali dengan om Jaka.Apa yang harus aku lakukan?Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Aira belum juga pulang. Seharian tak ada mengirimiku pesan.Selesai mandi aku mengeringkan rambut dengan handuk saat kudengar bel berbunyi."Hallo... " Haikal memasang senyum lebar di wajahnya setelah pintu terbuka.Menyusul Bang Malik yang ikut masuk. Kenapa orang-orang disekitarnya selalu saja mengikuti kemana pun dia pergi. Apa tidak boleh kami menikmati waktu berdu
Aku tiba di SunCo lebih awal, menunggu Haikal yang juga berjanji akan datang lebih pagi."Bang Malik gimana, kal?" Aku langsung menanyakan begitu dia tiba."Hmm... kasi tau nggak ya?" Haikal memutar bola mata. Menggoda."Hish... Nih sarapan kamu." Aku memberikan kotak bekal buat sarapan yang kujanjikan.Mi goreng instant lengkap dengan sayur dan telur matasapi."Wiss... mantap," pujinya setelah kami duduk di aula.Hanya ada beberapa orang saja yang baru datang dan juga mulai sarapan. Kebanyakan yang datang pagi-pagi sekali adalah mereka yang rumahnya jauh, dan harus berangkat lebih awal agar tak terkena macet.Mereka selalu membawa sarapan sendiri atau pun membeli, karena perusahaan hanya menyediakan porsi untuk makan siang saja."Apa penyakit Bang Malik kumat lagi? Apa dia mimpi buruk? Bagaimana kalau dia kembali masuk rumah sakit? Apa dia marah sama aku? Ayo, Kal. Cepat kasi tau."Ak
Seketika langkahku terhenti."Apa maksud Abang?""Abang sudah pikirkan semuanya. Kamu tinggal di rumah Mama.""Chaca nggak mau, Bang.""Jangan membantah," ucapnya lembut. "Cepat kemasi. Abang tunggu."Bang Malik masih tetap berbaring sembari menutup keningnya dengan lengan. Aku tak juga beranjak.Dia menghela napas, kemudian bangkit lalu langsung menuju ke kamarku. Aku mengejarnya sampai ke dalam. Melihat dia menurunkan koper dan menyusun pakaianku ke dalamnya.Cepat aku menghentikan dan menutup lemari."Abang, apa-apaan sih. Nggak gitu juga kali, Bang. Main pindah-pindah gitu aja." Aku berusaha setenang mungkin."Minggir, Chaca!" Dia kembali menepikanku dan membuka kembali lemari pakaian.Baju-bajuku kembali dimasukkan, kali ini dengan asal. Beberapa ikut berserakan di lantai."Bang!""Sampai kapan kamu mau hidup seperti ini, ha?" nadanya mulai meninggi.
Seminggu berlalu.Selama itu pula aku memutuskan hubungan dengan semua orang. Mematikan ponsel agar tak ada yang bisa menghubungi. Begitu juga dengan Aira.Dia juga tak ingin diganggu oleh suami, atau orang-orang yang mencariku melalui dirinya. Kami berdua benar-benar butuh liburan.Bu Rini sangat cekatan dalam mengurus izin cutiku, jatah tahun pertama yang belum sempat aku ambil.Mendadak, tapi Bu Rini tak terlalu ambil pusing, karena selama ini pekerjaanku memang selalu baik di matanya. Jadi aku pasti punya alasan khusus kenapa tiba-tiba mengambil cuti.Tak ada kabar, tak ada berita. Selama seminggu aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi di perusahaan. Dan memang tidak mau tahu.Selama tujuh hari lamanya aku meyakinkan diri, apakah masih sanggup untuk terus bekerja di sini. Tapi, lagi-lagi Aira menguatkanku."Jangan lari, hadapi saja. Kamu jauh lebih dulu berada di sana. Jangan hanya karena m
Aku masuk ke kantor dan membersihkan debu dan kotoran yang tidak seberapa di mejanya. Lagi pula baru tadi pagi, kantor ini dibersihkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah selesai.Kulihat dia masuk sambil membawa kotak makan siang dan tumbler pemberianku. Aku menolehkan pandangan dan bergegas hendak keluar.Namun dengan sigap tubuhnya menghadang di pintu."Mau ke mana?""Keluar.""Udah selesai? ""Udah,...Pak!"Dahinya mengernyit."Pak?" Dia mengulangi ucapanku."Permisi!" Aku menerobos tubuhnya yang tak siap menahan pintu, karena kedua tangannya yang masih memegang makanan dan minuman.Aku kembali ke aula dengan wajah kesal. Haikal tampak curiga."Apa yang terjadi sama kamu dan Bang Malik?"Pertanyaan Haikal barusan menyadarkanku bahwa Bang Malik tidak memberi tahu mereka tentang kejadian waktu itu."Mana ku tau.Tanya aja sendiri.""Kalian bertengkar?"
Aku menatap Malik yang tiba-tiba sudah ada di depanku. Kepala Haikal menyembul dari dari pintu toilet yang belum tertutup. "Chaca mau ngintip Haikal tuh, Bang," ledeknya seolah tidak terjadi apa-apa. "Cis... " Aku mendesis sambil merapatkan barisan gigi menoleh ke arahnya. Haikal kemudian masuk kembali setelah berhasil membuatku kesal. "Hari ini kamu lembur!" "Lembur?" Aku mengulang. "Iya, laporan kamu semuanya salah. Nggak sesuai sama permintaan outlet." Ini pasti akal-akalannya saja hendak mengerjaiku, atau mungkin sengaja memberikan hukuman kepadaku. "Saya rasa nggak ada yang salah, Pak." "Pak?" Lagi-lagi dia mengulangi sebutanku. "Memangnya Abang setua itu?" Dia bersikap seolah tidak terjadi apa pun pada kami. "Iya. Bapak. Sekarang saya dan anda hanya sebatas karyawan dan atasan! Wajar kan kalau saya manggil Bapak!" Sifat angkuhku kambuh lagi. Malik tertawa kecil. "Kenapa gitu? Nggak takut dipecat?" Ciss.. dia mulai berani mengancamku. Dasar orang aneh, tidak b
"Rahasia." "Abang cemas." Sok perhatian. Bukannya kemarin dia sendiri yang minta hubungan kami berakhir dan menjauh dariku. "Tidak ada yang salah, Pak. Semua sudah saya cek." Aku mengalihkan pembicaraan. Ia tetap diam. Tak merespon penjelasanku. "Abang pikir kamu benar-benar pergi, dan nggak akan kembali." "Saya letakkan kembali laporannya di sini. Kalau kurang jelas, Bapak bisa cek lagi." Aku kembali mengalihkan pembicaraan. "Kamu nggak benar-benar bermaksud ninggalin Abang, kan?" "Kalau sudah selesai saya permisi, Pak." Aku tak menggubris pertanyaannya, lalu bergegas melangkah. Ia juga segera bangkit, seraya memotong langkahku. Kini dia berdiri dengan membelakangi pintu, menghalangi jalanku. "Saya mau pulang, Pak. Sudah sore." "Abang antar." "Nggak perlu." Aku berusaha meraih gagang pintu, tapi dia menepisnya sehingga tubuhku hampir menabrak tubuhnya. Aku spontan menarik diri, menjauh dari tempatnya berdiri. Tak ingin debaran itu menyiksaku lagi. Untuk saat ini, jela
Aku memohon kepada Mama agar tetap merahasiakan ini kepada semua orang, termasuk om Ridwan sendiri. Aku lebih memilih statusku sebagai yatim piatu yang diadopsi oleh keluarga Om Jaka. Dengan begitu, aku akan belajar memaafkannya, dan memulai hubungan yang baru sebagai menantunya. Itu saja. Aku tak mau lagi ada drama air mata menjelang pernikahan. Biarlah ini sebagai hukuman atas dosa-dosa om Ridwan. Selamanya tidak pernah merasakan kehadiranku sebagai putri kandungnya. Semula Mama memang terlihat keberatan. Namun, melihat sorot mataku yang penuh keyakinan, dia terpaksa menuruti. Egois memang. Tapi, bukankah sebagai manusia yang punya perasaan, aku juga punya hak? Hanya itu satu-satunya cara hatiku bisa menerima kehadiran om Ridwan. Hanya sebagai Papanya Bang Malik."Mama mengerti, maaf kalau kami sebagai orang tua sudah menempatkan luka di hatimu. Menempatkanmu dalam posisi tersulit sebagai korban dari keegoisan orang-orang dewasa."Lagi, kata-kata yang sama seperti yang Aira ucapk
Siang ini aku memasak makan siang, membereskan rumah, sementara Aira membawa Alya untuk pergi imunisasi. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Aku membukakan pintu depan. Sesosok wanita itu kini berdiri kembali di hadapanku. Teringat saat terakhir kali kami saling menatap seperti ini. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apa dia sakit? Dia tampak ragu untuk melangkah. Entah karena malu atau takut. Aku pun merasa demikian, masih merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Bukankah seingatku kami memang tak seakrab itu? Tapi entah kenapa gejolak hati ini ingin sekali memeluknya. Menumpahkan rasa rindu yang entah sejak kapan mengikutiku. Selalu berharap dapat kembali bertemu dan membicarakan apa saja layak nya seorang teman, atau..Ibu. "Silahkan masuk, Ma." Aku menawarinya dengan suara yang tertahan. Ingin sekali aku menyentuh dan memeluknya, namun dia juga terlihat sama takutnya denganku. Mama melangkahkan kaki masuk ke dalam. Memperhatikanku dari atas samp
Sudah beberapa hari ini kerjaku hanya uring-uringan dan bermain bersama Alya saja. Suntuk juga rasanya menjadi pengangguran, setelah bertahun-tahun lamanya hidup dari kerjaan satu ke kerjaan lainnya. Mungkin aku tak lagi mempermasalahkan soal uang. Karena kini, Bang Malik yang menanggung semua kebutuhanku. Tapi tetap saja itu tak sesuai dengan jalan hidupku yang sehari-hari harus mengurung diri di rumah. Seperti biasa, Bang Malik menyempatkan diri untuk datang selepas bekerja. Aku mengajaknya ke balkon atas. Dia bilang sangat senang melihat bulan bersamaku, seperti waktu itu. "Abang punya sesuatu buat kamu," ucapnya. Aku menoleh untuk melihat apa yang dia bawa. Dia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari kantong celana. Jantungku sudah ser-seran. Berharap apa yang ada dipikiranku, benar adanya. Kemudian dia membuka dan menunjukkannya kepadaku. Seperti yang kukira, itu sebuah cincin. Cantik sekali. Senyumku pun mengembang. Adegan seperti ini persis seperti yang ada di drama-drama ro
Lagi-lagi aku berucap kata maaf. Mengaku salah telah meninggalkannya meski tahu dia sedang hamil dan membutuhkan seorang teman. "Alya sedang tidur," ucapnya. "Alya? Keponakanku?" Aira mengangguk. Aira menuntunku masuk ke kamarnya. Ada box bayi dengan mainan yang menggantung di atasnya. Bayi mungil itu tertidur pulas di dalamnya. Aku memberanikan diri untuk menggendong. Menciumi wajah dengan pipinya yang chubby itu. Sungguh terlihat seperti boneka. "Maafkan Tante, sayang. Maafkan Tante karena tidak ada di saat kamu lahir ke dunia ini." Aku kembali menciuminya sampai tubuh itu menggeliat karena merasa terganggu. Aku kembali mengunjungi kamar yang dulu aku tempati, Aira masih di kamarnya menidurkan Alya kembali. "Itu masih kamar kamu. Tinggallah lagi di sini. Aku sudah berpisah dari Mas Harris." Dia mengabarkan meski aku sudah mendengarnya dari Bang Malik. "Kenapa? Apa karena aku?""Entahlah, tapi kurasa itu keputusan yang benar. Aku juga tidak ingin nantinya Alya juga ikut merasa
Kami keluar dari gedung pusat SunCo. Aku memang sudah meminta izin kepada Bang Malik untuk menemui Haikal. Dan dia sama sekali tidak keberatan. "Ingat, ya. Kamu sekarang calon istri Abang. Jangan macam-macam," ancamnya. Dia sengaja tak ikut agar tak ada rasa canggung dengan sikap Haikal. Benar saja, sejenak Haikal langsung takut untuk mendekatiku sebelum dia tahu bahwa pria itu hanya mengantarku sampai di luar. Mobil melaju ke arah jalan yang sudah tak asing lagi bagiku. Kemudian dia memasuki gerbang yang sudah setahun ini tak pernah lagi ku kunjungi. Lagi, seperti merasa pulang ke rumah sendiri. "Aku belum gajian. Kita makan siang di sini aja. Gratis," ujarnya sembari melangkahkan kaki ke ruangan. Tak ada yang berubah. Mereka terlihat asik makan dengan lahapnya. Sampai sepasang mata itu menangkap kedatangan kami. "We! Chaca datang. Tengok tu, we. Itu Chaca." Oji berteriak histeris seperti melihat selebriti yang berkunjung ke aula makan dapur SunCo. Puluhan pasang mata menatap
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami mulai memasuki kota Medan. Aku meminta Bang Malik untuk segera singgah ke rumah nenek. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Bukankah mereka keluarga pertama yang harus aku kunjungi? Nenek berdiri mematung dengan tubuh tuanya. Matanya berkaca-kaca saat aku menangis memohon maaf. Nenek memang tak tahu bagaimana caranya menunjukkan kasih sayang, tapi kali ini dia begitu erat memelukku. Tak tahan juga rasanya menahan rindu. "Kau sudah dewasa," ujarnya. "Jangan lagi bersikap seperti itu." Aku kembali menangis di pelukannya. Bang Malik tertidur di ruang tamu beralaskan ambal. Aku sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar, namun dia menolak. "Di sini lebih nyaman," ujarnya. Untuk pertama kalinya aku melihat dia tertidur dengan pulas. Napasnya teratur dengan kedua tangan diletakkan di atas dada.Wajahnya terlihat lelah, hingga tak sadar kalau kini om Jaka juga ikut tertidur di sampingnya. Kupungut ponsel yang sedari tadi tergeletak begitu s
Rasa bersalah selalu menghantui. Aku memohon kepada mama untuk tetap berusaha mencarinya. Di jalanan, lampu merah, bahkan melaporkan kehilangan ke kantor polisi. Nihil. Tak ada jejak sama sekali. Bayang-bayang wajah Chaca yang menangis dalam cengkraman tangan preman tersebut selalu muncul dalam mimpiku. Bertahun-tahun lamanya aku hidup dalam bayang-bayang gadis kecil itu. Rasa rindu selalu menyelimuti, berharap bisa menyentuh dan memeluknya lagi. Hari ini hari ulang tahun Chaca. Hari yang diputuskan sebagai tanggal lahirnya di malam di mana dia ditemukan. Jika dia masih hidup, usianya kini sudah tujuh belas tahun. Sweet seventeen, kata gadis-gadis yang dulu satu esema denganku.Aku kembali mengunjungi masjid raya, tempat di mana aku dan Chaca selalu menghabiskan waktu bersama. Tak lupa untuk merayakan ulang tahunnya dengan memberi sedekah ke anak-anak jalanan yang sengaja aku kumpulkan di sana.'Chaca sayang, bagaimana keadaanmu sekarang?' batinku dalam hati. "Maaf, apakah anda Ha
POV MALIK.Aku mengenang kala kejadian waktu itu. Tubuhku yang terbaring lemah di... mungkin rumah sakit. Kulihat ada tiang yang menggantungkan cairan yang terhubung langsung dengan urat nadiku.Aku mencoba bergerak, merasai wajahku yang kini terasa tebal dan kaku. Kurasakan seluruhnya terbalut perban dengan rasa sakit yang luar biasa. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Beberapa wanita berpakaian serba putih datang untuk memeriksa apa yang terjadi kepadaku. Tak lama seorang pria dewasa juga muncul, mungkin seorang dokter. Ya, samar kulihat dari pakaian putih bersihnya, dia seorang dokter. Hampir seminggu setelah aku terjaga, dokter membuka seluruh perban di wajahku. Disaksikan oleh sepasang suami istri dan anak lelaki mereka. Memandangku dengan cemas dan was-was. Apa aku ini terlihat seperti hewan buas bagi mereka? Sejenak kemudian, kulihat rasa lega di wajah mereka, seolah semua sedang baik-baik saja. "Siapa namamu, Nak?" tanya wanita paruh baya tersebut. "Hannan Maliki S
Seperti janjiku kemarin, kami bersiap-siap berangkat. Aku dan Bang Malik berpamitan dengan mereka satu persatu. Runi memelukku dengan sangat erat, begitu juga dengan Wak Mis.Fatma yang tidak tahu apa-apa hanya tampak murung dan seperti tidak rela membiarkanku pergi. Namun dia kembali tersenyum saat ayahnya mengatakan kalau aku akan segera kembali. Pak Yaz sengaja tidak memberitahukannya, agar dia tidak menangis histeris karena takut kehilanganku. Pak Yaz mengulurkan tangan ke arah Bang Malik. Meminta maaf atas kesalahpahaman kemarin. Tangannya masih menggantung di udara, tanpa sambutan dari laki-laki yang tengah berdiri di sampingku. Masih tidak senang, rupanya. Aku menyenggol bahunya, lalu menariknya agar sedikit menunduk. Aku membisikkan sesuatu di telinganya. "Salamin. Atau Chaca yang akan menyambut uluran tangannya," ancamku. Dengan cepat dia menyambut telapak tangan Pak Yaz, kemudian menggoyang-goyangkannya seperti mereka sudah berteman cukup akrab."Awas kalau sampai bers