Aku merebahkan diri di ranjang. Langsung masuk tanpa menawari Tania untuk singgah setelah mengantarku pulang. Bodo amat.
Masih teringat saat Tania memintaku untuk masuk ke keluarga bu Sam sebagai adiknya Bang Malik. Dengan begitu, sudah sah secara hukum kalau kami memang bersaudara, walau tanpa ikatan darah.
Bang Malik masih merasa was-was kalau aku akan pergi, lagi dan meninggalkannya. Itulah yang membuat pikirannya terganggu saat bertemu kembali dengan om Jaka.
Apa yang harus aku lakukan?
Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Aira belum juga pulang. Seharian tak ada mengirimiku pesan.
Selesai mandi aku mengeringkan rambut dengan handuk saat kudengar bel berbunyi.
"Hallo... " Haikal memasang senyum lebar di wajahnya setelah pintu terbuka.
Menyusul Bang Malik yang ikut masuk. Kenapa orang-orang disekitarnya selalu saja mengikuti kemana pun dia pergi. Apa tidak boleh kami menikmati waktu berdu
Aku tiba di SunCo lebih awal, menunggu Haikal yang juga berjanji akan datang lebih pagi."Bang Malik gimana, kal?" Aku langsung menanyakan begitu dia tiba."Hmm... kasi tau nggak ya?" Haikal memutar bola mata. Menggoda."Hish... Nih sarapan kamu." Aku memberikan kotak bekal buat sarapan yang kujanjikan.Mi goreng instant lengkap dengan sayur dan telur matasapi."Wiss... mantap," pujinya setelah kami duduk di aula.Hanya ada beberapa orang saja yang baru datang dan juga mulai sarapan. Kebanyakan yang datang pagi-pagi sekali adalah mereka yang rumahnya jauh, dan harus berangkat lebih awal agar tak terkena macet.Mereka selalu membawa sarapan sendiri atau pun membeli, karena perusahaan hanya menyediakan porsi untuk makan siang saja."Apa penyakit Bang Malik kumat lagi? Apa dia mimpi buruk? Bagaimana kalau dia kembali masuk rumah sakit? Apa dia marah sama aku? Ayo, Kal. Cepat kasi tau."Ak
Seketika langkahku terhenti."Apa maksud Abang?""Abang sudah pikirkan semuanya. Kamu tinggal di rumah Mama.""Chaca nggak mau, Bang.""Jangan membantah," ucapnya lembut. "Cepat kemasi. Abang tunggu."Bang Malik masih tetap berbaring sembari menutup keningnya dengan lengan. Aku tak juga beranjak.Dia menghela napas, kemudian bangkit lalu langsung menuju ke kamarku. Aku mengejarnya sampai ke dalam. Melihat dia menurunkan koper dan menyusun pakaianku ke dalamnya.Cepat aku menghentikan dan menutup lemari."Abang, apa-apaan sih. Nggak gitu juga kali, Bang. Main pindah-pindah gitu aja." Aku berusaha setenang mungkin."Minggir, Chaca!" Dia kembali menepikanku dan membuka kembali lemari pakaian.Baju-bajuku kembali dimasukkan, kali ini dengan asal. Beberapa ikut berserakan di lantai."Bang!""Sampai kapan kamu mau hidup seperti ini, ha?" nadanya mulai meninggi.
Seminggu berlalu.Selama itu pula aku memutuskan hubungan dengan semua orang. Mematikan ponsel agar tak ada yang bisa menghubungi. Begitu juga dengan Aira.Dia juga tak ingin diganggu oleh suami, atau orang-orang yang mencariku melalui dirinya. Kami berdua benar-benar butuh liburan.Bu Rini sangat cekatan dalam mengurus izin cutiku, jatah tahun pertama yang belum sempat aku ambil.Mendadak, tapi Bu Rini tak terlalu ambil pusing, karena selama ini pekerjaanku memang selalu baik di matanya. Jadi aku pasti punya alasan khusus kenapa tiba-tiba mengambil cuti.Tak ada kabar, tak ada berita. Selama seminggu aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi di perusahaan. Dan memang tidak mau tahu.Selama tujuh hari lamanya aku meyakinkan diri, apakah masih sanggup untuk terus bekerja di sini. Tapi, lagi-lagi Aira menguatkanku."Jangan lari, hadapi saja. Kamu jauh lebih dulu berada di sana. Jangan hanya karena m
Aku masuk ke kantor dan membersihkan debu dan kotoran yang tidak seberapa di mejanya. Lagi pula baru tadi pagi, kantor ini dibersihkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah selesai.Kulihat dia masuk sambil membawa kotak makan siang dan tumbler pemberianku. Aku menolehkan pandangan dan bergegas hendak keluar.Namun dengan sigap tubuhnya menghadang di pintu."Mau ke mana?""Keluar.""Udah selesai? ""Udah,...Pak!"Dahinya mengernyit."Pak?" Dia mengulangi ucapanku."Permisi!" Aku menerobos tubuhnya yang tak siap menahan pintu, karena kedua tangannya yang masih memegang makanan dan minuman.Aku kembali ke aula dengan wajah kesal. Haikal tampak curiga."Apa yang terjadi sama kamu dan Bang Malik?"Pertanyaan Haikal barusan menyadarkanku bahwa Bang Malik tidak memberi tahu mereka tentang kejadian waktu itu."Mana ku tau.Tanya aja sendiri.""Kalian bertengkar?"
Aku menatap Malik yang tiba-tiba sudah ada di depanku. Kepala Haikal menyembul dari dari pintu toilet yang belum tertutup. "Chaca mau ngintip Haikal tuh, Bang," ledeknya seolah tidak terjadi apa-apa. "Cis... " Aku mendesis sambil merapatkan barisan gigi menoleh ke arahnya. Haikal kemudian masuk kembali setelah berhasil membuatku kesal. "Hari ini kamu lembur!" "Lembur?" Aku mengulang. "Iya, laporan kamu semuanya salah. Nggak sesuai sama permintaan outlet." Ini pasti akal-akalannya saja hendak mengerjaiku, atau mungkin sengaja memberikan hukuman kepadaku. "Saya rasa nggak ada yang salah, Pak." "Pak?" Lagi-lagi dia mengulangi sebutanku. "Memangnya Abang setua itu?" Dia bersikap seolah tidak terjadi apa pun pada kami. "Iya. Bapak. Sekarang saya dan anda hanya sebatas karyawan dan atasan! Wajar kan kalau saya manggil Bapak!" Sifat angkuhku kambuh lagi. Malik tertawa kecil. "Kenapa gitu? Nggak takut dipecat?" Ciss.. dia mulai berani mengancamku. Dasar orang aneh, tidak b
"Rahasia." "Abang cemas." Sok perhatian. Bukannya kemarin dia sendiri yang minta hubungan kami berakhir dan menjauh dariku. "Tidak ada yang salah, Pak. Semua sudah saya cek." Aku mengalihkan pembicaraan. Ia tetap diam. Tak merespon penjelasanku. "Abang pikir kamu benar-benar pergi, dan nggak akan kembali." "Saya letakkan kembali laporannya di sini. Kalau kurang jelas, Bapak bisa cek lagi." Aku kembali mengalihkan pembicaraan. "Kamu nggak benar-benar bermaksud ninggalin Abang, kan?" "Kalau sudah selesai saya permisi, Pak." Aku tak menggubris pertanyaannya, lalu bergegas melangkah. Ia juga segera bangkit, seraya memotong langkahku. Kini dia berdiri dengan membelakangi pintu, menghalangi jalanku. "Saya mau pulang, Pak. Sudah sore." "Abang antar." "Nggak perlu." Aku berusaha meraih gagang pintu, tapi dia menepisnya sehingga tubuhku hampir menabrak tubuhnya. Aku spontan menarik diri, menjauh dari tempatnya berdiri. Tak ingin debaran itu menyiksaku lagi. Untuk saat ini, jela
Untuk pertama kalinya Bang Malik menjemputku pagi-pagi sekali. Kami akan berangkat kerja bersama-sama. Aira mengantarku sampai di depan pintu, penuh senyuman sambil melambaikan tangan. Bang Malik hanya menundukkan sedikit kepala, menyapa tanpa suara. Aira tak mempersalahkan. Dia sadar betul, semua orang yang mengetahui juga akan melakukan hal yang serupa. Hari ini Bang Malik benar-benar tampak segar. Wajahnya sumringah dan terlihat bahagia. Tak henti-hentinya dia menggenggam erat tanganku. "Sarapannya di bawa, kan?" tuntutnya soal permintaan malam tadi. "Iya, mie goreng, kan?" Dia tersenyum. "Soal keluarga Abang gimana? Bukannya Mama Abang udah ngatur perjodohan Abang dengan Tania? Kalau dia tau kita pacaran, gimana?" "Mana ada jodoh-jodohan. Kamu kebanyakan baca novel," sanggahnya. "Boro-boro baca novel. Baca status temen aja nggak sempat." "Oh, ya? Emang sibuk ngapain?" "Sibuk mikirin Abang." Matanya bolak-balik berkedip mendengar ucapanku. Gugup. "Belajar gombal da
Kami tiba di tempat kerja lebih awal. Menikmati sarapan berdua, tanpa ada yang mengganggu. Ini kali pertama kami sarapan berdua dengan status yang baru. Sepasang kekasih. Tak henti-hentinya dia menatapku yang duduk saling berhadapan, sambil sesekali tersenyum. Aku hanya bisa tertunduk malu saat mata itu terus memandangku. Seperti sebuah mimpi, harapanku menjadi seseorang di hatinya menjadi kenyataan.Sudah jam tujuh lewat, karyawan yang lain sudah mulai berdatangan. Kulihat Tania juga datang dan menuju ke arah kami. "Pagi Malik, pagi Chaca," sapanya masih dengan senyuman. "Kalian datang lebih awal.""Hm." Malik mengangguk."Wah, pasti Chaca yang masak ini. Aku cobain ya, pasti enak." Tanpa rasa segan dia mencicipi mie goreng dari tupperware Bang Malik yang kusediakan. Bahkan aku membawa box makanku sendiri sehingga kami makan di masing-masing tempat. Sedekat apa rupanya mereka, sampai-sampai bisa makan dalam satu wadah. Aku melotot kesal ke arah Malik. Gigiku merapat sambil bibirk