"Rahasia." "Abang cemas." Sok perhatian. Bukannya kemarin dia sendiri yang minta hubungan kami berakhir dan menjauh dariku. "Tidak ada yang salah, Pak. Semua sudah saya cek." Aku mengalihkan pembicaraan. Ia tetap diam. Tak merespon penjelasanku. "Abang pikir kamu benar-benar pergi, dan nggak akan kembali." "Saya letakkan kembali laporannya di sini. Kalau kurang jelas, Bapak bisa cek lagi." Aku kembali mengalihkan pembicaraan. "Kamu nggak benar-benar bermaksud ninggalin Abang, kan?" "Kalau sudah selesai saya permisi, Pak." Aku tak menggubris pertanyaannya, lalu bergegas melangkah. Ia juga segera bangkit, seraya memotong langkahku. Kini dia berdiri dengan membelakangi pintu, menghalangi jalanku. "Saya mau pulang, Pak. Sudah sore." "Abang antar." "Nggak perlu." Aku berusaha meraih gagang pintu, tapi dia menepisnya sehingga tubuhku hampir menabrak tubuhnya. Aku spontan menarik diri, menjauh dari tempatnya berdiri. Tak ingin debaran itu menyiksaku lagi. Untuk saat ini, jela
Untuk pertama kalinya Bang Malik menjemputku pagi-pagi sekali. Kami akan berangkat kerja bersama-sama. Aira mengantarku sampai di depan pintu, penuh senyuman sambil melambaikan tangan. Bang Malik hanya menundukkan sedikit kepala, menyapa tanpa suara. Aira tak mempersalahkan. Dia sadar betul, semua orang yang mengetahui juga akan melakukan hal yang serupa. Hari ini Bang Malik benar-benar tampak segar. Wajahnya sumringah dan terlihat bahagia. Tak henti-hentinya dia menggenggam erat tanganku. "Sarapannya di bawa, kan?" tuntutnya soal permintaan malam tadi. "Iya, mie goreng, kan?" Dia tersenyum. "Soal keluarga Abang gimana? Bukannya Mama Abang udah ngatur perjodohan Abang dengan Tania? Kalau dia tau kita pacaran, gimana?" "Mana ada jodoh-jodohan. Kamu kebanyakan baca novel," sanggahnya. "Boro-boro baca novel. Baca status temen aja nggak sempat." "Oh, ya? Emang sibuk ngapain?" "Sibuk mikirin Abang." Matanya bolak-balik berkedip mendengar ucapanku. Gugup. "Belajar gombal da
Kami tiba di tempat kerja lebih awal. Menikmati sarapan berdua, tanpa ada yang mengganggu. Ini kali pertama kami sarapan berdua dengan status yang baru. Sepasang kekasih. Tak henti-hentinya dia menatapku yang duduk saling berhadapan, sambil sesekali tersenyum. Aku hanya bisa tertunduk malu saat mata itu terus memandangku. Seperti sebuah mimpi, harapanku menjadi seseorang di hatinya menjadi kenyataan.Sudah jam tujuh lewat, karyawan yang lain sudah mulai berdatangan. Kulihat Tania juga datang dan menuju ke arah kami. "Pagi Malik, pagi Chaca," sapanya masih dengan senyuman. "Kalian datang lebih awal.""Hm." Malik mengangguk."Wah, pasti Chaca yang masak ini. Aku cobain ya, pasti enak." Tanpa rasa segan dia mencicipi mie goreng dari tupperware Bang Malik yang kusediakan. Bahkan aku membawa box makanku sendiri sehingga kami makan di masing-masing tempat. Sedekat apa rupanya mereka, sampai-sampai bisa makan dalam satu wadah. Aku melotot kesal ke arah Malik. Gigiku merapat sambil bibirk
Haikal mendengkus kesal, lalu pergi tanpa berkata apa-apa. Dasar Tania licik. Beraninya memanfaatkan jabatan hanya untuk menakuti teman-temanku. Selesai makan aku menunggu Tania yang sedang berada di toilet. Tak lama dia keluar. "Chaca? Kamu mau ke toilet juga?" sapanya masih dengan senyuman."Apa maksud kamu mengancam Vera dan Bu Rini?" Tanpa basa-basi aku langsung bertanya. "Aku tidak mengancam. Aku hanya menjelaskan apa yang tidak mereka tau.""Kamu yang nggak tau apa-apa. Kenapa harus selalu ikut campur dengan urusanku?"Tania tersenyum sinis. Memandangku dari atas ke bawah. "Kamu ini serakah sekali, Chaca. Bukan hanya mencari perhatian Malik, tapi kamu juga mulai berani menggoda Haikal. Apa kamu sudah lelah hidup susah?"Lancang sekali wanita ini. Kata-katanya tidak mencerminkan kepribadiannya yang selama ini terlihat ramah. Apakah cinta buta bisa merubah seseorang menjadi jahat? "Apa maksud kamu? Siapa yang menggoda Haikal?""Jadi maksudmu, Haikal yang menggoda gadis sepert
Pagi ini aku kembali bersiap-siap untuk kembali berkunjung ke rumah nenek. "Aku sih pengen ikut, Cha. Tapi liat muka cowok kamu, aku jadi serem." Aira meledekku."Maafin Bang Malik ya, Ra. Mungkin dia agak kuno. Nggak seperti Haikal yang cuek dan nggak suka ikut campur urusan pribadi orang.""Santai aja, Cha. Aku ngerti kok. Salam ya, buat mereka."Sebenarnya aku agak berat meninggalkan Aira. Dari tadi malam dia terlihat kurang sehat. Wajahnya juga terlihat pucat. Ternyata rasa cinta juga bisa mempengaruhi kesehatan seseorang.Bang Malik sudah menunggu di mobil. Menyambut pagiku dengan penuh senyuman. Lagi-lagi aku merasa bahagia. Kehidupan seperti inilah yang selalu aku impikan."Bang, mampir ke minimarket bentar ya. Chaca mau belanja.""Nggak perlu," sahutnya. Lagi-lagi dia seperti itu. Mungkin nanti aku tinggalkan saja uang pada om Jaka agar dia bisa menggantikanku belanja keperluan bulanan buat mereka. Karena kalau langsung kuberikan pada nenek, dia pasti akan melempar uang itu.
"Buatkan dulu minuman untuknya!" perintah nenek. "Iya, Nek. Chaca masih manasin air." Lalu kembali menyusun barang. "Dia datang uring-uringan seperti orang gila mencari kau" Ucapan nek Joyah membuat kegiatanku terhenti."Bang Malik pernah kesini, Nek?"Orang tua itu mengangguk. "Memangnya kau kemana? Hampir setiap hari dia ke sini.""Setiap hari?""Tadinya Jaka lari pontang-panting, namun dengan kaki yang tidak sempurna seperti itu dengan mudah pemuda itu mendapatkannya." Ada senyuman di wajah nenek. Apa peristiwa seperti itu lucu baginya? "Dia meminta Jaka menghubungimu. Tapi si bodoh itu dengan berterus terang mengaku sama sekali tidak mempunyai henpon." Nenek kembali tertawa. Seperti mengingat sebuah kejadian lucu. Benarkah? Jadi waktu cuti kemarin dia benar-benar mencariku sampai ke sini?"Aku sudah meminta maaf atas nama Jaka dengan pemuda itu. Terserah dia mau memperkarakan atau tidak. Biarlah Jaka membayar semua akibat perbuatannya. Aku sama sekali tidak menyangka, kalau Ja
PagiAku sampai di tempat kerja seperti biasa. Menyiapkan semua pekerjaan yang akan ku kerjakan. Sesekali kulirik dia yang tengah serius mengerjakan tugas.Tak lama dia meninggalkan ruangan, tak lupa memberikan kode pamit padaku, karena hari ini tidak bisa makan siang bersama. Dia harus melakukan inspeksi ke berbagai outlet. "Cha, sesekali makan siang di luar yuk," ajak Haikal saat jam istirahat. "Buat apa? Udah disediain makanan kok. Mubajir tau. Buang-buang duit.""Aku yang traktir. Kan baru gajian." Lagi-lagi dia tersenyum menggoda sambil menaik-naikkan alisnya."Ciee... gaji pertama nih.""Mau nggak?""Males.""Sombong banget sih. Atau kita pergi nonton?Kamu pulang sama aku, ya?" Lagi, dia lebih terang-terangan dalam menunjukkan sikap. "Kal...?" "Gimana?" Ingin sekali rasanya aku mengatakan bahwa aku dan Abangnya sudah berpacaran. Tapi aku masih takut, entah takut Bang Malik marah, atau takut melukai perasaan Haikal. Tapi, benarkah Haikal benar-benar akan terluka dengan peng
Dia semakin mempercepat langkah dan segera menuju kantor. Dia duduk di kursi Bang Malik dengan wajah serius. "Ada apa dengan kalian?" Aku masih mengambil napas kasar. "Dia masih mengintimidasimu seperti kemarin?""Lebih dari itu."Haikal mengernyit. Menyandarkan tubuh di kursi empuk itu. Menggoyang-goyangkan tubuh, terlihat santai. "Apa yang dia katakan, sampai kamu melakukan tindakan seperti itu. Bukankah kalian sama-sama sudah dewasa?""Dia ngatain aku yang enggak-enggak, tau.""Apa?""Dia bilang aku tarzan," ucapku penuh emosi. Haikal tertawa keras mendengarnya. "Apa itu terdengar lucu?" Aku mulai kesal."Kamu marah hanya karena dibilang tarzan?""Kamu nggak tau apa-apa, Kal," ucapku dengan nada serius. "Apa yang nggak aku tau?""Semuanya, orang seperti kamu dan Tania nggak akan pernah tau rasa sakit yang aku alami." Pandanganku mulai memudar tertupi embun di mataku. Sakit rasanya ditertawakan seperti itu."Kamu nangis, Cha?""Orang seperti kalian tidak akan pernah mengerti,