Aku menghempaskan tubuh di ranjang. Membayangkan wajah Haikal, yang untuk pertama kalinya menangis di hadapanku.Kala itu usianya baru empat tahun. Orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat. Bahkan hingga kini, jasad mereka belum juga berhasil ditemukan.Begitu juga dengan penumpang yang lain. Seketika itu, dia juga menjadi yatim piatu, dunia dan kebahagiannya hancur dalam sekejap. Berbulan-bulan lamanya belum ada kabar tentang penemuan jasad orang tuanya.Bu Sam merupakan kakak kandung ibunya yang sudah lama tidak memiliki anak. Dengan kasih sayang dan ketulusan hatinya, kesedihan Haikal berangsur pulih. Haikal diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Beberapa tahun setelah merawat Haikal, akhirnya bu Sam mengandung anak pertamanya. Kebahagiaan yang sudah lama ditunggu-tunggu itu, tak mengurangi kasih sayangnya terhadap Haikal. Namun memasuki bulan ke delapan kandungannya, bu sam mengalami pendarahan. Terjadi masalah, dan bayi itu meninggal sebelum sempat dilahirkan
"Hish.. Gadis preman ini, memang tidak bisa menjaga mulut di depan orang tua," gerutu Haikal yang baru saja mengantar bu Sam ke kamar. Mamanya juga mendadak sakit kepala, mendengar ucapanku tadi. Tubuhnya lemah, hampir pingsan. Mungkin tidak siap mendengar bahwa aku dan Bang Malik ternyata bukan kakak beradik."Kamu jangan mondar-mandir, aku pusing melihatnya," protesku. "Hish... " Haikal mendesis.Akhirnya aku bisa bernapas lega, bebas dari istana yang membuatku merasa tidak nyaman. Bahkan setelah aku sering berkunjung pun, tak juga membuatku betah berlama-lama di rumah itu. Mobil kembali meluncur membelah jalanan. Ada rasa lega di hatiku setelah mengatakan semuanya. Setidaknya mamanya Malik sudah tahu kalau aku bukan adiknya."Abang jangan dekat-dekat lagi sama Tania. Chaca nggak suka," gerutuku. "Cemburu?""Chaca serius. Tania udah kelewatan. Pokoknya besok Abang harus kasi tau sama dia, kalau kita pacaran.""Secepat itu?""Kenapa? Abang malu punya pacar kayak Chaca?""Enggak s
Wajah om Harris berubah cemas, terlihat bulir-bulir keringat menetes di dahi. Ruangan ber AC belum mampu menutupi rasa gugupnya. "Maaf ya, Malik. Jadi ngerepotin kamu," sapa wanita yang hampir sebaya dengan bu Sam itu. "Nggak papa kok, Tante. Malik juga lagi nggak kemana-mana." Malik merasa sungkan. "Tania tidak enak badan, katanya.""Iya, Tante. Santai aja."Aku masih berdiam diri, sedang memikirkan, seperti inikah keluarga sempurna yang dibangga-banggakan Tania? Haikal benar, semua orang punya cela. Masih kuingat saat Aira mengatakan bahwa keluarga om Harris tak lagi harmonis, penuh percekcokan dan akan segera berpisah. Begitu juga dengan anak semata wayangnya yang begitu manja dan arogan. Tidak hormat kepada orang tua, dan selalu hidup dengan gaya bebas. Manis sekali mulut lelaki tua ini. Aira sungguh terpedaya dengan semua keluh kesahnya. Berbeda sekali dengan apa yang aku saksikan saat ini.Dia bahkan menggandeng tangan istrinya dengan mesra sebelum jelas melihat keberadaan
Aira masih berdiam diri setelah mendengar semua cerita tentang om Harris. Tentang rumah tangganya yang terlihat biasa-biasa saja, dan masih tetap harmonis. "Dasar tua bangka. Pembohong," umpatnya. Masih kuingat saat di rumahnya tadi, om Harris menemuiku secara diam-diam untuk meminta agar jangan memberi tahukan semua ini, baik kepada Bang Malik, atau pun Tania. Soal Aira, dia sendiri yang akan meminta pengertian, soal janjinya menceraikan istri dan menikahi Aira secara resmi.Sebenarnya itu bukan urusanku, tapi mengingat sombongnya ucapan Tania yang terlalu membanggakan papanya, membuatku ingin segera membeberkan semuanya.Seharusnya dia sadar, hidupnya tidak lebih baik dari aku. Tapi niat itu terpaksa ku urungkan. Mengingat banyaknya hati yang nanti akan tersakiti. Lagi pula kalau sampai Bang Malik tahu, rasa tidak sukanya terhadap Aira akan menjadi-jadi. Bagaimanapun, om Harris adalah laki-laki yang dihormatinya. Malam ini, seperti biasa aku harus segera menyingkir dari rumah,
Aku dan Vera keluar dari tempat kost an nya menuju SunCo. Berjalan kaki seperti yang biasa kami lakukan. Untuk sampai ke sana hanya memakan waktu lima belas menit. Vera sengaja memilih tempat tinggal yang dekat dengan perusahaan, agar bisa menghemat uang bulanan. Kami kembali tertegun, melihat Haikal yang sudah berdiri, sedang menunggu di pintu mobil. Belum puas juga rupanya dia mengerjaiku. Vera senyum-senyum sendiri dan terlihat mendukung setelah dibawakan sebungkus nasi goreng dan sekotak martabak 'Terang Bulan'. Tak lupa sekantong besar camilan yang bisa dimakan sampai satu minggu kedepan."Kamu ngapain pagi-pagi di sini?" Aku memasang wajah judes. "Mau jemput kamu, dong. Ya kan, Ver?" Haikal mengedipkan sebelah matanya kepada Vera. Mencari dukungan. Tak mau berlama-lama, kami pun ikut masuk. Mobil melaju pelan, keluar dari gang sempit tempat tinggal Vera. "Kalian pikir aku supir, ya?" Haikal memasang wajah kecut karena kami berdua duduk di kursi belakang. Aku dan Vera cekik
Aku merebahkan diri di ranjang. Memikirkan apa yang sebaiknya aku lakukan. Tadinya kupikir setelah memegang kartu om Harris, Tania akan lebih mudah untuk kujatuhkan. Nyatanya, aku terjebak dengan rencanaku sendiri. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Bang Malik nanti. Dia pasti akan langsung menyeretku keluar dari rumah ini, begitu tahu siapa suami Aira yang sebenarnya..Hari menjelang sore, aku kembali memberikan laporan kepada Bang Malik di kantor. Dia tampak serius dengan pekerjaannya yang masih menumpuk. "Hari ini Abang lembur. Temenin?"Aku mengangguk. Sejenak aku memperhatikan raut wajahnya. Jauh berbeda dengan Malik yang masih remaja dulu. Kulitnya kini tampak lebih bersih, tubuhnya jauh lebih tinggi. Rambutnya tak lagi kucel saat menjaga parkiran di masjid dulu.Dia terlihat ramah kepada siapa saja yang singgah di sana. Tak jarang dia mengajak mereka mengobrol. Entah apa saja yang mereka bicarakan waktu itu. Pernah suatu hari dia mengajak seorang bapak sep
Hari ini kami kembali libur di hari yang sama. Ia menjemputku untuk pergi berjalan-jalan. Katanya ingin membawaku ke suatu tempat.Mobil meluncur melewati jalanan, melewati jalan raya kemudian mulai memasuki jalanan kecil. Hari hampir siang, tak lama kami sampai ke sebuah rumah. Memasuki sebuah pekarangan yang cukup luas. Di teras sudah menunggu sepasang suami istri yang sudah tua. Bang Malik mencium tangan keduanya, lalu menyuruhku melakukan hal yang sama. "Ini Chaca," ucapnya, memperkenalkanku pada mereka. Ada sedikit keterkejutan di wajah mereka. Wajar saja, mungkin semua orang menganggapku sudah mati. "Bapak ini yang menemukan tubuh Abang dulu," ujarnya." Beliau pula yang membawa Abang ke rumah sakit dan menyerahkan Abang pada keluarga Mama."Kami dipersilakan masuk, lalu ibu itu menyediakan minuman dan camilan untuk kami. Mereka asik bercengkrama, mengobrol seperti sudah lama tidak bertemu. Terlihat akrab dan saling menghormati satu sama lain. Istrinya juga tak kalah ramah,
Dia diam. Terlihat masih enggan membicarakan soal uang tersebut. Dia menatap, lalu menggenggam erat tanganku."Maafin Abang, ya. Abang nggak nyangka kalau uang itu akan jadi sumber masalah dan membuat kita harus berpisah sampai selama ini.""Abang nggak perlu minta maaf. Chaca nggak punya hak untuk marah sama Abang. Abang udah melakukan semua yang terbaik untuk Chaca.""Abang tetap merasa bersalah, karena keserakahan Abang waktu itu, sehingga mereka menculik kamu.""Udah la, Bang. Kan semuanya udah lewat. Toh kita juga udah ketemu lagi.""Tapi waktu itu kamu teriak-teriak dan bilang benci sama Abang.""Udah, jangan dibahas lagi. Seharusnya Abang bersyukur dengan kejadian ini. Abang jadi memiliki kehidupan yang lebih layak. Abang punya keluarga yang benar-benar menyayangi Abang. Bahkan...Abang juga memiliki teman baik yang selalu mencintai Abang. Seperti Tania." "Tuh, kan. Tania lagi.""Chaca merasa tidak sebanding dengannya. Dia cantik, gadis terpelajar, dan punya segalanya. Apa b
Aku memohon kepada Mama agar tetap merahasiakan ini kepada semua orang, termasuk om Ridwan sendiri. Aku lebih memilih statusku sebagai yatim piatu yang diadopsi oleh keluarga Om Jaka. Dengan begitu, aku akan belajar memaafkannya, dan memulai hubungan yang baru sebagai menantunya. Itu saja. Aku tak mau lagi ada drama air mata menjelang pernikahan. Biarlah ini sebagai hukuman atas dosa-dosa om Ridwan. Selamanya tidak pernah merasakan kehadiranku sebagai putri kandungnya. Semula Mama memang terlihat keberatan. Namun, melihat sorot mataku yang penuh keyakinan, dia terpaksa menuruti. Egois memang. Tapi, bukankah sebagai manusia yang punya perasaan, aku juga punya hak? Hanya itu satu-satunya cara hatiku bisa menerima kehadiran om Ridwan. Hanya sebagai Papanya Bang Malik."Mama mengerti, maaf kalau kami sebagai orang tua sudah menempatkan luka di hatimu. Menempatkanmu dalam posisi tersulit sebagai korban dari keegoisan orang-orang dewasa."Lagi, kata-kata yang sama seperti yang Aira ucapk
Siang ini aku memasak makan siang, membereskan rumah, sementara Aira membawa Alya untuk pergi imunisasi. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Aku membukakan pintu depan. Sesosok wanita itu kini berdiri kembali di hadapanku. Teringat saat terakhir kali kami saling menatap seperti ini. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apa dia sakit? Dia tampak ragu untuk melangkah. Entah karena malu atau takut. Aku pun merasa demikian, masih merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Bukankah seingatku kami memang tak seakrab itu? Tapi entah kenapa gejolak hati ini ingin sekali memeluknya. Menumpahkan rasa rindu yang entah sejak kapan mengikutiku. Selalu berharap dapat kembali bertemu dan membicarakan apa saja layak nya seorang teman, atau..Ibu. "Silahkan masuk, Ma." Aku menawarinya dengan suara yang tertahan. Ingin sekali aku menyentuh dan memeluknya, namun dia juga terlihat sama takutnya denganku. Mama melangkahkan kaki masuk ke dalam. Memperhatikanku dari atas samp
Sudah beberapa hari ini kerjaku hanya uring-uringan dan bermain bersama Alya saja. Suntuk juga rasanya menjadi pengangguran, setelah bertahun-tahun lamanya hidup dari kerjaan satu ke kerjaan lainnya. Mungkin aku tak lagi mempermasalahkan soal uang. Karena kini, Bang Malik yang menanggung semua kebutuhanku. Tapi tetap saja itu tak sesuai dengan jalan hidupku yang sehari-hari harus mengurung diri di rumah. Seperti biasa, Bang Malik menyempatkan diri untuk datang selepas bekerja. Aku mengajaknya ke balkon atas. Dia bilang sangat senang melihat bulan bersamaku, seperti waktu itu. "Abang punya sesuatu buat kamu," ucapnya. Aku menoleh untuk melihat apa yang dia bawa. Dia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari kantong celana. Jantungku sudah ser-seran. Berharap apa yang ada dipikiranku, benar adanya. Kemudian dia membuka dan menunjukkannya kepadaku. Seperti yang kukira, itu sebuah cincin. Cantik sekali. Senyumku pun mengembang. Adegan seperti ini persis seperti yang ada di drama-drama ro
Lagi-lagi aku berucap kata maaf. Mengaku salah telah meninggalkannya meski tahu dia sedang hamil dan membutuhkan seorang teman. "Alya sedang tidur," ucapnya. "Alya? Keponakanku?" Aira mengangguk. Aira menuntunku masuk ke kamarnya. Ada box bayi dengan mainan yang menggantung di atasnya. Bayi mungil itu tertidur pulas di dalamnya. Aku memberanikan diri untuk menggendong. Menciumi wajah dengan pipinya yang chubby itu. Sungguh terlihat seperti boneka. "Maafkan Tante, sayang. Maafkan Tante karena tidak ada di saat kamu lahir ke dunia ini." Aku kembali menciuminya sampai tubuh itu menggeliat karena merasa terganggu. Aku kembali mengunjungi kamar yang dulu aku tempati, Aira masih di kamarnya menidurkan Alya kembali. "Itu masih kamar kamu. Tinggallah lagi di sini. Aku sudah berpisah dari Mas Harris." Dia mengabarkan meski aku sudah mendengarnya dari Bang Malik. "Kenapa? Apa karena aku?""Entahlah, tapi kurasa itu keputusan yang benar. Aku juga tidak ingin nantinya Alya juga ikut merasa
Kami keluar dari gedung pusat SunCo. Aku memang sudah meminta izin kepada Bang Malik untuk menemui Haikal. Dan dia sama sekali tidak keberatan. "Ingat, ya. Kamu sekarang calon istri Abang. Jangan macam-macam," ancamnya. Dia sengaja tak ikut agar tak ada rasa canggung dengan sikap Haikal. Benar saja, sejenak Haikal langsung takut untuk mendekatiku sebelum dia tahu bahwa pria itu hanya mengantarku sampai di luar. Mobil melaju ke arah jalan yang sudah tak asing lagi bagiku. Kemudian dia memasuki gerbang yang sudah setahun ini tak pernah lagi ku kunjungi. Lagi, seperti merasa pulang ke rumah sendiri. "Aku belum gajian. Kita makan siang di sini aja. Gratis," ujarnya sembari melangkahkan kaki ke ruangan. Tak ada yang berubah. Mereka terlihat asik makan dengan lahapnya. Sampai sepasang mata itu menangkap kedatangan kami. "We! Chaca datang. Tengok tu, we. Itu Chaca." Oji berteriak histeris seperti melihat selebriti yang berkunjung ke aula makan dapur SunCo. Puluhan pasang mata menatap
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami mulai memasuki kota Medan. Aku meminta Bang Malik untuk segera singgah ke rumah nenek. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Bukankah mereka keluarga pertama yang harus aku kunjungi? Nenek berdiri mematung dengan tubuh tuanya. Matanya berkaca-kaca saat aku menangis memohon maaf. Nenek memang tak tahu bagaimana caranya menunjukkan kasih sayang, tapi kali ini dia begitu erat memelukku. Tak tahan juga rasanya menahan rindu. "Kau sudah dewasa," ujarnya. "Jangan lagi bersikap seperti itu." Aku kembali menangis di pelukannya. Bang Malik tertidur di ruang tamu beralaskan ambal. Aku sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar, namun dia menolak. "Di sini lebih nyaman," ujarnya. Untuk pertama kalinya aku melihat dia tertidur dengan pulas. Napasnya teratur dengan kedua tangan diletakkan di atas dada.Wajahnya terlihat lelah, hingga tak sadar kalau kini om Jaka juga ikut tertidur di sampingnya. Kupungut ponsel yang sedari tadi tergeletak begitu s
Rasa bersalah selalu menghantui. Aku memohon kepada mama untuk tetap berusaha mencarinya. Di jalanan, lampu merah, bahkan melaporkan kehilangan ke kantor polisi. Nihil. Tak ada jejak sama sekali. Bayang-bayang wajah Chaca yang menangis dalam cengkraman tangan preman tersebut selalu muncul dalam mimpiku. Bertahun-tahun lamanya aku hidup dalam bayang-bayang gadis kecil itu. Rasa rindu selalu menyelimuti, berharap bisa menyentuh dan memeluknya lagi. Hari ini hari ulang tahun Chaca. Hari yang diputuskan sebagai tanggal lahirnya di malam di mana dia ditemukan. Jika dia masih hidup, usianya kini sudah tujuh belas tahun. Sweet seventeen, kata gadis-gadis yang dulu satu esema denganku.Aku kembali mengunjungi masjid raya, tempat di mana aku dan Chaca selalu menghabiskan waktu bersama. Tak lupa untuk merayakan ulang tahunnya dengan memberi sedekah ke anak-anak jalanan yang sengaja aku kumpulkan di sana.'Chaca sayang, bagaimana keadaanmu sekarang?' batinku dalam hati. "Maaf, apakah anda Ha
POV MALIK.Aku mengenang kala kejadian waktu itu. Tubuhku yang terbaring lemah di... mungkin rumah sakit. Kulihat ada tiang yang menggantungkan cairan yang terhubung langsung dengan urat nadiku.Aku mencoba bergerak, merasai wajahku yang kini terasa tebal dan kaku. Kurasakan seluruhnya terbalut perban dengan rasa sakit yang luar biasa. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Beberapa wanita berpakaian serba putih datang untuk memeriksa apa yang terjadi kepadaku. Tak lama seorang pria dewasa juga muncul, mungkin seorang dokter. Ya, samar kulihat dari pakaian putih bersihnya, dia seorang dokter. Hampir seminggu setelah aku terjaga, dokter membuka seluruh perban di wajahku. Disaksikan oleh sepasang suami istri dan anak lelaki mereka. Memandangku dengan cemas dan was-was. Apa aku ini terlihat seperti hewan buas bagi mereka? Sejenak kemudian, kulihat rasa lega di wajah mereka, seolah semua sedang baik-baik saja. "Siapa namamu, Nak?" tanya wanita paruh baya tersebut. "Hannan Maliki S
Seperti janjiku kemarin, kami bersiap-siap berangkat. Aku dan Bang Malik berpamitan dengan mereka satu persatu. Runi memelukku dengan sangat erat, begitu juga dengan Wak Mis.Fatma yang tidak tahu apa-apa hanya tampak murung dan seperti tidak rela membiarkanku pergi. Namun dia kembali tersenyum saat ayahnya mengatakan kalau aku akan segera kembali. Pak Yaz sengaja tidak memberitahukannya, agar dia tidak menangis histeris karena takut kehilanganku. Pak Yaz mengulurkan tangan ke arah Bang Malik. Meminta maaf atas kesalahpahaman kemarin. Tangannya masih menggantung di udara, tanpa sambutan dari laki-laki yang tengah berdiri di sampingku. Masih tidak senang, rupanya. Aku menyenggol bahunya, lalu menariknya agar sedikit menunduk. Aku membisikkan sesuatu di telinganya. "Salamin. Atau Chaca yang akan menyambut uluran tangannya," ancamku. Dengan cepat dia menyambut telapak tangan Pak Yaz, kemudian menggoyang-goyangkannya seperti mereka sudah berteman cukup akrab."Awas kalau sampai bers