Aku merebahkan diri di ranjang. Memikirkan apa yang sebaiknya aku lakukan. Tadinya kupikir setelah memegang kartu om Harris, Tania akan lebih mudah untuk kujatuhkan. Nyatanya, aku terjebak dengan rencanaku sendiri. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Bang Malik nanti. Dia pasti akan langsung menyeretku keluar dari rumah ini, begitu tahu siapa suami Aira yang sebenarnya..Hari menjelang sore, aku kembali memberikan laporan kepada Bang Malik di kantor. Dia tampak serius dengan pekerjaannya yang masih menumpuk. "Hari ini Abang lembur. Temenin?"Aku mengangguk. Sejenak aku memperhatikan raut wajahnya. Jauh berbeda dengan Malik yang masih remaja dulu. Kulitnya kini tampak lebih bersih, tubuhnya jauh lebih tinggi. Rambutnya tak lagi kucel saat menjaga parkiran di masjid dulu.Dia terlihat ramah kepada siapa saja yang singgah di sana. Tak jarang dia mengajak mereka mengobrol. Entah apa saja yang mereka bicarakan waktu itu. Pernah suatu hari dia mengajak seorang bapak sep
Hari ini kami kembali libur di hari yang sama. Ia menjemputku untuk pergi berjalan-jalan. Katanya ingin membawaku ke suatu tempat.Mobil meluncur melewati jalanan, melewati jalan raya kemudian mulai memasuki jalanan kecil. Hari hampir siang, tak lama kami sampai ke sebuah rumah. Memasuki sebuah pekarangan yang cukup luas. Di teras sudah menunggu sepasang suami istri yang sudah tua. Bang Malik mencium tangan keduanya, lalu menyuruhku melakukan hal yang sama. "Ini Chaca," ucapnya, memperkenalkanku pada mereka. Ada sedikit keterkejutan di wajah mereka. Wajar saja, mungkin semua orang menganggapku sudah mati. "Bapak ini yang menemukan tubuh Abang dulu," ujarnya." Beliau pula yang membawa Abang ke rumah sakit dan menyerahkan Abang pada keluarga Mama."Kami dipersilakan masuk, lalu ibu itu menyediakan minuman dan camilan untuk kami. Mereka asik bercengkrama, mengobrol seperti sudah lama tidak bertemu. Terlihat akrab dan saling menghormati satu sama lain. Istrinya juga tak kalah ramah,
Dia diam. Terlihat masih enggan membicarakan soal uang tersebut. Dia menatap, lalu menggenggam erat tanganku."Maafin Abang, ya. Abang nggak nyangka kalau uang itu akan jadi sumber masalah dan membuat kita harus berpisah sampai selama ini.""Abang nggak perlu minta maaf. Chaca nggak punya hak untuk marah sama Abang. Abang udah melakukan semua yang terbaik untuk Chaca.""Abang tetap merasa bersalah, karena keserakahan Abang waktu itu, sehingga mereka menculik kamu.""Udah la, Bang. Kan semuanya udah lewat. Toh kita juga udah ketemu lagi.""Tapi waktu itu kamu teriak-teriak dan bilang benci sama Abang.""Udah, jangan dibahas lagi. Seharusnya Abang bersyukur dengan kejadian ini. Abang jadi memiliki kehidupan yang lebih layak. Abang punya keluarga yang benar-benar menyayangi Abang. Bahkan...Abang juga memiliki teman baik yang selalu mencintai Abang. Seperti Tania." "Tuh, kan. Tania lagi.""Chaca merasa tidak sebanding dengannya. Dia cantik, gadis terpelajar, dan punya segalanya. Apa b
Aku langsung menyuruh dia pulang setelah mengantarku. Kubiarkan dia beristirahat dan menenangkan pikiran. Aku sama sekali tidak menyangka, kalau trauma masa lalu membuatnya jadi seperti itu. Aku duduk bersandar di sofa bersama Aira yang sudah terlihat lebih sehat. Dia terlihat lucu saat mengelus-elus perutnya yang bahkan masih terlihat rata. Dalam hati aku berpikir, bisakah dia hidup bahagia bersama anaknya kelak, tanpa rasa bersalah? Tadinya kupikir hanya hidup kami yang bermasalah dan terlihat buruk di mata semua orang. Tapi setelah mengenal keluarga Bang Malik dan orang-orang di dekatnya, aku jadi merasa tidak sendiri. Ada Haikal yang juga yatim piatu sejak kecil, ayah Tania yang berselingkuh, bahkan kesalahan bu Sam di masa lalu yang belum ku ketahui. Dulu aku sempat berpikir, apakah aku sedang menanggung dosa seseorang. Sebuah karma yang tak sempat diterima sang pendosa dan harus kujalani sampai sisa umurku. .Suasana dapur hari ini sangat sepi. Bang Malik kembali tidak mas
"Aw.. sakit tau." Aku membalikkan badan guna melihat siapa yang berani melakukannya. "Haikal...?" "Apa?" sahutnya, menantang. "Bangga, jadi cewek genit, ha?" Dia semakin kuat menariknya. "Aduh, aduh." Aku makin menjerit kesakitan. "Kamu nguping tadi, ya? Udah dibilangin jangan ngikut."Bukannnya melepaskan, dia malah menarik telingaku yang satunya lagi. Kini dia berdiri membelakangiku. Aku menjerit kesakitan."Ampun, Kal. Sakit tau. Nggak adik, nggak Abang kelakuannya sama aja. Kalin pikir aku anak kecil apa?" Aku merintih. Karyawan lain yang lalu lalang tampak tersenyum dan mentertawakan perbuatannya padaku. "Udah, Kal. Malu diliatin orang." Aku memelas. "Terus, ngomong jorok tadi nggak malu?""Ih.. Itu kan cuma pura-pura aja." Dia masih terus menariknya dengan kuat. "Alasan. Mau jadi seperti Aira, ha?""Hish..., aku masih polos, tau!"Haikal melepaskan tangannya, lalu berdiri di depanku. Aku mengusap-usap telinga yang kurasa kini memerah. "Jadi pengen liat, kalau kamu lagi p
Akhirnya dia juga yang mengantarku pulang. Tatapannya tadi mengisyaratkan bahwa dia tak mengizinkan Haikal untuk bersamaku. Aku sangat bersyukur, karena Haikal tak mempermasalahkan dan mengaggapnya seperti bukan suatu penolakan. Sungguh aku sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran Haikal. Dia begitu mengalah dan sangat menghormati kakak angkatnya itu.Berbeda sekali dengan sikapnya kalau berada di depanku. Apakah dia selalu menjaga perasaan Bang Malik? Ini kali pertama aku melihat kekasihku mengenakan busana serba santai. Hanya memakai kaos lengan pendek dan celana jeans serta sebuah sendal yang kelihatan mahal. Jauh terlihat lebih bersahaja dan tidak kaku. "Kenapa liatin Abang kek gitu? Naksir?" godanya saat di dalam mobil. "Udah lama," jawabku polos. Dia tersenyum sambil fokus menyetir."Kalau begini Abang kelihatan lebih muda. Nggak kaya biasa. Selalu berpakaian rapi, mirip bapak-bapak.""Kamu suka? Kalau begitu, Abang kerjanya nggak usah pakek kemeja lagi. Biar kamu tamb
"Kok Abang jadi sensitif, sih? Kan Chaca cuman nggak mau Abang sakit lagi.""Seharian tidak ketemu, Abang rindu. Masak begitu ketemu disuruh pulang.""Chaca cuman khawatir. Abang butuh banyak istirahat.""Oh, gitu. Bukan karena sekarang kamu lagi dekat dengan seseorang, kan?""Tuh, kan. Mulai lagi. Giliran Chaca membahas Tania, Abang marah. Giliran Abang, boleh nuduh-nuduh gitu. Abang masih aja egois." Aku mengerucutkan mulut."Iya, iya. Abang minta maaf."Kami duduk bersisian, dia menyandarkan kepalaku di bahunya. Membelai rambutku dengan penuh kasih sayang.Tulus, masih seperti merawat seorang adik kecil. Sepertinya terdengar suara pintu yang terbuka dari depan. Langkah kaki terdengar sampai ke ruang tengah tempat aku dan Bang Malik berada. Jantungku berdetak lebih kencang. Aku tahu siapa lagi yang memegang kunci selain aku dan Aira di rumah ini. Hanya dia."Sayang," panggilnya. Bang Malik menoleh, melihat siapa yang datang. Jantungku rasanya mau copot saat Bang Malik dan om Harri
"Kamu marah?""Pulanglah, Chaca capek.""Abang minta maaf. Nggak seharusnya Abang membela Tania di depan kamu.""Abang benar. Chaca juga sebenarnya merasa kasihan dengan Tania dan ibunya. Tapi Abang nggak bisa nyalahin Aira begitu aja. Om Harris berbohong dengan mengatakan kalau dia akan segera bercerai karena istri dan anaknya sudah tidak peduli lagi sama dia."Bang Malik terdiam mendengar penjelasanku.Tak lagi berani membantah atau menyalahkanku lagi. Mungkin takut aku akan pergi lagi meninggalkannya tanpa kabar seperti waktu itu. Kami berusaha menenangkan satu sama lain, aku mengajaknya berjalan di taman sekitar perumahan. Ada kursi panjang di sana untuk tempat kami duduk. Aku sudah menjelaskan kalau sebentar lagi suami Aira pasti akan pulang. Tidak mungkin setiap malam menginap karena istrinya masih berada Medan. Dia jadi lebih sering menjenguk ketika mengetahui kalau Aira hamil. Aku juga tidak mengerti kenapa semua bisa jadi serumit ini. "Kenapa dunia yang kita jalani bisa se