"Kamu marah?""Pulanglah, Chaca capek.""Abang minta maaf. Nggak seharusnya Abang membela Tania di depan kamu.""Abang benar. Chaca juga sebenarnya merasa kasihan dengan Tania dan ibunya. Tapi Abang nggak bisa nyalahin Aira begitu aja. Om Harris berbohong dengan mengatakan kalau dia akan segera bercerai karena istri dan anaknya sudah tidak peduli lagi sama dia."Bang Malik terdiam mendengar penjelasanku.Tak lagi berani membantah atau menyalahkanku lagi. Mungkin takut aku akan pergi lagi meninggalkannya tanpa kabar seperti waktu itu. Kami berusaha menenangkan satu sama lain, aku mengajaknya berjalan di taman sekitar perumahan. Ada kursi panjang di sana untuk tempat kami duduk. Aku sudah menjelaskan kalau sebentar lagi suami Aira pasti akan pulang. Tidak mungkin setiap malam menginap karena istrinya masih berada Medan. Dia jadi lebih sering menjenguk ketika mengetahui kalau Aira hamil. Aku juga tidak mengerti kenapa semua bisa jadi serumit ini. "Kenapa dunia yang kita jalani bisa se
Aku jalan beriringan dengan Bang Malik, melewati Tania yang sedang menunggu di pintu kantornya. "Bisa kita bicara, Lik?" Senyumnya masih sama seperti dulu. Tidak peduli seberapa sering Bang Malik bersikap cuek padanya. Bahkan seolah-olah dia tidak melihatku yang dari tadi berjalan bersamanya. Aku menatap mata itu, berharap dia akan mengerti kalau aku tidak suka.Aku berharap, dia sedikit saja menjaga perasaanku dengan tidak menuruti ajakan Tania, walau tanpa harus aku ucapkan. "Masuklah dulu, Chaca. Nanti Abang menyusul."Lagi, sikapnya kembali membuatku merasa tak dihargai. Dia tahu betul kalau aku sama sekali tidak suka kalau dia terus berdekatan dengan Tania, dan aku sudah pernah mengungkapkan hal itu padanya. Aku masuk ke dapur dengan hati yang tidak tenang. Berpikir yang bukan-bukan tentang perasaannya. Apa dia mulai merasa iba dengan Tania? Lalu mencoba mencari cara untuk menyenangkan hatinya? Jika itu sampai terjadi, mungkin Tania akan sangat bersyukur dengan penghianatan
Kami diam seribu bahasa, Haikal yang biasa bertingkah konyol, kini hanya bisa diam merasakan hawa panas abangnya yang tak dapat lagi ditahan. "Kalian sudah pernah nonton? Berdua?" Pandangan Bang Malik kini menunduk ke lantai, tak mau lagi menatap kami. Haikal masih tetap tak menyahut. Kakiku gemetar menanti-nanti apa yang akan terjadi. "Tidak ada yang bisa menjawab?" Bang Malik terus bertanya."Apa kamu menyukai Chaca, Kal?" todong Bang Malik menatap adik lelakinya itu. Haikal merasa serba salah, dia mengusap pelan rambutnya, belum menjawab apa pun. Aku mencoba membantu Haikal untuk menjawab."Bang, Haikal... ""Diamlah, Chaca! Abang tidak bertanya sama kamu." Ia menyela ucapanku. Saat ini Bang Malik berbicara masih dengan nada yang rendah, tapi itu terdengar makin menakutkan. Aku hanya takut kalau dia sedang mengumpulkan tenaga, lalu meledak dan habis menghajar Haikal begitu saja. Bukankah selama ini ia hanya tahu marah-marah dan sembarangan memukul orang? Haikal belum menjaw
Keesokan harinya Haikal muncul pagi-pagi sekali. Dia terlihat lebih rajin. Dia bahkan membantu Bu Rini untuk mengetik jurnal hari ini. Tak lupa dia membantu Oji dan tim lainnya dari divisi coolroom untuk mengupas kulit udang, dalam jumlah yang sangat banyak. Kulirik Bang Malik senyum-senyum sendiri dari balik kantor dengan aktivitas adiknya itu. Bahkan saat istirahat makan siang, dia menggantikan tugas bu Rini untuk membuat form laporan hasil produksi hari ini, lalu langsung mengcopynya untuk dibagikan ke masing-masing divisi.Dia bahkan terlihat sangat sibuk sehingga tidak punya kesempatan untuk menggangguku. Aku jadi geli sendiri. Dia pasti melakukan itu untuk mengambil hati kakaknya atas kejadian semalam. Mungkin dia juga sudah paham, dengan bersikap baik dan manja, hati Bang Malik akan cepat luluh dan mudah memaafkan."Nih, makan!" Aku meletakkan kotak makan di meja kerjanya. "Pergilah, nanti Bang Malik akan marah lagi sama kamu.""Kamu yang salah, kenapa dia harus marah sama
Hari yang buruk buatku. Bagaimana tidak, jadwal off yang biasa aku pergunakan untuk beristirahat atau berjalan-jalan dengan sang kekasih, malah diambil alih oleh bu Sam. [Sayang, Mama minta kamu nemenin dia ke salon. Mau, kan?] Bang Malik mengirimiku pesan whatsapp dan membatalkan rencana.[Emang pembantu pada libur ya, Bang? Chaca nggak mau!] balasku. [Itung-itung ngambil hatinya Mama lho, sayang. Biar dapat restu.][Abang ikut, ya?][Maunya sih gitu. Tapi Mama nggak ngijinin.][Tuh, kan.]Dengan terpaksa aku menuruti permintaan mereka. Tak lama mobilnya tiba di depan rumah untuk menjemput. Aku menyuruhnya masuk untuk singgah barang sebentar. Dia berjalan mengelilingi sekitar ruangan. Melihat-lihat rumah yang selama ini aku tinggali. Aira keluar dari kamar, memperkenalkan diri sebagai pemilik rumah. Bu Sam terlihat biasa saja, tidak terlalu ramah, namun juga tidak terlalu cuek. Mungkin tahu diri, karena ini rumah orang. Aku berpamitan kepada Aira dan menyuruhnya untuk beristirah
Kami sampai di salon spa elite bintang lima. Bu Sam turun dari mobil dengan gaya elegannya. Kenapa harus mengajakku ke sini? Kejadian tadi membuatku malu menatapnya. Apa lagi mendengar suara tawa pak supir yang sedikit tertahan. Aku mengikuti wanita yang minta dipanggil mama tersebut sampai ke dalam. Mengikuti langkah kakinya yang super elegan tersebut dengan tergesa-gesa. Beberapa wanita menunduk dan menyapa dengan hormat kepada kami. Sepertinya sudah mengenal mama sebagai langganan utama di tempat ini. Kami digiring ke sebuah ruangan khusus. Tak ada tempat tidur berjejer seperti yang aku dan Aira sering datangi. Ruangan kali ini hanya khusus memiliki dua tempat tidur. Inikah yang disebut ruangan khusus vip? Wow.Aku dan mama melepas pakaian kami dan menggantinya dengan handuk sebatas dada. Mama menikmati setiap pijatan yang dilakukan therapist. Begitu pun diriku. Kenapa Mama mengajakku ke tempat seperti ini, sementara dia hanya diam tanpa bicara dan menikmati semuanya dalam diam
"Mereka sudah mati," jawabku asal, namun tulus berasal dari hati. "Dari mana kamu tau mereka sudah mati?" Mama juga menggunakan kata 'mati' yang kugunakan dari pada mengubahnya menjadi kata yang lebih halus lagi. "Bang Malik bilang, orang tuanya sudah meninggal saat seseorang meninggalkannya di panti. Jadi Bang Malik menyuruh Chaca untuk beranggapan begitu saja. Karena tidak ada hukuman yang pantas selain mati, untuk manusia yang tega membuang bayinya!" Mama tampak terkejut mendengar umpatanku. "Apa kamu membenci orang tuamu?""Chaca bahkan tidak mengenal mereka. Bagaimana bisa membenci?"Aku sudah tidak heran kenapa dia bertanya seperti itu. Dari semua orang yang kukenal, selalu menanyakan tentang keberadaan orang tuaku, begitu tahu kalau aku pernah dibesarkan di panti asuhan. Mulai dari sekolah, rekan-rekan kerja. Bahkan saat pertama kali aku membawa Bang Malik ke rumah ini. Dengan percaya diri dia bertanya dimana keberadaan orang tuaku, padahal dia sendiri tidak memilikinya. A
Hiss.. gara-gara begadang sama Aira tadi malam, aku jadi terlambat bangun. Bukannya dapat panggilan dari Bang Malik, malah pagi-pagi mendapat pesan yang tidak enak. [Kalau masih capek, istirahat aja ya, sayang.Nggak usah masuk kerja dulu.]Sudah kemarin seharian tidak ketemu, malah disuruh jangan masuk. Apa sedikit pun tidak ada rasa kepadaku? "Ra? Lihat sisirku nggak?" teriakku dari dalam kamar."Nggak," sahut Aira dari dapur. "Serius lho. Kemarin ada.""Ya ampun, Cha. Segala sisir diributin. Tuh di kamarku ada selusin. Tinggal pilih," omel Aira yang melihatku tergesa-gesa keluar dari kamar."Nggak sempat. Bang gojek udah dateng."Aku bergegas keluar karena ojek online yang kupesan memang sudah menunggu. Dan benar saja, untuk pertama kalinya dalam sejarah SunCo, aku datang terlambat. Rusak sudah reputasiku sebagai karyawan teladan. Aku memasuki dapur di mana mereka semua sudah memulai aktivitas. Bu Rini melotot sambil memandangku dari atas ke bawah. Mulutnya juga komat-kamit men
Aku memohon kepada Mama agar tetap merahasiakan ini kepada semua orang, termasuk om Ridwan sendiri. Aku lebih memilih statusku sebagai yatim piatu yang diadopsi oleh keluarga Om Jaka. Dengan begitu, aku akan belajar memaafkannya, dan memulai hubungan yang baru sebagai menantunya. Itu saja. Aku tak mau lagi ada drama air mata menjelang pernikahan. Biarlah ini sebagai hukuman atas dosa-dosa om Ridwan. Selamanya tidak pernah merasakan kehadiranku sebagai putri kandungnya. Semula Mama memang terlihat keberatan. Namun, melihat sorot mataku yang penuh keyakinan, dia terpaksa menuruti. Egois memang. Tapi, bukankah sebagai manusia yang punya perasaan, aku juga punya hak? Hanya itu satu-satunya cara hatiku bisa menerima kehadiran om Ridwan. Hanya sebagai Papanya Bang Malik."Mama mengerti, maaf kalau kami sebagai orang tua sudah menempatkan luka di hatimu. Menempatkanmu dalam posisi tersulit sebagai korban dari keegoisan orang-orang dewasa."Lagi, kata-kata yang sama seperti yang Aira ucapk
Siang ini aku memasak makan siang, membereskan rumah, sementara Aira membawa Alya untuk pergi imunisasi. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Aku membukakan pintu depan. Sesosok wanita itu kini berdiri kembali di hadapanku. Teringat saat terakhir kali kami saling menatap seperti ini. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apa dia sakit? Dia tampak ragu untuk melangkah. Entah karena malu atau takut. Aku pun merasa demikian, masih merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Bukankah seingatku kami memang tak seakrab itu? Tapi entah kenapa gejolak hati ini ingin sekali memeluknya. Menumpahkan rasa rindu yang entah sejak kapan mengikutiku. Selalu berharap dapat kembali bertemu dan membicarakan apa saja layak nya seorang teman, atau..Ibu. "Silahkan masuk, Ma." Aku menawarinya dengan suara yang tertahan. Ingin sekali aku menyentuh dan memeluknya, namun dia juga terlihat sama takutnya denganku. Mama melangkahkan kaki masuk ke dalam. Memperhatikanku dari atas samp
Sudah beberapa hari ini kerjaku hanya uring-uringan dan bermain bersama Alya saja. Suntuk juga rasanya menjadi pengangguran, setelah bertahun-tahun lamanya hidup dari kerjaan satu ke kerjaan lainnya. Mungkin aku tak lagi mempermasalahkan soal uang. Karena kini, Bang Malik yang menanggung semua kebutuhanku. Tapi tetap saja itu tak sesuai dengan jalan hidupku yang sehari-hari harus mengurung diri di rumah. Seperti biasa, Bang Malik menyempatkan diri untuk datang selepas bekerja. Aku mengajaknya ke balkon atas. Dia bilang sangat senang melihat bulan bersamaku, seperti waktu itu. "Abang punya sesuatu buat kamu," ucapnya. Aku menoleh untuk melihat apa yang dia bawa. Dia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari kantong celana. Jantungku sudah ser-seran. Berharap apa yang ada dipikiranku, benar adanya. Kemudian dia membuka dan menunjukkannya kepadaku. Seperti yang kukira, itu sebuah cincin. Cantik sekali. Senyumku pun mengembang. Adegan seperti ini persis seperti yang ada di drama-drama ro
Lagi-lagi aku berucap kata maaf. Mengaku salah telah meninggalkannya meski tahu dia sedang hamil dan membutuhkan seorang teman. "Alya sedang tidur," ucapnya. "Alya? Keponakanku?" Aira mengangguk. Aira menuntunku masuk ke kamarnya. Ada box bayi dengan mainan yang menggantung di atasnya. Bayi mungil itu tertidur pulas di dalamnya. Aku memberanikan diri untuk menggendong. Menciumi wajah dengan pipinya yang chubby itu. Sungguh terlihat seperti boneka. "Maafkan Tante, sayang. Maafkan Tante karena tidak ada di saat kamu lahir ke dunia ini." Aku kembali menciuminya sampai tubuh itu menggeliat karena merasa terganggu. Aku kembali mengunjungi kamar yang dulu aku tempati, Aira masih di kamarnya menidurkan Alya kembali. "Itu masih kamar kamu. Tinggallah lagi di sini. Aku sudah berpisah dari Mas Harris." Dia mengabarkan meski aku sudah mendengarnya dari Bang Malik. "Kenapa? Apa karena aku?""Entahlah, tapi kurasa itu keputusan yang benar. Aku juga tidak ingin nantinya Alya juga ikut merasa
Kami keluar dari gedung pusat SunCo. Aku memang sudah meminta izin kepada Bang Malik untuk menemui Haikal. Dan dia sama sekali tidak keberatan. "Ingat, ya. Kamu sekarang calon istri Abang. Jangan macam-macam," ancamnya. Dia sengaja tak ikut agar tak ada rasa canggung dengan sikap Haikal. Benar saja, sejenak Haikal langsung takut untuk mendekatiku sebelum dia tahu bahwa pria itu hanya mengantarku sampai di luar. Mobil melaju ke arah jalan yang sudah tak asing lagi bagiku. Kemudian dia memasuki gerbang yang sudah setahun ini tak pernah lagi ku kunjungi. Lagi, seperti merasa pulang ke rumah sendiri. "Aku belum gajian. Kita makan siang di sini aja. Gratis," ujarnya sembari melangkahkan kaki ke ruangan. Tak ada yang berubah. Mereka terlihat asik makan dengan lahapnya. Sampai sepasang mata itu menangkap kedatangan kami. "We! Chaca datang. Tengok tu, we. Itu Chaca." Oji berteriak histeris seperti melihat selebriti yang berkunjung ke aula makan dapur SunCo. Puluhan pasang mata menatap
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami mulai memasuki kota Medan. Aku meminta Bang Malik untuk segera singgah ke rumah nenek. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Bukankah mereka keluarga pertama yang harus aku kunjungi? Nenek berdiri mematung dengan tubuh tuanya. Matanya berkaca-kaca saat aku menangis memohon maaf. Nenek memang tak tahu bagaimana caranya menunjukkan kasih sayang, tapi kali ini dia begitu erat memelukku. Tak tahan juga rasanya menahan rindu. "Kau sudah dewasa," ujarnya. "Jangan lagi bersikap seperti itu." Aku kembali menangis di pelukannya. Bang Malik tertidur di ruang tamu beralaskan ambal. Aku sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar, namun dia menolak. "Di sini lebih nyaman," ujarnya. Untuk pertama kalinya aku melihat dia tertidur dengan pulas. Napasnya teratur dengan kedua tangan diletakkan di atas dada.Wajahnya terlihat lelah, hingga tak sadar kalau kini om Jaka juga ikut tertidur di sampingnya. Kupungut ponsel yang sedari tadi tergeletak begitu s
Rasa bersalah selalu menghantui. Aku memohon kepada mama untuk tetap berusaha mencarinya. Di jalanan, lampu merah, bahkan melaporkan kehilangan ke kantor polisi. Nihil. Tak ada jejak sama sekali. Bayang-bayang wajah Chaca yang menangis dalam cengkraman tangan preman tersebut selalu muncul dalam mimpiku. Bertahun-tahun lamanya aku hidup dalam bayang-bayang gadis kecil itu. Rasa rindu selalu menyelimuti, berharap bisa menyentuh dan memeluknya lagi. Hari ini hari ulang tahun Chaca. Hari yang diputuskan sebagai tanggal lahirnya di malam di mana dia ditemukan. Jika dia masih hidup, usianya kini sudah tujuh belas tahun. Sweet seventeen, kata gadis-gadis yang dulu satu esema denganku.Aku kembali mengunjungi masjid raya, tempat di mana aku dan Chaca selalu menghabiskan waktu bersama. Tak lupa untuk merayakan ulang tahunnya dengan memberi sedekah ke anak-anak jalanan yang sengaja aku kumpulkan di sana.'Chaca sayang, bagaimana keadaanmu sekarang?' batinku dalam hati. "Maaf, apakah anda Ha
POV MALIK.Aku mengenang kala kejadian waktu itu. Tubuhku yang terbaring lemah di... mungkin rumah sakit. Kulihat ada tiang yang menggantungkan cairan yang terhubung langsung dengan urat nadiku.Aku mencoba bergerak, merasai wajahku yang kini terasa tebal dan kaku. Kurasakan seluruhnya terbalut perban dengan rasa sakit yang luar biasa. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Beberapa wanita berpakaian serba putih datang untuk memeriksa apa yang terjadi kepadaku. Tak lama seorang pria dewasa juga muncul, mungkin seorang dokter. Ya, samar kulihat dari pakaian putih bersihnya, dia seorang dokter. Hampir seminggu setelah aku terjaga, dokter membuka seluruh perban di wajahku. Disaksikan oleh sepasang suami istri dan anak lelaki mereka. Memandangku dengan cemas dan was-was. Apa aku ini terlihat seperti hewan buas bagi mereka? Sejenak kemudian, kulihat rasa lega di wajah mereka, seolah semua sedang baik-baik saja. "Siapa namamu, Nak?" tanya wanita paruh baya tersebut. "Hannan Maliki S
Seperti janjiku kemarin, kami bersiap-siap berangkat. Aku dan Bang Malik berpamitan dengan mereka satu persatu. Runi memelukku dengan sangat erat, begitu juga dengan Wak Mis.Fatma yang tidak tahu apa-apa hanya tampak murung dan seperti tidak rela membiarkanku pergi. Namun dia kembali tersenyum saat ayahnya mengatakan kalau aku akan segera kembali. Pak Yaz sengaja tidak memberitahukannya, agar dia tidak menangis histeris karena takut kehilanganku. Pak Yaz mengulurkan tangan ke arah Bang Malik. Meminta maaf atas kesalahpahaman kemarin. Tangannya masih menggantung di udara, tanpa sambutan dari laki-laki yang tengah berdiri di sampingku. Masih tidak senang, rupanya. Aku menyenggol bahunya, lalu menariknya agar sedikit menunduk. Aku membisikkan sesuatu di telinganya. "Salamin. Atau Chaca yang akan menyambut uluran tangannya," ancamku. Dengan cepat dia menyambut telapak tangan Pak Yaz, kemudian menggoyang-goyangkannya seperti mereka sudah berteman cukup akrab."Awas kalau sampai bers