Aku menceritakan kejadian yang dialami mama waktu itu. Meski tidak tahu secara terperinci, aku harap Bang Malik dapat menjelaskan sesuatu. Ia hanya menggeleng, sembari berpikir. Namun ia juga belum menemukan apa pun. Bahkan putranya yang sudah bertahun-tahun hidup bersamanya juga tidak dapat menyimpulkan apa yang tiba-tiba terjadi. Apa mama memang selemah itu? Bahkan dia pernah hampir pingsan saat mendengar aku dan Bang Malik bukanlah saudara kandung. Aku pun tak lagi mempedulikannya. Mungkin memang seperti itu sikapnya. Mudah terkejut pada hal-hal yang sepele.Tapi lagi-lagi hal itu mengusikku. Hal sepele macam apa yang membuatnya duduk bersimpuh dengan wajah pucat seperti itu? Kemana pula dia sampai pulang larut malam?"Chaca?""Iya, Bang?""Semalam pulang cepat, ya?" Aku mengangguk. Kini kaitan tangannya kepadaku dilepaskan, kemudian berpindah menyilang ke dadanya. Matanya mulai menyipit. "Lupa, kalau punya pacar yang harus dikabari?" Eh? Tadinya aku ragu kalau dia tidak me
Kenapa hidupku harus terus berada dilingkaran orang-orang yang sama setiap harinya. Sejak kehamilannya, Aira juga terlihat semakin percaya diri. Mungkin karena bentuk perhatian dari suaminya yang semakin hari semakin takut akan kehilangan Aira dan calon bayinya. Oleh sebab itu, Aira yakin sekali, walau apa pun yang terjadi, suaminya pasti akan tetap membela. Tidakkah itu terlalu egois dan terkesan tamak? .Beberapa hari kemudian Bang Malik masih melaporkan kejadian yang dialami mamanya. Beliau terus-terusan mengurung diri dan sangat susah untuk di ajak bicara.Hal ini pernah terjadi saat Haikal sudah tinggal bersamanya. Mama terus-terusan menyendiri dan matanya sembab seperti habis menangis yang tiada henti. Sebenarnya aku tidak terlalu peduli, aku bahkan tidak punya sedikit pun hati untuk sekedar prihatin atas apa yang dialaminya. Aku hanya menghargai dia sebagai mama dari orang yang kucintai. Tak ada hasrat tuk sekedar mengambil hatinya sebagai calon menantu atau apa pun itu. To
Mobil masih melaju, membelah kemacetan kota Medan di kala sore. Kami masih terjebak di lampu merah saat Bang Malik mengambil sesuatu dari laci mobil. "Ambillah!" ucapnya sambil memberikan sebuah kartu. Aku menyambut pemberiannya, dan memastikan kalau itu sebuah ATM. "Chaca udah punya," balasku, seraya kembali meletakkan kartu tersebut begitu saja. "Pakailah. Jangan lagi menerima apa pun dari Aira. Abang nggak mau kamu juga ikut menikmati uang om Harris."Aku terdiam. Ia masih juga memikirkan tentang hal itu rupanya."Chaca cuman merasa nggak enak. Apa yang nanti akan Mama katakan kalau sampai tau Chaca ikut menghabiskan uangnya.""Abang udah bilang, uang yang Abang punya nggak ada hubungannya dengan keluarga Mama."Lagi-lagi dia membahas soal uang. Bukannya kemarin kami sudah berhenti membahas soal itu. Aku hanya takut terjadi sesuatu lagi dengan pikirannya."Chaca udah besar, Bang. Chaca udah bisa menghasilkan uang sendiri. Jadi Abang nggak perlu merasa terbebani dengan kebutuhan
POV Bu Sam. Saat itu usia pernikahanku sudah memasuki usia sepuluh tahun. Tapi Tuhan belum juga memberikan kami anugerah berupa seorang anak. Mungkin karena kesibukanku yang selalu jarang di rumah dan membuatku lelah. Suamiku yang notabenenya adalah mantan karyawan di perusahaan milik keluargaku, memintaku untuk segera membatasi diri dalam kegiatan.Dengan terpaksa aku menolaknya karena saat itu aku baru mulai merintis usahaku sendiri. The Sun Corp. Nama yang kuambil dari arti yang sama dengan namaku. Syamsiyah yang berarti matahari. Aku berharap perusahaanku yang baru kurintis ini kelak akan seperti matahari yang selalu bersinar dan memberi manfaat bagi kehidupan banyak orang yang bernaung di dalamnya. Tiga tahun kemudian, dengan usaha dan kerja keras, aku berhasil membuka beberapa cabang, anak perusahaan dan mengembangkannya ke bisnis kuliner. Hingga SunCo memiliki sejumlah outlet dan menjadi tempat makan favorit di kota ini. Malam itu sesuatu terjadi, di tahun ke tiga belas p
Beberapa bulan berlalu, mas Ridwan tak pernah lagi mengungkit tentang Safira dan mendiang istrinya lagi. Dia selalu bersikap tunduk dan patih kepadaku. Tak pernah menyalahkan atau memakiku karena telah tega membuang bayinya begitu saja. Aku mencoba menata kembali hatiku untuknya, dan kami memulai lagi kehidupan yang baru. Ya, tak ada salahnya memberikan kesempatan kedua. Toh semua masalah sudah selesai. Tak ada lagi jejak penghianatannya. Keduanya sudah menghilang.Namun ada rasa yang lain di hati ini. Tiba-tiba saja aku merindukan bayi malang itu. Bayi yang selama sebulan selalu kupeluk dan kusayangi. Seperti ada sebuah rasa penyesalan di hati. Hingga beberapa bulan kemudian terdengar kabar duka cita dari adikku dan suaminya. Mereka hilang dalam sebuah kecelakaan dan mayatnya tak pernah ditemukan. Tinggallah keponakan malangku yang seketika menjadi yatim piatu. Aku membawanya pulang ke rumah dan kurawat seperti putraku sendiri. Dia yang selama ini terbiasa memanggilku tante, har
Aku begitu terhenyak mendengar kata-kata mama. Seriuskah dia dengan semua yang dia ucapkan? Aku masih tertegun, mencerna setiap kata-katanya barusan. Ibu kandungku, telah merebut suaminya? Apa mungkin ada cerita seperti itu? Perjalanan kami dari panti asuhan ke kota ini mamakan waktu semalaman. Sejauh itukah dia harus membuangku? Apa aku begitu mengganggu kehidupannya sehingga dia menyingkirkan aku sampai jauh ke luar kota? Tidak adakah panti asuhan di kota ini yang lebih baik dari panti asuhan yang selalu menyiksa kami itu? Setidaknya dia bisa meninggalkanku di masjid agar bisa ditemukan dan dibimbing oleh orang yang rajin ke masjid tentunya.Tidak. Keputusannya memang benar. Aku memang pantas mendapatkannya. Bahkan seharusnya aku mendapatkan tempat yang lebih buruk dari itu. Seketika hatiku merasa iba dengan wanita yang sedang bersimpuh di hadapanku ini. Betapa hinanya wanita yang telah merusak kebahagiaannya. "Maafkan Chaca, Ma." Tenggorokanku terasa tercekat. Mendadak suaraku
Aku terbangun saat mendengar ketukan pintu dan suara Aira memanggil. Matahari sudah mulai masuk menyinari lubang udara di kamar. Aku bahkan tak sadar kapan aku tertidur di lantai, setelah menangis sepanjang malam. "Kamu nggak kerja, Cha?" Tuk kesekian kalinya suara Aira tak kuhiraukan. Bagaimana aku bisa melihat wajahnya, bahkan terkadang aku sering mengumpat di dalam hati dengan keputusannya menjadi wanita kedua di dalam rumah tangga orang lain. Aku menaiki ranjang dan kembali menenggelamkan wajah ke bantal. Kembali memikirkan, apakah kisah semalam hanya sebuah mimpi. Ada panggilan masuk dari Bang Malik. Seketika mati dan kemudian memanggil kembali karena aku tak menghiraukannya. Kulihat ada puluhan pesan whatsapp masuk. Mungkin tak terdengar karena aku tertidur malam tadi. Ponselku berdering lagi. Masih sama, Bang Malik tak henti-hentinya menghubungiku. Lagi-lagi tak kuhiraukan, aku bahkan mematikannya. .Sudah beberapa hari aku juga tak masuk kerja. Setiap malam Bang Malik da
"Kenapa mendadak begini? Abang bilang istirahat saja dulu. Kita ke dokter sekarang!""Chaca nggak butuh dokter. Chaca cuman butuh istirahat." Aira kembali melangkah dan meletakkan gelas minuman di atas meja, lalu berlalu pergi. "Abang merindukanmu," ucapnya lirih. Hatiku semakin perih dibuatnya. Dia mendekat dan ingin memelukku, namun seketika aku mundur dan menjauh darinya. "Ada apa?" tanyanya terheran-heran. "Pulanglah, Chaca udah bilang ingin istirahat." Aku tak ingin terlihat menangis di depannya. Aku segera melangkah meninggalkannya dan menuju ke kamar serta langsung menguncinya."Buka pintunya Chaca, berhenti bersikap seperti ini." Ia mengetuk pintu dengan sabar.Aku meluapkan tangisku membelakangi pintu. Suaranya terdengar jelas di telinga."Buka pintunya, Chaca. Kenapa terus menghindar. Kita bisa bicarakan dengan baik-baik. Jangan seperti ini." Suara ketukan terdengar menjadi lebih keras. Aku masih diam tak menjawab, hanya menutup mulut agar suara tangisan tak terdengar k