POV Bu Sam. Saat itu usia pernikahanku sudah memasuki usia sepuluh tahun. Tapi Tuhan belum juga memberikan kami anugerah berupa seorang anak. Mungkin karena kesibukanku yang selalu jarang di rumah dan membuatku lelah. Suamiku yang notabenenya adalah mantan karyawan di perusahaan milik keluargaku, memintaku untuk segera membatasi diri dalam kegiatan.Dengan terpaksa aku menolaknya karena saat itu aku baru mulai merintis usahaku sendiri. The Sun Corp. Nama yang kuambil dari arti yang sama dengan namaku. Syamsiyah yang berarti matahari. Aku berharap perusahaanku yang baru kurintis ini kelak akan seperti matahari yang selalu bersinar dan memberi manfaat bagi kehidupan banyak orang yang bernaung di dalamnya. Tiga tahun kemudian, dengan usaha dan kerja keras, aku berhasil membuka beberapa cabang, anak perusahaan dan mengembangkannya ke bisnis kuliner. Hingga SunCo memiliki sejumlah outlet dan menjadi tempat makan favorit di kota ini. Malam itu sesuatu terjadi, di tahun ke tiga belas p
Beberapa bulan berlalu, mas Ridwan tak pernah lagi mengungkit tentang Safira dan mendiang istrinya lagi. Dia selalu bersikap tunduk dan patih kepadaku. Tak pernah menyalahkan atau memakiku karena telah tega membuang bayinya begitu saja. Aku mencoba menata kembali hatiku untuknya, dan kami memulai lagi kehidupan yang baru. Ya, tak ada salahnya memberikan kesempatan kedua. Toh semua masalah sudah selesai. Tak ada lagi jejak penghianatannya. Keduanya sudah menghilang.Namun ada rasa yang lain di hati ini. Tiba-tiba saja aku merindukan bayi malang itu. Bayi yang selama sebulan selalu kupeluk dan kusayangi. Seperti ada sebuah rasa penyesalan di hati. Hingga beberapa bulan kemudian terdengar kabar duka cita dari adikku dan suaminya. Mereka hilang dalam sebuah kecelakaan dan mayatnya tak pernah ditemukan. Tinggallah keponakan malangku yang seketika menjadi yatim piatu. Aku membawanya pulang ke rumah dan kurawat seperti putraku sendiri. Dia yang selama ini terbiasa memanggilku tante, har
Aku begitu terhenyak mendengar kata-kata mama. Seriuskah dia dengan semua yang dia ucapkan? Aku masih tertegun, mencerna setiap kata-katanya barusan. Ibu kandungku, telah merebut suaminya? Apa mungkin ada cerita seperti itu? Perjalanan kami dari panti asuhan ke kota ini mamakan waktu semalaman. Sejauh itukah dia harus membuangku? Apa aku begitu mengganggu kehidupannya sehingga dia menyingkirkan aku sampai jauh ke luar kota? Tidak adakah panti asuhan di kota ini yang lebih baik dari panti asuhan yang selalu menyiksa kami itu? Setidaknya dia bisa meninggalkanku di masjid agar bisa ditemukan dan dibimbing oleh orang yang rajin ke masjid tentunya.Tidak. Keputusannya memang benar. Aku memang pantas mendapatkannya. Bahkan seharusnya aku mendapatkan tempat yang lebih buruk dari itu. Seketika hatiku merasa iba dengan wanita yang sedang bersimpuh di hadapanku ini. Betapa hinanya wanita yang telah merusak kebahagiaannya. "Maafkan Chaca, Ma." Tenggorokanku terasa tercekat. Mendadak suaraku
Aku terbangun saat mendengar ketukan pintu dan suara Aira memanggil. Matahari sudah mulai masuk menyinari lubang udara di kamar. Aku bahkan tak sadar kapan aku tertidur di lantai, setelah menangis sepanjang malam. "Kamu nggak kerja, Cha?" Tuk kesekian kalinya suara Aira tak kuhiraukan. Bagaimana aku bisa melihat wajahnya, bahkan terkadang aku sering mengumpat di dalam hati dengan keputusannya menjadi wanita kedua di dalam rumah tangga orang lain. Aku menaiki ranjang dan kembali menenggelamkan wajah ke bantal. Kembali memikirkan, apakah kisah semalam hanya sebuah mimpi. Ada panggilan masuk dari Bang Malik. Seketika mati dan kemudian memanggil kembali karena aku tak menghiraukannya. Kulihat ada puluhan pesan whatsapp masuk. Mungkin tak terdengar karena aku tertidur malam tadi. Ponselku berdering lagi. Masih sama, Bang Malik tak henti-hentinya menghubungiku. Lagi-lagi tak kuhiraukan, aku bahkan mematikannya. .Sudah beberapa hari aku juga tak masuk kerja. Setiap malam Bang Malik da
"Kenapa mendadak begini? Abang bilang istirahat saja dulu. Kita ke dokter sekarang!""Chaca nggak butuh dokter. Chaca cuman butuh istirahat." Aira kembali melangkah dan meletakkan gelas minuman di atas meja, lalu berlalu pergi. "Abang merindukanmu," ucapnya lirih. Hatiku semakin perih dibuatnya. Dia mendekat dan ingin memelukku, namun seketika aku mundur dan menjauh darinya. "Ada apa?" tanyanya terheran-heran. "Pulanglah, Chaca udah bilang ingin istirahat." Aku tak ingin terlihat menangis di depannya. Aku segera melangkah meninggalkannya dan menuju ke kamar serta langsung menguncinya."Buka pintunya Chaca, berhenti bersikap seperti ini." Ia mengetuk pintu dengan sabar.Aku meluapkan tangisku membelakangi pintu. Suaranya terdengar jelas di telinga."Buka pintunya, Chaca. Kenapa terus menghindar. Kita bisa bicarakan dengan baik-baik. Jangan seperti ini." Suara ketukan terdengar menjadi lebih keras. Aku masih diam tak menjawab, hanya menutup mulut agar suara tangisan tak terdengar k
"Benar. Chaca hanya butuh semua itu. Tadinya Chaca pikir bisa hidup tenang dengan menjadikan Abang kekasih. Tapi nyatanya, menjadi adik atau kekasih Abang tidak ada bedanya. Chaca tetap tidak akan mendapatkan apa pun.""Apa Mama yang mengatakan semua omong kosong itu?" Ia mulai berpikir yang bukan-bukan. Apa aku salah bicara? Apa aku akan membuat dia lebih menyalahkan mamanya? Tidak, ternyata aku salah bicara."Kalau kamu butuh uang, kamu tidak perlu takut. Abang punya segalanya. Sudah berapa kali Abang katakan, uang Abang tidak ada hubungannya dengan Mama.""Berhenti membicarakan soal uang!" Aku berteriak histeris."Abang berjanji tidak akan marah-marah lagi sama kamu, tidak akan pernah membentakmu lagi, tidak akan melarangmu pergi dengan Haikal, tidak akan membatasi hubunganmu dengan Jaka dan ibunya. Apa pun itu akan Abang lakukan, asal jangan pernah tinggalkan Abang. Abang benar-benar menyayangimu." Dia sampai berlutut lemas menatapku. Sedalam itukah dia takut kehilanganku? Buka
Pekan Baru 2020Sudah setahun aku tinggal di kota ini. Kota yang konon katanya tempat kelahiran Bang Malik. Ya, setidaknya itu yang selalu dia ucapkan padaku."Abang ini putra melayu asli, dari keluarga Said," serunya penuh semangat kala itu. Lahir di Pekan Baru, kemudian dititipkan di panti asuhan karena kedua orang tuanya sudah meninggal. Begitulah surat yang ditinggalkan bersamaan dengan kehadirannya. "Kalau Abang punya darah melayu, berarti Chaca juga?" tanyaku polos."Tentu saja, kamu kan adik Abang. Lupakan orang tua yang sudah membuangmu. Anggap mereka sudah mati seperti orang tua Abang. Kalau pun mereka masih hidup, berdoa saja agar mereka cepat mati." Begitulah kata-kata kasar yang sering kami ucapkan. Tak pernah tahu caranya bertutur kata yang sopan. Sebab kata-kata umpatan tersebut juga sering diucapkan para pengurus panti.Dengan alasan nama itulah aku menambahkan nama Sayyida di belakang namaku, agar mengingatkanku bahwa Bang Malik benar-benar kakakku. Namun kenyataan
Hari ini ulang tahun Fatma. Pak Yaz mengadakan acara kecil-kecilan hanya dengan para karyawan. Kami semua mengambil foto berjajar dengan Fatma berada di tengah-tengah antara aku dan Pak Yaz. "Mirip keluarga, ya. Apa perlu aku crop nih fotonya biar jadi foto bertiga aja?" goda salah satu dari mereka."Posting dong, jangan lupa tag aku ya," sahut yang lainnya. "Iya, iya. Tenang.Kalian semua aku tag," balas Runi. Kemudian kami semua diajak makan di luar oleh pak Yaz. Kami kembali mengambil foto di berbagai tempat di sebuah restoran terkenal. Sesekali pak Yaz melirikku dan melempar senyuman sambil menunduk. Sudah seperti itu, sejak di awal-awal aku mulai bekerja padanya. Apalagi putri tunggalnya, Fatma juga sangat dekat denganku. Tapi tentu saja aku berpura-pura tidak ngeh dan bersikap biasa saja. Aku tak ingin membuatnya merasa, kalau aku juga menaruh perhatian.Selesai acara makan-makan, karyawan yang lain pada bubar, sementara aku dan Runi ikut pulang ke ruko. Fatma sangat senang
Aku memohon kepada Mama agar tetap merahasiakan ini kepada semua orang, termasuk om Ridwan sendiri. Aku lebih memilih statusku sebagai yatim piatu yang diadopsi oleh keluarga Om Jaka. Dengan begitu, aku akan belajar memaafkannya, dan memulai hubungan yang baru sebagai menantunya. Itu saja. Aku tak mau lagi ada drama air mata menjelang pernikahan. Biarlah ini sebagai hukuman atas dosa-dosa om Ridwan. Selamanya tidak pernah merasakan kehadiranku sebagai putri kandungnya. Semula Mama memang terlihat keberatan. Namun, melihat sorot mataku yang penuh keyakinan, dia terpaksa menuruti. Egois memang. Tapi, bukankah sebagai manusia yang punya perasaan, aku juga punya hak? Hanya itu satu-satunya cara hatiku bisa menerima kehadiran om Ridwan. Hanya sebagai Papanya Bang Malik."Mama mengerti, maaf kalau kami sebagai orang tua sudah menempatkan luka di hatimu. Menempatkanmu dalam posisi tersulit sebagai korban dari keegoisan orang-orang dewasa."Lagi, kata-kata yang sama seperti yang Aira ucapk
Siang ini aku memasak makan siang, membereskan rumah, sementara Aira membawa Alya untuk pergi imunisasi. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Aku membukakan pintu depan. Sesosok wanita itu kini berdiri kembali di hadapanku. Teringat saat terakhir kali kami saling menatap seperti ini. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apa dia sakit? Dia tampak ragu untuk melangkah. Entah karena malu atau takut. Aku pun merasa demikian, masih merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Bukankah seingatku kami memang tak seakrab itu? Tapi entah kenapa gejolak hati ini ingin sekali memeluknya. Menumpahkan rasa rindu yang entah sejak kapan mengikutiku. Selalu berharap dapat kembali bertemu dan membicarakan apa saja layak nya seorang teman, atau..Ibu. "Silahkan masuk, Ma." Aku menawarinya dengan suara yang tertahan. Ingin sekali aku menyentuh dan memeluknya, namun dia juga terlihat sama takutnya denganku. Mama melangkahkan kaki masuk ke dalam. Memperhatikanku dari atas samp
Sudah beberapa hari ini kerjaku hanya uring-uringan dan bermain bersama Alya saja. Suntuk juga rasanya menjadi pengangguran, setelah bertahun-tahun lamanya hidup dari kerjaan satu ke kerjaan lainnya. Mungkin aku tak lagi mempermasalahkan soal uang. Karena kini, Bang Malik yang menanggung semua kebutuhanku. Tapi tetap saja itu tak sesuai dengan jalan hidupku yang sehari-hari harus mengurung diri di rumah. Seperti biasa, Bang Malik menyempatkan diri untuk datang selepas bekerja. Aku mengajaknya ke balkon atas. Dia bilang sangat senang melihat bulan bersamaku, seperti waktu itu. "Abang punya sesuatu buat kamu," ucapnya. Aku menoleh untuk melihat apa yang dia bawa. Dia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari kantong celana. Jantungku sudah ser-seran. Berharap apa yang ada dipikiranku, benar adanya. Kemudian dia membuka dan menunjukkannya kepadaku. Seperti yang kukira, itu sebuah cincin. Cantik sekali. Senyumku pun mengembang. Adegan seperti ini persis seperti yang ada di drama-drama ro
Lagi-lagi aku berucap kata maaf. Mengaku salah telah meninggalkannya meski tahu dia sedang hamil dan membutuhkan seorang teman. "Alya sedang tidur," ucapnya. "Alya? Keponakanku?" Aira mengangguk. Aira menuntunku masuk ke kamarnya. Ada box bayi dengan mainan yang menggantung di atasnya. Bayi mungil itu tertidur pulas di dalamnya. Aku memberanikan diri untuk menggendong. Menciumi wajah dengan pipinya yang chubby itu. Sungguh terlihat seperti boneka. "Maafkan Tante, sayang. Maafkan Tante karena tidak ada di saat kamu lahir ke dunia ini." Aku kembali menciuminya sampai tubuh itu menggeliat karena merasa terganggu. Aku kembali mengunjungi kamar yang dulu aku tempati, Aira masih di kamarnya menidurkan Alya kembali. "Itu masih kamar kamu. Tinggallah lagi di sini. Aku sudah berpisah dari Mas Harris." Dia mengabarkan meski aku sudah mendengarnya dari Bang Malik. "Kenapa? Apa karena aku?""Entahlah, tapi kurasa itu keputusan yang benar. Aku juga tidak ingin nantinya Alya juga ikut merasa
Kami keluar dari gedung pusat SunCo. Aku memang sudah meminta izin kepada Bang Malik untuk menemui Haikal. Dan dia sama sekali tidak keberatan. "Ingat, ya. Kamu sekarang calon istri Abang. Jangan macam-macam," ancamnya. Dia sengaja tak ikut agar tak ada rasa canggung dengan sikap Haikal. Benar saja, sejenak Haikal langsung takut untuk mendekatiku sebelum dia tahu bahwa pria itu hanya mengantarku sampai di luar. Mobil melaju ke arah jalan yang sudah tak asing lagi bagiku. Kemudian dia memasuki gerbang yang sudah setahun ini tak pernah lagi ku kunjungi. Lagi, seperti merasa pulang ke rumah sendiri. "Aku belum gajian. Kita makan siang di sini aja. Gratis," ujarnya sembari melangkahkan kaki ke ruangan. Tak ada yang berubah. Mereka terlihat asik makan dengan lahapnya. Sampai sepasang mata itu menangkap kedatangan kami. "We! Chaca datang. Tengok tu, we. Itu Chaca." Oji berteriak histeris seperti melihat selebriti yang berkunjung ke aula makan dapur SunCo. Puluhan pasang mata menatap
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami mulai memasuki kota Medan. Aku meminta Bang Malik untuk segera singgah ke rumah nenek. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Bukankah mereka keluarga pertama yang harus aku kunjungi? Nenek berdiri mematung dengan tubuh tuanya. Matanya berkaca-kaca saat aku menangis memohon maaf. Nenek memang tak tahu bagaimana caranya menunjukkan kasih sayang, tapi kali ini dia begitu erat memelukku. Tak tahan juga rasanya menahan rindu. "Kau sudah dewasa," ujarnya. "Jangan lagi bersikap seperti itu." Aku kembali menangis di pelukannya. Bang Malik tertidur di ruang tamu beralaskan ambal. Aku sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar, namun dia menolak. "Di sini lebih nyaman," ujarnya. Untuk pertama kalinya aku melihat dia tertidur dengan pulas. Napasnya teratur dengan kedua tangan diletakkan di atas dada.Wajahnya terlihat lelah, hingga tak sadar kalau kini om Jaka juga ikut tertidur di sampingnya. Kupungut ponsel yang sedari tadi tergeletak begitu s
Rasa bersalah selalu menghantui. Aku memohon kepada mama untuk tetap berusaha mencarinya. Di jalanan, lampu merah, bahkan melaporkan kehilangan ke kantor polisi. Nihil. Tak ada jejak sama sekali. Bayang-bayang wajah Chaca yang menangis dalam cengkraman tangan preman tersebut selalu muncul dalam mimpiku. Bertahun-tahun lamanya aku hidup dalam bayang-bayang gadis kecil itu. Rasa rindu selalu menyelimuti, berharap bisa menyentuh dan memeluknya lagi. Hari ini hari ulang tahun Chaca. Hari yang diputuskan sebagai tanggal lahirnya di malam di mana dia ditemukan. Jika dia masih hidup, usianya kini sudah tujuh belas tahun. Sweet seventeen, kata gadis-gadis yang dulu satu esema denganku.Aku kembali mengunjungi masjid raya, tempat di mana aku dan Chaca selalu menghabiskan waktu bersama. Tak lupa untuk merayakan ulang tahunnya dengan memberi sedekah ke anak-anak jalanan yang sengaja aku kumpulkan di sana.'Chaca sayang, bagaimana keadaanmu sekarang?' batinku dalam hati. "Maaf, apakah anda Ha
POV MALIK.Aku mengenang kala kejadian waktu itu. Tubuhku yang terbaring lemah di... mungkin rumah sakit. Kulihat ada tiang yang menggantungkan cairan yang terhubung langsung dengan urat nadiku.Aku mencoba bergerak, merasai wajahku yang kini terasa tebal dan kaku. Kurasakan seluruhnya terbalut perban dengan rasa sakit yang luar biasa. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Beberapa wanita berpakaian serba putih datang untuk memeriksa apa yang terjadi kepadaku. Tak lama seorang pria dewasa juga muncul, mungkin seorang dokter. Ya, samar kulihat dari pakaian putih bersihnya, dia seorang dokter. Hampir seminggu setelah aku terjaga, dokter membuka seluruh perban di wajahku. Disaksikan oleh sepasang suami istri dan anak lelaki mereka. Memandangku dengan cemas dan was-was. Apa aku ini terlihat seperti hewan buas bagi mereka? Sejenak kemudian, kulihat rasa lega di wajah mereka, seolah semua sedang baik-baik saja. "Siapa namamu, Nak?" tanya wanita paruh baya tersebut. "Hannan Maliki S
Seperti janjiku kemarin, kami bersiap-siap berangkat. Aku dan Bang Malik berpamitan dengan mereka satu persatu. Runi memelukku dengan sangat erat, begitu juga dengan Wak Mis.Fatma yang tidak tahu apa-apa hanya tampak murung dan seperti tidak rela membiarkanku pergi. Namun dia kembali tersenyum saat ayahnya mengatakan kalau aku akan segera kembali. Pak Yaz sengaja tidak memberitahukannya, agar dia tidak menangis histeris karena takut kehilanganku. Pak Yaz mengulurkan tangan ke arah Bang Malik. Meminta maaf atas kesalahpahaman kemarin. Tangannya masih menggantung di udara, tanpa sambutan dari laki-laki yang tengah berdiri di sampingku. Masih tidak senang, rupanya. Aku menyenggol bahunya, lalu menariknya agar sedikit menunduk. Aku membisikkan sesuatu di telinganya. "Salamin. Atau Chaca yang akan menyambut uluran tangannya," ancamku. Dengan cepat dia menyambut telapak tangan Pak Yaz, kemudian menggoyang-goyangkannya seperti mereka sudah berteman cukup akrab."Awas kalau sampai bers