Share

Part 82

Author: Manda Azzahra
last update Last Updated: 2022-09-16 13:05:56

"Benar. Chaca hanya butuh semua itu. Tadinya Chaca pikir bisa hidup tenang dengan menjadikan Abang kekasih. Tapi nyatanya, menjadi adik atau kekasih Abang tidak ada bedanya. Chaca tetap tidak akan mendapatkan apa pun."

"Apa Mama yang mengatakan semua omong kosong itu?" Ia mulai berpikir yang bukan-bukan.

Apa aku salah bicara? Apa aku akan membuat dia lebih menyalahkan mamanya? Tidak, ternyata aku salah bicara.

"Kalau kamu butuh uang, kamu tidak perlu takut. Abang punya segalanya. Sudah berapa kali Abang katakan, uang Abang tidak ada hubungannya dengan Mama."

"Berhenti membicarakan soal uang!" Aku berteriak histeris.

"Abang berjanji tidak akan marah-marah lagi sama kamu, tidak akan pernah membentakmu lagi, tidak akan melarangmu pergi dengan Haikal, tidak akan membatasi hubunganmu dengan Jaka dan ibunya. Apa pun itu akan Abang lakukan, asal jangan pernah tinggalkan Abang. Abang benar-benar menyayangimu." Dia sampai berlutut lemas menatapku.

Sedalam itukah dia takut kehilanganku? Buka
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Anies
ish.. chacaaaaaa apa yang kamu lakukan???
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 83

    Pekan Baru 2020Sudah setahun aku tinggal di kota ini. Kota yang konon katanya tempat kelahiran Bang Malik. Ya, setidaknya itu yang selalu dia ucapkan padaku."Abang ini putra melayu asli, dari keluarga Said," serunya penuh semangat kala itu. Lahir di Pekan Baru, kemudian dititipkan di panti asuhan karena kedua orang tuanya sudah meninggal. Begitulah surat yang ditinggalkan bersamaan dengan kehadirannya. "Kalau Abang punya darah melayu, berarti Chaca juga?" tanyaku polos."Tentu saja, kamu kan adik Abang. Lupakan orang tua yang sudah membuangmu. Anggap mereka sudah mati seperti orang tua Abang. Kalau pun mereka masih hidup, berdoa saja agar mereka cepat mati." Begitulah kata-kata kasar yang sering kami ucapkan. Tak pernah tahu caranya bertutur kata yang sopan. Sebab kata-kata umpatan tersebut juga sering diucapkan para pengurus panti.Dengan alasan nama itulah aku menambahkan nama Sayyida di belakang namaku, agar mengingatkanku bahwa Bang Malik benar-benar kakakku. Namun kenyataan

    Last Updated : 2022-09-17
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 84

    Hari ini ulang tahun Fatma. Pak Yaz mengadakan acara kecil-kecilan hanya dengan para karyawan. Kami semua mengambil foto berjajar dengan Fatma berada di tengah-tengah antara aku dan Pak Yaz. "Mirip keluarga, ya. Apa perlu aku crop nih fotonya biar jadi foto bertiga aja?" goda salah satu dari mereka."Posting dong, jangan lupa tag aku ya," sahut yang lainnya. "Iya, iya. Tenang.Kalian semua aku tag," balas Runi. Kemudian kami semua diajak makan di luar oleh pak Yaz. Kami kembali mengambil foto di berbagai tempat di sebuah restoran terkenal. Sesekali pak Yaz melirikku dan melempar senyuman sambil menunduk. Sudah seperti itu, sejak di awal-awal aku mulai bekerja padanya. Apalagi putri tunggalnya, Fatma juga sangat dekat denganku. Tapi tentu saja aku berpura-pura tidak ngeh dan bersikap biasa saja. Aku tak ingin membuatnya merasa, kalau aku juga menaruh perhatian.Selesai acara makan-makan, karyawan yang lain pada bubar, sementara aku dan Runi ikut pulang ke ruko. Fatma sangat senang

    Last Updated : 2022-09-17
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 85

    Aku membaringkan diri di ranjang setelah toko tutup, mengamati foto Bang Malik yang kusimpan waktu itu. Rasa rindu kembali menyeruak. Membayangkan wajah, serta berbagai macam perlakuannya padaku.Sedang apa dia sekarang? Dia bahkan tak pernah aktif di sosial media, meski hanya untuk membagikan kesehariannya. Berulang kali aku mengecek akun fesbuknya dari akun fake yang aku buat setahun yang lalu. Sebuah foto, atau kata-kata ungkapan pun tak pernah dia post. Aku sengaja tidak memakai akunku yang lama agar tak seorang pun bisa melacak keberadaanku. Termasuk Aira dan Vera. Sahabat-sahabat terbaik yang juga sangat aku rindukan. Aira kini sudah memiliki seorang bayi. Hanya sebuah foto yang dia posting beberapa bulan yang lalu dengan caption 'Keponakanmu sudah lahir, tidakkah kamu ingin melihatnya?'Air mataku tumpah seketika, begitu paham kalau status itu sengaja ditujukan khusus untukku. Kemudian akun tersebut sama nasibnya seperti milikku. Tak pernah lagi memberitahu sesuatu. Sengajak

    Last Updated : 2022-09-17
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 86

    Perlahan dia mulai mendekat, membuat kedua tungkai kakiku gemetaran. Tak berkedip sedikit pun mataku, saat kini dia berada tak sampai selangkah di depanku. Dekat sekali."Kenapa? Kaget?" sapanya, sembari membuka kacamata hitam yang dari tadi bertengger di atas hidung mancungnya. Aku masih terdiam, tak sanggup mengatakan apa pun. Karena apa? Takutkah? Tidak. Aku hanya memastikan dia benar-benar nyata dan bukan bayangan. Kemudian kami berdua mematung saling menatap saat sebuah suara menyadarkanku."Maaf, anda siapa?" tanya pak Yaz. "Tanyakan pada gadis yang bersama anda," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dariku. "Chaca? Kamu kenal orang ini?" Kali ini pak Yaz mencari jawaban kepadaku. Aku mengangguk mengiyakan. "Siapa?"Secara bergantian aku memandang pak Yaz, kemudian kembali menatapnya, memastikan ini bukanlah sebuah fatamorgana di tengah gurun pasir."Bang Malik!""Bang Malik?" ulangnya. Aku kembali mengangguk. "Abang saya," ucapku penuh keyakinan."Oh...." Suara pak Yaz ter

    Last Updated : 2022-09-18
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 87

    "Uwak buatin minum, ya?" tawarnya. "Nggak usah, Wak. Masih ada minuman botol di kulkas atas," sahutku, sambil berlalu dan pria itu mengekor dari belakang. Kebetulan di lantai tiga kami diberi fasilitas lemari es dan dispenser sendiri agar tak repot-repot bila hendak minum atau menyimpan camilan. Hanya dapur yang berada di lantai dua, karena aku dan Runi juga ikut makan bersama keluarga pak Yaz.Aku mengajak Bang Malik masuk ke kamar yang aku tempati bersama Runi. Dia menyisir setiap sudut ruangan, kemudian menghempaskan diri di ranjang yang kebetulan milikku. Ada dua ranjang kecil di kamar ini. Masing-masing untuk aku dan Runi. Masing-masing diberi satu lemari pakaian mini di setiap sudutnya. "Abang merindukan bau tubuh ini." Dia memeluk guling yang biasa aku pakai. "Bagaimana kalau itu bukan ranjang Chaca?""Tidak. Ini memang milikmu. Biarkan Abang berbaring sebentar. Abang capek menyetir semalaman. Kemudian baru Abang akan memelukmu."Apa? Semudah itu dia bicara? Apa penyakit g

    Last Updated : 2022-09-18
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 88

    "Abang jahat, egois!" Aku memukul dadanya berulang kali. Kali ini pertahananku goyah. Aku percaya, dia mungkin bisa melakukan apa saja saat sedang marah. Benarkah saat ini om Jaka tidak bisa berjalan lagi? Aku menjauhkan diri darinya dan berusaha mengecek ponselku. Mencoba mencari nomor yang masih kusimpan, tapi tak pernah kuhubungi. Dengan cepat dia merampas benda pipih itu dari tanganku, lalu bergerak duduk di sisi ranjang. Memeriksa semua isi yang ada di dalamnya setelah kunci pola kubuka. "Hape Abang sita, sampai kamu ikut Abang pulang.""Hish.. balikin. Chaca mau nelpon nenek," protesku.Dia memasukkan ponselku begitu saja di kantong celananya, lalu kembali berbaring sambil memeluk gulingku. "Balikin, Bang." Aku masih cemas. Dasar psiko, laki-laki barbar, bipolar atau apa pun namanya. Dia sama saja seperti mafia atau orang gila. Seenaknya saja mematahkan kaki orang seperti tidak punya rasa kemanusiaan. Aku menarik guling tersebut kemudian mencoba mengambil ponsel yang tadi

    Last Updated : 2022-09-18
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 89

    Aku membantunya merapikan sprei tempat tidur dan menyusun pakaiannya dengan rapi di lemari kecil yang serupa dengan kami. Kamar ini dulunya dipakai oleh karyawan lama, yang sekarang sudah berhenti bekerja dan menikah.Di atas lemari yang tidak sampai setinggi diriku itu, aku menyusun sisir, parfum dan beberapa perlengkapan lain yang ada di kopernya. Kulihat dia masih berbaring sambil menutupi matanya dengan lengan. Dia kembali terlihat seperti menahan beban berat. "Sampai kapan Abang mau tinggal di sini?" tanyaku seraya mendorong koper kosong nya ke bawah tempat tidur."Sampai kamu siap," jawabnya sambil sesekali menarik napas. "Siap untuk apa?""Untuk ikut pulang" Aku menghela napas. "Chaca lebih suka tinggal di sini," jawabku berbohong. Dia mencoba bangkit dan duduk di sisi tempat tidur. Mengucek matanya yang terlihat lelah dan mengantuk. "Bagaimana kalau toko ini tiba-tiba saja bangkrut, lalu tutup? Atau tiba-tiba terjadi kebakaran atau....""Berhenti menakut-nakuti," umpatku

    Last Updated : 2022-09-18
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 90

    "Kamu kenapa,Cha?" Kurasakan Runi mengelus pundakku. Namun tangisku semakin pecah, tak mampu menjawab dan harus memulainya dari mana. Runi kemudian mencoba memelukku dan menepuk-nepuk punggungku. "Sudah, tidak apa-apa. Menangis saja. Aku tidak akan bertanya." Runi berusaha menenangkanku. Aku kembali terisak di pelukannya.Jadi, mereka semua sudah tau keberadaanku saat ini? Aira? Haikal? Bahkan teman-teman di SunCo? Aku tak dapat lagi membaca komentar mereka satu persatu yang terus menerus menanyakan bagaimana keadaanku.Sekhawatir itukah mereka? Seketika aku mulai menyadari, aku tak benar-benar sendiri. Ada mereka yang selalu menemani dan menguatkanku. Tak henti-hentinya air mata ini mengalir, hingga sesenggukan aku di dada Runi. .Keesokan paginya aku bekerja seperti biasa. Kamar Bang Malik masih tertutup rapat, kembali kubiarkan begitu saja. Mungkin kalau lapar dia akan keluar dengan sendirinya.Seperti biasa kami memulai aktivitas dengan bersih-bersih dan menghidupkan semua mesin

    Last Updated : 2022-09-18

Latest chapter

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 103 ( Ending )

    Aku memohon kepada Mama agar tetap merahasiakan ini kepada semua orang, termasuk om Ridwan sendiri. Aku lebih memilih statusku sebagai yatim piatu yang diadopsi oleh keluarga Om Jaka. Dengan begitu, aku akan belajar memaafkannya, dan memulai hubungan yang baru sebagai menantunya. Itu saja. Aku tak mau lagi ada drama air mata menjelang pernikahan. Biarlah ini sebagai hukuman atas dosa-dosa om Ridwan. Selamanya tidak pernah merasakan kehadiranku sebagai putri kandungnya. Semula Mama memang terlihat keberatan. Namun, melihat sorot mataku yang penuh keyakinan, dia terpaksa menuruti. Egois memang. Tapi, bukankah sebagai manusia yang punya perasaan, aku juga punya hak? Hanya itu satu-satunya cara hatiku bisa menerima kehadiran om Ridwan. Hanya sebagai Papanya Bang Malik."Mama mengerti, maaf kalau kami sebagai orang tua sudah menempatkan luka di hatimu. Menempatkanmu dalam posisi tersulit sebagai korban dari keegoisan orang-orang dewasa."Lagi, kata-kata yang sama seperti yang Aira ucapk

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 102

    Siang ini aku memasak makan siang, membereskan rumah, sementara Aira membawa Alya untuk pergi imunisasi. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Aku membukakan pintu depan. Sesosok wanita itu kini berdiri kembali di hadapanku. Teringat saat terakhir kali kami saling menatap seperti ini. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apa dia sakit? Dia tampak ragu untuk melangkah. Entah karena malu atau takut. Aku pun merasa demikian, masih merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Bukankah seingatku kami memang tak seakrab itu? Tapi entah kenapa gejolak hati ini ingin sekali memeluknya. Menumpahkan rasa rindu yang entah sejak kapan mengikutiku. Selalu berharap dapat kembali bertemu dan membicarakan apa saja layak nya seorang teman, atau..Ibu. "Silahkan masuk, Ma." Aku menawarinya dengan suara yang tertahan. Ingin sekali aku menyentuh dan memeluknya, namun dia juga terlihat sama takutnya denganku. Mama melangkahkan kaki masuk ke dalam. Memperhatikanku dari atas samp

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 101

    Sudah beberapa hari ini kerjaku hanya uring-uringan dan bermain bersama Alya saja. Suntuk juga rasanya menjadi pengangguran, setelah bertahun-tahun lamanya hidup dari kerjaan satu ke kerjaan lainnya. Mungkin aku tak lagi mempermasalahkan soal uang. Karena kini, Bang Malik yang menanggung semua kebutuhanku. Tapi tetap saja itu tak sesuai dengan jalan hidupku yang sehari-hari harus mengurung diri di rumah. Seperti biasa, Bang Malik menyempatkan diri untuk datang selepas bekerja. Aku mengajaknya ke balkon atas. Dia bilang sangat senang melihat bulan bersamaku, seperti waktu itu. "Abang punya sesuatu buat kamu," ucapnya. Aku menoleh untuk melihat apa yang dia bawa. Dia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari kantong celana. Jantungku sudah ser-seran. Berharap apa yang ada dipikiranku, benar adanya. Kemudian dia membuka dan menunjukkannya kepadaku. Seperti yang kukira, itu sebuah cincin. Cantik sekali. Senyumku pun mengembang. Adegan seperti ini persis seperti yang ada di drama-drama ro

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 100

    Lagi-lagi aku berucap kata maaf. Mengaku salah telah meninggalkannya meski tahu dia sedang hamil dan membutuhkan seorang teman. "Alya sedang tidur," ucapnya. "Alya? Keponakanku?" Aira mengangguk. Aira menuntunku masuk ke kamarnya. Ada box bayi dengan mainan yang menggantung di atasnya. Bayi mungil itu tertidur pulas di dalamnya. Aku memberanikan diri untuk menggendong. Menciumi wajah dengan pipinya yang chubby itu. Sungguh terlihat seperti boneka. "Maafkan Tante, sayang. Maafkan Tante karena tidak ada di saat kamu lahir ke dunia ini." Aku kembali menciuminya sampai tubuh itu menggeliat karena merasa terganggu. Aku kembali mengunjungi kamar yang dulu aku tempati, Aira masih di kamarnya menidurkan Alya kembali. "Itu masih kamar kamu. Tinggallah lagi di sini. Aku sudah berpisah dari Mas Harris." Dia mengabarkan meski aku sudah mendengarnya dari Bang Malik. "Kenapa? Apa karena aku?""Entahlah, tapi kurasa itu keputusan yang benar. Aku juga tidak ingin nantinya Alya juga ikut merasa

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 99

    Kami keluar dari gedung pusat SunCo. Aku memang sudah meminta izin kepada Bang Malik untuk menemui Haikal. Dan dia sama sekali tidak keberatan. "Ingat, ya. Kamu sekarang calon istri Abang. Jangan macam-macam," ancamnya. Dia sengaja tak ikut agar tak ada rasa canggung dengan sikap Haikal. Benar saja, sejenak Haikal langsung takut untuk mendekatiku sebelum dia tahu bahwa pria itu hanya mengantarku sampai di luar. Mobil melaju ke arah jalan yang sudah tak asing lagi bagiku. Kemudian dia memasuki gerbang yang sudah setahun ini tak pernah lagi ku kunjungi. Lagi, seperti merasa pulang ke rumah sendiri. "Aku belum gajian. Kita makan siang di sini aja. Gratis," ujarnya sembari melangkahkan kaki ke ruangan. Tak ada yang berubah. Mereka terlihat asik makan dengan lahapnya. Sampai sepasang mata itu menangkap kedatangan kami. "We! Chaca datang. Tengok tu, we. Itu Chaca." Oji berteriak histeris seperti melihat selebriti yang berkunjung ke aula makan dapur SunCo. Puluhan pasang mata menatap

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 98

    Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami mulai memasuki kota Medan. Aku meminta Bang Malik untuk segera singgah ke rumah nenek. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Bukankah mereka keluarga pertama yang harus aku kunjungi? Nenek berdiri mematung dengan tubuh tuanya. Matanya berkaca-kaca saat aku menangis memohon maaf. Nenek memang tak tahu bagaimana caranya menunjukkan kasih sayang, tapi kali ini dia begitu erat memelukku. Tak tahan juga rasanya menahan rindu. "Kau sudah dewasa," ujarnya. "Jangan lagi bersikap seperti itu." Aku kembali menangis di pelukannya. Bang Malik tertidur di ruang tamu beralaskan ambal. Aku sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar, namun dia menolak. "Di sini lebih nyaman," ujarnya. Untuk pertama kalinya aku melihat dia tertidur dengan pulas. Napasnya teratur dengan kedua tangan diletakkan di atas dada.Wajahnya terlihat lelah, hingga tak sadar kalau kini om Jaka juga ikut tertidur di sampingnya. Kupungut ponsel yang sedari tadi tergeletak begitu s

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 97

    Rasa bersalah selalu menghantui. Aku memohon kepada mama untuk tetap berusaha mencarinya. Di jalanan, lampu merah, bahkan melaporkan kehilangan ke kantor polisi. Nihil. Tak ada jejak sama sekali. Bayang-bayang wajah Chaca yang menangis dalam cengkraman tangan preman tersebut selalu muncul dalam mimpiku. Bertahun-tahun lamanya aku hidup dalam bayang-bayang gadis kecil itu. Rasa rindu selalu menyelimuti, berharap bisa menyentuh dan memeluknya lagi. Hari ini hari ulang tahun Chaca. Hari yang diputuskan sebagai tanggal lahirnya di malam di mana dia ditemukan. Jika dia masih hidup, usianya kini sudah tujuh belas tahun. Sweet seventeen, kata gadis-gadis yang dulu satu esema denganku.Aku kembali mengunjungi masjid raya, tempat di mana aku dan Chaca selalu menghabiskan waktu bersama. Tak lupa untuk merayakan ulang tahunnya dengan memberi sedekah ke anak-anak jalanan yang sengaja aku kumpulkan di sana.'Chaca sayang, bagaimana keadaanmu sekarang?' batinku dalam hati. "Maaf, apakah anda Ha

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 96

    POV MALIK.Aku mengenang kala kejadian waktu itu. Tubuhku yang terbaring lemah di... mungkin rumah sakit. Kulihat ada tiang yang menggantungkan cairan yang terhubung langsung dengan urat nadiku.Aku mencoba bergerak, merasai wajahku yang kini terasa tebal dan kaku. Kurasakan seluruhnya terbalut perban dengan rasa sakit yang luar biasa. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Beberapa wanita berpakaian serba putih datang untuk memeriksa apa yang terjadi kepadaku. Tak lama seorang pria dewasa juga muncul, mungkin seorang dokter. Ya, samar kulihat dari pakaian putih bersihnya, dia seorang dokter. Hampir seminggu setelah aku terjaga, dokter membuka seluruh perban di wajahku. Disaksikan oleh sepasang suami istri dan anak lelaki mereka. Memandangku dengan cemas dan was-was. Apa aku ini terlihat seperti hewan buas bagi mereka? Sejenak kemudian, kulihat rasa lega di wajah mereka, seolah semua sedang baik-baik saja. "Siapa namamu, Nak?" tanya wanita paruh baya tersebut. "Hannan Maliki S

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 95

    Seperti janjiku kemarin, kami bersiap-siap berangkat. Aku dan Bang Malik berpamitan dengan mereka satu persatu. Runi memelukku dengan sangat erat, begitu juga dengan Wak Mis.Fatma yang tidak tahu apa-apa hanya tampak murung dan seperti tidak rela membiarkanku pergi. Namun dia kembali tersenyum saat ayahnya mengatakan kalau aku akan segera kembali. Pak Yaz sengaja tidak memberitahukannya, agar dia tidak menangis histeris karena takut kehilanganku. Pak Yaz mengulurkan tangan ke arah Bang Malik. Meminta maaf atas kesalahpahaman kemarin. Tangannya masih menggantung di udara, tanpa sambutan dari laki-laki yang tengah berdiri di sampingku. Masih tidak senang, rupanya. Aku menyenggol bahunya, lalu menariknya agar sedikit menunduk. Aku membisikkan sesuatu di telinganya. "Salamin. Atau Chaca yang akan menyambut uluran tangannya," ancamku. Dengan cepat dia menyambut telapak tangan Pak Yaz, kemudian menggoyang-goyangkannya seperti mereka sudah berteman cukup akrab."Awas kalau sampai bers

DMCA.com Protection Status