Share

Part 87

Author: Manda Azzahra
last update Last Updated: 2022-09-18 10:27:45

"Uwak buatin minum, ya?" tawarnya.

"Nggak usah, Wak. Masih ada minuman botol di kulkas atas," sahutku, sambil berlalu dan pria itu mengekor dari belakang.

Kebetulan di lantai tiga kami diberi fasilitas lemari es dan dispenser sendiri agar tak repot-repot bila hendak minum atau menyimpan camilan. Hanya dapur yang berada di lantai dua, karena aku dan Runi juga ikut makan bersama keluarga pak Yaz.

Aku mengajak Bang Malik masuk ke kamar yang aku tempati bersama Runi. Dia menyisir setiap sudut ruangan, kemudian menghempaskan diri di ranjang yang kebetulan milikku.

Ada dua ranjang kecil di kamar ini. Masing-masing untuk aku dan Runi. Masing-masing diberi satu lemari pakaian mini di setiap sudutnya.

"Abang merindukan bau tubuh ini." Dia memeluk guling yang biasa aku pakai.

"Bagaimana kalau itu bukan ranjang Chaca?"

"Tidak. Ini memang milikmu. Biarkan Abang berbaring sebentar. Abang capek menyetir semalaman. Kemudian baru Abang akan memelukmu."

Apa? Semudah itu dia bicara? Apa penyakit g
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 88

    "Abang jahat, egois!" Aku memukul dadanya berulang kali. Kali ini pertahananku goyah. Aku percaya, dia mungkin bisa melakukan apa saja saat sedang marah. Benarkah saat ini om Jaka tidak bisa berjalan lagi? Aku menjauhkan diri darinya dan berusaha mengecek ponselku. Mencoba mencari nomor yang masih kusimpan, tapi tak pernah kuhubungi. Dengan cepat dia merampas benda pipih itu dari tanganku, lalu bergerak duduk di sisi ranjang. Memeriksa semua isi yang ada di dalamnya setelah kunci pola kubuka. "Hape Abang sita, sampai kamu ikut Abang pulang.""Hish.. balikin. Chaca mau nelpon nenek," protesku.Dia memasukkan ponselku begitu saja di kantong celananya, lalu kembali berbaring sambil memeluk gulingku. "Balikin, Bang." Aku masih cemas. Dasar psiko, laki-laki barbar, bipolar atau apa pun namanya. Dia sama saja seperti mafia atau orang gila. Seenaknya saja mematahkan kaki orang seperti tidak punya rasa kemanusiaan. Aku menarik guling tersebut kemudian mencoba mengambil ponsel yang tadi

    Last Updated : 2022-09-18
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 89

    Aku membantunya merapikan sprei tempat tidur dan menyusun pakaiannya dengan rapi di lemari kecil yang serupa dengan kami. Kamar ini dulunya dipakai oleh karyawan lama, yang sekarang sudah berhenti bekerja dan menikah.Di atas lemari yang tidak sampai setinggi diriku itu, aku menyusun sisir, parfum dan beberapa perlengkapan lain yang ada di kopernya. Kulihat dia masih berbaring sambil menutupi matanya dengan lengan. Dia kembali terlihat seperti menahan beban berat. "Sampai kapan Abang mau tinggal di sini?" tanyaku seraya mendorong koper kosong nya ke bawah tempat tidur."Sampai kamu siap," jawabnya sambil sesekali menarik napas. "Siap untuk apa?""Untuk ikut pulang" Aku menghela napas. "Chaca lebih suka tinggal di sini," jawabku berbohong. Dia mencoba bangkit dan duduk di sisi tempat tidur. Mengucek matanya yang terlihat lelah dan mengantuk. "Bagaimana kalau toko ini tiba-tiba saja bangkrut, lalu tutup? Atau tiba-tiba terjadi kebakaran atau....""Berhenti menakut-nakuti," umpatku

    Last Updated : 2022-09-18
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 90

    "Kamu kenapa,Cha?" Kurasakan Runi mengelus pundakku. Namun tangisku semakin pecah, tak mampu menjawab dan harus memulainya dari mana. Runi kemudian mencoba memelukku dan menepuk-nepuk punggungku. "Sudah, tidak apa-apa. Menangis saja. Aku tidak akan bertanya." Runi berusaha menenangkanku. Aku kembali terisak di pelukannya.Jadi, mereka semua sudah tau keberadaanku saat ini? Aira? Haikal? Bahkan teman-teman di SunCo? Aku tak dapat lagi membaca komentar mereka satu persatu yang terus menerus menanyakan bagaimana keadaanku.Sekhawatir itukah mereka? Seketika aku mulai menyadari, aku tak benar-benar sendiri. Ada mereka yang selalu menemani dan menguatkanku. Tak henti-hentinya air mata ini mengalir, hingga sesenggukan aku di dada Runi. .Keesokan paginya aku bekerja seperti biasa. Kamar Bang Malik masih tertutup rapat, kembali kubiarkan begitu saja. Mungkin kalau lapar dia akan keluar dengan sendirinya.Seperti biasa kami memulai aktivitas dengan bersih-bersih dan menghidupkan semua mesin

    Last Updated : 2022-09-18
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 91

    Apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Bang Malik juga tampak sangat antusias. Bang Malik memang pernah mengatakan, kalau kini dia tak lagi mengurus SunCo dan lebih memilih menjalankan usahanya sendiri. Usaha inikah yang dia katakan yang membuatnya tidak menggantungkan hidup sama Mama? Kenapa sampai saat ini kehidupan Bang Malik masih menjadi misteri buatku. Sekaya apa dia sampai-sampai sanggup meninggalkan perusahaan dan rumah Mama? "Ini, Pak, minumannya." Kulihat Kak Uli menyuguhkan dua teh botol yang di pesan dari toko depan. Pasti Pak Yaz yang menyuruh. Gadis berjilbab itu tampak malu melihat Malik yang sedang duduk di samping tempatnya berdiri. Plis, jangan berusaha menggodanya. Dia itu milikku. Tiba-tiba ada hawa panas yang bergejolak di dalam dada. Tak biasanya Kak Uli tersenyum dengan sembarangan pria. Apa Bang Malik sudah berhasil menggoyahkan imannya? Ayolah, Kak. Jangan tikung cintaku di sepertiga malam dengan doamu. Tiba-tiba aku merasa cemas, apakah nanti dia akan tet

    Last Updated : 2022-09-18
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 92

    Aku terkejut, kala melihat wajahnya yang kini tepat berada di depanku. Menatapku dengan sedikit senyuman penuh harapan. Seketika aku mundur dan bangkit dari sisi ranjang. Merasa malu dengan apa yang baru saja aku ungkapkan. Apakah aku terkesan agresif, atau.. murahan? Ish.. entah seperti apa wajahku kali ini. Mungkin sudah memerah dan terlihat memalukan. Aku mundur dan melangkah, bermaksud untuk pergi dan meninggalkannya. Namun dengan sigap tangan ini tertangkap dan ditarik lagi olehnya. "Mau kabur ke mana lagi, ha? Hayo, tanggung jawab. Barusan ngomong apa?""Eh? Emang Chaca ngomong apa?" Aku pura-pura bodoh, sambil mengalihkan pandangan ke sembarang arah. "Jadi, kita nikah?"Eh? Apa ini? Sebuah lamaran? Beginikah rasanya? Jantungku kembali berdegup tak menentu. Terdengarkah sampai ke telinganya? "Menikah? Kenapa secepat ini?" tanyaku gugup. "Karena Abang tidak ingin kehilangan kamu lagi.""Tapi... ""Tadi kamu bilang sudah siap, jangan lagi mengingkari janji," protesnya sebel

    Last Updated : 2022-09-19
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 93

    "Aira langsung menghubungi Abang setelah beberapa saat potomu terunggah. Dia histeris dan menyuruh Abang langsung menyusul dan membawamu kembali. Tidak peduli apa yang baru saja Abang kerjakan saat itu." Suaranya mulai terdengar serak. "Abang begitu terpukul melihat fotomu begitu bahagia berada di antara orang-orang asing itu. Merasa sakit, karena bukan bersama Abang kamu membagi kebahagiaan dengan wajah seceria itu. Sesakit itu rasanya tidak dianggap sama sekali." Dia terbungkuk sesenggukan.Aku bangkit dan berdiri di hadapannya. Memeluk dan berlutut agar dia segera menghentikan tangisannya. "Maafkan Chaca, Bang. Chaca bersalah....".Sudah beberapa hari ini Bang Malik tak lagi turun saat toko di buka. Aku sengaja melarangnya, agar tak lagi jadi pusat perhatian di kalangan para karyawan. Aku juga tidak rela kalau sampai dia terlihat akrab dan sering ngobrol sama mereka. "Maaf ya Kak Uli, Abang Chaca sebentar lagi akan menikah." Aku berterus terang sama Kak Uli yang kemarin sudah l

    Last Updated : 2022-09-19
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 94

    Tangannya mulai melonggar dan membalas genggaman tanganku. Wajah garang itu kini berangsur pulih dan mulai tenang. Aku kemudian mengusap rambutnya seperti anak kecil. Bagaimanapun, aku sudah mulai terbiasa dengan situasi seperti ini, bukankah semua ini juga karena aku? "Nanti Chaca akan bicara langsung sama Pak Yaz. Jadi dia tidak perlu repot-repot meminta ijin sama Abang." Aku kembali membujuknya. "Kemudian baru kita akan pulang."Malik terkejut mendengar penuturanku. Mungkin tidak akan terpikirkan olehnya bahwa secepat itu aku berubah pikiran. Tapi itu bukan hanya semata-mata karena masalah ini. Tidak sama sekali. Aku sudah memikirkannya semalaman. Memikirkan bahwa kehidupanku bukan di sini. Banyak orang yang merindukanku di sana. Orang-orang yang sebenarnya juga sangat kurindukan. Orang-orang yang benar-benar tidak pernah kulupakan sedetik pun dari ingatan. Aku benar-benar akan kembali, meski tanpa ada kejadian hari ini. "Abang tidak perlu lagi khawatir, Chaca akan ikut kemana

    Last Updated : 2022-09-19
  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 95

    Seperti janjiku kemarin, kami bersiap-siap berangkat. Aku dan Bang Malik berpamitan dengan mereka satu persatu. Runi memelukku dengan sangat erat, begitu juga dengan Wak Mis.Fatma yang tidak tahu apa-apa hanya tampak murung dan seperti tidak rela membiarkanku pergi. Namun dia kembali tersenyum saat ayahnya mengatakan kalau aku akan segera kembali. Pak Yaz sengaja tidak memberitahukannya, agar dia tidak menangis histeris karena takut kehilanganku. Pak Yaz mengulurkan tangan ke arah Bang Malik. Meminta maaf atas kesalahpahaman kemarin. Tangannya masih menggantung di udara, tanpa sambutan dari laki-laki yang tengah berdiri di sampingku. Masih tidak senang, rupanya. Aku menyenggol bahunya, lalu menariknya agar sedikit menunduk. Aku membisikkan sesuatu di telinganya. "Salamin. Atau Chaca yang akan menyambut uluran tangannya," ancamku. Dengan cepat dia menyambut telapak tangan Pak Yaz, kemudian menggoyang-goyangkannya seperti mereka sudah berteman cukup akrab."Awas kalau sampai bers

    Last Updated : 2022-09-19

Latest chapter

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 103 ( Ending )

    Aku memohon kepada Mama agar tetap merahasiakan ini kepada semua orang, termasuk om Ridwan sendiri. Aku lebih memilih statusku sebagai yatim piatu yang diadopsi oleh keluarga Om Jaka. Dengan begitu, aku akan belajar memaafkannya, dan memulai hubungan yang baru sebagai menantunya. Itu saja. Aku tak mau lagi ada drama air mata menjelang pernikahan. Biarlah ini sebagai hukuman atas dosa-dosa om Ridwan. Selamanya tidak pernah merasakan kehadiranku sebagai putri kandungnya. Semula Mama memang terlihat keberatan. Namun, melihat sorot mataku yang penuh keyakinan, dia terpaksa menuruti. Egois memang. Tapi, bukankah sebagai manusia yang punya perasaan, aku juga punya hak? Hanya itu satu-satunya cara hatiku bisa menerima kehadiran om Ridwan. Hanya sebagai Papanya Bang Malik."Mama mengerti, maaf kalau kami sebagai orang tua sudah menempatkan luka di hatimu. Menempatkanmu dalam posisi tersulit sebagai korban dari keegoisan orang-orang dewasa."Lagi, kata-kata yang sama seperti yang Aira ucapk

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 102

    Siang ini aku memasak makan siang, membereskan rumah, sementara Aira membawa Alya untuk pergi imunisasi. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Aku membukakan pintu depan. Sesosok wanita itu kini berdiri kembali di hadapanku. Teringat saat terakhir kali kami saling menatap seperti ini. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apa dia sakit? Dia tampak ragu untuk melangkah. Entah karena malu atau takut. Aku pun merasa demikian, masih merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Bukankah seingatku kami memang tak seakrab itu? Tapi entah kenapa gejolak hati ini ingin sekali memeluknya. Menumpahkan rasa rindu yang entah sejak kapan mengikutiku. Selalu berharap dapat kembali bertemu dan membicarakan apa saja layak nya seorang teman, atau..Ibu. "Silahkan masuk, Ma." Aku menawarinya dengan suara yang tertahan. Ingin sekali aku menyentuh dan memeluknya, namun dia juga terlihat sama takutnya denganku. Mama melangkahkan kaki masuk ke dalam. Memperhatikanku dari atas samp

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 101

    Sudah beberapa hari ini kerjaku hanya uring-uringan dan bermain bersama Alya saja. Suntuk juga rasanya menjadi pengangguran, setelah bertahun-tahun lamanya hidup dari kerjaan satu ke kerjaan lainnya. Mungkin aku tak lagi mempermasalahkan soal uang. Karena kini, Bang Malik yang menanggung semua kebutuhanku. Tapi tetap saja itu tak sesuai dengan jalan hidupku yang sehari-hari harus mengurung diri di rumah. Seperti biasa, Bang Malik menyempatkan diri untuk datang selepas bekerja. Aku mengajaknya ke balkon atas. Dia bilang sangat senang melihat bulan bersamaku, seperti waktu itu. "Abang punya sesuatu buat kamu," ucapnya. Aku menoleh untuk melihat apa yang dia bawa. Dia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari kantong celana. Jantungku sudah ser-seran. Berharap apa yang ada dipikiranku, benar adanya. Kemudian dia membuka dan menunjukkannya kepadaku. Seperti yang kukira, itu sebuah cincin. Cantik sekali. Senyumku pun mengembang. Adegan seperti ini persis seperti yang ada di drama-drama ro

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 100

    Lagi-lagi aku berucap kata maaf. Mengaku salah telah meninggalkannya meski tahu dia sedang hamil dan membutuhkan seorang teman. "Alya sedang tidur," ucapnya. "Alya? Keponakanku?" Aira mengangguk. Aira menuntunku masuk ke kamarnya. Ada box bayi dengan mainan yang menggantung di atasnya. Bayi mungil itu tertidur pulas di dalamnya. Aku memberanikan diri untuk menggendong. Menciumi wajah dengan pipinya yang chubby itu. Sungguh terlihat seperti boneka. "Maafkan Tante, sayang. Maafkan Tante karena tidak ada di saat kamu lahir ke dunia ini." Aku kembali menciuminya sampai tubuh itu menggeliat karena merasa terganggu. Aku kembali mengunjungi kamar yang dulu aku tempati, Aira masih di kamarnya menidurkan Alya kembali. "Itu masih kamar kamu. Tinggallah lagi di sini. Aku sudah berpisah dari Mas Harris." Dia mengabarkan meski aku sudah mendengarnya dari Bang Malik. "Kenapa? Apa karena aku?""Entahlah, tapi kurasa itu keputusan yang benar. Aku juga tidak ingin nantinya Alya juga ikut merasa

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 99

    Kami keluar dari gedung pusat SunCo. Aku memang sudah meminta izin kepada Bang Malik untuk menemui Haikal. Dan dia sama sekali tidak keberatan. "Ingat, ya. Kamu sekarang calon istri Abang. Jangan macam-macam," ancamnya. Dia sengaja tak ikut agar tak ada rasa canggung dengan sikap Haikal. Benar saja, sejenak Haikal langsung takut untuk mendekatiku sebelum dia tahu bahwa pria itu hanya mengantarku sampai di luar. Mobil melaju ke arah jalan yang sudah tak asing lagi bagiku. Kemudian dia memasuki gerbang yang sudah setahun ini tak pernah lagi ku kunjungi. Lagi, seperti merasa pulang ke rumah sendiri. "Aku belum gajian. Kita makan siang di sini aja. Gratis," ujarnya sembari melangkahkan kaki ke ruangan. Tak ada yang berubah. Mereka terlihat asik makan dengan lahapnya. Sampai sepasang mata itu menangkap kedatangan kami. "We! Chaca datang. Tengok tu, we. Itu Chaca." Oji berteriak histeris seperti melihat selebriti yang berkunjung ke aula makan dapur SunCo. Puluhan pasang mata menatap

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 98

    Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami mulai memasuki kota Medan. Aku meminta Bang Malik untuk segera singgah ke rumah nenek. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Bukankah mereka keluarga pertama yang harus aku kunjungi? Nenek berdiri mematung dengan tubuh tuanya. Matanya berkaca-kaca saat aku menangis memohon maaf. Nenek memang tak tahu bagaimana caranya menunjukkan kasih sayang, tapi kali ini dia begitu erat memelukku. Tak tahan juga rasanya menahan rindu. "Kau sudah dewasa," ujarnya. "Jangan lagi bersikap seperti itu." Aku kembali menangis di pelukannya. Bang Malik tertidur di ruang tamu beralaskan ambal. Aku sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar, namun dia menolak. "Di sini lebih nyaman," ujarnya. Untuk pertama kalinya aku melihat dia tertidur dengan pulas. Napasnya teratur dengan kedua tangan diletakkan di atas dada.Wajahnya terlihat lelah, hingga tak sadar kalau kini om Jaka juga ikut tertidur di sampingnya. Kupungut ponsel yang sedari tadi tergeletak begitu s

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 97

    Rasa bersalah selalu menghantui. Aku memohon kepada mama untuk tetap berusaha mencarinya. Di jalanan, lampu merah, bahkan melaporkan kehilangan ke kantor polisi. Nihil. Tak ada jejak sama sekali. Bayang-bayang wajah Chaca yang menangis dalam cengkraman tangan preman tersebut selalu muncul dalam mimpiku. Bertahun-tahun lamanya aku hidup dalam bayang-bayang gadis kecil itu. Rasa rindu selalu menyelimuti, berharap bisa menyentuh dan memeluknya lagi. Hari ini hari ulang tahun Chaca. Hari yang diputuskan sebagai tanggal lahirnya di malam di mana dia ditemukan. Jika dia masih hidup, usianya kini sudah tujuh belas tahun. Sweet seventeen, kata gadis-gadis yang dulu satu esema denganku.Aku kembali mengunjungi masjid raya, tempat di mana aku dan Chaca selalu menghabiskan waktu bersama. Tak lupa untuk merayakan ulang tahunnya dengan memberi sedekah ke anak-anak jalanan yang sengaja aku kumpulkan di sana.'Chaca sayang, bagaimana keadaanmu sekarang?' batinku dalam hati. "Maaf, apakah anda Ha

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 96

    POV MALIK.Aku mengenang kala kejadian waktu itu. Tubuhku yang terbaring lemah di... mungkin rumah sakit. Kulihat ada tiang yang menggantungkan cairan yang terhubung langsung dengan urat nadiku.Aku mencoba bergerak, merasai wajahku yang kini terasa tebal dan kaku. Kurasakan seluruhnya terbalut perban dengan rasa sakit yang luar biasa. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Beberapa wanita berpakaian serba putih datang untuk memeriksa apa yang terjadi kepadaku. Tak lama seorang pria dewasa juga muncul, mungkin seorang dokter. Ya, samar kulihat dari pakaian putih bersihnya, dia seorang dokter. Hampir seminggu setelah aku terjaga, dokter membuka seluruh perban di wajahku. Disaksikan oleh sepasang suami istri dan anak lelaki mereka. Memandangku dengan cemas dan was-was. Apa aku ini terlihat seperti hewan buas bagi mereka? Sejenak kemudian, kulihat rasa lega di wajah mereka, seolah semua sedang baik-baik saja. "Siapa namamu, Nak?" tanya wanita paruh baya tersebut. "Hannan Maliki S

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 95

    Seperti janjiku kemarin, kami bersiap-siap berangkat. Aku dan Bang Malik berpamitan dengan mereka satu persatu. Runi memelukku dengan sangat erat, begitu juga dengan Wak Mis.Fatma yang tidak tahu apa-apa hanya tampak murung dan seperti tidak rela membiarkanku pergi. Namun dia kembali tersenyum saat ayahnya mengatakan kalau aku akan segera kembali. Pak Yaz sengaja tidak memberitahukannya, agar dia tidak menangis histeris karena takut kehilanganku. Pak Yaz mengulurkan tangan ke arah Bang Malik. Meminta maaf atas kesalahpahaman kemarin. Tangannya masih menggantung di udara, tanpa sambutan dari laki-laki yang tengah berdiri di sampingku. Masih tidak senang, rupanya. Aku menyenggol bahunya, lalu menariknya agar sedikit menunduk. Aku membisikkan sesuatu di telinganya. "Salamin. Atau Chaca yang akan menyambut uluran tangannya," ancamku. Dengan cepat dia menyambut telapak tangan Pak Yaz, kemudian menggoyang-goyangkannya seperti mereka sudah berteman cukup akrab."Awas kalau sampai bers

DMCA.com Protection Status