Perlahan dia mulai mendekat, membuat kedua tungkai kakiku gemetaran. Tak berkedip sedikit pun mataku, saat kini dia berada tak sampai selangkah di depanku. Dekat sekali."Kenapa? Kaget?" sapanya, sembari membuka kacamata hitam yang dari tadi bertengger di atas hidung mancungnya. Aku masih terdiam, tak sanggup mengatakan apa pun. Karena apa? Takutkah? Tidak. Aku hanya memastikan dia benar-benar nyata dan bukan bayangan. Kemudian kami berdua mematung saling menatap saat sebuah suara menyadarkanku."Maaf, anda siapa?" tanya pak Yaz. "Tanyakan pada gadis yang bersama anda," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dariku. "Chaca? Kamu kenal orang ini?" Kali ini pak Yaz mencari jawaban kepadaku. Aku mengangguk mengiyakan. "Siapa?"Secara bergantian aku memandang pak Yaz, kemudian kembali menatapnya, memastikan ini bukanlah sebuah fatamorgana di tengah gurun pasir."Bang Malik!""Bang Malik?" ulangnya. Aku kembali mengangguk. "Abang saya," ucapku penuh keyakinan."Oh...." Suara pak Yaz ter
"Uwak buatin minum, ya?" tawarnya. "Nggak usah, Wak. Masih ada minuman botol di kulkas atas," sahutku, sambil berlalu dan pria itu mengekor dari belakang. Kebetulan di lantai tiga kami diberi fasilitas lemari es dan dispenser sendiri agar tak repot-repot bila hendak minum atau menyimpan camilan. Hanya dapur yang berada di lantai dua, karena aku dan Runi juga ikut makan bersama keluarga pak Yaz.Aku mengajak Bang Malik masuk ke kamar yang aku tempati bersama Runi. Dia menyisir setiap sudut ruangan, kemudian menghempaskan diri di ranjang yang kebetulan milikku. Ada dua ranjang kecil di kamar ini. Masing-masing untuk aku dan Runi. Masing-masing diberi satu lemari pakaian mini di setiap sudutnya. "Abang merindukan bau tubuh ini." Dia memeluk guling yang biasa aku pakai. "Bagaimana kalau itu bukan ranjang Chaca?""Tidak. Ini memang milikmu. Biarkan Abang berbaring sebentar. Abang capek menyetir semalaman. Kemudian baru Abang akan memelukmu."Apa? Semudah itu dia bicara? Apa penyakit g
"Abang jahat, egois!" Aku memukul dadanya berulang kali. Kali ini pertahananku goyah. Aku percaya, dia mungkin bisa melakukan apa saja saat sedang marah. Benarkah saat ini om Jaka tidak bisa berjalan lagi? Aku menjauhkan diri darinya dan berusaha mengecek ponselku. Mencoba mencari nomor yang masih kusimpan, tapi tak pernah kuhubungi. Dengan cepat dia merampas benda pipih itu dari tanganku, lalu bergerak duduk di sisi ranjang. Memeriksa semua isi yang ada di dalamnya setelah kunci pola kubuka. "Hape Abang sita, sampai kamu ikut Abang pulang.""Hish.. balikin. Chaca mau nelpon nenek," protesku.Dia memasukkan ponselku begitu saja di kantong celananya, lalu kembali berbaring sambil memeluk gulingku. "Balikin, Bang." Aku masih cemas. Dasar psiko, laki-laki barbar, bipolar atau apa pun namanya. Dia sama saja seperti mafia atau orang gila. Seenaknya saja mematahkan kaki orang seperti tidak punya rasa kemanusiaan. Aku menarik guling tersebut kemudian mencoba mengambil ponsel yang tadi
Aku membantunya merapikan sprei tempat tidur dan menyusun pakaiannya dengan rapi di lemari kecil yang serupa dengan kami. Kamar ini dulunya dipakai oleh karyawan lama, yang sekarang sudah berhenti bekerja dan menikah.Di atas lemari yang tidak sampai setinggi diriku itu, aku menyusun sisir, parfum dan beberapa perlengkapan lain yang ada di kopernya. Kulihat dia masih berbaring sambil menutupi matanya dengan lengan. Dia kembali terlihat seperti menahan beban berat. "Sampai kapan Abang mau tinggal di sini?" tanyaku seraya mendorong koper kosong nya ke bawah tempat tidur."Sampai kamu siap," jawabnya sambil sesekali menarik napas. "Siap untuk apa?""Untuk ikut pulang" Aku menghela napas. "Chaca lebih suka tinggal di sini," jawabku berbohong. Dia mencoba bangkit dan duduk di sisi tempat tidur. Mengucek matanya yang terlihat lelah dan mengantuk. "Bagaimana kalau toko ini tiba-tiba saja bangkrut, lalu tutup? Atau tiba-tiba terjadi kebakaran atau....""Berhenti menakut-nakuti," umpatku
"Kamu kenapa,Cha?" Kurasakan Runi mengelus pundakku. Namun tangisku semakin pecah, tak mampu menjawab dan harus memulainya dari mana. Runi kemudian mencoba memelukku dan menepuk-nepuk punggungku. "Sudah, tidak apa-apa. Menangis saja. Aku tidak akan bertanya." Runi berusaha menenangkanku. Aku kembali terisak di pelukannya.Jadi, mereka semua sudah tau keberadaanku saat ini? Aira? Haikal? Bahkan teman-teman di SunCo? Aku tak dapat lagi membaca komentar mereka satu persatu yang terus menerus menanyakan bagaimana keadaanku.Sekhawatir itukah mereka? Seketika aku mulai menyadari, aku tak benar-benar sendiri. Ada mereka yang selalu menemani dan menguatkanku. Tak henti-hentinya air mata ini mengalir, hingga sesenggukan aku di dada Runi. .Keesokan paginya aku bekerja seperti biasa. Kamar Bang Malik masih tertutup rapat, kembali kubiarkan begitu saja. Mungkin kalau lapar dia akan keluar dengan sendirinya.Seperti biasa kami memulai aktivitas dengan bersih-bersih dan menghidupkan semua mesin
Apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Bang Malik juga tampak sangat antusias. Bang Malik memang pernah mengatakan, kalau kini dia tak lagi mengurus SunCo dan lebih memilih menjalankan usahanya sendiri. Usaha inikah yang dia katakan yang membuatnya tidak menggantungkan hidup sama Mama? Kenapa sampai saat ini kehidupan Bang Malik masih menjadi misteri buatku. Sekaya apa dia sampai-sampai sanggup meninggalkan perusahaan dan rumah Mama? "Ini, Pak, minumannya." Kulihat Kak Uli menyuguhkan dua teh botol yang di pesan dari toko depan. Pasti Pak Yaz yang menyuruh. Gadis berjilbab itu tampak malu melihat Malik yang sedang duduk di samping tempatnya berdiri. Plis, jangan berusaha menggodanya. Dia itu milikku. Tiba-tiba ada hawa panas yang bergejolak di dalam dada. Tak biasanya Kak Uli tersenyum dengan sembarangan pria. Apa Bang Malik sudah berhasil menggoyahkan imannya? Ayolah, Kak. Jangan tikung cintaku di sepertiga malam dengan doamu. Tiba-tiba aku merasa cemas, apakah nanti dia akan tet
Aku terkejut, kala melihat wajahnya yang kini tepat berada di depanku. Menatapku dengan sedikit senyuman penuh harapan. Seketika aku mundur dan bangkit dari sisi ranjang. Merasa malu dengan apa yang baru saja aku ungkapkan. Apakah aku terkesan agresif, atau.. murahan? Ish.. entah seperti apa wajahku kali ini. Mungkin sudah memerah dan terlihat memalukan. Aku mundur dan melangkah, bermaksud untuk pergi dan meninggalkannya. Namun dengan sigap tangan ini tertangkap dan ditarik lagi olehnya. "Mau kabur ke mana lagi, ha? Hayo, tanggung jawab. Barusan ngomong apa?""Eh? Emang Chaca ngomong apa?" Aku pura-pura bodoh, sambil mengalihkan pandangan ke sembarang arah. "Jadi, kita nikah?"Eh? Apa ini? Sebuah lamaran? Beginikah rasanya? Jantungku kembali berdegup tak menentu. Terdengarkah sampai ke telinganya? "Menikah? Kenapa secepat ini?" tanyaku gugup. "Karena Abang tidak ingin kehilangan kamu lagi.""Tapi... ""Tadi kamu bilang sudah siap, jangan lagi mengingkari janji," protesnya sebel
"Aira langsung menghubungi Abang setelah beberapa saat potomu terunggah. Dia histeris dan menyuruh Abang langsung menyusul dan membawamu kembali. Tidak peduli apa yang baru saja Abang kerjakan saat itu." Suaranya mulai terdengar serak. "Abang begitu terpukul melihat fotomu begitu bahagia berada di antara orang-orang asing itu. Merasa sakit, karena bukan bersama Abang kamu membagi kebahagiaan dengan wajah seceria itu. Sesakit itu rasanya tidak dianggap sama sekali." Dia terbungkuk sesenggukan.Aku bangkit dan berdiri di hadapannya. Memeluk dan berlutut agar dia segera menghentikan tangisannya. "Maafkan Chaca, Bang. Chaca bersalah....".Sudah beberapa hari ini Bang Malik tak lagi turun saat toko di buka. Aku sengaja melarangnya, agar tak lagi jadi pusat perhatian di kalangan para karyawan. Aku juga tidak rela kalau sampai dia terlihat akrab dan sering ngobrol sama mereka. "Maaf ya Kak Uli, Abang Chaca sebentar lagi akan menikah." Aku berterus terang sama Kak Uli yang kemarin sudah l