Aku terbangun saat mendengar ketukan pintu dan suara Aira memanggil. Matahari sudah mulai masuk menyinari lubang udara di kamar. Aku bahkan tak sadar kapan aku tertidur di lantai, setelah menangis sepanjang malam. "Kamu nggak kerja, Cha?" Tuk kesekian kalinya suara Aira tak kuhiraukan. Bagaimana aku bisa melihat wajahnya, bahkan terkadang aku sering mengumpat di dalam hati dengan keputusannya menjadi wanita kedua di dalam rumah tangga orang lain. Aku menaiki ranjang dan kembali menenggelamkan wajah ke bantal. Kembali memikirkan, apakah kisah semalam hanya sebuah mimpi. Ada panggilan masuk dari Bang Malik. Seketika mati dan kemudian memanggil kembali karena aku tak menghiraukannya. Kulihat ada puluhan pesan whatsapp masuk. Mungkin tak terdengar karena aku tertidur malam tadi. Ponselku berdering lagi. Masih sama, Bang Malik tak henti-hentinya menghubungiku. Lagi-lagi tak kuhiraukan, aku bahkan mematikannya. .Sudah beberapa hari aku juga tak masuk kerja. Setiap malam Bang Malik da
"Kenapa mendadak begini? Abang bilang istirahat saja dulu. Kita ke dokter sekarang!""Chaca nggak butuh dokter. Chaca cuman butuh istirahat." Aira kembali melangkah dan meletakkan gelas minuman di atas meja, lalu berlalu pergi. "Abang merindukanmu," ucapnya lirih. Hatiku semakin perih dibuatnya. Dia mendekat dan ingin memelukku, namun seketika aku mundur dan menjauh darinya. "Ada apa?" tanyanya terheran-heran. "Pulanglah, Chaca udah bilang ingin istirahat." Aku tak ingin terlihat menangis di depannya. Aku segera melangkah meninggalkannya dan menuju ke kamar serta langsung menguncinya."Buka pintunya Chaca, berhenti bersikap seperti ini." Ia mengetuk pintu dengan sabar.Aku meluapkan tangisku membelakangi pintu. Suaranya terdengar jelas di telinga."Buka pintunya, Chaca. Kenapa terus menghindar. Kita bisa bicarakan dengan baik-baik. Jangan seperti ini." Suara ketukan terdengar menjadi lebih keras. Aku masih diam tak menjawab, hanya menutup mulut agar suara tangisan tak terdengar k
"Benar. Chaca hanya butuh semua itu. Tadinya Chaca pikir bisa hidup tenang dengan menjadikan Abang kekasih. Tapi nyatanya, menjadi adik atau kekasih Abang tidak ada bedanya. Chaca tetap tidak akan mendapatkan apa pun.""Apa Mama yang mengatakan semua omong kosong itu?" Ia mulai berpikir yang bukan-bukan. Apa aku salah bicara? Apa aku akan membuat dia lebih menyalahkan mamanya? Tidak, ternyata aku salah bicara."Kalau kamu butuh uang, kamu tidak perlu takut. Abang punya segalanya. Sudah berapa kali Abang katakan, uang Abang tidak ada hubungannya dengan Mama.""Berhenti membicarakan soal uang!" Aku berteriak histeris."Abang berjanji tidak akan marah-marah lagi sama kamu, tidak akan pernah membentakmu lagi, tidak akan melarangmu pergi dengan Haikal, tidak akan membatasi hubunganmu dengan Jaka dan ibunya. Apa pun itu akan Abang lakukan, asal jangan pernah tinggalkan Abang. Abang benar-benar menyayangimu." Dia sampai berlutut lemas menatapku. Sedalam itukah dia takut kehilanganku? Buka
Pekan Baru 2020Sudah setahun aku tinggal di kota ini. Kota yang konon katanya tempat kelahiran Bang Malik. Ya, setidaknya itu yang selalu dia ucapkan padaku."Abang ini putra melayu asli, dari keluarga Said," serunya penuh semangat kala itu. Lahir di Pekan Baru, kemudian dititipkan di panti asuhan karena kedua orang tuanya sudah meninggal. Begitulah surat yang ditinggalkan bersamaan dengan kehadirannya. "Kalau Abang punya darah melayu, berarti Chaca juga?" tanyaku polos."Tentu saja, kamu kan adik Abang. Lupakan orang tua yang sudah membuangmu. Anggap mereka sudah mati seperti orang tua Abang. Kalau pun mereka masih hidup, berdoa saja agar mereka cepat mati." Begitulah kata-kata kasar yang sering kami ucapkan. Tak pernah tahu caranya bertutur kata yang sopan. Sebab kata-kata umpatan tersebut juga sering diucapkan para pengurus panti.Dengan alasan nama itulah aku menambahkan nama Sayyida di belakang namaku, agar mengingatkanku bahwa Bang Malik benar-benar kakakku. Namun kenyataan
Hari ini ulang tahun Fatma. Pak Yaz mengadakan acara kecil-kecilan hanya dengan para karyawan. Kami semua mengambil foto berjajar dengan Fatma berada di tengah-tengah antara aku dan Pak Yaz. "Mirip keluarga, ya. Apa perlu aku crop nih fotonya biar jadi foto bertiga aja?" goda salah satu dari mereka."Posting dong, jangan lupa tag aku ya," sahut yang lainnya. "Iya, iya. Tenang.Kalian semua aku tag," balas Runi. Kemudian kami semua diajak makan di luar oleh pak Yaz. Kami kembali mengambil foto di berbagai tempat di sebuah restoran terkenal. Sesekali pak Yaz melirikku dan melempar senyuman sambil menunduk. Sudah seperti itu, sejak di awal-awal aku mulai bekerja padanya. Apalagi putri tunggalnya, Fatma juga sangat dekat denganku. Tapi tentu saja aku berpura-pura tidak ngeh dan bersikap biasa saja. Aku tak ingin membuatnya merasa, kalau aku juga menaruh perhatian.Selesai acara makan-makan, karyawan yang lain pada bubar, sementara aku dan Runi ikut pulang ke ruko. Fatma sangat senang
Aku membaringkan diri di ranjang setelah toko tutup, mengamati foto Bang Malik yang kusimpan waktu itu. Rasa rindu kembali menyeruak. Membayangkan wajah, serta berbagai macam perlakuannya padaku.Sedang apa dia sekarang? Dia bahkan tak pernah aktif di sosial media, meski hanya untuk membagikan kesehariannya. Berulang kali aku mengecek akun fesbuknya dari akun fake yang aku buat setahun yang lalu. Sebuah foto, atau kata-kata ungkapan pun tak pernah dia post. Aku sengaja tidak memakai akunku yang lama agar tak seorang pun bisa melacak keberadaanku. Termasuk Aira dan Vera. Sahabat-sahabat terbaik yang juga sangat aku rindukan. Aira kini sudah memiliki seorang bayi. Hanya sebuah foto yang dia posting beberapa bulan yang lalu dengan caption 'Keponakanmu sudah lahir, tidakkah kamu ingin melihatnya?'Air mataku tumpah seketika, begitu paham kalau status itu sengaja ditujukan khusus untukku. Kemudian akun tersebut sama nasibnya seperti milikku. Tak pernah lagi memberitahu sesuatu. Sengajak
Perlahan dia mulai mendekat, membuat kedua tungkai kakiku gemetaran. Tak berkedip sedikit pun mataku, saat kini dia berada tak sampai selangkah di depanku. Dekat sekali."Kenapa? Kaget?" sapanya, sembari membuka kacamata hitam yang dari tadi bertengger di atas hidung mancungnya. Aku masih terdiam, tak sanggup mengatakan apa pun. Karena apa? Takutkah? Tidak. Aku hanya memastikan dia benar-benar nyata dan bukan bayangan. Kemudian kami berdua mematung saling menatap saat sebuah suara menyadarkanku."Maaf, anda siapa?" tanya pak Yaz. "Tanyakan pada gadis yang bersama anda," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dariku. "Chaca? Kamu kenal orang ini?" Kali ini pak Yaz mencari jawaban kepadaku. Aku mengangguk mengiyakan. "Siapa?"Secara bergantian aku memandang pak Yaz, kemudian kembali menatapnya, memastikan ini bukanlah sebuah fatamorgana di tengah gurun pasir."Bang Malik!""Bang Malik?" ulangnya. Aku kembali mengangguk. "Abang saya," ucapku penuh keyakinan."Oh...." Suara pak Yaz ter
"Uwak buatin minum, ya?" tawarnya. "Nggak usah, Wak. Masih ada minuman botol di kulkas atas," sahutku, sambil berlalu dan pria itu mengekor dari belakang. Kebetulan di lantai tiga kami diberi fasilitas lemari es dan dispenser sendiri agar tak repot-repot bila hendak minum atau menyimpan camilan. Hanya dapur yang berada di lantai dua, karena aku dan Runi juga ikut makan bersama keluarga pak Yaz.Aku mengajak Bang Malik masuk ke kamar yang aku tempati bersama Runi. Dia menyisir setiap sudut ruangan, kemudian menghempaskan diri di ranjang yang kebetulan milikku. Ada dua ranjang kecil di kamar ini. Masing-masing untuk aku dan Runi. Masing-masing diberi satu lemari pakaian mini di setiap sudutnya. "Abang merindukan bau tubuh ini." Dia memeluk guling yang biasa aku pakai. "Bagaimana kalau itu bukan ranjang Chaca?""Tidak. Ini memang milikmu. Biarkan Abang berbaring sebentar. Abang capek menyetir semalaman. Kemudian baru Abang akan memelukmu."Apa? Semudah itu dia bicara? Apa penyakit g