Pagi ini aku kembali bersiap-siap untuk kembali berkunjung ke rumah nenek. "Aku sih pengen ikut, Cha. Tapi liat muka cowok kamu, aku jadi serem." Aira meledekku."Maafin Bang Malik ya, Ra. Mungkin dia agak kuno. Nggak seperti Haikal yang cuek dan nggak suka ikut campur urusan pribadi orang.""Santai aja, Cha. Aku ngerti kok. Salam ya, buat mereka."Sebenarnya aku agak berat meninggalkan Aira. Dari tadi malam dia terlihat kurang sehat. Wajahnya juga terlihat pucat. Ternyata rasa cinta juga bisa mempengaruhi kesehatan seseorang.Bang Malik sudah menunggu di mobil. Menyambut pagiku dengan penuh senyuman. Lagi-lagi aku merasa bahagia. Kehidupan seperti inilah yang selalu aku impikan."Bang, mampir ke minimarket bentar ya. Chaca mau belanja.""Nggak perlu," sahutnya. Lagi-lagi dia seperti itu. Mungkin nanti aku tinggalkan saja uang pada om Jaka agar dia bisa menggantikanku belanja keperluan bulanan buat mereka. Karena kalau langsung kuberikan pada nenek, dia pasti akan melempar uang itu.
"Buatkan dulu minuman untuknya!" perintah nenek. "Iya, Nek. Chaca masih manasin air." Lalu kembali menyusun barang. "Dia datang uring-uringan seperti orang gila mencari kau" Ucapan nek Joyah membuat kegiatanku terhenti."Bang Malik pernah kesini, Nek?"Orang tua itu mengangguk. "Memangnya kau kemana? Hampir setiap hari dia ke sini.""Setiap hari?""Tadinya Jaka lari pontang-panting, namun dengan kaki yang tidak sempurna seperti itu dengan mudah pemuda itu mendapatkannya." Ada senyuman di wajah nenek. Apa peristiwa seperti itu lucu baginya? "Dia meminta Jaka menghubungimu. Tapi si bodoh itu dengan berterus terang mengaku sama sekali tidak mempunyai henpon." Nenek kembali tertawa. Seperti mengingat sebuah kejadian lucu. Benarkah? Jadi waktu cuti kemarin dia benar-benar mencariku sampai ke sini?"Aku sudah meminta maaf atas nama Jaka dengan pemuda itu. Terserah dia mau memperkarakan atau tidak. Biarlah Jaka membayar semua akibat perbuatannya. Aku sama sekali tidak menyangka, kalau Ja
PagiAku sampai di tempat kerja seperti biasa. Menyiapkan semua pekerjaan yang akan ku kerjakan. Sesekali kulirik dia yang tengah serius mengerjakan tugas.Tak lama dia meninggalkan ruangan, tak lupa memberikan kode pamit padaku, karena hari ini tidak bisa makan siang bersama. Dia harus melakukan inspeksi ke berbagai outlet. "Cha, sesekali makan siang di luar yuk," ajak Haikal saat jam istirahat. "Buat apa? Udah disediain makanan kok. Mubajir tau. Buang-buang duit.""Aku yang traktir. Kan baru gajian." Lagi-lagi dia tersenyum menggoda sambil menaik-naikkan alisnya."Ciee... gaji pertama nih.""Mau nggak?""Males.""Sombong banget sih. Atau kita pergi nonton?Kamu pulang sama aku, ya?" Lagi, dia lebih terang-terangan dalam menunjukkan sikap. "Kal...?" "Gimana?" Ingin sekali rasanya aku mengatakan bahwa aku dan Abangnya sudah berpacaran. Tapi aku masih takut, entah takut Bang Malik marah, atau takut melukai perasaan Haikal. Tapi, benarkah Haikal benar-benar akan terluka dengan peng
Dia semakin mempercepat langkah dan segera menuju kantor. Dia duduk di kursi Bang Malik dengan wajah serius. "Ada apa dengan kalian?" Aku masih mengambil napas kasar. "Dia masih mengintimidasimu seperti kemarin?""Lebih dari itu."Haikal mengernyit. Menyandarkan tubuh di kursi empuk itu. Menggoyang-goyangkan tubuh, terlihat santai. "Apa yang dia katakan, sampai kamu melakukan tindakan seperti itu. Bukankah kalian sama-sama sudah dewasa?""Dia ngatain aku yang enggak-enggak, tau.""Apa?""Dia bilang aku tarzan," ucapku penuh emosi. Haikal tertawa keras mendengarnya. "Apa itu terdengar lucu?" Aku mulai kesal."Kamu marah hanya karena dibilang tarzan?""Kamu nggak tau apa-apa, Kal," ucapku dengan nada serius. "Apa yang nggak aku tau?""Semuanya, orang seperti kamu dan Tania nggak akan pernah tau rasa sakit yang aku alami." Pandanganku mulai memudar tertupi embun di mataku. Sakit rasanya ditertawakan seperti itu."Kamu nangis, Cha?""Orang seperti kalian tidak akan pernah mengerti,
Aku menghempaskan tubuh di ranjang. Membayangkan wajah Haikal, yang untuk pertama kalinya menangis di hadapanku.Kala itu usianya baru empat tahun. Orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat. Bahkan hingga kini, jasad mereka belum juga berhasil ditemukan.Begitu juga dengan penumpang yang lain. Seketika itu, dia juga menjadi yatim piatu, dunia dan kebahagiannya hancur dalam sekejap. Berbulan-bulan lamanya belum ada kabar tentang penemuan jasad orang tuanya.Bu Sam merupakan kakak kandung ibunya yang sudah lama tidak memiliki anak. Dengan kasih sayang dan ketulusan hatinya, kesedihan Haikal berangsur pulih. Haikal diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Beberapa tahun setelah merawat Haikal, akhirnya bu Sam mengandung anak pertamanya. Kebahagiaan yang sudah lama ditunggu-tunggu itu, tak mengurangi kasih sayangnya terhadap Haikal. Namun memasuki bulan ke delapan kandungannya, bu sam mengalami pendarahan. Terjadi masalah, dan bayi itu meninggal sebelum sempat dilahirkan
"Hish.. Gadis preman ini, memang tidak bisa menjaga mulut di depan orang tua," gerutu Haikal yang baru saja mengantar bu Sam ke kamar. Mamanya juga mendadak sakit kepala, mendengar ucapanku tadi. Tubuhnya lemah, hampir pingsan. Mungkin tidak siap mendengar bahwa aku dan Bang Malik ternyata bukan kakak beradik."Kamu jangan mondar-mandir, aku pusing melihatnya," protesku. "Hish... " Haikal mendesis.Akhirnya aku bisa bernapas lega, bebas dari istana yang membuatku merasa tidak nyaman. Bahkan setelah aku sering berkunjung pun, tak juga membuatku betah berlama-lama di rumah itu. Mobil kembali meluncur membelah jalanan. Ada rasa lega di hatiku setelah mengatakan semuanya. Setidaknya mamanya Malik sudah tahu kalau aku bukan adiknya."Abang jangan dekat-dekat lagi sama Tania. Chaca nggak suka," gerutuku. "Cemburu?""Chaca serius. Tania udah kelewatan. Pokoknya besok Abang harus kasi tau sama dia, kalau kita pacaran.""Secepat itu?""Kenapa? Abang malu punya pacar kayak Chaca?""Enggak s
Wajah om Harris berubah cemas, terlihat bulir-bulir keringat menetes di dahi. Ruangan ber AC belum mampu menutupi rasa gugupnya. "Maaf ya, Malik. Jadi ngerepotin kamu," sapa wanita yang hampir sebaya dengan bu Sam itu. "Nggak papa kok, Tante. Malik juga lagi nggak kemana-mana." Malik merasa sungkan. "Tania tidak enak badan, katanya.""Iya, Tante. Santai aja."Aku masih berdiam diri, sedang memikirkan, seperti inikah keluarga sempurna yang dibangga-banggakan Tania? Haikal benar, semua orang punya cela. Masih kuingat saat Aira mengatakan bahwa keluarga om Harris tak lagi harmonis, penuh percekcokan dan akan segera berpisah. Begitu juga dengan anak semata wayangnya yang begitu manja dan arogan. Tidak hormat kepada orang tua, dan selalu hidup dengan gaya bebas. Manis sekali mulut lelaki tua ini. Aira sungguh terpedaya dengan semua keluh kesahnya. Berbeda sekali dengan apa yang aku saksikan saat ini.Dia bahkan menggandeng tangan istrinya dengan mesra sebelum jelas melihat keberadaan
Aira masih berdiam diri setelah mendengar semua cerita tentang om Harris. Tentang rumah tangganya yang terlihat biasa-biasa saja, dan masih tetap harmonis. "Dasar tua bangka. Pembohong," umpatnya. Masih kuingat saat di rumahnya tadi, om Harris menemuiku secara diam-diam untuk meminta agar jangan memberi tahukan semua ini, baik kepada Bang Malik, atau pun Tania. Soal Aira, dia sendiri yang akan meminta pengertian, soal janjinya menceraikan istri dan menikahi Aira secara resmi.Sebenarnya itu bukan urusanku, tapi mengingat sombongnya ucapan Tania yang terlalu membanggakan papanya, membuatku ingin segera membeberkan semuanya.Seharusnya dia sadar, hidupnya tidak lebih baik dari aku. Tapi niat itu terpaksa ku urungkan. Mengingat banyaknya hati yang nanti akan tersakiti. Lagi pula kalau sampai Bang Malik tahu, rasa tidak sukanya terhadap Aira akan menjadi-jadi. Bagaimanapun, om Harris adalah laki-laki yang dihormatinya. Malam ini, seperti biasa aku harus segera menyingkir dari rumah,