"Kal.. " Aku menyentak. Kulihat mata Vera dan bu Rini ikut membesar. Terkejut."Nggak papa, Cha. Semua orang kan juga harus tau, ada hubungan apa kamu sama Bang Malik. Jangan membuat mereka berpikir yang bukan-bukan."Bu Rini dan Vera menatap, saat aku bergegas pergi dengan wajah kesal. "Cha, tunggu!" Haikal mengejarku sampai ke dapur. Hanya ada kami berdua, karna yang lain masih berada di aula."Kamu apa-apaan sih?" tanyaku kesal. "Kenapa? Yang aku omongin kenyataan, kan? Jangan bilang kalau kamu malu mengakui Bang Malik."Tentu saja aku tidak ingin mengakuinya seperti itu. Karena aku tak bisa lagi menganggapnya sebagai kakak. Aku lebih senang kalau yang lain menganggap kami sebagai sepasang kekasih, walaupun itu hanya berita hoaks belaka. "Tapi kamu nggak berhak ngomong begitu sama mereka.""Aku cuman nggak suka mendengar berita kalau kamu punya pacar. Baik Erik atau pun Bang Malik!" Lagi, aku tercengang mendengar ucapannya. "Ada-ada aja tingkah kalian berdua. Ngeselin. Adik Ab
Sudah tiga hari ini Bang Malik belum juga muncul. Selama itu pula Haikal tak melepaskan pandanganya padaku. Selalu mengantarku pulang ke rumah dan baru pulang hingga larut malam.Entah itu menumpang mandi, tidur, atau mengajak kami main kartu. Aku tidak tahu apakah itu atas perintah Bang Malik atau hanya untuk menyibukkan dirinya sendiri dari pikiran tentang Tania. Dan berkat Oji, kini aku menjadi viral bak selebriti yang baru saja dilamar oleh putra pemilik perusahaan. Wah, beruntungnya aku. Belum lagi berita tentang Bang Malik yang sebenarnya adalah kakakku yang sempat terpisah bertahun-tahun lamanya. Pokoknya semua karyawan, kini jadi menaruh rasa sungkan kepadaku.Terima kasih Oji. Ponsel Bang Malik juga tak pernah lagi aktif. Seluruh pesanku tertumpuk hanya bertanda centang satu. Dalam hatiku terasa sunyi, aku begitu merindukannya. Pagi.Aku sampai di tempat kerja seperti biasa. Mengambil posisi dan mempersiapkan segala sesuatu yang ingin dikerjakan. Belum banyak yang hadir, h
Jam makan siang sudah berakhir. Kami kembali pada aktifitas masing-masing. Sejenak berpikir, mungkin ada karyawan baru lagi hari ini. Kulihat di luar ada mobil kantor pusat yang biasanya di pakai oleh kak Juli. Dan setahuku, tugas kak Juli datang ke dapur bagian produksi, pasti hanya untuk memperkenalkan staf baru yang sudah melakukan Interview di kantor pusat. Mungkin posisi admin bagian keuangan yang kemarin cuti melahirkan. Karena setahuku, hanya posisi itu yang tengah kosong sampai saat ini. Jadi kupikir tidak terlalu penting, karena tidak ada hubungannya sama kru bagian dapur. Tapi aku salah, lagi-lagi bu Rini memberi aba-aba agar kami semua berkumpul.Kak Juli masuk dengan... Tania?? Ah, siasat apa lagi ini? Tidak bisakah dia membiarkan aku hidup tenang dengan Bang Malik? Lalu bagaimana juga dengan perasaan Haikal. Dasar wanita tidak berperasaan. Dia memperkenalkan diri dengan senyum termanisnya. Sungguh aku memang kalah jauh darinya. Dengan busana kantor yang elegan, dia
Kini Bang Malik sudah berdiri kokoh di pintu masuk dengan kedua tangan terlipat di dada. Menunggu jawaban."Jari Chaca berdarah, Bang," sahut Haikal."Nggak kenapa-kenapa kok, Bang. Cuman dikit aja. Haikal aja yang berlebihan." Mata Haikal membulat kepadaku."Cepat masuk! Kalau ada yang berpikiran yang bukan-bukan gimana?" Malik terlihat serius."Tau nih! Orang lain mungkin berpikir kalau Chaca sengaja ngambil kesempatan buat malas-malasan kerja. Iya kan, Bang? Haikal sih enak, anaknya Bos. Mana ada yang berani protes." Aku mendukung ucapan Bang Malik."Maksud Abang, bagaimana kalau ada yang berpikir kalau kalian sedang pacaran? Jangan sering-sering berduaan!"Eh?Sepulang kerja kulihat Bang Malik masih berada di kantor. Kali ini aku sudah mulai berani menunggunya di parkiran. Tak sungkan lagi dengan penilaian orang.Lagi-lagi Malik muncul dengan Tania. Padahal kantor mereka tidak berad
Aku merebahkan diri di ranjang. Langsung masuk tanpa menawari Tania untuk singgah setelah mengantarku pulang. Bodo amat.Masih teringat saat Tania memintaku untuk masuk ke keluarga bu Sam sebagai adiknya Bang Malik. Dengan begitu, sudah sah secara hukum kalau kami memang bersaudara, walau tanpa ikatan darah.Bang Malik masih merasa was-was kalau aku akan pergi, lagi dan meninggalkannya. Itulah yang membuat pikirannya terganggu saat bertemu kembali dengan om Jaka.Apa yang harus aku lakukan?Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Aira belum juga pulang. Seharian tak ada mengirimiku pesan.Selesai mandi aku mengeringkan rambut dengan handuk saat kudengar bel berbunyi."Hallo... " Haikal memasang senyum lebar di wajahnya setelah pintu terbuka.Menyusul Bang Malik yang ikut masuk. Kenapa orang-orang disekitarnya selalu saja mengikuti kemana pun dia pergi. Apa tidak boleh kami menikmati waktu berdu
Aku tiba di SunCo lebih awal, menunggu Haikal yang juga berjanji akan datang lebih pagi."Bang Malik gimana, kal?" Aku langsung menanyakan begitu dia tiba."Hmm... kasi tau nggak ya?" Haikal memutar bola mata. Menggoda."Hish... Nih sarapan kamu." Aku memberikan kotak bekal buat sarapan yang kujanjikan.Mi goreng instant lengkap dengan sayur dan telur matasapi."Wiss... mantap," pujinya setelah kami duduk di aula.Hanya ada beberapa orang saja yang baru datang dan juga mulai sarapan. Kebanyakan yang datang pagi-pagi sekali adalah mereka yang rumahnya jauh, dan harus berangkat lebih awal agar tak terkena macet.Mereka selalu membawa sarapan sendiri atau pun membeli, karena perusahaan hanya menyediakan porsi untuk makan siang saja."Apa penyakit Bang Malik kumat lagi? Apa dia mimpi buruk? Bagaimana kalau dia kembali masuk rumah sakit? Apa dia marah sama aku? Ayo, Kal. Cepat kasi tau."Ak
Seketika langkahku terhenti."Apa maksud Abang?""Abang sudah pikirkan semuanya. Kamu tinggal di rumah Mama.""Chaca nggak mau, Bang.""Jangan membantah," ucapnya lembut. "Cepat kemasi. Abang tunggu."Bang Malik masih tetap berbaring sembari menutup keningnya dengan lengan. Aku tak juga beranjak.Dia menghela napas, kemudian bangkit lalu langsung menuju ke kamarku. Aku mengejarnya sampai ke dalam. Melihat dia menurunkan koper dan menyusun pakaianku ke dalamnya.Cepat aku menghentikan dan menutup lemari."Abang, apa-apaan sih. Nggak gitu juga kali, Bang. Main pindah-pindah gitu aja." Aku berusaha setenang mungkin."Minggir, Chaca!" Dia kembali menepikanku dan membuka kembali lemari pakaian.Baju-bajuku kembali dimasukkan, kali ini dengan asal. Beberapa ikut berserakan di lantai."Bang!""Sampai kapan kamu mau hidup seperti ini, ha?" nadanya mulai meninggi.
Seminggu berlalu.Selama itu pula aku memutuskan hubungan dengan semua orang. Mematikan ponsel agar tak ada yang bisa menghubungi. Begitu juga dengan Aira.Dia juga tak ingin diganggu oleh suami, atau orang-orang yang mencariku melalui dirinya. Kami berdua benar-benar butuh liburan.Bu Rini sangat cekatan dalam mengurus izin cutiku, jatah tahun pertama yang belum sempat aku ambil.Mendadak, tapi Bu Rini tak terlalu ambil pusing, karena selama ini pekerjaanku memang selalu baik di matanya. Jadi aku pasti punya alasan khusus kenapa tiba-tiba mengambil cuti.Tak ada kabar, tak ada berita. Selama seminggu aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi di perusahaan. Dan memang tidak mau tahu.Selama tujuh hari lamanya aku meyakinkan diri, apakah masih sanggup untuk terus bekerja di sini. Tapi, lagi-lagi Aira menguatkanku."Jangan lari, hadapi saja. Kamu jauh lebih dulu berada di sana. Jangan hanya karena m