"Iya, biar Chaca tinggal di sini saja. Tidak baik tinggal bersama teman yang sudah bersuami." Lagi-lagi wanita itu memberi alasan. Alasan yang tidak masuk akal bagiku.
Bukankah sama saja? Di rumah Aira atau di istana ini, kalian sama-sama orang asing buatku.
"Setidaknya Abangmu Malik tinggal di rumah ini." Dengan gaya khas bicaranya yang elegan, dia melanjutkan ucapannya. Bu Sam seperti mendengar isi hatiku barusan.
Lagi-lagi permintaan konyol. Kalau mau aku pergi dari rumah Aira, ayo belikan aku rumah. Kalau kalian menganggapku keluarga, cepat berikan aku rumah dan sebuah mobil. Aku juga tidak mau kalah dengan Tania.
Atau kalau tidak, naikkan jabatanku lebih tinggi dari Bu Rini, atau boleh juga sejajar dengan Bang Malik. Atau kalau perlu jadikan aku direktur atau CEO sekalian.
Aku puas walau itu semua hanya mampu kuucapkan dalam hati. Kalau sampai semua kata-kata itu keluar dari mulutku, aku jamin roti selai di piring
Acara perkenalan sudah selesai, semua kembali mengerjakan tugas masing-masing, sembari bergosip. Untung kehadiran Haikal mampu menggeser trending topik hari ini.Mereka lebih memilih membahas pengawas barubitu, ketimbang gosip yang di sebar Oji tentangku pagi tadi."Itu adiknya Pak Malik kan, Cha?" Vera ikut berbisik di sebelahku."Hem... ""Ganteng, tapi sama sekali nggak mirip."Aku hanya tersenyum, tak menjawab. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada desas-desus terdengar kalau Bang Malik memang bukan anak kandung bu Sam.Namun tak seorang pun berani membahasnya, mengingat sifat Abangku yang baik hati dan tidak semena-mena terhadap karyawan. Mereka dengan tulus menghormatinya.Kulirik ke arah kantor, laki-laki itu memasang wajah serius. Sementara Haikal hanya tertawa santai menyikapi keterkejutan Abang angkatnya itu.Haikal pasti hanya ingin mencari kesibukan untuk membantunya melupakan saki
Mobil pun melaju melintasi jalan."Kalau nggak bisa jangan di paksa, Bang. Nggak enak sama Haikal. Lagian, Tania maunya sama Abang.""Enggak lah, sama aja. Mobil Tania lagi di bengkel katanya. Makanya minta jemput.""Emang Tania tinggal di sini sama siapa, Bang?""Dulu Tania dan keluarganya pernah tinggal di Medan. Jadi rumahnya di tinggali sama pekerjanya. Biar ada tempat tinggal kalau datang. Papanya Tania juga hampir setiap bulan berkunjung.""Abang nggak takut, kalau Tania sering-sering sama Haikal. Kalau tiba-tiba mereka saling sukak gimana?""Biarin. Toh dari kecil Haikal juga udah suka sama Tania."Dia tahu? Lantas kenapa tidak keberatan kalau Haikal yang menjemput Tania, ketimbang mengantarku pulang. Apa tidak ada rasa cemburu di hatinya?Sungguh hebat dua kakak beradik ini, masing-masing mau mengalah demi kebahagiaan satu sama lain. Tania sungguh beruntung, dicintai oleh dua pria hebat sekaligus. Aku benar-benar
Kami sampai di rumah nenek. Ternyata cukup ramai di sana, para tetangga juga berdatangan. Kurasa untuk mencegah nenek mengamuk dan memukuli anak laki-lakinya yang sudah ditumbuhi banyak uban itu.Terlihat jelas om Jaka sedang mengusap-usap bahunya, pasti habis kena pukulan nenek. Aku dan Aira tersenyum, lalu masuk dan menyiapkan makanan.Beberapa potong kue kami sediakan untuk tetangga yang hadir, lalu mereka pamit pulang setelah melihat nenek menjadi lebih tenang.Om Jaka berjalan menyeret kakinya. Ya, jalannya tidak lagi sempurna akibat kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Dengan jalan terpincang, dia mendekati nenek tua itu."Maafin Jaka, Mak." Seperti anak kecil dia memegangi bahu nenek yang dari tadi memunggunginya."Mau jadi apa kau, sudah tua tapi masih hidup seperti ini. Apa tidak malu kau dengan yang lain?""Jaka janji akan bertobat, Mak. Udah kapok jadi orang nggak bener.""Dari dulu begitu saja la ja
Seketika kenangan itu muncul kembali. Saat tubuhku dibawa paksa di atas bahu kekar om Jaka, sementara temannya mengikuti dari belakang meninggalkan Bang Malik yang saat itu terlihat sudah meregang nyawa.Aku meronta-ronta menyaksikan Abangku yang sama sekali tak bergerak. Hingga akhirnya kami sampai di sebuah gudang kosong yang aku sendiri tidak tahu di mana. "Gimana ini, Bang? Duitnya udah nggak ada. Apa percaya Nyonya tua itu sama kita. Malah sekarang anak itu sudah mati." Om Jaka terlihat panik karena rencana awal mereka sudah gagal. "Biarin aja. Kita balikin ni bocah ke sana." Kata teman yang satunya. Seketika aku memberanikan diri bersuara."Jangan, Om. Chaca nggak mau balik ke tempat itu. Chaca takut." Aku menangis sejadi-jadinya."Diem lu, bocah. Ngikut aja!" Om Jaka terlihat kesal. "Bang Malik...." tangisku semakin menjadi."Abang lu udah mati. Lu mau ikutan mati juga?" Lagi-lagi om Jaka memarahiku. "Mana duit panti yang kalian bawa?" Temannya terlihat lebih tenang sambil
Dugaanku salah. Nyatanya mereka memperlakukanku layaknya manusia. Mereka merawatku seperti seorang gadis kecil yang memang masih membutuhkan kasih sayang. Bahkan dari lelaki sangar seperti om Jaka. "Doa in Om Jaka ya. Kalau malam ini menang, besok om Jaka beliin boneka berbi buat kau," ujarnya dengan suara pelan agar nek Joyah tak mendengar."Oke, Om." Aku membentuk huruf O dengan telunjuk dan ibu jari.Walau tak lemah lembut, masih terasa kasih sayang nek Joyah layaknya orang tua. Bukan keluarga yang religius, tapi setiap bulan Ramadhan ia selalu membangunkanku untuk makan sahur agar kuat berpuasa pada esok hari. Meski sesekali kupergoki nek Joyah sedang melahap sepiring nasi pada tengah hari. "Nenek sudah tua, tak kuat lagi menahan lapar." Dia beralasan. Tak lupa setiap tahun selalu ada baju lebaran dari om Jaka. Kembang api, lilin, bahkan uang jajan yang tak pernah kudapatkan selama di sana. "Nih terompet, jangan tiup di depan nenek, nanti Om ikut kena maki!" serunya menjelang
Hari ini bang Malik tidak masuk kerja. Ponselnya juga tidak di aktifkan. Beberapa pesanku pun juga belum terbaca. Apa yang terjadi padanya? "Kal, nanti aku ikut pulang ya?" Aku meminta pada Haikal. "Bang Malik lagi ke luar kota, Cha. Dia butuh istirahat. Nanti kalau sudah baikan, kamu juga bakal ketemu." Haikal seolah-olah tahu apa yang terjadi dengan kami. "Bang Malik sakit?""Nggak usah khawatir, Abang kamu baik-baik aja. Ada Tania yang sekarang lagi menemaninya."Seketika urung niatku untuk menemuinya. Kenapa harus selalu saja ada Tania di tengah-tengah masalah kami. "Kamu nggak papa, Cha?" Haikal terlihat khawatir denganku. "Memangnya aku kenapa?""Maksudku, kamu nggak papa selama ini tinggal dengan pria yang sudah menculik kamu?"Seketika aku terdiam. Kata-kata Haikal barusan meyakinkan bahwa Bang Malik sudah menceritakan kejadian di rumah om Jaka waktu itu. Aku berjalan meninggalkan Haikal tanpa menjawab. "Chaca!" Dia menahan dengan menarik lenganku. "Pergilah! Jangan ik
"Kal.. " Aku menyentak. Kulihat mata Vera dan bu Rini ikut membesar. Terkejut."Nggak papa, Cha. Semua orang kan juga harus tau, ada hubungan apa kamu sama Bang Malik. Jangan membuat mereka berpikir yang bukan-bukan."Bu Rini dan Vera menatap, saat aku bergegas pergi dengan wajah kesal. "Cha, tunggu!" Haikal mengejarku sampai ke dapur. Hanya ada kami berdua, karna yang lain masih berada di aula."Kamu apa-apaan sih?" tanyaku kesal. "Kenapa? Yang aku omongin kenyataan, kan? Jangan bilang kalau kamu malu mengakui Bang Malik."Tentu saja aku tidak ingin mengakuinya seperti itu. Karena aku tak bisa lagi menganggapnya sebagai kakak. Aku lebih senang kalau yang lain menganggap kami sebagai sepasang kekasih, walaupun itu hanya berita hoaks belaka. "Tapi kamu nggak berhak ngomong begitu sama mereka.""Aku cuman nggak suka mendengar berita kalau kamu punya pacar. Baik Erik atau pun Bang Malik!" Lagi, aku tercengang mendengar ucapannya. "Ada-ada aja tingkah kalian berdua. Ngeselin. Adik Ab
Sudah tiga hari ini Bang Malik belum juga muncul. Selama itu pula Haikal tak melepaskan pandanganya padaku. Selalu mengantarku pulang ke rumah dan baru pulang hingga larut malam.Entah itu menumpang mandi, tidur, atau mengajak kami main kartu. Aku tidak tahu apakah itu atas perintah Bang Malik atau hanya untuk menyibukkan dirinya sendiri dari pikiran tentang Tania. Dan berkat Oji, kini aku menjadi viral bak selebriti yang baru saja dilamar oleh putra pemilik perusahaan. Wah, beruntungnya aku. Belum lagi berita tentang Bang Malik yang sebenarnya adalah kakakku yang sempat terpisah bertahun-tahun lamanya. Pokoknya semua karyawan, kini jadi menaruh rasa sungkan kepadaku.Terima kasih Oji. Ponsel Bang Malik juga tak pernah lagi aktif. Seluruh pesanku tertumpuk hanya bertanda centang satu. Dalam hatiku terasa sunyi, aku begitu merindukannya. Pagi.Aku sampai di tempat kerja seperti biasa. Mengambil posisi dan mempersiapkan segala sesuatu yang ingin dikerjakan. Belum banyak yang hadir, h
Aku memohon kepada Mama agar tetap merahasiakan ini kepada semua orang, termasuk om Ridwan sendiri. Aku lebih memilih statusku sebagai yatim piatu yang diadopsi oleh keluarga Om Jaka. Dengan begitu, aku akan belajar memaafkannya, dan memulai hubungan yang baru sebagai menantunya. Itu saja. Aku tak mau lagi ada drama air mata menjelang pernikahan. Biarlah ini sebagai hukuman atas dosa-dosa om Ridwan. Selamanya tidak pernah merasakan kehadiranku sebagai putri kandungnya. Semula Mama memang terlihat keberatan. Namun, melihat sorot mataku yang penuh keyakinan, dia terpaksa menuruti. Egois memang. Tapi, bukankah sebagai manusia yang punya perasaan, aku juga punya hak? Hanya itu satu-satunya cara hatiku bisa menerima kehadiran om Ridwan. Hanya sebagai Papanya Bang Malik."Mama mengerti, maaf kalau kami sebagai orang tua sudah menempatkan luka di hatimu. Menempatkanmu dalam posisi tersulit sebagai korban dari keegoisan orang-orang dewasa."Lagi, kata-kata yang sama seperti yang Aira ucapk
Siang ini aku memasak makan siang, membereskan rumah, sementara Aira membawa Alya untuk pergi imunisasi. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Aku membukakan pintu depan. Sesosok wanita itu kini berdiri kembali di hadapanku. Teringat saat terakhir kali kami saling menatap seperti ini. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apa dia sakit? Dia tampak ragu untuk melangkah. Entah karena malu atau takut. Aku pun merasa demikian, masih merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Bukankah seingatku kami memang tak seakrab itu? Tapi entah kenapa gejolak hati ini ingin sekali memeluknya. Menumpahkan rasa rindu yang entah sejak kapan mengikutiku. Selalu berharap dapat kembali bertemu dan membicarakan apa saja layak nya seorang teman, atau..Ibu. "Silahkan masuk, Ma." Aku menawarinya dengan suara yang tertahan. Ingin sekali aku menyentuh dan memeluknya, namun dia juga terlihat sama takutnya denganku. Mama melangkahkan kaki masuk ke dalam. Memperhatikanku dari atas samp
Sudah beberapa hari ini kerjaku hanya uring-uringan dan bermain bersama Alya saja. Suntuk juga rasanya menjadi pengangguran, setelah bertahun-tahun lamanya hidup dari kerjaan satu ke kerjaan lainnya. Mungkin aku tak lagi mempermasalahkan soal uang. Karena kini, Bang Malik yang menanggung semua kebutuhanku. Tapi tetap saja itu tak sesuai dengan jalan hidupku yang sehari-hari harus mengurung diri di rumah. Seperti biasa, Bang Malik menyempatkan diri untuk datang selepas bekerja. Aku mengajaknya ke balkon atas. Dia bilang sangat senang melihat bulan bersamaku, seperti waktu itu. "Abang punya sesuatu buat kamu," ucapnya. Aku menoleh untuk melihat apa yang dia bawa. Dia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari kantong celana. Jantungku sudah ser-seran. Berharap apa yang ada dipikiranku, benar adanya. Kemudian dia membuka dan menunjukkannya kepadaku. Seperti yang kukira, itu sebuah cincin. Cantik sekali. Senyumku pun mengembang. Adegan seperti ini persis seperti yang ada di drama-drama ro
Lagi-lagi aku berucap kata maaf. Mengaku salah telah meninggalkannya meski tahu dia sedang hamil dan membutuhkan seorang teman. "Alya sedang tidur," ucapnya. "Alya? Keponakanku?" Aira mengangguk. Aira menuntunku masuk ke kamarnya. Ada box bayi dengan mainan yang menggantung di atasnya. Bayi mungil itu tertidur pulas di dalamnya. Aku memberanikan diri untuk menggendong. Menciumi wajah dengan pipinya yang chubby itu. Sungguh terlihat seperti boneka. "Maafkan Tante, sayang. Maafkan Tante karena tidak ada di saat kamu lahir ke dunia ini." Aku kembali menciuminya sampai tubuh itu menggeliat karena merasa terganggu. Aku kembali mengunjungi kamar yang dulu aku tempati, Aira masih di kamarnya menidurkan Alya kembali. "Itu masih kamar kamu. Tinggallah lagi di sini. Aku sudah berpisah dari Mas Harris." Dia mengabarkan meski aku sudah mendengarnya dari Bang Malik. "Kenapa? Apa karena aku?""Entahlah, tapi kurasa itu keputusan yang benar. Aku juga tidak ingin nantinya Alya juga ikut merasa
Kami keluar dari gedung pusat SunCo. Aku memang sudah meminta izin kepada Bang Malik untuk menemui Haikal. Dan dia sama sekali tidak keberatan. "Ingat, ya. Kamu sekarang calon istri Abang. Jangan macam-macam," ancamnya. Dia sengaja tak ikut agar tak ada rasa canggung dengan sikap Haikal. Benar saja, sejenak Haikal langsung takut untuk mendekatiku sebelum dia tahu bahwa pria itu hanya mengantarku sampai di luar. Mobil melaju ke arah jalan yang sudah tak asing lagi bagiku. Kemudian dia memasuki gerbang yang sudah setahun ini tak pernah lagi ku kunjungi. Lagi, seperti merasa pulang ke rumah sendiri. "Aku belum gajian. Kita makan siang di sini aja. Gratis," ujarnya sembari melangkahkan kaki ke ruangan. Tak ada yang berubah. Mereka terlihat asik makan dengan lahapnya. Sampai sepasang mata itu menangkap kedatangan kami. "We! Chaca datang. Tengok tu, we. Itu Chaca." Oji berteriak histeris seperti melihat selebriti yang berkunjung ke aula makan dapur SunCo. Puluhan pasang mata menatap
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami mulai memasuki kota Medan. Aku meminta Bang Malik untuk segera singgah ke rumah nenek. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Bukankah mereka keluarga pertama yang harus aku kunjungi? Nenek berdiri mematung dengan tubuh tuanya. Matanya berkaca-kaca saat aku menangis memohon maaf. Nenek memang tak tahu bagaimana caranya menunjukkan kasih sayang, tapi kali ini dia begitu erat memelukku. Tak tahan juga rasanya menahan rindu. "Kau sudah dewasa," ujarnya. "Jangan lagi bersikap seperti itu." Aku kembali menangis di pelukannya. Bang Malik tertidur di ruang tamu beralaskan ambal. Aku sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar, namun dia menolak. "Di sini lebih nyaman," ujarnya. Untuk pertama kalinya aku melihat dia tertidur dengan pulas. Napasnya teratur dengan kedua tangan diletakkan di atas dada.Wajahnya terlihat lelah, hingga tak sadar kalau kini om Jaka juga ikut tertidur di sampingnya. Kupungut ponsel yang sedari tadi tergeletak begitu s
Rasa bersalah selalu menghantui. Aku memohon kepada mama untuk tetap berusaha mencarinya. Di jalanan, lampu merah, bahkan melaporkan kehilangan ke kantor polisi. Nihil. Tak ada jejak sama sekali. Bayang-bayang wajah Chaca yang menangis dalam cengkraman tangan preman tersebut selalu muncul dalam mimpiku. Bertahun-tahun lamanya aku hidup dalam bayang-bayang gadis kecil itu. Rasa rindu selalu menyelimuti, berharap bisa menyentuh dan memeluknya lagi. Hari ini hari ulang tahun Chaca. Hari yang diputuskan sebagai tanggal lahirnya di malam di mana dia ditemukan. Jika dia masih hidup, usianya kini sudah tujuh belas tahun. Sweet seventeen, kata gadis-gadis yang dulu satu esema denganku.Aku kembali mengunjungi masjid raya, tempat di mana aku dan Chaca selalu menghabiskan waktu bersama. Tak lupa untuk merayakan ulang tahunnya dengan memberi sedekah ke anak-anak jalanan yang sengaja aku kumpulkan di sana.'Chaca sayang, bagaimana keadaanmu sekarang?' batinku dalam hati. "Maaf, apakah anda Ha
POV MALIK.Aku mengenang kala kejadian waktu itu. Tubuhku yang terbaring lemah di... mungkin rumah sakit. Kulihat ada tiang yang menggantungkan cairan yang terhubung langsung dengan urat nadiku.Aku mencoba bergerak, merasai wajahku yang kini terasa tebal dan kaku. Kurasakan seluruhnya terbalut perban dengan rasa sakit yang luar biasa. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Beberapa wanita berpakaian serba putih datang untuk memeriksa apa yang terjadi kepadaku. Tak lama seorang pria dewasa juga muncul, mungkin seorang dokter. Ya, samar kulihat dari pakaian putih bersihnya, dia seorang dokter. Hampir seminggu setelah aku terjaga, dokter membuka seluruh perban di wajahku. Disaksikan oleh sepasang suami istri dan anak lelaki mereka. Memandangku dengan cemas dan was-was. Apa aku ini terlihat seperti hewan buas bagi mereka? Sejenak kemudian, kulihat rasa lega di wajah mereka, seolah semua sedang baik-baik saja. "Siapa namamu, Nak?" tanya wanita paruh baya tersebut. "Hannan Maliki S
Seperti janjiku kemarin, kami bersiap-siap berangkat. Aku dan Bang Malik berpamitan dengan mereka satu persatu. Runi memelukku dengan sangat erat, begitu juga dengan Wak Mis.Fatma yang tidak tahu apa-apa hanya tampak murung dan seperti tidak rela membiarkanku pergi. Namun dia kembali tersenyum saat ayahnya mengatakan kalau aku akan segera kembali. Pak Yaz sengaja tidak memberitahukannya, agar dia tidak menangis histeris karena takut kehilanganku. Pak Yaz mengulurkan tangan ke arah Bang Malik. Meminta maaf atas kesalahpahaman kemarin. Tangannya masih menggantung di udara, tanpa sambutan dari laki-laki yang tengah berdiri di sampingku. Masih tidak senang, rupanya. Aku menyenggol bahunya, lalu menariknya agar sedikit menunduk. Aku membisikkan sesuatu di telinganya. "Salamin. Atau Chaca yang akan menyambut uluran tangannya," ancamku. Dengan cepat dia menyambut telapak tangan Pak Yaz, kemudian menggoyang-goyangkannya seperti mereka sudah berteman cukup akrab."Awas kalau sampai bers