Mobil memasuki area kompleks, kulirik wajah Haikal tampak muram."Minum kopi?" ajaknya. Eh? Apa dia akan curhat padaku malam ini? Mencurahkan segala isi hati yang saat ini sedang patah? Baiklah, kurasa kini kami sedang senasib. Tidak ada salahnya saling menghibur."Boleh," sahutku. Dia memesan kopi esspresso yang paling pekat. Dahinya nengernyit menyesap kopi kental itu. Pahit, tapi dia terlihat begitu menikmatinya. "Kayak orang tua!" ejeknya saat melihatku meneguk teh jahe panas yang kupesan. "Takut gak bisa tidur." Aku beralasan. "Baca do'a lah," ujarnya seperti seorang ustaz. Cukup membuatku untuk tersenyum. Dia merapatkan punggung ke sandaran kursi. Berulang kali menghela napas. Aku mengerti sekali bagaimana perasaannya saat ini. Haruskah aku bekerja sama dengannya untuk memisahkan mereka? Tidak! Aku sudah sering melihat cara itu di ftv yang dulu sering ku tonton, dan semuanya tidak ada yang berhasil. Pemeran utama akan tetap bersama pemeran utama. Aku dan Haikal, hanyalah
Aku mempersilakan dia untuk masuk. Dilihatnya Haikal dan Aira masih duduk bersila di lantai beralas karpet bulu berwarna coklat, saling melempar kartu.Haikal menoleh, melihat siapa yang datang."Ngapain Abang malam-malam ke sini?" tanyanya heran."Bukannya tadi Abang suruh cepat pulang?" Bang Malik beralasan."Kan Chaca udah di rumah. Kenapa Abang nyusul ke sini?""Ya, buat jemput kamu lah. Udah jam berapa ini? Ayo pulang!" Haikal tampak mengernyit, heran."Tumben," gumamnya. "Biasa juga kalau Haikal pulang pagi, Abang nggak pernah nanyak."Bang Malik tampak tergugup sendiri. Salah tingkah dengan ucapan Haikal. Lalu memandang ke arahku."Duduk dulu, Bang. Chaca buatin kopi, ya?" Aku berusaha menghilangkan kegugupannya. Abangku tersenyum menyambut tawaranku."Nggak usah, Cha. Bang Malik buru-buru. Aku juga udah mau pulang kok." Haikal nyerocos sebelum Bang Malik menjawab. "Iya kan, Ban
Jelas-jelas dia tahu malam itu adalah malam pertama aku dan Haikal jalan berdua. Soal terlihat akrab, masak iya aku bilang kalau aku dan dia sama-sama bernasib sial dan lagi patah hati. Bisa-bisa mereka bertengkar gara-gara memperebutkan Tania.Terdengar suara nada dering dari kantongnya. Kulirik ada nama Tania di sana, sedang memanggil. Ada rasa tak enak di wajahnya saat melihatku."Angkat aja, Bang. Chaca nggak papa kok." Ku buang pandangan ke arah jendela, saat iya menjawab panggilan."Aku lagi jalan ke rumah Chaca." Bang Malik menjawab. Entah apa yang Tania tanyakan di seberang sana."Oke, nanti aku ke sana." Ponsel kembali di tutup.Aku diam, bergeming. Enggan untuk bicara, meski di mulut aku berucap menerima, tapi hatiku masih tetap saja merasa sakit."Tania mau melamar kerja di Rumah Sakit." Bang Malik menjawab tanpa kutanya. Aku tak menyahut. Masih membuang pandangan ke jendela."Kebetulan t
Tubuhnya tak lagi sekekar dulu, diabetes ikut menggerogoti lemak-lemak yang dulu menempel di tubuhnya."Masuklah. Nggak kerja kau?" tanyanya dengan jalan yang sudah tidak sekuat dulu."Lagi off, Nek," sahutku sambil menata makanan di meja makan, lalu menyusun belanjaan yang aku beli tadi. Sebagian di kulkas, dan sebagian lagi di lemari untuk keperluan kamar mandi."Minggu depan, Jaka sudah bisa dibebaskan," ujar nenek."Benarkah? Chaca pikir masih beberapa bulan lagi.""Katanya ada remisi, dan masa potong tahanan karena berkelakuan baik."Aku dan nenek tertawa bersamaan. Entah kelakuan baik seperti apa yang dilakukan Om Jaka, sampai-sampai petugas penjara ingin segera membebaskannya."Mudah-mudahan Om Jaka benar-benar bertobat ya, Nek. Nggak mau main judi dan mabuk-mabukan lagi," doaku menyenangkan hati orang tua itu."Biar kapok dia," timpal nenek dengan mata berkaca-kaca."Minggu dep
"Abang kenapa?" tanyaku tergugup. Kulihat wajahnya penuh dengan amarah."Abang tanya, kamu dari mana?" Dia mulai berteriak. Aku jadi takut melihatnya.Cepat aku membuka pintu, lalu menggapai lengannya, memaksanya untuk ikut masuk. Aku tak ingin ada keributan yang didengar oleh tetangga.Dia terduduk di sofa sambil mengusap rambutnya, lalu bersandar. Aku duduk di meja tamu, tepat di hadapannya. Kugenggam kedua tangan yang masih mengepal, belum hilang rasa geramnya mendengar semua omong kosongku tadi."Maafin Chaca ya, Bang. Chaca pergi nggak bilang-bilang sama Abang.""Sejak dari makan siang tadi, Abang bolak-balik ke sini nyariin kamu. Dan kamu bilang baru aja keluar?" Dia kembali mengungkit kebohonganku."Jangan marah, Bang. Chaca pergi ke rumah saudara.""Saudara? Kamu punya saudara?" Aku mengangguk."Siapa?" Aku diam, tak berani menjawab."Dimana? Hem? Kamu bohong lagi, kan?"
Haikal melempar senyum dari kejauhan, setelah tahu aku akan datang."Main kartu?" usulnya, setelah kami mendekat."Udah malam, Kal," sela Bang Malik."Wajah Chaca masih segar tuh, Bang. Ya kan, Cha?" Alisnya naik turun menggodaku."Males, kamu curang," sahutku mengekor di belakang Abangnya.Tak ada penyambutan dari orang tua mereka, mungkin sudah tertidur dari tadi. Lagi pula, ini sudah lewat tengah malam. Masih bisa besok untuk menyapa.Kami bertiga telah sampai di ruangan yang begitu besar. Kamar tamu saja bisa sebesar ini. Haikal merebahkan diri di ranjang yang akan kutempati."Ngapain kamu di situ?" Bang Malik meletakan bungkusan pakaian gantiku di sisi ranjang."Mo bobok sama Chaca," godanya genit, sambil mengedipkan sebelah mata kepadaku.Aku tertawa melihat tingkahnya. Dia terlihat lebih santai ketimbang Abangnya yang hari-hari selalu terlihat serius dan kaku.
"Iya, biar Chaca tinggal di sini saja. Tidak baik tinggal bersama teman yang sudah bersuami." Lagi-lagi wanita itu memberi alasan. Alasan yang tidak masuk akal bagiku.Bukankah sama saja? Di rumah Aira atau di istana ini, kalian sama-sama orang asing buatku."Setidaknya Abangmu Malik tinggal di rumah ini." Dengan gaya khas bicaranya yang elegan, dia melanjutkan ucapannya. Bu Sam seperti mendengar isi hatiku barusan.Lagi-lagi permintaan konyol. Kalau mau aku pergi dari rumah Aira, ayo belikan aku rumah. Kalau kalian menganggapku keluarga, cepat berikan aku rumah dan sebuah mobil. Aku juga tidak mau kalah dengan Tania.Atau kalau tidak, naikkan jabatanku lebih tinggi dari Bu Rini, atau boleh juga sejajar dengan Bang Malik. Atau kalau perlu jadikan aku direktur atau CEO sekalian.Aku puas walau itu semua hanya mampu kuucapkan dalam hati. Kalau sampai semua kata-kata itu keluar dari mulutku, aku jamin roti selai di piring
Acara perkenalan sudah selesai, semua kembali mengerjakan tugas masing-masing, sembari bergosip. Untung kehadiran Haikal mampu menggeser trending topik hari ini.Mereka lebih memilih membahas pengawas barubitu, ketimbang gosip yang di sebar Oji tentangku pagi tadi."Itu adiknya Pak Malik kan, Cha?" Vera ikut berbisik di sebelahku."Hem... ""Ganteng, tapi sama sekali nggak mirip."Aku hanya tersenyum, tak menjawab. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada desas-desus terdengar kalau Bang Malik memang bukan anak kandung bu Sam.Namun tak seorang pun berani membahasnya, mengingat sifat Abangku yang baik hati dan tidak semena-mena terhadap karyawan. Mereka dengan tulus menghormatinya.Kulirik ke arah kantor, laki-laki itu memasang wajah serius. Sementara Haikal hanya tertawa santai menyikapi keterkejutan Abang angkatnya itu.Haikal pasti hanya ingin mencari kesibukan untuk membantunya melupakan saki