"Nggak ada kok, kenapa Tania? " Mencoba seramah mungkin.
"Aku pengen ngobrol aja sama kamu. Nanti sore aku jemput, ya? Kita ngobrol sambil minum kopi." Kata-katanya bukan seperti permintaan, melainkan lebih mirip sebuah perintah.
"Baiklah." Aku mengakhiri pembicaraan, dan menutup percakapan.
Hari ini Bang Malik tidak berada di kantor, karena setelah makan siang, dia tidak kembali karena harus mengadakan inspeksi ke seluruh outlet.
Mungkin kesempatan ini dimanfaatkan Tania untuk menemuiku. Karena selama ini, sepulang kerja aku sering menghabiskan waktu bersama Abang yang sudah lama tak bertemu.
Sepulang kerja kulihat mobil sedan gadis itu sudah terparkir di seberang jalan. Aku menghampiri, dan langsung masuk menemuinya.
"Udah lama?" Aku berbasa basi.
"Enggak. Baru nyampek, kok." Tania menjawab dengan senyum manis seperti biasanya.
Tania memarkir mobil di kafe Terrazzo, tempat pertama kali kami berkenalan.
POV TANIAAku, Tania Anjani. Lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang cukup terpandang di Ibu kota. Putri tunggal dari seorang pengusaha tambang dari Kalimantan.Pekerjaan Papa membuat aku dan Mama terpaksa berpindah-pindah kota untuk mengikuti kegiatannya. Sampai akhirnya Mama sering sakit-sakitan, dan memutuskan untuk menetap di Jakarta.Hanya Papa yang sering bepergian ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Medan adalah kota yang paling sering dikunjunginya. Bahkan aku dan mama pernah tinggal selama beberapa tahun di sini, sampai papa tiba-tiba mengajak kami pindah lagi ke Jakarta. Banyak kenangan indah yang terjadi padaku di sini. Saat itu usiaku baru 13 tahun. Papa mengajak aku dan Mama menghadiri acara syukuran di rumah sahabat lamanya.Aku bermain bersama Haikal yang sudah hampir dua tahun tak kutemui. Haikal adalah putra tunggal dari sahabat Papa yang bernama Om Ridwan dan istrinya Tante Syamsiah yang biasa kupanggil Tante Sam.Pasangan suami istri tersebut adalah pemilik salah
Dua tahun berlalu.Malik kembali dari luar negeri untuk meneruskan kuliahnya yang terhenti di sana. Tidak betah katanya. Saat itu aku yang baru lulus sekolah SMA ikut mendaftar di Universitas yang sama.Sejak aku tahu tentang mimpi buruk Malik, aku bercita-cita ingin menjadi seorang psikolog. Aku ingin sekali membantunya lebih dekat, lebih dalam sebagai seorang profesional.Itu semua sudah terwujud, kini aku resmi mendapat gelar seorang Sarjana Psikolog. Cita citaku hanya satu, menjadi psikolog pribadi untuk orang yang kucintai. Saat Malik menjadi senior di kampusku, banyak gadis-gadis yang ingin mendekatinya. Wajah tampan dan sifatnya yang lemah lembut membuat para wanita begitu tergila-gila dibuatnya.Untung saja Malik tak pernah peduli dan memberikan respon berlebih pada mereka. Hal itu membuat perasaanku yang bertahun-tahun sudah terpendam, tak pernah pudar.Suatu hari Tante Sam memberi kabar, bahwa Malik menemukan adik perempuannya. Aku pun turut merasakan kebahagiaan yang sudah
Sudah beberapa hari ini aku dan Bang Malik tak saling bertegur sapa. Sebenarnya aku memang bersalah. Dia punya hak untuk marah dan mendiamkanku seperti ini. Kemarin-kemarin aku mencoba menghubungi, walau tidak digubris. Tapi setelah pertemuan dengan Tania kemarin, aku jadi malas untuk meneruskannya. Aku yang super sensitif dan benci untuk mengemis, tak ingin lagi jadi penghalang di antara mereka. Kubiarkan saja semua berjalan seperti sebelum mengenalnya. Pantang bagiku unyuk merengek, memohon sesuatu di depan seseorang, bahkan Bang Malik sekali pun. kehidupan masa kecil yang kuhabiskan dengan sekolah sambil berjualan di pasar menjadikanku anak yang mandiri. Kerasnya hidup miskin, tak membuatku menjadi gadis yang manja dan meminta belas kasihan orang. "Cha, ada Malik di depan. Aira tiba-tiba muncul di pintu kamar. Aku menutup wajah dengan bantal, tak menggubris. "Nggak mau ketemu Abang lagi?" Suara Bang Malik menyusul dari belakang Aira. Aku membalikkan badan, langsung menen
Sungguh aku begitu terkejut dengan perkataannya. Dari sini aku sudah mengerti, kemana arah pembicaraan ini. Tidak ada bedanya dengan permintaan Tania tempo hari. Dia juga ingin aku menjauh dari anaknya. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bisa menerima niat baik Ibu. Sebenarnya saya juga punya niat untuk melanjutkan kuliah. Tapi tidak sampai jauh-jauh ke luar negeri. Itu pun saya bayar dengan uang saya sendiri. Ibu tidak perlu repot repot," tegasku. Aku berbohong, tak pernah terlintas sedikit pun dibenakku untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Bisa menamatkan sekolah sampai SMA saja aku sudah bersyukur.Saat itu yang kupikirkan adalah bagaimana caranya bekerja menghasilkan uang untuk bertahan hidup. Tapi setelah melihat orang-orang yang hidup bersama Bang Malik, pikiranku mulai berubah.Aku juga bisa seperti mereka. Tak ingin direndahkan oleh orang-orang itu. Aku akan mulai mensejajarkan diri agar bisa hidup berdampingan dengan Abangku. "Malik juga dulu sempat
Mobil memasuki area kompleks, kulirik wajah Haikal tampak muram."Minum kopi?" ajaknya. Eh? Apa dia akan curhat padaku malam ini? Mencurahkan segala isi hati yang saat ini sedang patah? Baiklah, kurasa kini kami sedang senasib. Tidak ada salahnya saling menghibur."Boleh," sahutku. Dia memesan kopi esspresso yang paling pekat. Dahinya nengernyit menyesap kopi kental itu. Pahit, tapi dia terlihat begitu menikmatinya. "Kayak orang tua!" ejeknya saat melihatku meneguk teh jahe panas yang kupesan. "Takut gak bisa tidur." Aku beralasan. "Baca do'a lah," ujarnya seperti seorang ustaz. Cukup membuatku untuk tersenyum. Dia merapatkan punggung ke sandaran kursi. Berulang kali menghela napas. Aku mengerti sekali bagaimana perasaannya saat ini. Haruskah aku bekerja sama dengannya untuk memisahkan mereka? Tidak! Aku sudah sering melihat cara itu di ftv yang dulu sering ku tonton, dan semuanya tidak ada yang berhasil. Pemeran utama akan tetap bersama pemeran utama. Aku dan Haikal, hanyalah
Aku mempersilakan dia untuk masuk. Dilihatnya Haikal dan Aira masih duduk bersila di lantai beralas karpet bulu berwarna coklat, saling melempar kartu.Haikal menoleh, melihat siapa yang datang."Ngapain Abang malam-malam ke sini?" tanyanya heran."Bukannya tadi Abang suruh cepat pulang?" Bang Malik beralasan."Kan Chaca udah di rumah. Kenapa Abang nyusul ke sini?""Ya, buat jemput kamu lah. Udah jam berapa ini? Ayo pulang!" Haikal tampak mengernyit, heran."Tumben," gumamnya. "Biasa juga kalau Haikal pulang pagi, Abang nggak pernah nanyak."Bang Malik tampak tergugup sendiri. Salah tingkah dengan ucapan Haikal. Lalu memandang ke arahku."Duduk dulu, Bang. Chaca buatin kopi, ya?" Aku berusaha menghilangkan kegugupannya. Abangku tersenyum menyambut tawaranku."Nggak usah, Cha. Bang Malik buru-buru. Aku juga udah mau pulang kok." Haikal nyerocos sebelum Bang Malik menjawab. "Iya kan, Ban
Jelas-jelas dia tahu malam itu adalah malam pertama aku dan Haikal jalan berdua. Soal terlihat akrab, masak iya aku bilang kalau aku dan dia sama-sama bernasib sial dan lagi patah hati. Bisa-bisa mereka bertengkar gara-gara memperebutkan Tania.Terdengar suara nada dering dari kantongnya. Kulirik ada nama Tania di sana, sedang memanggil. Ada rasa tak enak di wajahnya saat melihatku."Angkat aja, Bang. Chaca nggak papa kok." Ku buang pandangan ke arah jendela, saat iya menjawab panggilan."Aku lagi jalan ke rumah Chaca." Bang Malik menjawab. Entah apa yang Tania tanyakan di seberang sana."Oke, nanti aku ke sana." Ponsel kembali di tutup.Aku diam, bergeming. Enggan untuk bicara, meski di mulut aku berucap menerima, tapi hatiku masih tetap saja merasa sakit."Tania mau melamar kerja di Rumah Sakit." Bang Malik menjawab tanpa kutanya. Aku tak menyahut. Masih membuang pandangan ke jendela."Kebetulan t
Tubuhnya tak lagi sekekar dulu, diabetes ikut menggerogoti lemak-lemak yang dulu menempel di tubuhnya."Masuklah. Nggak kerja kau?" tanyanya dengan jalan yang sudah tidak sekuat dulu."Lagi off, Nek," sahutku sambil menata makanan di meja makan, lalu menyusun belanjaan yang aku beli tadi. Sebagian di kulkas, dan sebagian lagi di lemari untuk keperluan kamar mandi."Minggu depan, Jaka sudah bisa dibebaskan," ujar nenek."Benarkah? Chaca pikir masih beberapa bulan lagi.""Katanya ada remisi, dan masa potong tahanan karena berkelakuan baik."Aku dan nenek tertawa bersamaan. Entah kelakuan baik seperti apa yang dilakukan Om Jaka, sampai-sampai petugas penjara ingin segera membebaskannya."Mudah-mudahan Om Jaka benar-benar bertobat ya, Nek. Nggak mau main judi dan mabuk-mabukan lagi," doaku menyenangkan hati orang tua itu."Biar kapok dia," timpal nenek dengan mata berkaca-kaca."Minggu dep
Aku memohon kepada Mama agar tetap merahasiakan ini kepada semua orang, termasuk om Ridwan sendiri. Aku lebih memilih statusku sebagai yatim piatu yang diadopsi oleh keluarga Om Jaka. Dengan begitu, aku akan belajar memaafkannya, dan memulai hubungan yang baru sebagai menantunya. Itu saja. Aku tak mau lagi ada drama air mata menjelang pernikahan. Biarlah ini sebagai hukuman atas dosa-dosa om Ridwan. Selamanya tidak pernah merasakan kehadiranku sebagai putri kandungnya. Semula Mama memang terlihat keberatan. Namun, melihat sorot mataku yang penuh keyakinan, dia terpaksa menuruti. Egois memang. Tapi, bukankah sebagai manusia yang punya perasaan, aku juga punya hak? Hanya itu satu-satunya cara hatiku bisa menerima kehadiran om Ridwan. Hanya sebagai Papanya Bang Malik."Mama mengerti, maaf kalau kami sebagai orang tua sudah menempatkan luka di hatimu. Menempatkanmu dalam posisi tersulit sebagai korban dari keegoisan orang-orang dewasa."Lagi, kata-kata yang sama seperti yang Aira ucapk
Siang ini aku memasak makan siang, membereskan rumah, sementara Aira membawa Alya untuk pergi imunisasi. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Aku membukakan pintu depan. Sesosok wanita itu kini berdiri kembali di hadapanku. Teringat saat terakhir kali kami saling menatap seperti ini. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apa dia sakit? Dia tampak ragu untuk melangkah. Entah karena malu atau takut. Aku pun merasa demikian, masih merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Bukankah seingatku kami memang tak seakrab itu? Tapi entah kenapa gejolak hati ini ingin sekali memeluknya. Menumpahkan rasa rindu yang entah sejak kapan mengikutiku. Selalu berharap dapat kembali bertemu dan membicarakan apa saja layak nya seorang teman, atau..Ibu. "Silahkan masuk, Ma." Aku menawarinya dengan suara yang tertahan. Ingin sekali aku menyentuh dan memeluknya, namun dia juga terlihat sama takutnya denganku. Mama melangkahkan kaki masuk ke dalam. Memperhatikanku dari atas samp
Sudah beberapa hari ini kerjaku hanya uring-uringan dan bermain bersama Alya saja. Suntuk juga rasanya menjadi pengangguran, setelah bertahun-tahun lamanya hidup dari kerjaan satu ke kerjaan lainnya. Mungkin aku tak lagi mempermasalahkan soal uang. Karena kini, Bang Malik yang menanggung semua kebutuhanku. Tapi tetap saja itu tak sesuai dengan jalan hidupku yang sehari-hari harus mengurung diri di rumah. Seperti biasa, Bang Malik menyempatkan diri untuk datang selepas bekerja. Aku mengajaknya ke balkon atas. Dia bilang sangat senang melihat bulan bersamaku, seperti waktu itu. "Abang punya sesuatu buat kamu," ucapnya. Aku menoleh untuk melihat apa yang dia bawa. Dia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari kantong celana. Jantungku sudah ser-seran. Berharap apa yang ada dipikiranku, benar adanya. Kemudian dia membuka dan menunjukkannya kepadaku. Seperti yang kukira, itu sebuah cincin. Cantik sekali. Senyumku pun mengembang. Adegan seperti ini persis seperti yang ada di drama-drama ro
Lagi-lagi aku berucap kata maaf. Mengaku salah telah meninggalkannya meski tahu dia sedang hamil dan membutuhkan seorang teman. "Alya sedang tidur," ucapnya. "Alya? Keponakanku?" Aira mengangguk. Aira menuntunku masuk ke kamarnya. Ada box bayi dengan mainan yang menggantung di atasnya. Bayi mungil itu tertidur pulas di dalamnya. Aku memberanikan diri untuk menggendong. Menciumi wajah dengan pipinya yang chubby itu. Sungguh terlihat seperti boneka. "Maafkan Tante, sayang. Maafkan Tante karena tidak ada di saat kamu lahir ke dunia ini." Aku kembali menciuminya sampai tubuh itu menggeliat karena merasa terganggu. Aku kembali mengunjungi kamar yang dulu aku tempati, Aira masih di kamarnya menidurkan Alya kembali. "Itu masih kamar kamu. Tinggallah lagi di sini. Aku sudah berpisah dari Mas Harris." Dia mengabarkan meski aku sudah mendengarnya dari Bang Malik. "Kenapa? Apa karena aku?""Entahlah, tapi kurasa itu keputusan yang benar. Aku juga tidak ingin nantinya Alya juga ikut merasa
Kami keluar dari gedung pusat SunCo. Aku memang sudah meminta izin kepada Bang Malik untuk menemui Haikal. Dan dia sama sekali tidak keberatan. "Ingat, ya. Kamu sekarang calon istri Abang. Jangan macam-macam," ancamnya. Dia sengaja tak ikut agar tak ada rasa canggung dengan sikap Haikal. Benar saja, sejenak Haikal langsung takut untuk mendekatiku sebelum dia tahu bahwa pria itu hanya mengantarku sampai di luar. Mobil melaju ke arah jalan yang sudah tak asing lagi bagiku. Kemudian dia memasuki gerbang yang sudah setahun ini tak pernah lagi ku kunjungi. Lagi, seperti merasa pulang ke rumah sendiri. "Aku belum gajian. Kita makan siang di sini aja. Gratis," ujarnya sembari melangkahkan kaki ke ruangan. Tak ada yang berubah. Mereka terlihat asik makan dengan lahapnya. Sampai sepasang mata itu menangkap kedatangan kami. "We! Chaca datang. Tengok tu, we. Itu Chaca." Oji berteriak histeris seperti melihat selebriti yang berkunjung ke aula makan dapur SunCo. Puluhan pasang mata menatap
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami mulai memasuki kota Medan. Aku meminta Bang Malik untuk segera singgah ke rumah nenek. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Bukankah mereka keluarga pertama yang harus aku kunjungi? Nenek berdiri mematung dengan tubuh tuanya. Matanya berkaca-kaca saat aku menangis memohon maaf. Nenek memang tak tahu bagaimana caranya menunjukkan kasih sayang, tapi kali ini dia begitu erat memelukku. Tak tahan juga rasanya menahan rindu. "Kau sudah dewasa," ujarnya. "Jangan lagi bersikap seperti itu." Aku kembali menangis di pelukannya. Bang Malik tertidur di ruang tamu beralaskan ambal. Aku sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar, namun dia menolak. "Di sini lebih nyaman," ujarnya. Untuk pertama kalinya aku melihat dia tertidur dengan pulas. Napasnya teratur dengan kedua tangan diletakkan di atas dada.Wajahnya terlihat lelah, hingga tak sadar kalau kini om Jaka juga ikut tertidur di sampingnya. Kupungut ponsel yang sedari tadi tergeletak begitu s
Rasa bersalah selalu menghantui. Aku memohon kepada mama untuk tetap berusaha mencarinya. Di jalanan, lampu merah, bahkan melaporkan kehilangan ke kantor polisi. Nihil. Tak ada jejak sama sekali. Bayang-bayang wajah Chaca yang menangis dalam cengkraman tangan preman tersebut selalu muncul dalam mimpiku. Bertahun-tahun lamanya aku hidup dalam bayang-bayang gadis kecil itu. Rasa rindu selalu menyelimuti, berharap bisa menyentuh dan memeluknya lagi. Hari ini hari ulang tahun Chaca. Hari yang diputuskan sebagai tanggal lahirnya di malam di mana dia ditemukan. Jika dia masih hidup, usianya kini sudah tujuh belas tahun. Sweet seventeen, kata gadis-gadis yang dulu satu esema denganku.Aku kembali mengunjungi masjid raya, tempat di mana aku dan Chaca selalu menghabiskan waktu bersama. Tak lupa untuk merayakan ulang tahunnya dengan memberi sedekah ke anak-anak jalanan yang sengaja aku kumpulkan di sana.'Chaca sayang, bagaimana keadaanmu sekarang?' batinku dalam hati. "Maaf, apakah anda Ha
POV MALIK.Aku mengenang kala kejadian waktu itu. Tubuhku yang terbaring lemah di... mungkin rumah sakit. Kulihat ada tiang yang menggantungkan cairan yang terhubung langsung dengan urat nadiku.Aku mencoba bergerak, merasai wajahku yang kini terasa tebal dan kaku. Kurasakan seluruhnya terbalut perban dengan rasa sakit yang luar biasa. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Beberapa wanita berpakaian serba putih datang untuk memeriksa apa yang terjadi kepadaku. Tak lama seorang pria dewasa juga muncul, mungkin seorang dokter. Ya, samar kulihat dari pakaian putih bersihnya, dia seorang dokter. Hampir seminggu setelah aku terjaga, dokter membuka seluruh perban di wajahku. Disaksikan oleh sepasang suami istri dan anak lelaki mereka. Memandangku dengan cemas dan was-was. Apa aku ini terlihat seperti hewan buas bagi mereka? Sejenak kemudian, kulihat rasa lega di wajah mereka, seolah semua sedang baik-baik saja. "Siapa namamu, Nak?" tanya wanita paruh baya tersebut. "Hannan Maliki S
Seperti janjiku kemarin, kami bersiap-siap berangkat. Aku dan Bang Malik berpamitan dengan mereka satu persatu. Runi memelukku dengan sangat erat, begitu juga dengan Wak Mis.Fatma yang tidak tahu apa-apa hanya tampak murung dan seperti tidak rela membiarkanku pergi. Namun dia kembali tersenyum saat ayahnya mengatakan kalau aku akan segera kembali. Pak Yaz sengaja tidak memberitahukannya, agar dia tidak menangis histeris karena takut kehilanganku. Pak Yaz mengulurkan tangan ke arah Bang Malik. Meminta maaf atas kesalahpahaman kemarin. Tangannya masih menggantung di udara, tanpa sambutan dari laki-laki yang tengah berdiri di sampingku. Masih tidak senang, rupanya. Aku menyenggol bahunya, lalu menariknya agar sedikit menunduk. Aku membisikkan sesuatu di telinganya. "Salamin. Atau Chaca yang akan menyambut uluran tangannya," ancamku. Dengan cepat dia menyambut telapak tangan Pak Yaz, kemudian menggoyang-goyangkannya seperti mereka sudah berteman cukup akrab."Awas kalau sampai bers