Hari ini aku sedang libur. Bang Malik ingin aku menemaninya ke kantor pemasaran rumah Belanda, di mana aku dan Aira tinggal.Dia bilang cukup tertarik dengan area tempat ini. Atau jangan-jangan dia ingin membeli rumah, agar bisa selalu dekat denganku? Angan-angan yang ada di kepala membuatku tersenyum. "Kenapa senyum-senyum sendiri?" Rupanya diam-diam ia memperhatikan tingkahku."Abang mau beli rumah?" tanyaku girang. "Hem," gumamnya, membenarkan ucapanku."Lihat-lihat dulu. Siapa tau cocok.""Rumahnya bagus kok, Bang. Chaca dan Aira betah tinggal di sini.""O, ya? Nggak mau pindah?" Sepertinya Malik sedang menyindirku atas permintaan Mamanya tempo hari. "Apaan sih," jawabku, sambil mendorong pelan tubuhnya.Namun di dalam hati aku penasaran, seberapa banyak uang yang dimilikinya sampai bisa langsung membeli rumah dengan tiba-tiba seperti ini. Apa dia akan mewarisi semua harta warisan keluarga Bu Sam?Bukannya Bu Sam juga punya anak laki laki, yang pasti akan menjadi pewaris sah s
Setelah saling menempelkan pipi dengan Bang Malik tadi, dia langsung mengarahkan pandangan ke arahku."Hai, kamu pasti Chaca." Wanita itu mengulurkan tangannya dengan senyuman ceria. Terlihat barisan gigi putih berderet, yang membuatnya terlihat sangat manis.Cantik sekali. Membuatku merasa tidak percaya diri berada di tengah-tengah mereka. Aku menyambut uluran tangannya dengan ragu-ragu."Kenalin, aku Tania." Dia melanjutkan ucapannya .Oh, jadi kata Tan yang disebut Bang Malik tadi adalah Tania."Ayo duduk," ajak Bang Malik. Tania kemudian duduk di kursi kosong yang ada di hadapan kami. "Waw, kamu cantik sekali Chaca. Kalian terlihat mirip. Kalau diperhatikan, hidung kamu mancung seperti Malik." Wanita itu terlihat sangat ramah dan mudah melemparkan pujian kepada orang yang baru ditemuinya. Tulus kah? Mirip apanya? Kami bahkan tidak punya ikatan darah sedikit pun."Tentu saja, adikku ini sangat cantik," ujar Bang Malik, sambil mengacak-acak rambutku dengan gemas. "Kapan kamu sampa
Malam ini, Bu Sam kembali memintaku makan malam di rumahnya. Sepulang kerja, Bang Malik mengajakku mampir ke toko baju di sebuah mall, agar tak usah bolak-balik pulang ke rumah.Aku juga tidak ingin merepotkannya, karena letak rumahku dan rumahnya berlawanan arah. Kami memasuki sebuah toko dengan brand ternama. Aku memegang sebuah baju terusan tanpa lengan yang kalau kupakai, pasti akan melekat sampai ke kulit. Kuingat dulu Aira sering memakai baju seperti ini untuk memamerkan tubuh seksinya. Aku terkikik geli melihat baju model begitu."Heh, heh. Apa ini? Mau jadi biduan?" Malik dengan tiba-tiba mengapit leherku dengan lengannya. Berpikir kalau itu adalah baju yang akan aku kenakan."Enggak kok, siapa juga yang mau makek baju kek gini." Aku meletakkan kembali gantungan baju tersebut. Merasa geli."Coba yang ini!" seru nya, sembari menempelkan dress selutut di tubuhku, tanpa melepaskan tangannya dari leherku. Dia menarikku ke depan cermin. "Bagus, kan?" Ia setengah berbisik di telinga
Aku dan Bang Malik sampai ke rumah besar itu lagi. Jantungku kembali berdegub tak karuan. Aku menghela napas, sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki ke pintu depan."Santai aja, ada Abang." Ia mencoba menenangkanku. Merangkulku masuk ke dalam, seolah tahu apa yang sedang aku rasakan.Kami tiba di ruang tamu keluarga dan..."Hai Chaca, kita ketemu lagi." Bak anggota keluarga, Tania muncul menyambutku dengan senyumnya yang elegan."Oh, eh, hai...." Aku merasa gugup menjawab sapaannya."Kamu di sini, Tan?" Bang Malik juga seperti tak tahu kedatangannya."Iya dong. Tante ngundang aku. Nggak boleh, hem?" tanyanya manja.Menyebalkan."Ya boleh, lah." Malik terlihat bersemangat.Hish...."Ayo Chaca, kasi salam sama Papa." Bu Sam menimpali. Aku langsung berjalan mendekati laki-laki yang kuperkirakan usianya hampir enam puluhan itu.Sangat kontras dengan penampilan Bu sam yang
"Hem... " Tania mengangguk pelan. "Aku juga ingin mengenalnya lebih dekat. Aku harap Chaca mau bersikap akrab denganku.""Masih ingin mencari perhatian Bang Malik?" Nada bicara Haikal semakin terdengar kecewa."Kal, kamu jangan seperti itu. Kamu kan tau sendiri gimana perasaan aku sama Abangmu.""Terus, gimana dengan perasaan aku? Padahal kamu tau sendiri gimana rasanya menahan perasaan, tanpa mendapat balasan. Itu juga yang aku rasakan selama ini, Tan."Cih! Cinta segitiga rupanya.Kuabaikan kembali percakapan itu. Bergegas pergi meninggalkan mereka karena takut bang Malik terlalu lama menunggu."Besok temani Abang lagi ya, ke kantor pemasaran rumah. Sepertinya Abang tertarik dengan lokasinya." Bang Malik menyadarkanku dari lamunan.Aku diam, malas membahas urusan pribadinya lagi. Jelas-jelas rumah itu untuk dia tempati bersama Tania. Kenapa juga harus melibatkanku."Bisa, kan?" sergah Bang Malik, karena aku tak me
Bang Malik seolah baru sadar dari keterkejutannya. Segera ia mendorong tubuhku hingga terhempas ke sandaran sofa. Dia bangkit dengan mata melotot dan wajah memerah.Kurasa dia benar-benar marah kali ini. Dia mundur sejenak tuk menenangkan diri, lalu kembali menghampiri, sambil mengibas-ngibaskan jari telunjuknya ke arah mukaku."Si..si siapa yang ngajarin kamu seperti ini?" Bang Malik bertanya dengan suara gagap.Aku diam, tak berani menjawab. Dipukulnya ubun-ubunku dengan jari tengah yang setengah ditekuk seperti sedang mengepal."Aww... sakit, Bang!" Aku menggosok kepalaku bekas pukulannya. Lumayan juga rasa sakitnya.Mendengar suaraku yang seperti tanpa penyesalan, ia menarik daun telingaku. Hingga mau tak mau aku meninggikan sedikit tubuhku untuk mengikuti gerakan."Ampun, Bang, sakit." Aku mengaduh dan menyerah. Menyingkirkan tangannya, dan kembali mengusap telinga yang pasti sudah memerah."Ay
"Nggak ada kok, kenapa Tania? " Mencoba seramah mungkin."Aku pengen ngobrol aja sama kamu. Nanti sore aku jemput, ya? Kita ngobrol sambil minum kopi." Kata-katanya bukan seperti permintaan, melainkan lebih mirip sebuah perintah."Baiklah." Aku mengakhiri pembicaraan, dan menutup percakapan.Hari ini Bang Malik tidak berada di kantor, karena setelah makan siang, dia tidak kembali karena harus mengadakan inspeksi ke seluruh outlet.Mungkin kesempatan ini dimanfaatkan Tania untuk menemuiku. Karena selama ini, sepulang kerja aku sering menghabiskan waktu bersama Abang yang sudah lama tak bertemu.Sepulang kerja kulihat mobil sedan gadis itu sudah terparkir di seberang jalan. Aku menghampiri, dan langsung masuk menemuinya."Udah lama?" Aku berbasa basi."Enggak. Baru nyampek, kok." Tania menjawab dengan senyum manis seperti biasanya.Tania memarkir mobil di kafe Terrazzo, tempat pertama kali kami berkenalan.
POV TANIAAku, Tania Anjani. Lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang cukup terpandang di Ibu kota. Putri tunggal dari seorang pengusaha tambang dari Kalimantan.Pekerjaan Papa membuat aku dan Mama terpaksa berpindah-pindah kota untuk mengikuti kegiatannya. Sampai akhirnya Mama sering sakit-sakitan, dan memutuskan untuk menetap di Jakarta.Hanya Papa yang sering bepergian ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Medan adalah kota yang paling sering dikunjunginya. Bahkan aku dan mama pernah tinggal selama beberapa tahun di sini, sampai papa tiba-tiba mengajak kami pindah lagi ke Jakarta. Banyak kenangan indah yang terjadi padaku di sini. Saat itu usiaku baru 13 tahun. Papa mengajak aku dan Mama menghadiri acara syukuran di rumah sahabat lamanya.Aku bermain bersama Haikal yang sudah hampir dua tahun tak kutemui. Haikal adalah putra tunggal dari sahabat Papa yang bernama Om Ridwan dan istrinya Tante Syamsiah yang biasa kupanggil Tante Sam.Pasangan suami istri tersebut adalah pemilik salah
Aku memohon kepada Mama agar tetap merahasiakan ini kepada semua orang, termasuk om Ridwan sendiri. Aku lebih memilih statusku sebagai yatim piatu yang diadopsi oleh keluarga Om Jaka. Dengan begitu, aku akan belajar memaafkannya, dan memulai hubungan yang baru sebagai menantunya. Itu saja. Aku tak mau lagi ada drama air mata menjelang pernikahan. Biarlah ini sebagai hukuman atas dosa-dosa om Ridwan. Selamanya tidak pernah merasakan kehadiranku sebagai putri kandungnya. Semula Mama memang terlihat keberatan. Namun, melihat sorot mataku yang penuh keyakinan, dia terpaksa menuruti. Egois memang. Tapi, bukankah sebagai manusia yang punya perasaan, aku juga punya hak? Hanya itu satu-satunya cara hatiku bisa menerima kehadiran om Ridwan. Hanya sebagai Papanya Bang Malik."Mama mengerti, maaf kalau kami sebagai orang tua sudah menempatkan luka di hatimu. Menempatkanmu dalam posisi tersulit sebagai korban dari keegoisan orang-orang dewasa."Lagi, kata-kata yang sama seperti yang Aira ucapk
Siang ini aku memasak makan siang, membereskan rumah, sementara Aira membawa Alya untuk pergi imunisasi. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Aku membukakan pintu depan. Sesosok wanita itu kini berdiri kembali di hadapanku. Teringat saat terakhir kali kami saling menatap seperti ini. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apa dia sakit? Dia tampak ragu untuk melangkah. Entah karena malu atau takut. Aku pun merasa demikian, masih merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Bukankah seingatku kami memang tak seakrab itu? Tapi entah kenapa gejolak hati ini ingin sekali memeluknya. Menumpahkan rasa rindu yang entah sejak kapan mengikutiku. Selalu berharap dapat kembali bertemu dan membicarakan apa saja layak nya seorang teman, atau..Ibu. "Silahkan masuk, Ma." Aku menawarinya dengan suara yang tertahan. Ingin sekali aku menyentuh dan memeluknya, namun dia juga terlihat sama takutnya denganku. Mama melangkahkan kaki masuk ke dalam. Memperhatikanku dari atas samp
Sudah beberapa hari ini kerjaku hanya uring-uringan dan bermain bersama Alya saja. Suntuk juga rasanya menjadi pengangguran, setelah bertahun-tahun lamanya hidup dari kerjaan satu ke kerjaan lainnya. Mungkin aku tak lagi mempermasalahkan soal uang. Karena kini, Bang Malik yang menanggung semua kebutuhanku. Tapi tetap saja itu tak sesuai dengan jalan hidupku yang sehari-hari harus mengurung diri di rumah. Seperti biasa, Bang Malik menyempatkan diri untuk datang selepas bekerja. Aku mengajaknya ke balkon atas. Dia bilang sangat senang melihat bulan bersamaku, seperti waktu itu. "Abang punya sesuatu buat kamu," ucapnya. Aku menoleh untuk melihat apa yang dia bawa. Dia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari kantong celana. Jantungku sudah ser-seran. Berharap apa yang ada dipikiranku, benar adanya. Kemudian dia membuka dan menunjukkannya kepadaku. Seperti yang kukira, itu sebuah cincin. Cantik sekali. Senyumku pun mengembang. Adegan seperti ini persis seperti yang ada di drama-drama ro
Lagi-lagi aku berucap kata maaf. Mengaku salah telah meninggalkannya meski tahu dia sedang hamil dan membutuhkan seorang teman. "Alya sedang tidur," ucapnya. "Alya? Keponakanku?" Aira mengangguk. Aira menuntunku masuk ke kamarnya. Ada box bayi dengan mainan yang menggantung di atasnya. Bayi mungil itu tertidur pulas di dalamnya. Aku memberanikan diri untuk menggendong. Menciumi wajah dengan pipinya yang chubby itu. Sungguh terlihat seperti boneka. "Maafkan Tante, sayang. Maafkan Tante karena tidak ada di saat kamu lahir ke dunia ini." Aku kembali menciuminya sampai tubuh itu menggeliat karena merasa terganggu. Aku kembali mengunjungi kamar yang dulu aku tempati, Aira masih di kamarnya menidurkan Alya kembali. "Itu masih kamar kamu. Tinggallah lagi di sini. Aku sudah berpisah dari Mas Harris." Dia mengabarkan meski aku sudah mendengarnya dari Bang Malik. "Kenapa? Apa karena aku?""Entahlah, tapi kurasa itu keputusan yang benar. Aku juga tidak ingin nantinya Alya juga ikut merasa
Kami keluar dari gedung pusat SunCo. Aku memang sudah meminta izin kepada Bang Malik untuk menemui Haikal. Dan dia sama sekali tidak keberatan. "Ingat, ya. Kamu sekarang calon istri Abang. Jangan macam-macam," ancamnya. Dia sengaja tak ikut agar tak ada rasa canggung dengan sikap Haikal. Benar saja, sejenak Haikal langsung takut untuk mendekatiku sebelum dia tahu bahwa pria itu hanya mengantarku sampai di luar. Mobil melaju ke arah jalan yang sudah tak asing lagi bagiku. Kemudian dia memasuki gerbang yang sudah setahun ini tak pernah lagi ku kunjungi. Lagi, seperti merasa pulang ke rumah sendiri. "Aku belum gajian. Kita makan siang di sini aja. Gratis," ujarnya sembari melangkahkan kaki ke ruangan. Tak ada yang berubah. Mereka terlihat asik makan dengan lahapnya. Sampai sepasang mata itu menangkap kedatangan kami. "We! Chaca datang. Tengok tu, we. Itu Chaca." Oji berteriak histeris seperti melihat selebriti yang berkunjung ke aula makan dapur SunCo. Puluhan pasang mata menatap
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami mulai memasuki kota Medan. Aku meminta Bang Malik untuk segera singgah ke rumah nenek. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Bukankah mereka keluarga pertama yang harus aku kunjungi? Nenek berdiri mematung dengan tubuh tuanya. Matanya berkaca-kaca saat aku menangis memohon maaf. Nenek memang tak tahu bagaimana caranya menunjukkan kasih sayang, tapi kali ini dia begitu erat memelukku. Tak tahan juga rasanya menahan rindu. "Kau sudah dewasa," ujarnya. "Jangan lagi bersikap seperti itu." Aku kembali menangis di pelukannya. Bang Malik tertidur di ruang tamu beralaskan ambal. Aku sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar, namun dia menolak. "Di sini lebih nyaman," ujarnya. Untuk pertama kalinya aku melihat dia tertidur dengan pulas. Napasnya teratur dengan kedua tangan diletakkan di atas dada.Wajahnya terlihat lelah, hingga tak sadar kalau kini om Jaka juga ikut tertidur di sampingnya. Kupungut ponsel yang sedari tadi tergeletak begitu s
Rasa bersalah selalu menghantui. Aku memohon kepada mama untuk tetap berusaha mencarinya. Di jalanan, lampu merah, bahkan melaporkan kehilangan ke kantor polisi. Nihil. Tak ada jejak sama sekali. Bayang-bayang wajah Chaca yang menangis dalam cengkraman tangan preman tersebut selalu muncul dalam mimpiku. Bertahun-tahun lamanya aku hidup dalam bayang-bayang gadis kecil itu. Rasa rindu selalu menyelimuti, berharap bisa menyentuh dan memeluknya lagi. Hari ini hari ulang tahun Chaca. Hari yang diputuskan sebagai tanggal lahirnya di malam di mana dia ditemukan. Jika dia masih hidup, usianya kini sudah tujuh belas tahun. Sweet seventeen, kata gadis-gadis yang dulu satu esema denganku.Aku kembali mengunjungi masjid raya, tempat di mana aku dan Chaca selalu menghabiskan waktu bersama. Tak lupa untuk merayakan ulang tahunnya dengan memberi sedekah ke anak-anak jalanan yang sengaja aku kumpulkan di sana.'Chaca sayang, bagaimana keadaanmu sekarang?' batinku dalam hati. "Maaf, apakah anda Ha
POV MALIK.Aku mengenang kala kejadian waktu itu. Tubuhku yang terbaring lemah di... mungkin rumah sakit. Kulihat ada tiang yang menggantungkan cairan yang terhubung langsung dengan urat nadiku.Aku mencoba bergerak, merasai wajahku yang kini terasa tebal dan kaku. Kurasakan seluruhnya terbalut perban dengan rasa sakit yang luar biasa. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Beberapa wanita berpakaian serba putih datang untuk memeriksa apa yang terjadi kepadaku. Tak lama seorang pria dewasa juga muncul, mungkin seorang dokter. Ya, samar kulihat dari pakaian putih bersihnya, dia seorang dokter. Hampir seminggu setelah aku terjaga, dokter membuka seluruh perban di wajahku. Disaksikan oleh sepasang suami istri dan anak lelaki mereka. Memandangku dengan cemas dan was-was. Apa aku ini terlihat seperti hewan buas bagi mereka? Sejenak kemudian, kulihat rasa lega di wajah mereka, seolah semua sedang baik-baik saja. "Siapa namamu, Nak?" tanya wanita paruh baya tersebut. "Hannan Maliki S
Seperti janjiku kemarin, kami bersiap-siap berangkat. Aku dan Bang Malik berpamitan dengan mereka satu persatu. Runi memelukku dengan sangat erat, begitu juga dengan Wak Mis.Fatma yang tidak tahu apa-apa hanya tampak murung dan seperti tidak rela membiarkanku pergi. Namun dia kembali tersenyum saat ayahnya mengatakan kalau aku akan segera kembali. Pak Yaz sengaja tidak memberitahukannya, agar dia tidak menangis histeris karena takut kehilanganku. Pak Yaz mengulurkan tangan ke arah Bang Malik. Meminta maaf atas kesalahpahaman kemarin. Tangannya masih menggantung di udara, tanpa sambutan dari laki-laki yang tengah berdiri di sampingku. Masih tidak senang, rupanya. Aku menyenggol bahunya, lalu menariknya agar sedikit menunduk. Aku membisikkan sesuatu di telinganya. "Salamin. Atau Chaca yang akan menyambut uluran tangannya," ancamku. Dengan cepat dia menyambut telapak tangan Pak Yaz, kemudian menggoyang-goyangkannya seperti mereka sudah berteman cukup akrab."Awas kalau sampai bers