Bahagia! Itu yang aku rasakan. Sambutan yang hangat membuatku merasa diterima oleh keluarganya. Meskipun aku tak pernah mengenal mereka secara langsung. Setahuku, Bu Sam tipe wanita yang tidak banyak bicara, disiplin dan juga tegas. Beberapa kali kami bertemu, tapi tak pernah bertegur sapa. Aku takut dia beranggapan aku hanya memanfaatkan Bang Malik dengan maksud tertentu. Bagaimanapun, kehidupan sosialku sudah jelas berbeda dengan Abangku yang sekarang.Bagaimana jika dia mempengaruhi anak angkatnya itu agar tak berhubungan lagi denganku? Ah, semoga ini hanya perasaanku saja.Makan malam kali ini hanya ada kami bertiga. Hal itu sudah terbiasa karena suami Bu Sam memang sering bepergian ke luar kota. Sementara putra kandungnya masih kuliah di luar negeri."Menginap saja di sini. Mama sudah menyuruh Wak Sanah membereskan kamar. Besok kemasi barang- barangmu dan bawalah kemari!" Bu Sam membuka suara di sela-sela makannya.Aku dan Bang Malik saling menoleh."Maksud Mama apa?" Pria berhi
Hari ini aku sedang libur. Bang Malik ingin aku menemaninya ke kantor pemasaran rumah Belanda, di mana aku dan Aira tinggal.Dia bilang cukup tertarik dengan area tempat ini. Atau jangan-jangan dia ingin membeli rumah, agar bisa selalu dekat denganku? Angan-angan yang ada di kepala membuatku tersenyum. "Kenapa senyum-senyum sendiri?" Rupanya diam-diam ia memperhatikan tingkahku."Abang mau beli rumah?" tanyaku girang. "Hem," gumamnya, membenarkan ucapanku."Lihat-lihat dulu. Siapa tau cocok.""Rumahnya bagus kok, Bang. Chaca dan Aira betah tinggal di sini.""O, ya? Nggak mau pindah?" Sepertinya Malik sedang menyindirku atas permintaan Mamanya tempo hari. "Apaan sih," jawabku, sambil mendorong pelan tubuhnya.Namun di dalam hati aku penasaran, seberapa banyak uang yang dimilikinya sampai bisa langsung membeli rumah dengan tiba-tiba seperti ini. Apa dia akan mewarisi semua harta warisan keluarga Bu Sam?Bukannya Bu Sam juga punya anak laki laki, yang pasti akan menjadi pewaris sah s
Setelah saling menempelkan pipi dengan Bang Malik tadi, dia langsung mengarahkan pandangan ke arahku."Hai, kamu pasti Chaca." Wanita itu mengulurkan tangannya dengan senyuman ceria. Terlihat barisan gigi putih berderet, yang membuatnya terlihat sangat manis.Cantik sekali. Membuatku merasa tidak percaya diri berada di tengah-tengah mereka. Aku menyambut uluran tangannya dengan ragu-ragu."Kenalin, aku Tania." Dia melanjutkan ucapannya .Oh, jadi kata Tan yang disebut Bang Malik tadi adalah Tania."Ayo duduk," ajak Bang Malik. Tania kemudian duduk di kursi kosong yang ada di hadapan kami. "Waw, kamu cantik sekali Chaca. Kalian terlihat mirip. Kalau diperhatikan, hidung kamu mancung seperti Malik." Wanita itu terlihat sangat ramah dan mudah melemparkan pujian kepada orang yang baru ditemuinya. Tulus kah? Mirip apanya? Kami bahkan tidak punya ikatan darah sedikit pun."Tentu saja, adikku ini sangat cantik," ujar Bang Malik, sambil mengacak-acak rambutku dengan gemas. "Kapan kamu sampa
Malam ini, Bu Sam kembali memintaku makan malam di rumahnya. Sepulang kerja, Bang Malik mengajakku mampir ke toko baju di sebuah mall, agar tak usah bolak-balik pulang ke rumah.Aku juga tidak ingin merepotkannya, karena letak rumahku dan rumahnya berlawanan arah. Kami memasuki sebuah toko dengan brand ternama. Aku memegang sebuah baju terusan tanpa lengan yang kalau kupakai, pasti akan melekat sampai ke kulit. Kuingat dulu Aira sering memakai baju seperti ini untuk memamerkan tubuh seksinya. Aku terkikik geli melihat baju model begitu."Heh, heh. Apa ini? Mau jadi biduan?" Malik dengan tiba-tiba mengapit leherku dengan lengannya. Berpikir kalau itu adalah baju yang akan aku kenakan."Enggak kok, siapa juga yang mau makek baju kek gini." Aku meletakkan kembali gantungan baju tersebut. Merasa geli."Coba yang ini!" seru nya, sembari menempelkan dress selutut di tubuhku, tanpa melepaskan tangannya dari leherku. Dia menarikku ke depan cermin. "Bagus, kan?" Ia setengah berbisik di telinga
Aku dan Bang Malik sampai ke rumah besar itu lagi. Jantungku kembali berdegub tak karuan. Aku menghela napas, sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki ke pintu depan."Santai aja, ada Abang." Ia mencoba menenangkanku. Merangkulku masuk ke dalam, seolah tahu apa yang sedang aku rasakan.Kami tiba di ruang tamu keluarga dan..."Hai Chaca, kita ketemu lagi." Bak anggota keluarga, Tania muncul menyambutku dengan senyumnya yang elegan."Oh, eh, hai...." Aku merasa gugup menjawab sapaannya."Kamu di sini, Tan?" Bang Malik juga seperti tak tahu kedatangannya."Iya dong. Tante ngundang aku. Nggak boleh, hem?" tanyanya manja.Menyebalkan."Ya boleh, lah." Malik terlihat bersemangat.Hish...."Ayo Chaca, kasi salam sama Papa." Bu Sam menimpali. Aku langsung berjalan mendekati laki-laki yang kuperkirakan usianya hampir enam puluhan itu.Sangat kontras dengan penampilan Bu sam yang
"Hem... " Tania mengangguk pelan. "Aku juga ingin mengenalnya lebih dekat. Aku harap Chaca mau bersikap akrab denganku.""Masih ingin mencari perhatian Bang Malik?" Nada bicara Haikal semakin terdengar kecewa."Kal, kamu jangan seperti itu. Kamu kan tau sendiri gimana perasaan aku sama Abangmu.""Terus, gimana dengan perasaan aku? Padahal kamu tau sendiri gimana rasanya menahan perasaan, tanpa mendapat balasan. Itu juga yang aku rasakan selama ini, Tan."Cih! Cinta segitiga rupanya.Kuabaikan kembali percakapan itu. Bergegas pergi meninggalkan mereka karena takut bang Malik terlalu lama menunggu."Besok temani Abang lagi ya, ke kantor pemasaran rumah. Sepertinya Abang tertarik dengan lokasinya." Bang Malik menyadarkanku dari lamunan.Aku diam, malas membahas urusan pribadinya lagi. Jelas-jelas rumah itu untuk dia tempati bersama Tania. Kenapa juga harus melibatkanku."Bisa, kan?" sergah Bang Malik, karena aku tak me
Bang Malik seolah baru sadar dari keterkejutannya. Segera ia mendorong tubuhku hingga terhempas ke sandaran sofa. Dia bangkit dengan mata melotot dan wajah memerah.Kurasa dia benar-benar marah kali ini. Dia mundur sejenak tuk menenangkan diri, lalu kembali menghampiri, sambil mengibas-ngibaskan jari telunjuknya ke arah mukaku."Si..si siapa yang ngajarin kamu seperti ini?" Bang Malik bertanya dengan suara gagap.Aku diam, tak berani menjawab. Dipukulnya ubun-ubunku dengan jari tengah yang setengah ditekuk seperti sedang mengepal."Aww... sakit, Bang!" Aku menggosok kepalaku bekas pukulannya. Lumayan juga rasa sakitnya.Mendengar suaraku yang seperti tanpa penyesalan, ia menarik daun telingaku. Hingga mau tak mau aku meninggikan sedikit tubuhku untuk mengikuti gerakan."Ampun, Bang, sakit." Aku mengaduh dan menyerah. Menyingkirkan tangannya, dan kembali mengusap telinga yang pasti sudah memerah."Ay
"Nggak ada kok, kenapa Tania? " Mencoba seramah mungkin."Aku pengen ngobrol aja sama kamu. Nanti sore aku jemput, ya? Kita ngobrol sambil minum kopi." Kata-katanya bukan seperti permintaan, melainkan lebih mirip sebuah perintah."Baiklah." Aku mengakhiri pembicaraan, dan menutup percakapan.Hari ini Bang Malik tidak berada di kantor, karena setelah makan siang, dia tidak kembali karena harus mengadakan inspeksi ke seluruh outlet.Mungkin kesempatan ini dimanfaatkan Tania untuk menemuiku. Karena selama ini, sepulang kerja aku sering menghabiskan waktu bersama Abang yang sudah lama tak bertemu.Sepulang kerja kulihat mobil sedan gadis itu sudah terparkir di seberang jalan. Aku menghampiri, dan langsung masuk menemuinya."Udah lama?" Aku berbasa basi."Enggak. Baru nyampek, kok." Tania menjawab dengan senyum manis seperti biasanya.Tania memarkir mobil di kafe Terrazzo, tempat pertama kali kami berkenalan.