Penasaran, setampan apa wajah putra pemilik salah satu tempat makan ternama di kota Medan tempatku bekerja. Kabarnya dia akan menggantikan posisi Pak Ginting yang sekarang dipindahkan ke cabang lain.
Kami semua melakukan aktivitas sedari pukul setengah delapan. Sementara jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Bu Rini memberi aba-aba agar kami menghentikan aktivitas sejenak.
Wanita setengah baya bertubuh tambun itu mengisyaratkan agar semua berkumpul di depan pintu masuk, tempat biasanya kami melakukan breafing.
Tak berselang lama masuk beberapa orang. Dua di antaranya sudah sering kulihat. Supir Bu Sam, pemilik perusahaan besar ini yang sesekali datang untuk memantau kinerja karyawan. Sementara yang satunya lagi adalah kak Juli, asisten pribadi sang Pemilik.
Seperti sebelumnya-sebelumnya, wanita berdarah tionghoa itu mengumumkan sesuatu.
"Selamat pagi semuanya. Tentunya semua sudah pada dengar ya, kalau Pak Ginting sekarang sudah dimutilasi, eh mutasi ke cabang Citra Garden," ucapnya dengan sedikit candaan. "Jadi sekarang, Bapak ganteng yang ada di samping saya ini akan menggantikan posisi beliau sebagai atasan kalian yang baru."
Semua mata memandang ke arah laki-laki di sebelahnya. Tak terkecuali aku yang memang membenarkan perkataan Kak Juli tadi. Dia memang tampan.
"Selamat pagi semuanya. Senang bisa bekerja sama. Saya Hanan Maliki Said."
Deg!
Jantungku seketika terasa sakit. Napasku terasa sesak. Aku memegangi dadaku yang seperti diremas. Nama itu, nama yang selama ini tersimpan rapat dalam hatiku. Nama, yang bahkan pemiliknya aku tak tahu bagaimana nasibnya. Masih hidup, ataukah sudah mati.
Tapi bukan. Tentu saja bukan orang itu. Wajah itu bukan wajah laki-laki yang selama ini aku pikirkan. Walau kisah itu sudah terjadi belasan tahun yang lalu, tapi aku ingat betul ada tanda lahir di bawah mata sebelah kirinya.
Mungkin itu hanya sebuah nama. Banyak orang yang memiliki nama seperti itu. Tapi kenapa bisa sama persis. Kutepiskan semua dugaan tak mendasar itu. Laki-laki itu berbeda. Dia bukan orang itu.
"Pak Hannan udah punya pacar belum?" celetuk Vera tanpa rasa segan. Sontak anak anak yang lain ikut bersorak.
"Huuu... modus."
"Hati-hati pak. Buaya itu."
Laki-laki itu tertawa kecil melihat tingkah mereka yang tidak canggung dan mudah akrab. Sesaat dia melirik dan menangkap mataku yang dari tadi terpaku diam menatap ke arahnya. Aku salah tingkah dan langsung tertunduk tak berani menatap lagi.
"Jangan panggil Hannan. Panggil saja Malik."
Deg!
Gemuruh di dada kian bergetar. Apa lagi ini? Orang itu adalah, Bang Malik? Bang Malik yang selama ini aku cari, bahkan dalam mimpi sekali pun? Aku terkulai lemas. Firasat apa ini? Aku seperti terbawa pada kenangan belasan tahun yang lalu.
"Kenapa kau, Cha? Kok pucat kali kutengok." sapa Oji dengan logat khas Medannya.
"Nggak papa, Ji," sahutku
"We, tengok dulu si Chaca ni. Pucat kali mukaknya." Oji seperti memberi pengumuman. Sontak aku menjadi perhatian.
'Dasar Oji bocor!' Aku mengumpat dalam hati.Perhatian itu juga tak luput darinya. Pria bertubuh atletis itu ikut menoleh.
"Kamu sakit?" ucapnya, seperti memberi perhatian.Darah ini kembali berdesir.
.Sejenak aku terdiam, kemudian menggeleng pelan."Saya nggak papa Pak," sahutku.
Acara perkenalan sudah selesai. Semua kembali pada aktivitas masing-masing. Pak Malik menempati ruangan tersendiri yang masih menyatu dengan dapur yang super besar ini.
Sesekali kulirik dia di balik ruangan yang bersekat kaca tersebut sehingga terlihat semua kegiatan dari luar.
Entah kenapa firasatku mengatakan, kalau orang itu adalah Bang Malik. Kakak laki-lakiku yang terpisah dariku belasan tahun yang lalu.
******
Aku, Clarissa Sayyida. Orang-orang biasanya memanggilku Chaca. Aku suka nama itu. Nama yang disematkan oleh seseorang. Dia bilang karena aku terlihat manis dan imut. Ya, namanya Hannan Maliki Said. Aku memanggilnya Bang Malik. Aku dan dia tumbuh bersama di sebuah panti asuhan yang terletak jauh dari kota Medan. Aku dan Bang Malik begitu dekat. Ia begitu menjaga dan menyayangiku seperti adik kandungnya sendiri. Setiap hari dia berencana membawaku pergi dari panti asuhan ini. Panti asuhan yang orang-orang berada di dalamnya selalu menyiksa kami.Tak jarang mereka juga mengurung dan tak memberi kami makan dengan alasan menghukum anak yang melanggar aturan. Panti asuhan itu hanya sebuah kedok untuk mencari donatur kaya dan menghasilkan uang dari mereka. Uang-uang yang diterima dari para donatur hanya dipakai untuk kepentingan pribadi pemilik panti dan para pengikutnya saja.Sementara anak-anak banyak yang terlantar tanpa bisa menikmati fasilitas yang seharusnya diterima. Suatu malam,
Aku tersentak ketika Bang Malik menggoyang-goyangkan badanku. "Bangun, Cha. Truk sudah mau berangkat."Aku membuka mata dengan perlahan. Rupanya aku tadi tertidur pulas karena kelelahan hingga tidak terasa sudah jam empat subuh. Bang Malik meraih tanganku dan kembali menggendong ranselnya yang penuh sesak itu. Warung yang kami singgahi itu ternyata buka selama dua puluh empat jam sebagai tempat persinggahan truk-truk muatan yang singgah, atau sekedar melintas. Hari ini truk dari Pekan Baru yang bermuatan pupuk, akan melintasi Medan menuju Banda Aceh. Ibu pemilik warung sudah menitipkan kami kepada supir yang sudah lama dikenalnya."Hati-hatilah di jalan. Semoga kalian selamat sampai di tujuan. Jaga baik-baik adikmu itu." Pesan ibu penjaga warung, sambil memberikan kami bungkusan untuk bekal di jalan. Truk melaju dengan kencang, membawa sejuta angan, yang kini bermain-main di dalam pikiran kami. Aku dan Bang Malik saling menatap sambil melempar senyum, berharap ada kehidupan yang
Menjelang malam, aku keluar dari rumah. Berjalan kaki sampai keluar dari kompleks perumahan. Memasuki minimarket yang masih satu kawasan, untuk membeli makanan ringan sebagai buah tangan agar Vera menyambutku dengan rasa suka cita.Aku menenteng sekantong plastik camilan keluar dari minimarket. Mengeluarkan ponsel, bermaksud hendak memesan ojek online. Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak."Jambret..., jambret...." Aku menoleh ke arah belakang, seseorang berlari kencang menuju ke arahku. Dengan sigap kujegal kakinya. Laki-laki itu jatuh tersungkur dengan wajah menghadap ke aspal jalan. Kuayunkan tasku ke arah kepalanya. Memukulnya berkali-kali sambil berteriak agar yang lain segera datang menolong. Tak lama orang-orang datang berkerumun, ikut mengeroyok jambret tersebut. Ada yang menedang, bahkan ada juga Ibu-Ibu yang ikut menjambak dan menarik telinganya. Aku keluar dari kerumunan massa sambil menepuk-nepukkan debu di tangan dengan bangga. Aku merasa seperti superhero malam
Bagaimana ini, Pak Malik memintaku mengajaknya ke rumah. Kalau aku bawa dia sekarang, Aira pasti ngamuk-ngamuk. Bisa-bisa kena usir. "Nggak bisa, Pak," sahutku."Kenapa?""Abang ipar saya baru pulang dari luar kota. Nggak enak, nanti mengganggu. Kakak saya masih pengantin baru." Aku beralasan. Lagi pula, usia Aira memang lebih tua dariku. Wajar kalau aku mengakuinya sebagai kakak. Pak Malik mengernyit, seolah tak percaya. Tapi aku yakin, dia tak punya pilihan lain. "Saya bawa ke klinik aja ya, Pak. Biar diperiksa. Siapa tau ada luka dalam, atau tulang-tulang yang patah," ejekku, lalu memberanikan diri mendorong tubuhnya untuk segera berjalan. "Eh, eh, ngapain dorong-dorong?" protesnya, tanpa menolak. Pak Malik melajukan mobil, sementara aku duduk manis di sampingnya. Mengeluarkan ponsel dan memainkan jemariku dengan lihai ke atas layar. [Sori, Ver. Aku agak telat. Ada urusan mendadak!] Aku mengirim pesan. Bip bip. Tak lama terdengar bunyi pesan masuk. [Oke, jangan lupa cem
Ia terkejut bukan main. Matanya membesar mendengar pengakuanku. Tampak marah, lalu memegang keras pundakku. "Apa maksud kamu? Chaca siapa? Jangan main-main, ha! Becandamu nggak lucu!" Dia terlihat gusar dengan napas terengah-engah. Aku semakin menangis menatapnya. "Jangan pernah kamu ngaku-ngaku sebagai adikku. Dia tidak mungkin wanita seperti kamu!" Amarahnya kian terlihat. "Cepat turun!" Ia langsung keluar dari mobil. Membuka pintu di sampingku, lalu dengan kasar menarikku keluar."Jangan pernah lagi bicara padaku! Apa lagi sampai mencari perhatian dengan cara seperti ini. Aku tidak pernah tertarik sama wanita seperti kamu!" bentaknya dengan kasar. Ia meninggalkanku di tepi jalan, tanpa mau mendengar penjelasan. Aku menangis kembali, saat mobil itu melesat pergi menjauh..Aku bekerja seperti biasa. Melirik ke arah kantornya. Terlihat dia sedang fokus mengutak-atik laptop di atas meja. Terlihat wajahnya masih ada bekas memar, dan sedikit membengkak. Anak-anak yang lain saling
Sepulang kerja, aku menunggu ojek online di depan gerbang. Satu persatu para karyawan menghilang. Ada yang berjalan ke simpang jalan besar untuk menunggu angkutan umum. Ada yang berjalan kaki, karena jarak temat kost dekat dari kerjaan, ada juga yang di jemput oleh anggota keluarganya.Tinggallah aku sendiri yang belum juga bergerak karena signal ponselku yang lemah, hingga susah loading untuk memesan ojek online.Terdengar suara klakson mobil mengejutkanku. Kaca depan terbuka, dan laki laki di belakang kemudi memanggilku dari dalam."Naik!" perintahnya. Aku tak begitu saja menurut, kupacu kaki untuk berjalan menjauh. Tak lama mobil itu mendahului, berhenti, dan menghadang jalanku. Aku menghentikan langkah, menanti dia yang dengan sigap sudah berdiri di hadapanku.Deg! Jantung ini kumat lagi*****Ia berdiri kokoh di hadapanku dengan kedua tangan disilangkan ke dada. Aku diam, dengan suara detak jantung yang kian bergemuruh. "Kenapa menghindar terus? Kamu dengar kan, kalau saya ny
Kurasakan dadanya naik turun, ikut menangis. Aku masih histeris, melepaskan diri dari pelukannya. Berulang kali memukul-mukul dadanya dengan kedua tangan yang sedari tadi kukepalkan."Abang jahat, Abang jahat," teriakku. Dia diam tanpa perlawanan, pasrah membiarkanku meluapkan perasaan meski tubuhnya terasa sakit."Maafin Abang, Cha. Maafin Abang, karena nggak ngenalin kamu. Kamu boleh pukul Abang sepuasnya. Abang sungguh-sungguh minta maaf."Aku menghentikan pukulan dan terus menangis. Laki-laki ini menarikku kembali dalam pelukan. Ia memapahku ke sofa, setelah merasa aku sedikit tenang. Dia berlutut menggenggam kedua tanganku.******POV MALIKHannan Maliki Said. Nama itu disematkan padaku dari sebuah surat yang diletakkan di keranjang tempat seseorang meletakkanku.Ya. Mungkin aku bayi yang tidak diinginkan. Diletakkan begitu saja di depan pintu gerbang panti asuhan dengan hanya berbalut selimut dan selembar surat yang ditulis entah oleh siapa. Setidaknya itulah cerita yang kude
Aku kembali ke halaman masjid Raya yang terletak di tengah kota, setelah ke sana sini mencari pekerjaan. Chaca meenyambutku dengan gembira karena aku membelikan makanan yang aku janjikan tadi sebelum pergi.Aku sengaja meninggalkannya di situ, agar tidak merasa bosan di dalam kamar yang aku sewa. Juga tak ingin ia merasa lelah mengikuti perjalananku. Sudah tiga hari ini kami tinggal dan tidur di kamar sempit yang hanya ada kasur tipis. Aku menempati kamar itu atas saran Bapak penjaga kebersihan di masjid. Aku harus segera mendapatkan pekerjaan, agar uang yang kubawa tak terpakai seluruhnya.Syukurlah di hari berikutnya, Abang tukar parkir mau mengajakku turut serta bekerja dengannya. Dan di situlah aku sekarang, menjadi tukang parkir di Masjid Raya Medan.****** Aku menggiring sebuah mobil ke area parkir. Menuntun supir di belakang kemudi mengikuti arahanku. Kendaraan terparkir. Aku memberikan karcis ke supir yang baru keluar.Sesekali ku lirik halaman masjid tempat biasa Chaca be