Bagaimana ini, Pak Malik memintaku mengajaknya ke rumah. Kalau aku bawa dia sekarang, Aira pasti ngamuk-ngamuk. Bisa-bisa kena usir.
"Nggak bisa, Pak," sahutku.
"Kenapa?"
"Abang ipar saya baru pulang dari luar kota. Nggak enak, nanti mengganggu. Kakak saya masih pengantin baru." Aku beralasan.
Lagi pula, usia Aira memang lebih tua dariku. Wajar kalau aku mengakuinya sebagai kakak.
Pak Malik mengernyit, seolah tak percaya. Tapi aku yakin, dia tak punya pilihan lain.
"Saya bawa ke klinik aja ya, Pak. Biar diperiksa. Siapa tau ada luka dalam, atau tulang-tulang yang patah," ejekku, lalu memberanikan diri mendorong tubuhnya untuk segera berjalan.
"Eh, eh, ngapain dorong-dorong?" protesnya, tanpa menolak.
Pak Malik melajukan mobil, sementara aku duduk manis di sampingnya. Mengeluarkan ponsel dan memainkan jemariku dengan lihai ke atas layar.
[Sori, Ver. Aku agak telat. Ada urusan mendadak!] Aku mengirim pesan.Bip bip.
Tak lama terdengar bunyi pesan masuk.
[Oke, jangan lupa cemilannya, ya,] balasnya dengan emoticon tertawa.
Tak lama kami sampai di sebuah klinik kecil. Aku menemani sampai ke dalam, saat perawat membersihkan lukanya. Entah mengapa, ia diam, sama sekali tak keberatan, atau merasa tak nyaman saat aku bersamanya.
Setelah selesai dengan wajah, Dokter datang dan menyuruhnya berbaring untuk, memeriksa apa ada luka lain di bagian tubuh.
Pak Malik membuka kancing kemeja bagian atas, agar dokter bisa memeriksa dengan steteskop yang dari tadi menggantung di leher.
Deg!
Rasa nyeri di jantung kembali menusuk. Ada tanda lahir di dada kirinya. Tanda lahir yang sama persis dengan yang ada di bawah mata kiri bang Malik-ku.
Firasat apalagi ini? Aku ingat dulu saat masih kecil, Bang Malik bilang dia punya dua tanda lahir yang sama persis. Salah satunya ada di bawah mata.
Saat itu aku masih sangat kecil, jadi tidak terpikir untuk bertanya di mana letak yang satunya. Lagi pula tidak mungkin bagi para anak panti untuk saling membuka pakaian di depan anak lainnya. Apa lagi aku dan Bang Malik berlawanan jenis.
Aku masih terdiam, sama sekali tak mengerti dengan semua ini. Aku keluar begitu saja dari ruangan menuju ruang tunggu. Berjalan dengan langkah gontai. Hingga terduduk lemas di kursi panjang.
"Ayo pergi! Melamun aja!" Suara Pak Malik menyadarkanku.
Kutatap sesosok itu dari atas sampai ke bawah. Benarkah laki-laki yang yang ada di hadapanku sekarang adalah Bang Malik? Kakak masa kecilku dulu yang selalu sayang dan melindungiku?
Bulir bening menetes dari sudut netra. Tanpa sadar aku menerkam, dan membenamkan wajah di dadanya, menangis sesenggukan.
Pria itu membiarkanku saja. Lagi-lagi tak ada penolakan. Yang kurasakan hanya tangannya bergerak ke atas, seperti memberi tanda menyerah.
Beberapa lama aku menangis dalam pelukannya. Mulai tersadar, dan langsung melepaskannya.
"Iya, Chaca. Saya masih hidup," ujarnya. Aku menatapnya dalam. Tak percaya. Mungkinkah....
"Pukulan kamu belum terlalu keras untuk bisa membunuh saya. Ayo pulang! udah malam," ketusnya lagi.
Ia berjalan dengan cepat. Aku mengernyit, mengikutinya dari belakang, pasrah karena yang aku pikirkan tidak sama dengan pikirannya.
Aku berlari kecil menyusul dan mengekor ikut masuk ke mobil. Masih takut untuk bertanya, kenapa semua ini bisa serba kebetulan. Mulai dari nama, dan juga tanda lahir. Bagaimana dia bisa hidup dengan baik seperti saat ini?
Apa dia diadopsi? Kenapa harus membuang tanda lahir, agar terlihat tampan seperti sekarang ini? Kalau dia sudah hidup enak dan berkecukupan, kenapa tidak berusaha mencariku? Atau, dia kehilangan ingatan?
Beribu tanda tanya kini bermain di pikiran. Ingin sekali kutanyakan langsung.Tapi bagaimana jika aku salah, dan itu hanya dugaan saja. Dia pasti menganggapku lebih aneh lagi, dan berpikir aku hanya ingin sok akrab dengannya.
"Hei. Nama kamu Chaca, kan?" Suaranya membuyarkan pikiran.
"I iya, Pak," sahutku gugup.
"Chaca, panggilan dari nama apa?"
Haruskah kusebutkan nama sial itu? Atau nama yang diberikan nenek?
"Clarissa, Pak." Pak Malik manggut-manggut, seperti memahami sesuatu.
"Biasanya gadis bernama Chaca itu sangat manis dan imut-imut. Aku sangat menyukai nama itu."
.Darahku kembali berdesir mendengar penuturan laki-laki ini. Abangku Malik juga berkata seperti itu saat membuat panggilan nama Chaca.
"Bapak juga punya kenalan yang namanya Chaca?" Dengan bibir sedikit bergetar, aku mulai memberanikan diri untuk bertanya.
"Iya, adikku juga bernama Chaca. Annisa. Aku memanggilnya Chaca karena dia terlihat sangat manis dan imut. Tapi sayang, kini aku tidak tau keberadaannya." Dia terdengar seperti mengenang sesuatu.
Tanpa sadar air mataku kembali mengalir. Kali ini begitu deras. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Menangis sejadi-jadinya. Pak Malik langsung mengambil setir ke kiri, lalu menghentikan mobil di pinggir jalan.
"Kenapa nangis lagi?" Ia terdengar panik.
Entah kenapa, sesak di dada ini tak dapat lagi kutahan, hingga tumpah ruah semua air mata.
"Bang Malik, ini Chaca, Bang. Chaca adiknya Abang," tangisku semakin pecah, memegang lengannya dengan kuat.
Ia terkejut bukan main. Matanya membesar mendengar pengakuanku. Tampak marah, lalu memegang keras pundakku. "Apa maksud kamu? Chaca siapa? Jangan main-main, ha! Becandamu nggak lucu!" Dia terlihat gusar dengan napas terengah-engah. Aku semakin menangis menatapnya. "Jangan pernah kamu ngaku-ngaku sebagai adikku. Dia tidak mungkin wanita seperti kamu!" Amarahnya kian terlihat. "Cepat turun!" Ia langsung keluar dari mobil. Membuka pintu di sampingku, lalu dengan kasar menarikku keluar."Jangan pernah lagi bicara padaku! Apa lagi sampai mencari perhatian dengan cara seperti ini. Aku tidak pernah tertarik sama wanita seperti kamu!" bentaknya dengan kasar. Ia meninggalkanku di tepi jalan, tanpa mau mendengar penjelasan. Aku menangis kembali, saat mobil itu melesat pergi menjauh..Aku bekerja seperti biasa. Melirik ke arah kantornya. Terlihat dia sedang fokus mengutak-atik laptop di atas meja. Terlihat wajahnya masih ada bekas memar, dan sedikit membengkak. Anak-anak yang lain saling
Sepulang kerja, aku menunggu ojek online di depan gerbang. Satu persatu para karyawan menghilang. Ada yang berjalan ke simpang jalan besar untuk menunggu angkutan umum. Ada yang berjalan kaki, karena jarak temat kost dekat dari kerjaan, ada juga yang di jemput oleh anggota keluarganya.Tinggallah aku sendiri yang belum juga bergerak karena signal ponselku yang lemah, hingga susah loading untuk memesan ojek online.Terdengar suara klakson mobil mengejutkanku. Kaca depan terbuka, dan laki laki di belakang kemudi memanggilku dari dalam."Naik!" perintahnya. Aku tak begitu saja menurut, kupacu kaki untuk berjalan menjauh. Tak lama mobil itu mendahului, berhenti, dan menghadang jalanku. Aku menghentikan langkah, menanti dia yang dengan sigap sudah berdiri di hadapanku.Deg! Jantung ini kumat lagi*****Ia berdiri kokoh di hadapanku dengan kedua tangan disilangkan ke dada. Aku diam, dengan suara detak jantung yang kian bergemuruh. "Kenapa menghindar terus? Kamu dengar kan, kalau saya ny
Kurasakan dadanya naik turun, ikut menangis. Aku masih histeris, melepaskan diri dari pelukannya. Berulang kali memukul-mukul dadanya dengan kedua tangan yang sedari tadi kukepalkan."Abang jahat, Abang jahat," teriakku. Dia diam tanpa perlawanan, pasrah membiarkanku meluapkan perasaan meski tubuhnya terasa sakit."Maafin Abang, Cha. Maafin Abang, karena nggak ngenalin kamu. Kamu boleh pukul Abang sepuasnya. Abang sungguh-sungguh minta maaf."Aku menghentikan pukulan dan terus menangis. Laki-laki ini menarikku kembali dalam pelukan. Ia memapahku ke sofa, setelah merasa aku sedikit tenang. Dia berlutut menggenggam kedua tanganku.******POV MALIKHannan Maliki Said. Nama itu disematkan padaku dari sebuah surat yang diletakkan di keranjang tempat seseorang meletakkanku.Ya. Mungkin aku bayi yang tidak diinginkan. Diletakkan begitu saja di depan pintu gerbang panti asuhan dengan hanya berbalut selimut dan selembar surat yang ditulis entah oleh siapa. Setidaknya itulah cerita yang kude
Aku kembali ke halaman masjid Raya yang terletak di tengah kota, setelah ke sana sini mencari pekerjaan. Chaca meenyambutku dengan gembira karena aku membelikan makanan yang aku janjikan tadi sebelum pergi.Aku sengaja meninggalkannya di situ, agar tidak merasa bosan di dalam kamar yang aku sewa. Juga tak ingin ia merasa lelah mengikuti perjalananku. Sudah tiga hari ini kami tinggal dan tidur di kamar sempit yang hanya ada kasur tipis. Aku menempati kamar itu atas saran Bapak penjaga kebersihan di masjid. Aku harus segera mendapatkan pekerjaan, agar uang yang kubawa tak terpakai seluruhnya.Syukurlah di hari berikutnya, Abang tukar parkir mau mengajakku turut serta bekerja dengannya. Dan di situlah aku sekarang, menjadi tukang parkir di Masjid Raya Medan.****** Aku menggiring sebuah mobil ke area parkir. Menuntun supir di belakang kemudi mengikuti arahanku. Kendaraan terparkir. Aku memberikan karcis ke supir yang baru keluar.Sesekali ku lirik halaman masjid tempat biasa Chaca be
POV CHACAAku menyandarkan tubuh di sandaran sofa, diikuti juga oleh Bang Malik. Kini kami berdua menjadi lebih tenang setelah sebelumnya saling histeris dan belum bisa menghilangkan rasa keterkejutan masing-masing.Tak banyak yang kami bicarakan. Hanya saling memandang tanpa ucapan. Masing-masing tak tahu harus mulai bertanya dari mana. Tak apa buatku. Asal dia masih ada, dan mau mengakuiku. Bang Malik akan mengenalkanku pada keluarga angkatnya besok. Tak mau lagi menunda-nunda dan merahasiakanku dari mereka. "Mereka pasti juga sangat senang melihatmu, Cha," ujarnya menyemangatiku.Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Terdengar suara pintu depan terbuka, dan tak lama tertutup kembali."Kamu baru pulang, Ra?" tanyaku saat Aira berdiri mematung melihat ada tamu laki laki yang kini duduk mesra di sampingku."Hai," jawabnya setengah melongo, sambil mengangkat telapak tangan untuk menyapa.Aku bangkit dan merangkul lengan Bang Malik untuk berdiri. Kutarik ia mendekati
Bahagia! Itu yang aku rasakan. Sambutan yang hangat membuatku merasa diterima oleh keluarganya. Meskipun aku tak pernah mengenal mereka secara langsung. Setahuku, Bu Sam tipe wanita yang tidak banyak bicara, disiplin dan juga tegas. Beberapa kali kami bertemu, tapi tak pernah bertegur sapa. Aku takut dia beranggapan aku hanya memanfaatkan Bang Malik dengan maksud tertentu. Bagaimanapun, kehidupan sosialku sudah jelas berbeda dengan Abangku yang sekarang.Bagaimana jika dia mempengaruhi anak angkatnya itu agar tak berhubungan lagi denganku? Ah, semoga ini hanya perasaanku saja.Makan malam kali ini hanya ada kami bertiga. Hal itu sudah terbiasa karena suami Bu Sam memang sering bepergian ke luar kota. Sementara putra kandungnya masih kuliah di luar negeri."Menginap saja di sini. Mama sudah menyuruh Wak Sanah membereskan kamar. Besok kemasi barang- barangmu dan bawalah kemari!" Bu Sam membuka suara di sela-sela makannya.Aku dan Bang Malik saling menoleh."Maksud Mama apa?" Pria berhi
Hari ini aku sedang libur. Bang Malik ingin aku menemaninya ke kantor pemasaran rumah Belanda, di mana aku dan Aira tinggal.Dia bilang cukup tertarik dengan area tempat ini. Atau jangan-jangan dia ingin membeli rumah, agar bisa selalu dekat denganku? Angan-angan yang ada di kepala membuatku tersenyum. "Kenapa senyum-senyum sendiri?" Rupanya diam-diam ia memperhatikan tingkahku."Abang mau beli rumah?" tanyaku girang. "Hem," gumamnya, membenarkan ucapanku."Lihat-lihat dulu. Siapa tau cocok.""Rumahnya bagus kok, Bang. Chaca dan Aira betah tinggal di sini.""O, ya? Nggak mau pindah?" Sepertinya Malik sedang menyindirku atas permintaan Mamanya tempo hari. "Apaan sih," jawabku, sambil mendorong pelan tubuhnya.Namun di dalam hati aku penasaran, seberapa banyak uang yang dimilikinya sampai bisa langsung membeli rumah dengan tiba-tiba seperti ini. Apa dia akan mewarisi semua harta warisan keluarga Bu Sam?Bukannya Bu Sam juga punya anak laki laki, yang pasti akan menjadi pewaris sah s
Setelah saling menempelkan pipi dengan Bang Malik tadi, dia langsung mengarahkan pandangan ke arahku."Hai, kamu pasti Chaca." Wanita itu mengulurkan tangannya dengan senyuman ceria. Terlihat barisan gigi putih berderet, yang membuatnya terlihat sangat manis.Cantik sekali. Membuatku merasa tidak percaya diri berada di tengah-tengah mereka. Aku menyambut uluran tangannya dengan ragu-ragu."Kenalin, aku Tania." Dia melanjutkan ucapannya .Oh, jadi kata Tan yang disebut Bang Malik tadi adalah Tania."Ayo duduk," ajak Bang Malik. Tania kemudian duduk di kursi kosong yang ada di hadapan kami. "Waw, kamu cantik sekali Chaca. Kalian terlihat mirip. Kalau diperhatikan, hidung kamu mancung seperti Malik." Wanita itu terlihat sangat ramah dan mudah melemparkan pujian kepada orang yang baru ditemuinya. Tulus kah? Mirip apanya? Kami bahkan tidak punya ikatan darah sedikit pun."Tentu saja, adikku ini sangat cantik," ujar Bang Malik, sambil mengacak-acak rambutku dengan gemas. "Kapan kamu sampa