Aku menenteng sekantong plastik camilan keluar dari minimarket. Mengeluarkan ponsel, bermaksud hendak memesan ojek online. Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.
"Jambret..., jambret...."
Aku menoleh ke arah belakang, seseorang berlari kencang menuju ke arahku. Dengan sigap kujegal kakinya.
Laki-laki itu jatuh tersungkur dengan wajah menghadap ke aspal jalan. Kuayunkan tasku ke arah kepalanya. Memukulnya berkali-kali sambil berteriak agar yang lain segera datang menolong.
Tak lama orang-orang datang berkerumun, ikut mengeroyok jambret tersebut. Ada yang menedang, bahkan ada juga Ibu-Ibu yang ikut menjambak dan menarik telinganya.
Aku keluar dari kerumunan massa sambil menepuk-nepukkan debu di tangan dengan bangga. Aku merasa seperti superhero malam ini. Mereka semua pasti akan berterima kasih padaku.
Kulihat Ibu-Ibu yang tadi teriak jambret sibuk celingak-celinguk seperti orang bingung. Dengan percaya diri aku menghampiri. Berharap matanya akan berbinar-binar sembari mengucapkan terima kasih.
"Ibu nggak papa, kan? Jambretnya udah ketangkep. Tuh, udah diamankan sama sekuriti." Aku melaporkan kejadian.
"Bukan, Dek. Jambretnya naik sepeda motor," sahutnya, sedikit ngos-ngosan karena usianya yang hampir tua.
Sontak aku terdiam. Ibu tadi melongos meninggalkanku dengan wajah tak bersalah. Kerumunan pada bubar setelah Ibu itu memberi penjelasan. Sekuriti melepaskan dan meminta maaf pada laki-laki itu.
'Memalukan sekali,' umpatku dalam hati.
Aku memungut kembali camilan yang berserakan, melangkah pergi.
"Heh!" pekik seseorang dari arah belakang.
Mampus! Itu pasti laki-laki yang tadi aku pukuli habis-habisan. Aku mempercepat langkah untuk menghindari masalah. Tapi tiba-tiba kerah bajuku ditarik dari belakang.
"Mau kabur kemana, ha?"
Aku berusaha melepaskan cengkramannya. Ketika berbalik, aku terpaku saat wajah kami saling bertemu dan menatap satu sama lain
"Kamu?"
"Pak Malik? "
Pak Malik melepaskan cengkramannya. Tamat sudah riwayatku kali ini. Kalau tidak membusuk di penjara, pastilah keluarga besarnya akan segera memecatku tanpa pesangon.
"Kamu, mau jadi preman, ha?" ucapnya setengah membentak.
"Enggak kok, Pak. Mau jadi pahlawan."
Itu yang ingin aku ucapkan kepadanya, tapi tentu saja hanya dalam hati. Kalau sampai benar-benar kulakukan, apa yang aku pikirkan tadi pasti jadi kenyataan.
"Maaf, Pak. Saya pikir Bapak jambret." Matanya langsung mendelik ke arahku. "Lagian Bapak ngapain lari-lari? "
"Ngejar jambret."
"Kan jambretnya naik motor." Dia terdiam sejenak. "Bapak ngapain di sini? "
"Bukan urusan kamu!" ketusnya, sembari memegangi pipi yang sudah memar.
Galak sekali. Bertanya saja tidak boleh.
"Kamu sendiri, ngapain di sini?" Dia balik bertanya.
"Oh, saya tinggal di sekitar sini, Pak." Pak Malik memutar leher, melihat daerah sekeliling. Merasa tak percaya.
"Tinggal di sini? Kompleks ini?" Dia telihat ragu-ragu mengulangi pertanyaannya.
"Iya, saya tinggal di sini," sahutku meyakinkan.
Dia pasti memutar otak untuk berpikir, bagaimana karyawan biasa bergaji dibawah nominal tiga juta rupiah sepertiku, bisa tinggal di kawasan elit seperti ini.
"Baik, kalau memang ini tempat tinggal kamu, dan kamu juga yang buat muka saya bonyok seperti ini, bawa saya sekarang juga. Di rumah ada kotak obat, kan? "
*******Bagaimana ini, Pak Malik memintaku mengajaknya ke rumah. Kalau aku bawa dia sekarang, Aira pasti ngamuk-ngamuk. Bisa-bisa kena usir. "Nggak bisa, Pak," sahutku."Kenapa?""Abang ipar saya baru pulang dari luar kota. Nggak enak, nanti mengganggu. Kakak saya masih pengantin baru." Aku beralasan. Lagi pula, usia Aira memang lebih tua dariku. Wajar kalau aku mengakuinya sebagai kakak. Pak Malik mengernyit, seolah tak percaya. Tapi aku yakin, dia tak punya pilihan lain. "Saya bawa ke klinik aja ya, Pak. Biar diperiksa. Siapa tau ada luka dalam, atau tulang-tulang yang patah," ejekku, lalu memberanikan diri mendorong tubuhnya untuk segera berjalan. "Eh, eh, ngapain dorong-dorong?" protesnya, tanpa menolak. Pak Malik melajukan mobil, sementara aku duduk manis di sampingnya. Mengeluarkan ponsel dan memainkan jemariku dengan lihai ke atas layar. [Sori, Ver. Aku agak telat. Ada urusan mendadak!] Aku mengirim pesan. Bip bip. Tak lama terdengar bunyi pesan masuk. [Oke, jangan lupa cem
Ia terkejut bukan main. Matanya membesar mendengar pengakuanku. Tampak marah, lalu memegang keras pundakku. "Apa maksud kamu? Chaca siapa? Jangan main-main, ha! Becandamu nggak lucu!" Dia terlihat gusar dengan napas terengah-engah. Aku semakin menangis menatapnya. "Jangan pernah kamu ngaku-ngaku sebagai adikku. Dia tidak mungkin wanita seperti kamu!" Amarahnya kian terlihat. "Cepat turun!" Ia langsung keluar dari mobil. Membuka pintu di sampingku, lalu dengan kasar menarikku keluar."Jangan pernah lagi bicara padaku! Apa lagi sampai mencari perhatian dengan cara seperti ini. Aku tidak pernah tertarik sama wanita seperti kamu!" bentaknya dengan kasar. Ia meninggalkanku di tepi jalan, tanpa mau mendengar penjelasan. Aku menangis kembali, saat mobil itu melesat pergi menjauh..Aku bekerja seperti biasa. Melirik ke arah kantornya. Terlihat dia sedang fokus mengutak-atik laptop di atas meja. Terlihat wajahnya masih ada bekas memar, dan sedikit membengkak. Anak-anak yang lain saling
Sepulang kerja, aku menunggu ojek online di depan gerbang. Satu persatu para karyawan menghilang. Ada yang berjalan ke simpang jalan besar untuk menunggu angkutan umum. Ada yang berjalan kaki, karena jarak temat kost dekat dari kerjaan, ada juga yang di jemput oleh anggota keluarganya.Tinggallah aku sendiri yang belum juga bergerak karena signal ponselku yang lemah, hingga susah loading untuk memesan ojek online.Terdengar suara klakson mobil mengejutkanku. Kaca depan terbuka, dan laki laki di belakang kemudi memanggilku dari dalam."Naik!" perintahnya. Aku tak begitu saja menurut, kupacu kaki untuk berjalan menjauh. Tak lama mobil itu mendahului, berhenti, dan menghadang jalanku. Aku menghentikan langkah, menanti dia yang dengan sigap sudah berdiri di hadapanku.Deg! Jantung ini kumat lagi*****Ia berdiri kokoh di hadapanku dengan kedua tangan disilangkan ke dada. Aku diam, dengan suara detak jantung yang kian bergemuruh. "Kenapa menghindar terus? Kamu dengar kan, kalau saya ny
Kurasakan dadanya naik turun, ikut menangis. Aku masih histeris, melepaskan diri dari pelukannya. Berulang kali memukul-mukul dadanya dengan kedua tangan yang sedari tadi kukepalkan."Abang jahat, Abang jahat," teriakku. Dia diam tanpa perlawanan, pasrah membiarkanku meluapkan perasaan meski tubuhnya terasa sakit."Maafin Abang, Cha. Maafin Abang, karena nggak ngenalin kamu. Kamu boleh pukul Abang sepuasnya. Abang sungguh-sungguh minta maaf."Aku menghentikan pukulan dan terus menangis. Laki-laki ini menarikku kembali dalam pelukan. Ia memapahku ke sofa, setelah merasa aku sedikit tenang. Dia berlutut menggenggam kedua tanganku.******POV MALIKHannan Maliki Said. Nama itu disematkan padaku dari sebuah surat yang diletakkan di keranjang tempat seseorang meletakkanku.Ya. Mungkin aku bayi yang tidak diinginkan. Diletakkan begitu saja di depan pintu gerbang panti asuhan dengan hanya berbalut selimut dan selembar surat yang ditulis entah oleh siapa. Setidaknya itulah cerita yang kude
Aku kembali ke halaman masjid Raya yang terletak di tengah kota, setelah ke sana sini mencari pekerjaan. Chaca meenyambutku dengan gembira karena aku membelikan makanan yang aku janjikan tadi sebelum pergi.Aku sengaja meninggalkannya di situ, agar tidak merasa bosan di dalam kamar yang aku sewa. Juga tak ingin ia merasa lelah mengikuti perjalananku. Sudah tiga hari ini kami tinggal dan tidur di kamar sempit yang hanya ada kasur tipis. Aku menempati kamar itu atas saran Bapak penjaga kebersihan di masjid. Aku harus segera mendapatkan pekerjaan, agar uang yang kubawa tak terpakai seluruhnya.Syukurlah di hari berikutnya, Abang tukar parkir mau mengajakku turut serta bekerja dengannya. Dan di situlah aku sekarang, menjadi tukang parkir di Masjid Raya Medan.****** Aku menggiring sebuah mobil ke area parkir. Menuntun supir di belakang kemudi mengikuti arahanku. Kendaraan terparkir. Aku memberikan karcis ke supir yang baru keluar.Sesekali ku lirik halaman masjid tempat biasa Chaca be
POV CHACAAku menyandarkan tubuh di sandaran sofa, diikuti juga oleh Bang Malik. Kini kami berdua menjadi lebih tenang setelah sebelumnya saling histeris dan belum bisa menghilangkan rasa keterkejutan masing-masing.Tak banyak yang kami bicarakan. Hanya saling memandang tanpa ucapan. Masing-masing tak tahu harus mulai bertanya dari mana. Tak apa buatku. Asal dia masih ada, dan mau mengakuiku. Bang Malik akan mengenalkanku pada keluarga angkatnya besok. Tak mau lagi menunda-nunda dan merahasiakanku dari mereka. "Mereka pasti juga sangat senang melihatmu, Cha," ujarnya menyemangatiku.Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Terdengar suara pintu depan terbuka, dan tak lama tertutup kembali."Kamu baru pulang, Ra?" tanyaku saat Aira berdiri mematung melihat ada tamu laki laki yang kini duduk mesra di sampingku."Hai," jawabnya setengah melongo, sambil mengangkat telapak tangan untuk menyapa.Aku bangkit dan merangkul lengan Bang Malik untuk berdiri. Kutarik ia mendekati
Bahagia! Itu yang aku rasakan. Sambutan yang hangat membuatku merasa diterima oleh keluarganya. Meskipun aku tak pernah mengenal mereka secara langsung. Setahuku, Bu Sam tipe wanita yang tidak banyak bicara, disiplin dan juga tegas. Beberapa kali kami bertemu, tapi tak pernah bertegur sapa. Aku takut dia beranggapan aku hanya memanfaatkan Bang Malik dengan maksud tertentu. Bagaimanapun, kehidupan sosialku sudah jelas berbeda dengan Abangku yang sekarang.Bagaimana jika dia mempengaruhi anak angkatnya itu agar tak berhubungan lagi denganku? Ah, semoga ini hanya perasaanku saja.Makan malam kali ini hanya ada kami bertiga. Hal itu sudah terbiasa karena suami Bu Sam memang sering bepergian ke luar kota. Sementara putra kandungnya masih kuliah di luar negeri."Menginap saja di sini. Mama sudah menyuruh Wak Sanah membereskan kamar. Besok kemasi barang- barangmu dan bawalah kemari!" Bu Sam membuka suara di sela-sela makannya.Aku dan Bang Malik saling menoleh."Maksud Mama apa?" Pria berhi
Hari ini aku sedang libur. Bang Malik ingin aku menemaninya ke kantor pemasaran rumah Belanda, di mana aku dan Aira tinggal.Dia bilang cukup tertarik dengan area tempat ini. Atau jangan-jangan dia ingin membeli rumah, agar bisa selalu dekat denganku? Angan-angan yang ada di kepala membuatku tersenyum. "Kenapa senyum-senyum sendiri?" Rupanya diam-diam ia memperhatikan tingkahku."Abang mau beli rumah?" tanyaku girang. "Hem," gumamnya, membenarkan ucapanku."Lihat-lihat dulu. Siapa tau cocok.""Rumahnya bagus kok, Bang. Chaca dan Aira betah tinggal di sini.""O, ya? Nggak mau pindah?" Sepertinya Malik sedang menyindirku atas permintaan Mamanya tempo hari. "Apaan sih," jawabku, sambil mendorong pelan tubuhnya.Namun di dalam hati aku penasaran, seberapa banyak uang yang dimilikinya sampai bisa langsung membeli rumah dengan tiba-tiba seperti ini. Apa dia akan mewarisi semua harta warisan keluarga Bu Sam?Bukannya Bu Sam juga punya anak laki laki, yang pasti akan menjadi pewaris sah s