Share

Part 4

Menjelang malam, aku keluar dari rumah. Berjalan kaki sampai keluar dari kompleks perumahan. Memasuki minimarket yang masih satu kawasan, untuk membeli makanan ringan sebagai buah tangan agar Vera menyambutku dengan rasa suka cita.

Aku menenteng sekantong plastik camilan keluar dari minimarket. Mengeluarkan ponsel, bermaksud hendak memesan ojek online. Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.

"Jambret..., jambret...." 

Aku menoleh ke arah belakang, seseorang berlari kencang menuju ke arahku. Dengan sigap kujegal kakinya. 

Laki-laki itu jatuh tersungkur dengan wajah menghadap ke aspal jalan. Kuayunkan tasku ke arah kepalanya. Memukulnya berkali-kali sambil berteriak agar yang lain segera datang menolong. 

Tak lama orang-orang datang berkerumun, ikut mengeroyok jambret tersebut. Ada yang menedang, bahkan ada juga Ibu-Ibu yang ikut menjambak dan menarik telinganya. 

Aku keluar dari kerumunan massa sambil menepuk-nepukkan debu di tangan dengan bangga. Aku merasa seperti superhero malam ini. Mereka semua pasti akan berterima kasih padaku. 

Kulihat Ibu-Ibu yang tadi teriak jambret sibuk celingak-celinguk seperti orang bingung. Dengan percaya diri aku menghampiri. Berharap matanya akan berbinar-binar sembari mengucapkan terima kasih.

"Ibu nggak papa, kan? Jambretnya udah ketangkep. Tuh, udah diamankan sama sekuriti." Aku melaporkan kejadian. 

"Bukan, Dek. Jambretnya naik sepeda motor," sahutnya, sedikit ngos-ngosan karena usianya yang hampir tua. 

Sontak aku terdiam. Ibu tadi melongos meninggalkanku dengan wajah tak bersalah. Kerumunan pada bubar setelah Ibu itu memberi penjelasan. Sekuriti melepaskan dan meminta maaf pada laki-laki itu. 

'Memalukan sekali,' umpatku dalam hati. 

Aku memungut kembali camilan yang berserakan, melangkah pergi. 

"Heh!" pekik seseorang dari arah belakang. 

Mampus! Itu pasti laki-laki yang tadi aku pukuli habis-habisan. Aku mempercepat langkah untuk menghindari masalah. Tapi tiba-tiba kerah bajuku ditarik dari belakang.

"Mau kabur kemana, ha?"

Aku berusaha melepaskan cengkramannya. Ketika berbalik, aku terpaku saat wajah kami saling bertemu dan menatap satu sama lain 

"Kamu?"

"Pak Malik? " 

Pak Malik melepaskan cengkramannya. Tamat sudah riwayatku kali ini. Kalau tidak membusuk di penjara, pastilah keluarga besarnya akan segera memecatku tanpa pesangon. 

"Kamu, mau jadi preman, ha?" ucapnya setengah membentak. 

"Enggak kok, Pak. Mau jadi pahlawan."

Itu yang ingin aku ucapkan kepadanya, tapi tentu saja hanya dalam hati. Kalau sampai benar-benar kulakukan, apa yang aku pikirkan tadi pasti jadi kenyataan. 

"Maaf, Pak. Saya pikir Bapak jambret." Matanya langsung mendelik ke arahku. "Lagian Bapak ngapain lari-lari? "

"Ngejar jambret."

"Kan jambretnya naik motor." Dia terdiam sejenak. "Bapak ngapain di sini? "

"Bukan urusan kamu!" ketusnya, sembari memegangi pipi yang sudah memar. 

Galak sekali. Bertanya saja tidak boleh. 

"Kamu sendiri, ngapain di sini?" Dia balik bertanya.

"Oh, saya tinggal di sekitar sini, Pak." Pak Malik memutar leher, melihat daerah sekeliling. Merasa tak percaya. 

"Tinggal di sini? Kompleks ini?" Dia telihat ragu-ragu mengulangi pertanyaannya. 

"Iya, saya tinggal di sini," sahutku meyakinkan. 

Dia pasti memutar otak untuk berpikir, bagaimana karyawan biasa bergaji dibawah nominal tiga juta rupiah sepertiku, bisa tinggal di kawasan elit seperti ini. 

"Baik, kalau memang ini tempat tinggal kamu, dan kamu juga yang buat muka saya bonyok seperti ini, bawa saya sekarang juga. Di rumah ada kotak obat, kan? "

*******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status