Ia terkejut bukan main. Matanya membesar mendengar pengakuanku. Tampak marah, lalu memegang keras pundakku.
"Apa maksud kamu? Chaca siapa? Jangan main-main, ha! Becandamu nggak lucu!" Dia terlihat gusar dengan napas terengah-engah.
Aku semakin menangis menatapnya.
"Jangan pernah kamu ngaku-ngaku sebagai adikku. Dia tidak mungkin wanita seperti kamu!" Amarahnya kian terlihat.
"Cepat turun!" Ia langsung keluar dari mobil. Membuka pintu di sampingku, lalu dengan kasar menarikku keluar.
"Jangan pernah lagi bicara padaku! Apa lagi sampai mencari perhatian dengan cara seperti ini. Aku tidak pernah tertarik sama wanita seperti kamu!" bentaknya dengan kasar.
Ia meninggalkanku di tepi jalan, tanpa mau mendengar penjelasan. Aku menangis kembali, saat mobil itu melesat pergi menjauh.
.
Aku bekerja seperti biasa. Melirik ke arah kantornya. Terlihat dia sedang fokus mengutak-atik laptop di atas meja. Terlihat wajahnya masih ada bekas memar, dan sedikit membengkak.
Anak-anak yang lain saling berbisik, menerka-nerka apa yang terjadi.
"Wajah pak Bos kenapa tuh, abis berantem kayaknya," Vera setengah berbisik, sambil mengiris bawang untuk acar.
"Pasti dipukuli. Mungkin sifatnya kasar, nggak menghargai perasaan orang," celetukku yang masih merasa kesal atas kejadian malam tadi.
Kini aku sudah mengetahui, kalau dia adalah Bang Malik, Abangku. Tapi melihat sikapnya tadi malam, menyisakan sedikit luka.
Bukannya menanyakan bagaimana keadaanku, atau bagaimana aku bisa bertahan hidup di kota ini. Dia malah mentah-mentah menolakku.
Mungkin saja dia malu mengakui, karena hidupnya sudah sempurna saat ini. Aku pun tak akan sudi untuk mengiba, apa lagi sampai mengemis menuntut pengakuan.
"Berantem sama pacar kali, ya." Vera menerka-nerka.
"Mungkin aja."
"Kalau begitu, pasti ceweknya yang kasar, Cha. Tampang kayak Pak Malik, mana mungkin tega bersikap kasar sama cewek. Lihat aja cara ngomongnya, lemah lembut gitu. Dasar emang ceweknya aja yang kasar." Aku melotot ke arah Vera, merasa seolah sedang mengataiku.
.
Jam dua belas bel berbunyi. Kami menghentikan aktivitas, untuk kemudian beristirahat makan siang.
Aku mencuci tangan di wastafel di depan toilet. Kulihat Bang Malik keluar dari balik pintu toilet laki-laki.
Toilet di tempatku, hanya ada dua pintu. Masing-masing untuk pria dan wanita, dengan wastafel yang berjejer di depannya.
Dalam sekejap kami saling bertatap muka, lalu aku membuang pandangan dan melempar tisu ke tempat sampah secara kasar, berlalu pergi meninggalkannya.
Tak peduli lagi, apakah dia akan marah atau malah memecatku. Aku benar-benar tidak peduli. Sakit, itu yang kurasakan saat diacuhkan oleh orang yang kita sayang.
Aku berjalan menuju ruang makan, yang sengaja tidak dilengkapi dengan meja dan kursi.
Hanya karpet besar yang terpasang di area luas, agar para karyawan bisa beristirahat sambil tiduran, karena jam istirahat yang cukup panjang.
Aku mengambil kotak makan, yang memang sudah disiapkan oleh perusahaan untuk masing-masing karyawan. Aku duduk berselonjor merapatkan tubuh ke dinding, bergabung dengan yang lain.
Tak lama Malik menyusul dan mengambil tempat di dinding seberang, tepat di depanku.
*****
Kami duduk saling berhadapan, walau dengan jarak yang lumayan jauh. Aku memasang wajah kecut tanpa senyum. Melahap makanan sedikit demi sedikit.
"Pak, wajahnya kenapa?" Oji nyeletuk tanpa basa- basi.
Hah! Berani sekali anak itu menggoda atasannya.
"Iya Pak, abis berantem ya, sama pacarnya?" Yang lain mulai berani.
Bang Malik hanya tersenyum, saat digoda oleh anak buahnya. Aku melirik sekilas, ingin melihat seperti apa ekspresinya. Apakah marah, atau merasa tidak senang dengan kelancangan orang-orang yang harusnya bersikap hormat padanya.
Tak disangka, sekilas mata kami saling beradu. Entah sejak kapan ia melihat ke arahku. Dengan cepat aku membuang pandangan ke sembarang arah.
"Nggak mungkinlah pacar saya yang ngelakuin," sahutnya tanpa diduga-duga. "Pacar saya nggak sekasar itu. Ini hanya kerjaan orang gila yang sok mau jadi pahlawan!"
Whattt....! Nasi yang baru masuk kemulutku menyembur keluar. Dia mengataiku orang gila? Kata-katanya barusan terdengar seperti sedang menyindirku.
"Oh, jadi Pak Bos udah punya pacar, ya?" Vera menimpali, tanpa mempedulikan aku yang dari tadi batuk-batuk karena tersedak.
"Ciee... cieee.... Dek Vera patah hati nih. Ulu uluuu... sini sama Abang, Dek." Lagi-lagi Oji menggoda.
Yang lain pada bersorak. Saat itu suasana menjadi riuh karena ternyata pak Bos tidak menjaga jarak dengan bawahannya, kecuali aku.
.Jam istirahat sudah habis. Kami kembali ke dapur setelah membersihkan kekacauan yang kami buat saat makan siang. Begitulah biasanya kami beraktivitas.
Tidak terasa sudah satu tahun aku bekerja di sini. Dan aku begitu betah.
Semua pekerjaan sudah hampir selesai. Kucatat semua produksi yang dikerjakan oleh divisi bagian. Aku, selaku ketua tim bertanggung jawab mencatat semua jumlah pesanan dari berbagai outlet yang tersebar hampir di seluruh mall di Medan dan melaporkannya ke leader, yaitu Bu Rini.
"Antarkan ini ke Pak Malik, Cha," perintah bu Rini seraya memberikan beberapa lembar kertas.
"Baik, Bu." Aku menyanggupi.
Sebenarnya enggan melakukan tugas ini, karena tak ingin terlibat pertemuan langsung dengan saudara yang tidak mengakuiku itu.
Tapi aku tak ingin mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan. Kuletakkan kertas-kertas itu di meja kerjanya tanpa kata-kata.
"Apa ini?" tanya Pak Bos. Entah memang tidak tahu, atau hanya ingin berbasa basi mengajakku bicara.
Aku mengangkat bahu, tanda tidak tahu atau tepatnya bilang "Entah", lalu ngeloyor keluar seenaknya. Entah kenapa jadi hilang rasa takutku.
.Sepulang kerja, aku menunggu ojek online di depan gerbang. Satu persatu para karyawan menghilang. Ada yang berjalan ke simpang jalan besar untuk menunggu angkutan umum. Ada yang berjalan kaki, karena jarak temat kost dekat dari kerjaan, ada juga yang di jemput oleh anggota keluarganya.Tinggallah aku sendiri yang belum juga bergerak karena signal ponselku yang lemah, hingga susah loading untuk memesan ojek online.Terdengar suara klakson mobil mengejutkanku. Kaca depan terbuka, dan laki laki di belakang kemudi memanggilku dari dalam."Naik!" perintahnya. Aku tak begitu saja menurut, kupacu kaki untuk berjalan menjauh. Tak lama mobil itu mendahului, berhenti, dan menghadang jalanku. Aku menghentikan langkah, menanti dia yang dengan sigap sudah berdiri di hadapanku.Deg! Jantung ini kumat lagi*****Ia berdiri kokoh di hadapanku dengan kedua tangan disilangkan ke dada. Aku diam, dengan suara detak jantung yang kian bergemuruh. "Kenapa menghindar terus? Kamu dengar kan, kalau saya ny
Kurasakan dadanya naik turun, ikut menangis. Aku masih histeris, melepaskan diri dari pelukannya. Berulang kali memukul-mukul dadanya dengan kedua tangan yang sedari tadi kukepalkan."Abang jahat, Abang jahat," teriakku. Dia diam tanpa perlawanan, pasrah membiarkanku meluapkan perasaan meski tubuhnya terasa sakit."Maafin Abang, Cha. Maafin Abang, karena nggak ngenalin kamu. Kamu boleh pukul Abang sepuasnya. Abang sungguh-sungguh minta maaf."Aku menghentikan pukulan dan terus menangis. Laki-laki ini menarikku kembali dalam pelukan. Ia memapahku ke sofa, setelah merasa aku sedikit tenang. Dia berlutut menggenggam kedua tanganku.******POV MALIKHannan Maliki Said. Nama itu disematkan padaku dari sebuah surat yang diletakkan di keranjang tempat seseorang meletakkanku.Ya. Mungkin aku bayi yang tidak diinginkan. Diletakkan begitu saja di depan pintu gerbang panti asuhan dengan hanya berbalut selimut dan selembar surat yang ditulis entah oleh siapa. Setidaknya itulah cerita yang kude
Aku kembali ke halaman masjid Raya yang terletak di tengah kota, setelah ke sana sini mencari pekerjaan. Chaca meenyambutku dengan gembira karena aku membelikan makanan yang aku janjikan tadi sebelum pergi.Aku sengaja meninggalkannya di situ, agar tidak merasa bosan di dalam kamar yang aku sewa. Juga tak ingin ia merasa lelah mengikuti perjalananku. Sudah tiga hari ini kami tinggal dan tidur di kamar sempit yang hanya ada kasur tipis. Aku menempati kamar itu atas saran Bapak penjaga kebersihan di masjid. Aku harus segera mendapatkan pekerjaan, agar uang yang kubawa tak terpakai seluruhnya.Syukurlah di hari berikutnya, Abang tukar parkir mau mengajakku turut serta bekerja dengannya. Dan di situlah aku sekarang, menjadi tukang parkir di Masjid Raya Medan.****** Aku menggiring sebuah mobil ke area parkir. Menuntun supir di belakang kemudi mengikuti arahanku. Kendaraan terparkir. Aku memberikan karcis ke supir yang baru keluar.Sesekali ku lirik halaman masjid tempat biasa Chaca be
POV CHACAAku menyandarkan tubuh di sandaran sofa, diikuti juga oleh Bang Malik. Kini kami berdua menjadi lebih tenang setelah sebelumnya saling histeris dan belum bisa menghilangkan rasa keterkejutan masing-masing.Tak banyak yang kami bicarakan. Hanya saling memandang tanpa ucapan. Masing-masing tak tahu harus mulai bertanya dari mana. Tak apa buatku. Asal dia masih ada, dan mau mengakuiku. Bang Malik akan mengenalkanku pada keluarga angkatnya besok. Tak mau lagi menunda-nunda dan merahasiakanku dari mereka. "Mereka pasti juga sangat senang melihatmu, Cha," ujarnya menyemangatiku.Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Terdengar suara pintu depan terbuka, dan tak lama tertutup kembali."Kamu baru pulang, Ra?" tanyaku saat Aira berdiri mematung melihat ada tamu laki laki yang kini duduk mesra di sampingku."Hai," jawabnya setengah melongo, sambil mengangkat telapak tangan untuk menyapa.Aku bangkit dan merangkul lengan Bang Malik untuk berdiri. Kutarik ia mendekati
Bahagia! Itu yang aku rasakan. Sambutan yang hangat membuatku merasa diterima oleh keluarganya. Meskipun aku tak pernah mengenal mereka secara langsung. Setahuku, Bu Sam tipe wanita yang tidak banyak bicara, disiplin dan juga tegas. Beberapa kali kami bertemu, tapi tak pernah bertegur sapa. Aku takut dia beranggapan aku hanya memanfaatkan Bang Malik dengan maksud tertentu. Bagaimanapun, kehidupan sosialku sudah jelas berbeda dengan Abangku yang sekarang.Bagaimana jika dia mempengaruhi anak angkatnya itu agar tak berhubungan lagi denganku? Ah, semoga ini hanya perasaanku saja.Makan malam kali ini hanya ada kami bertiga. Hal itu sudah terbiasa karena suami Bu Sam memang sering bepergian ke luar kota. Sementara putra kandungnya masih kuliah di luar negeri."Menginap saja di sini. Mama sudah menyuruh Wak Sanah membereskan kamar. Besok kemasi barang- barangmu dan bawalah kemari!" Bu Sam membuka suara di sela-sela makannya.Aku dan Bang Malik saling menoleh."Maksud Mama apa?" Pria berhi
Hari ini aku sedang libur. Bang Malik ingin aku menemaninya ke kantor pemasaran rumah Belanda, di mana aku dan Aira tinggal.Dia bilang cukup tertarik dengan area tempat ini. Atau jangan-jangan dia ingin membeli rumah, agar bisa selalu dekat denganku? Angan-angan yang ada di kepala membuatku tersenyum. "Kenapa senyum-senyum sendiri?" Rupanya diam-diam ia memperhatikan tingkahku."Abang mau beli rumah?" tanyaku girang. "Hem," gumamnya, membenarkan ucapanku."Lihat-lihat dulu. Siapa tau cocok.""Rumahnya bagus kok, Bang. Chaca dan Aira betah tinggal di sini.""O, ya? Nggak mau pindah?" Sepertinya Malik sedang menyindirku atas permintaan Mamanya tempo hari. "Apaan sih," jawabku, sambil mendorong pelan tubuhnya.Namun di dalam hati aku penasaran, seberapa banyak uang yang dimilikinya sampai bisa langsung membeli rumah dengan tiba-tiba seperti ini. Apa dia akan mewarisi semua harta warisan keluarga Bu Sam?Bukannya Bu Sam juga punya anak laki laki, yang pasti akan menjadi pewaris sah s
Setelah saling menempelkan pipi dengan Bang Malik tadi, dia langsung mengarahkan pandangan ke arahku."Hai, kamu pasti Chaca." Wanita itu mengulurkan tangannya dengan senyuman ceria. Terlihat barisan gigi putih berderet, yang membuatnya terlihat sangat manis.Cantik sekali. Membuatku merasa tidak percaya diri berada di tengah-tengah mereka. Aku menyambut uluran tangannya dengan ragu-ragu."Kenalin, aku Tania." Dia melanjutkan ucapannya .Oh, jadi kata Tan yang disebut Bang Malik tadi adalah Tania."Ayo duduk," ajak Bang Malik. Tania kemudian duduk di kursi kosong yang ada di hadapan kami. "Waw, kamu cantik sekali Chaca. Kalian terlihat mirip. Kalau diperhatikan, hidung kamu mancung seperti Malik." Wanita itu terlihat sangat ramah dan mudah melemparkan pujian kepada orang yang baru ditemuinya. Tulus kah? Mirip apanya? Kami bahkan tidak punya ikatan darah sedikit pun."Tentu saja, adikku ini sangat cantik," ujar Bang Malik, sambil mengacak-acak rambutku dengan gemas. "Kapan kamu sampa
Malam ini, Bu Sam kembali memintaku makan malam di rumahnya. Sepulang kerja, Bang Malik mengajakku mampir ke toko baju di sebuah mall, agar tak usah bolak-balik pulang ke rumah.Aku juga tidak ingin merepotkannya, karena letak rumahku dan rumahnya berlawanan arah. Kami memasuki sebuah toko dengan brand ternama. Aku memegang sebuah baju terusan tanpa lengan yang kalau kupakai, pasti akan melekat sampai ke kulit. Kuingat dulu Aira sering memakai baju seperti ini untuk memamerkan tubuh seksinya. Aku terkikik geli melihat baju model begitu."Heh, heh. Apa ini? Mau jadi biduan?" Malik dengan tiba-tiba mengapit leherku dengan lengannya. Berpikir kalau itu adalah baju yang akan aku kenakan."Enggak kok, siapa juga yang mau makek baju kek gini." Aku meletakkan kembali gantungan baju tersebut. Merasa geli."Coba yang ini!" seru nya, sembari menempelkan dress selutut di tubuhku, tanpa melepaskan tangannya dari leherku. Dia menarikku ke depan cermin. "Bagus, kan?" Ia setengah berbisik di telinga