Share

BAB 4

“Baiklah,” kata Lian akhirnya, suaranya tetap tegas. “Tapi jika ada yang mencurigakan, aku akan langsung menarikmu pergi.”

Pria itu mengangguk, dan wajahnya terlihat lebih tenang. “Terima kasih. Aku hanya ingin menjelaskan situasi yang terjadi.”

Mei Yan mengambil napas dalam-dalam. “Apa yang ingin kau jelaskan?” tanyanya, berusaha untuk tidak terdengar terlalu tegang.

“Aku tahu kau mungkin merasa terancam dengan kehadiranku. Tapi aku tidak bermaksud buruk,” pria itu berkata, suaranya tenang dan dalam. “Aku sudah melihatmu beberapa kali di taman, dan aku tahu kau mengalami masa sulit. Aku… ingin membantumu.”

“Bantuan? Dari siapa kau?” tanya Mei Yan skeptis. “Kau tidak mengenalku.”

“Memang benar. Aku tidak mengenalmu dengan baik. Tapi aku merasa ada sesuatu yang… berbeda tentangmu. Sesuatu yang membuatku ingin membantu. Namaku Jinhai,” pria itu memperkenalkan diri.

“Jinhai…” Mei Yan mengulang namanya pelan, mencoba mencerna informasi baru ini. Dia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya, tetapi dia juga tahu harus berhati-hati. “Apa yang kau ketahui tentangku?”

“Cukup banyak,” jawab Jinhai. “Aku tahu tentang kesulitan yang kau hadapi, tentang keluargamu, dan tentang sakit yang kau derita. Aku tidak ingin mengganggumu, tetapi aku bisa membantu.”

Mei Yan merasa dinding pertahanannya mulai retak. “Bagaimana kau tahu semua itu?” Dia bisa merasakan keringat dingin di tengkuknya, terkejut dan sedikit takut.

“Karena aku juga pernah mengalami hal yang sama. Aku tahu bagaimana rasanya merasa sendirian dan diabaikan. Aku tidak ingin kau melewati itu tanpa dukungan. Jika kau mau, aku bisa membantumu menemukan cara untuk menghadapinya,” Jinhai menjelaskan.

Lian bersuara, “Bagaimana kami bisa mempercayaimu? Semua ini terdengar terlalu baik untuk menjadi kenyataan.”

“Karena aku tahu betapa sulitnya menghadapi semua ini sendirian. Dan aku tidak ingin melihat orang lain mengalami apa yang aku alami,” jawab Jinhai dengan tulus.

Mei Yan merasakan ada kejujuran dalam kata-katanya, tetapi keraguan tetap menyelimuti pikirannya. “Mengapa kau ingin membantu saya? Apa motivasimu?”

“Karena aku peduli. Aku tahu betapa berharganya dukungan dari orang lain ketika kita merasa terjebak dalam kesedihan. Dan karena aku percaya kita semua layak mendapatkan kesempatan kedua,” kata Jinhai, matanya bersinar dengan keyakinan.

Perkataan itu menggugah perasaan Mei Yan. Dia merasa terhubung, tetapi di saat yang sama, keraguan masih menghantuinya. Apa yang bisa dia lakukan?

“Jinhai, apa yang kau sarankan?” tanya Mei Yan akhirnya.

“Bergabunglah denganku. Aku bisa membawamu ke tempat yang lebih baik, tempat di mana kau bisa berbagi dan menemukan orang-orang yang bisa mengerti apa yang kau rasakan. Tidak ada tekanan, hanya jika kau merasa siap,” jawab Jinhai dengan lembut.

Mei Yan merasa bingung. Tiba-tiba semua yang dia jalani, semua rasa sakit dan kesepian, seakan ada harapan di depan matanya. Namun, apakah ini aman? Apakah dia harus mempercayai seorang stranger?

Dia melihat Lian, yang masih mengawasi Jinhai dengan kecurigaan. “Mei Yan, ingat, kita tidak tahu siapa dia. Hati-hati.”

“Aku tahu,” jawab Mei Yan pelan. “Tapi… aku merasa seolah ini adalah kesempatan yang tidak bisa kutolak.”

“Aku hanya ingin kau berbahagia, Mei Yan. Apa pun keputusanmu, aku akan mendukungmu,” Lian akhirnya berkata, nada suaranya lembut, meski tetap ada rasa khawatir.

Mei Yan tersenyum. “Terima kasih, Lian. Aku akan berpikir tentang ini.”

“Baiklah, ambil waktu yang kau butuhkan. Jika kau merasa siap, ini alamatku,” Jinhai berkata sambil menyerahkan selembar kertas kuno yang terlipat dengan rapi. “Hubungi aku kapan saja. Aku akan menunggumu di sana.”

Dengan ragu, Mei Yan menerima kertas itu, merasakan tekstur halus di tangannya. “Terima kasih,” ujarnya pelan.

Saat Jinhai mulai menjauh, Mei Yan merasa ada satu pertanyaan yang mengganjal di benaknya. “Jinhai, kenapa kau datang ke taman? Apakah kau hanya menunggu untuk melihatku?”

Jinhai berhenti sejenak dan menoleh. “Aku hanya berusaha menemukan cara untuk menjangkau seseorang yang merasa terasing. Terkadang, aku merasa kita bisa membantu satu sama lain.”

Kemudian, dia pergi, meninggalkan Mei Yan dan Lian di bawah langit sore yang mulai gelap.

“Apakah kau benar-benar akan menghubunginya?” tanya Lian, masih skeptis.

Mei Yan mengangguk. “Aku tidak tahu. Tapi mungkin, hanya mungkin, dia bisa membantuku menemukan arah.”

Lian menghela napas. “Baiklah, tetapi

Mei Yan menghela napas panjang, merasakan beban di dadanya semakin berat setelah percakapan dengan Jinhai. Ada sesuatu tentang pria itu yang menarik perhatiannya, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran yang tak terelakkan. Dia tahu bahwa Lian sangat peduli padanya, dan sahabatnya itu selalu bersikap protektif, tetapi Mei Yan merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa ingin tahu biasa.

“Baiklah, tetapi… aku ingin kau berhati-hati, Mei Yan. Kita tidak tahu siapa dia dan apa niatnya yang sebenarnya,” kata Lian, nada suaranya penuh keprihatinan.

“Aku mengerti, Lian. Tapi aku merasa seolah-olah dia bisa membantuku. Kau tahu betapa sulitnya semua ini,” Mei Yan menjawab, suaranya meredup. “Aku merasa terjebak dan tidak tahu ke mana harus pergi.”

Lian menatap Mei Yan, mencerminkan rasa empati yang mendalam. “Aku tahu. Kita semua merasa terjebak kadang-kadang. Tapi mari kita lakukan ini bersama. Kita bisa mencari cara lain, daripada mengambil risiko dengan orang yang tidak kita kenal.”

Mei Yan mengangguk, tetapi di dalam hatinya, dia merasa ada kesempatan yang ingin dia ambil. “Mungkin aku bisa menulis surat untuk Jinhai. Itu bisa jadi cara untuk berkomunikasi tanpa bertemu langsung.”

Lian terkejut. “Surat? Apa kau yakin? Bagaimana jika dia tidak menjawab? Atau lebih buruk lagi, jika dia punya niat jahat?”

“Dia tidak terlihat seperti orang jahat. Dan meskipun begitu, aku merasa perlu mencoba. Aku sudah terlalu lama merasa terasing dan sendirian,” jawab Mei Yan, matanya bersinar dengan harapan.

Setelah berdiskusi, Mei Yan akhirnya memutuskan untuk menulis surat. Malam itu, di kamar kecilnya yang gelap, dia mengambil selembar kertas dari laci dan mulai menulis. Kata-kata mengalir dari pikirannya, mencurahkan semua perasaan yang terpendam.

---

Kepada Jinhai,

Aku tidak tahu apa yang membuatmu ingin membantuku, tetapi aku ingin berterima kasih karena telah menjangkau dan berbicara padaku di taman. Kau benar, aku merasa terasing dan kesepian. Rasanya sulit untuk mengungkapkan apa yang aku alami, dan aku sering merasa tidak ada yang bisa mengerti.

Jika kau bersedia, aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu dan bagaimana kau bisa membantuku. Mungkin kita bisa bertemu di taman lagi?

Sebelumnya, aku tidak pernah berpikir untuk meminta bantuan dari orang asing. Tapi sekarang, aku merasa seolah-olah ini adalah kesempatan yang tidak bisa aku tolak.

Semoga kau tidak keberatan menerima surat ini.

Hormatku,

Mei Yan

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status