Setelah selesai, Mei Yan melipat surat itu dengan hati-hati dan menyimpannya dalam saku. Dia merasa sedikit lebih lega setelah menulis semua itu. Esok harinya, dia berniat untuk mengantarkan surat tersebut ke taman dan berharap bisa menemui Jinhai lagi.
Ketika hari beranjak siang, Mei Yan dan Lian berjalan menuju taman, tempat di mana mereka pertama kali bertemu dengan Jinhai. Mei Yan bisa merasakan ketegangan di udara. “Aku akan menunggu di pinggir jalan. Jika kau merasa tidak nyaman, beritahu aku dan aku akan segera datang,” kata Lian, suaranya tegas tetapi juga penuh kehangatan. Mei Yan mengangguk dan melangkah lebih jauh ke dalam taman. Dia merasakan sinar matahari menerpa wajahnya, tetapi bayangan kekhawatiran masih menghantuinya. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah langkah yang benar. Saat tiba di tempat mereka pertama kali bertemu, Mei Yan melihat Jinhai duduk di bangku kayu, menatap pemandangan taman dengan serius. Hatinya berdebar. Dia mengumpulkan keberanian dan mendekatinya. “Jinhai,” panggilnya pelan. Pria itu menoleh, dan wajahnya bersinar saat melihatnya. “Mei Yan! Kau datang,” jawabnya dengan senyum hangat. “Apa kabar?” “Aku baik… maksudku, aku mencoba untuk baik-baik saja,” katanya, sedikit gugup. “Aku… aku menulis surat untukmu.” Dia mengeluarkan surat dari sakunya dan menyerahkannya kepada Jinhai. Jinhai menerima surat itu dengan ragu. “Surat? Untukku?” “Ya, aku hanya ingin berbagi beberapa perasaanku,” Mei Yan menjelaskan. “Aku berharap bisa tahu lebih banyak tentang dirimu dan cara kau bisa membantuku.” Jinhai membuka surat itu perlahan, membaca kata-kata Mei Yan dengan seksama. Dalam keheningan, Mei Yan bisa merasakan ketegangan menurun. Jinhai kemudian menatapnya dengan tatapan serius. “Aku mengerti apa yang kau rasakan, Mei Yan. Aku sendiri pernah mengalami saat-saat kelam dalam hidupku. Dan meskipun kita tidak mengenal satu sama lain dengan baik, aku ingin kau tahu bahwa aku di sini untuk mendengarkanmu,” katanya, suaranya lembut dan penuh perhatian. Mei Yan merasa sedikit lega mendengar kata-katanya. “Aku merasa terjebak. Hidupku terasa hampa dan tidak ada yang bisa mengerti.” “Bersama kita bisa mencari jalan keluar. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Mari kita lakukan ini perlahan, satu langkah demi satu langkah,” jawab Jinhai, matanya tidak lepas dari wajah Mei Yan. Mereka menghabiskan waktu di taman, berbicara tentang kehidupan, harapan, dan ketakutan. Jinhai berbagi kisah hidupnya, bagaimana ia juga pernah merasakan kesedihan dan penolakan dari orang-orang terdekatnya. “Ketika aku merasa dunia tidak adil, aku belajar bahwa terkadang kita harus menciptakan kebahagiaan kita sendiri, meskipun dengan cara yang kecil,” katanya. Mendengar cerita Jinhai membuat Mei Yan merasa terhubung. “Bagaimana kau bisa begitu kuat? Aku sering merasa lemah dan tidak berdaya,” tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu. “Karena aku menemukan kekuatan dalam diri sendiri. Saat aku merasa tidak ada yang peduli, aku belajar untuk mencintai diriku sendiri. Itu adalah perjalanan panjang, tetapi setiap langkahnya berharga,” Jinhai menjawab. Mei Yan mengangguk, merenungkan kata-kata itu. “Mungkin aku perlu mencoba untuk mencintai diriku sendiri juga. Tapi bagaimana aku bisa memulainya?” “Mulailah dengan hal-hal kecil. Cobalah untuk melihat dirimu dengan cara yang lebih baik. Hargai setiap pencapaian, sekecil apa pun. Dan jika kau merasa kesepian, ingatlah bahwa ada orang di luar sana yang peduli padamu, seperti aku,” kata Jinhai dengan tulus. Mata Mei Yan berbinar. “Terima kasih, Jinhai. Kau telah membuatku merasa tidak sendirian. Aku berharap aku bisa menemukan kekuatan yang sama.” “Ini hanya awal, Mei Yan. Kita akan menjelajahi perjalanan ini bersama,” balas Jinhai, memberi semangat. Ketika hari mulai gelap, Mei Yan merasa lebih bersemangat daripada sebelumnya. Dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi dia merasa ada harapan yang baru. Mungkin, hanya mungkin, Jinhai bisa membantunya menemukan cara untuk bersinar di tengah kegelapan hidupnya. “Kalau begitu, sampai jumpa lagi,” kata Mei Yan, merasa bersemangat. “Ya, sampai jumpa. Aku akan selalu ada di sini untukmu,” jawab Jinhai, memberikan senyuman yang tulus sebelum pergi. Mei Yan berjalan pulang dengan perasaan penuh harapan. Dia tahu bahwa langkah ini bisa membawa perubahan besar dalam hidupnya. Meskipun tidak ada jaminan, dia merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Satu hal yang pasti, dia tidak lagi merasa sendirian. Mei Yan pulang dengan langkah yang lebih ringan, hatinya berdebar dengan semangat baru. Setiap langkahnya di jalan setapak itu seolah membawanya lebih dekat kepada sesuatu yang lebih baik. Dia tidak lagi merasa terasing; ada seseorang yang peduli padanya. Ketika dia memasuki rumah, aroma masakan ibunya menyambutnya, tetapi saat itu, dia tidak bisa merasakan kebahagiaan yang biasanya menyelimuti suasana rumah. Ibu Mei Yan sedang menyiapkan makan malam, tetapi terlihat terburu-buru dan cemas. "Mei Yan! Kenapa kau pulang terlambat? Kau harus memberitahu Ibu jika kau pergi ke mana-mana," katanya dengan nada penuh perhatian. Mei Yan hanya mengangguk, berusaha menahan diri agar tidak menjawab dengan kasar. “Maaf, Ibu. Aku hanya pergi ke taman sebentar,” katanya, suara lembut. Dia tidak ingin memicu pertengkaran yang biasa terjadi jika membahas rasa kesepiannya di rumah. “Jangan biarkan dirimu terjebak dalam kesedihan. Kehidupan ini tidak akan menunggu,” lanjut ibunya, sambil mengaduk panci di atas kompor. Mei Yan tahu bahwa ibunya sangat menyayanginya, tetapi rasa sakit yang ia rasakan tidak bisa dipahami oleh keluarganya. Dia merasa terasing, bahkan di tengah keluarga sendiri. Dengan hati yang berat, dia pergi ke kamarnya setelah makan malam, menyalakan lampu yang remang-remang dan duduk di atas tempat tidurnya. Dia mengeluarkan surat yang dia tulis untuk Jinhai dan membacanya kembali, merasakan setiap kata yang dia tuangkan ke dalam surat itu. Ada harapan, ada kerinduan untuk saling berbagi, dan ada keinginan untuk melawan rasa sepinya. Mungkin, Jinhai adalah jawaban untuk semua pertanyaannya. Malam itu, Mei Yan terjaga lama, berpikir tentang apa yang bisa dia lakukan selanjutnya. Jika Jinhai benar-benar bersedia membantunya, apa langkah yang harus diambil? Menghubungi Jinhai melalui surat adalah satu-satunya cara, tetapi dia juga merasakan tekanan untuk tidak mengecewakannya. Dia ingin berusaha, tetapi rasa takut itu selalu mengintainya. Keesokan harinya, dia menyiapkan surat baru, menuliskan semua pertanyaan yang menggelayut di pikirannya. Dia ingin menanyakan lebih banyak tentang kehidupan Jinhai, bagaimana dia bisa bangkit dari kesedihan, dan apa yang bisa dia lakukan untuk memulai perjalanan ini. --- Kepada Jinhai, Setelah pertemuan kita kemarin, aku merasa lebih baik. Mungkin aku sudah mulai melihat harapan. Tapi aku punya banyak pertanyaan dan bingung tentang langkah selanjutnya. Bagaimana kau bisa menemukan kekuatan dalam dirimu? Apa yang kau lakukan untuk merasa lebih baik? Aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu dan harapanmu. Sekali lagi, terima kasih telah membantuku merasa tidak sendirian. Jika kau bersedia, aku ingin kita bertemu lagi di taman. Hormatku, Mei YanSetelah menulis surat itu, Mei Yan berusaha untuk menyelinap keluar rumah tanpa membuat kegaduhan. Dia merasa ada keinginan mendalam untuk mengirimkan surat ini kepada Jinhai. Dengan hati-hati, dia melangkah menuju taman, merasakan angin sepoi-sepoi yang menyapu wajah nya.Saat tiba di taman, dia melihat Jinhai sudah menunggu di bangku kayu yang sama. Hatinya berdebar-debar. Dia merasa senang melihat wajahnya, tetapi juga khawatir tentang reaksi Jinhai terhadap suratnya.“Mei Yan!” Jinhai melambaikan tangan dan berdiri saat melihatnya. Senyum di wajahnya membuat hati Mei Yan bergetar.“Jinhai,” sapanya dengan lembut, mengeluarkan surat yang baru saja ditulisnya. “Ini untukmu.”Jinhai mengambil surat itu dengan antusias. “Kau kembali! Aku senang melihatmu.” Dia membacanya dengan seksama, dan Mei Yan bisa melihat ekspresi di wajahnya berubah, dari penasaran menjadi serius.“Aku sangat menghargai kejujuranmu,” Jinhai akhirnya berkata, menatap Mei Yan dengan penuh perhatian. “Kekuatan yan
Bagi Mey Yan, sebuah kehadiran yang menyelamatkannya dari kesendirian.Suatu sore, Jinhai membawakan Mey Yan sebuah buku dengan sampul yang tampak tua. “Ini mungkin bisa membantumu,” katanya sambil menyerahkan buku itu padanya.Mey Yan membuka buku itu dan melihat bahwa isinya adalah tentang strategi bisnis dan manajemen. “Terima kasih, Jinhai. Ini pasti sangat berguna,” ujarnya dengan tulus.“Jangan hanya berterima kasih. Kau harus berhasil, Mey Yan. Aku yakin kau bisa,” balas Jinhai dengan senyuman penuh semangat.Namun, kedekatan mereka tidak luput dari perhatian Duke Zhao. Suatu malam, ketika Mey Yan baru saja pulang dari pertemuannya dengan Jinhai, dia mendapati Duke Zhao menunggunya di ruang tamu. Tatapan pria itu terlihat lebih tajam daripada biasanya.“Ke mana saja kau?” tanyanya dengan nada yang lebih menuntut daripada biasanya.Mey Yan merasa ada sedikit getaran dalam suaranya, tapi dia mencoba untuk tetap tenang. “Aku bertemu dengan seorang teman. Dia membantuku mempelajari
Mey Yan terkejut mendengar nama Jinhai disebut. “Tidak, sebenarnya tidak. Keinginan untuk berubah datang dariku sendiri. Jinhai hanya memberikan dorongan dan bantuan saat aku membutuhkannya,” jawab Mey Yan dengan jujur.Tuan Muda Xu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Jadi, apa yang sebenarnya ingin kau capai, Mey Yan?”Pertanyaan itu membuat Mey Yan terdiam sejenak. Dia menatap suaminya dengan serius, lalu berkata, “Aku ingin mendapatkan tempatku di sisi suamiku. Bukan hanya sebagai seorang istri yang berada di belakang, tetapi sebagai mitra yang dapat dipercaya. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa kau andalkan, baik dalam kehidupan maupun urusan kerajaan.”Jawaban Mey Yan membuat Duke Zhao terdiam. Dia tidak menyangka istrinya memiliki ambisi sebesar itu. Meskipun begitu, dia tetap menjaga wajahnya agar tidak menunjukkan terlalu banyak emosi. “Kita lihat saja,” jawabnya singkat sebelum beranjak pergi.Meski jawabannya singkat dan datar, Mey Yan merasa ada harapan. Dia
“Saya dengar, Duchess, Anda sering bertemu dengan teman lama Anda, Tuan Jinhai,” kata Li dengan nada santai namun menyiratkan sesuatu. “Saya harap Anda tidak melibatkan orang luar dalam urusan istana. Itu bisa berbahaya, Anda tahu.”Mey Yan menatap Li dengan tatapan tegas, tidak terpengaruh oleh sindiran itu. “Saya tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan istana. Tujuan saya hanya untuk memastikan semuanya berjalan sesuai aturan.”Wakil Menteri Li tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Baiklah, saya hanya ingin memastikan. Sebagai bagian dari keluarga Zhao, tentu Anda tahu bahwa menjaga nama baik kerajaan adalah prioritas utama.”Pertemuan itu membuat Mey Yan semakin yakin bahwa Li memang terlibat dalam penyimpangan yang terjadi. Dia pun memutuskan untuk mempercepat penyelidikannya dan mengumpulkan bukti yang cukup untuk dihadapkan kepada suaminya. Namun, di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa rumor tentang dirinya dan Jinhai bisa menimbulkan
“Aku tidak bercanda,” balas Mey Yan tegas. “Kami memiliki bukti yang cukup untuk menunjukkan adanya penyimpangan. Jika kau merasa tidak bersalah, kau seharusnya tidak keberatan membantu kami menyelidikinya lebih lanjut.”Li tampak mulai kehilangan kendali. Dia berdiri dari kursinya, wajahnya memerah karena marah. “Kau berani menuduhku tanpa bukti yang jelas? Ini bisa disebut pencemaran nama baik!” suaranya meninggi, menarik perhatian beberapa karyawan di luar ruangan yang kini mulai melirik ke arah mereka.Duke Zhao mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Li tenang. “Kita tidak sedang menuduhmu, Li. Kita hanya ingin memastikan bahwa semuanya berjalan sesuai prosedur. Jika memang tidak ada yang salah, maka kau tidak perlu khawatir.”Li akhirnya menghela napas dan duduk kembali, tetapi ekspresinya masih tidak bisa menutupi kegelisahannya. “Baiklah, aku akan bekerja sama. Tapi ingat, Zhao, aku sudah bertahun-tahun bekerja untuk perusahaan ini. Tidak mungkin aku melakukan hal seperti i
Namun, Mey Yan menolak tenggelam dalam rasa sepinya. Ia teringat kembali pesan ibunya sebelum meninggalkan rumah. "Seberapa pun sulit hidupmu nanti, jangan menyerah. Jangan biarkan siapa pun menghancurkan semangatmu." Kata-kata itu kini terasa lebih nyata daripada sebelumnya. Ia menarik napas panjang dan bangkit dari tempat tidur. Ia memutuskan untuk keluar, berjalan di taman belakang yang luas.Langkahnya terhenti saat melihat seorang pelayan sedang memetik bunga-bunga di dekat kolam. Wanita paruh baya itu terlihat akrab, dengan wajah yang lembut namun tampak lelah. Mey Yan menghampirinya.“Apakah ada bunga yang sedang bermekaran?” tanyanya dengan lembut, mencoba membuka percakapan.Wanita itu sedikit terkejut dan buru-buru membungkuk hormat. “Nyonya muda, ada beberapa bunga camelia yang mulai mekar. Apakah Anda ingin saya memetikkan untuk Anda?”Mey Yan menggelengkan kepala. “Tidak perlu. Saya hanya ingin melihat-lihat saja.” Ia melirik ke
Mey Yan menundukkan pandangannya, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mulai muncul di wajahnya. Tuan Zhao berhenti sejenak, matanya memeriksa ekspresi istrinya dengan sorot yang sulit ditebak. "Dia hanya teman lama," ujar Tuan Zhao, seakan menyadari keraguan yang mungkin ada di hati Mey Yan. Namun, nadanya datar, tidak menunjukkan penjelasan lebih lanjut. Mey Yan mengangguk pelan, berusaha menampilkan senyuman meskipun hatinya masih dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. “Oh, tentu saja. Aku tidak bermaksud ingin tahu,” jawabnya lirih. Tuan Zhao tidak menjawab. Ia hanya memandangnya beberapa detik lebih lama sebelum akhirnya berjalan melewatinya menuju ruang kerjanya. Pintu ruang kerja itu tertutup pelan di belakangnya, seakan menutup juga semua perasaan yang berusaha Mey Yan sembunyikan. Malam itu, Mey Yan duduk sendirian di kamarnya. Pikirannya kembali ke kedekatan Tuan Zhao dengan wanita tadi. "Apa dia seseorang yang
Malam itu, Mey Yan merenung cukup lama di kamarnya. Pikirannya terus bergulat antara rasa bahagia yang perlahan tumbuh dari perhatian-perhatian kecil Tuan Zhao, dan kekhawatiran yang timbul dari kehadiran wanita asing itu. Ia tak ingin terburu-buru berprasangka, namun bayangan kedekatan mereka sulit diabaikan.Keesokan harinya, Mey Yan memutuskan untuk bersikap seperti biasa. Ia menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan di taman dan ruang rumah, mencoba melupakan perasaan tidak tenang yang menghantui pikirannya. Namun, ketika ia sedang merapikan ruang tengah, ia dikejutkan oleh suara langkah Tuan Zhao yang menghampirinya.“Kau tampak lebih ceria akhir-akhir ini,” kata Tuan Zhao, mengamati wajah Mey Yan. “Apakah karena taman itu?”Mey Yan tersenyum kecil, mengangguk sambil berkata, “Taman ini memang sangat menenangkan. Tapi… mungkin bukan hanya itu.” Ia menahan diri untuk tidak mengungkapkan bahwa salah satu alasannya adalah perhatian yang mulai Tuan Zha
Suatu sore, saat Zhao XiJin merasa cukup kuat untuk duduk di kursi di luar tenda, ia meminta Mey Yan menemaninya. Angin sejuk berhembus, membawa aroma khas hutan dan tanah. Mereka duduk berdua dalam diam, menikmati ketenangan yang jarang mereka rasakan di tengah kekacauan.“Bagaimana perasaanmu?” tanya Mey Yan sambil menatap ke arah pepohonan yang bergerak lembut tertiup angin.“Lebih baik,” jawab Zhao XiJin singkat. “Tapi, aku belum bisa kembali bertugas sepenuhnya.”Mey Yan menoleh padanya, matanya lembut namun tegas. “Tidak apa-apa. Yang terpenting, kau pulih dengan baik.”Zhao XiJin mengangguk. "Kau tahu, aku belum pernah melihatmu seperti ini sebelumnya," ujarnya tiba-tiba. "Aku kira kau tidak akan bisa menahan diri dalam situasi seperti ini."Mey Yan tersenyum tipis. “Mungkin karena kau tidak pernah benar-benar melihatku, XiJin.” Ia mengucapkan kata-kata itu dengan nada ringan, tetapi dalam hatinya ada rasa perih yang terselip. Selama ini, ia tahu dirinya seperti bayangan dalam
Dengan restu dari keluarga Zhao, Mey Yan segera mempersiapkan perjalanannya. Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan di kamp militer, atau bagaimana Zhao XiJin akan menyambutnya. Tapi satu hal yang ia tahu, ia akan berada di sisinya. Meskipun Zhao XiJin mungkin tidak mengharapkan kehadirannya, Mey Yan telah memutuskan bahwa inilah saatnya ia berjuang untuk suaminya, sebagaimana suaminya berjuang di medan perang.Perjalanan ke kamp militer bukanlah perjalanan yang mudah. Mey Yan harus melewati jalan-jalan berbatu dan medan yang sulit. Namun, di sepanjang perjalanan, ia merasa hatinya semakin kuat. Ia tidak lagi hanya istri yang diam di rumah, melainkan seorang wanita yang siap menghadapi segala kemungkinan demi orang yang ia sayangi.Ketika ia tiba di kamp, suasana yang muram menyambutnya. Pasukan yang lelah dan luka-luka terlihat di mana-mana. Mey Yan segera menuju tenda perawatan di mana Zhao XiJin dirawat. Saat ia memasuki tenda, ia melihat Zhao XiJin sedang berbaring dengan mata ter
Waktu berlalu begitu cepat…Kata-kata itu membuat Mei Yan semakin curiga. Apakah informasi yang diberikan Xu Li memiliki kaitan dengan keselamatan Zhao? Ia ingin bertanya lebih jauh, namun Xu Li berbalik dan menatapnya tajam. "Kau tahu, Mei Yan, bukan hanya para prajurit yang berperang di medan tempur. Kadang, orang-orang di belakang layar juga memainkan peran penting. Itu saja yang perlu kau ketahui."Merasa tak mendapatkan jawaban yang memuaskan, Mei Yan memutuskan untuk tidak memaksa. Ia mengucapkan terima kasih kepada Xu Li dan berpamitan. Namun, perasaannya saat meninggalkan rumah itu semakin tak menentu. Mungkinkah Xu Li memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap keberangkatan Zhao daripada yang ia bayangkan?Beberapa hari kemudian, Zhao kembali ke rumah lebih awal dari biasanya. Kali ini, ia tampak lebih tenang dan tidak terburu-buru seperti biasanya. Setelah makan malam, mereka duduk di ruang tengah, dan Mei Yan merasa ini adalah saat yang tepat
Malam itu, Mey Yan merenung cukup lama di kamarnya. Pikirannya terus bergulat antara rasa bahagia yang perlahan tumbuh dari perhatian-perhatian kecil Tuan Zhao, dan kekhawatiran yang timbul dari kehadiran wanita asing itu. Ia tak ingin terburu-buru berprasangka, namun bayangan kedekatan mereka sulit diabaikan.Keesokan harinya, Mey Yan memutuskan untuk bersikap seperti biasa. Ia menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan di taman dan ruang rumah, mencoba melupakan perasaan tidak tenang yang menghantui pikirannya. Namun, ketika ia sedang merapikan ruang tengah, ia dikejutkan oleh suara langkah Tuan Zhao yang menghampirinya.“Kau tampak lebih ceria akhir-akhir ini,” kata Tuan Zhao, mengamati wajah Mey Yan. “Apakah karena taman itu?”Mey Yan tersenyum kecil, mengangguk sambil berkata, “Taman ini memang sangat menenangkan. Tapi… mungkin bukan hanya itu.” Ia menahan diri untuk tidak mengungkapkan bahwa salah satu alasannya adalah perhatian yang mulai Tuan Zha
Mey Yan menundukkan pandangannya, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mulai muncul di wajahnya. Tuan Zhao berhenti sejenak, matanya memeriksa ekspresi istrinya dengan sorot yang sulit ditebak. "Dia hanya teman lama," ujar Tuan Zhao, seakan menyadari keraguan yang mungkin ada di hati Mey Yan. Namun, nadanya datar, tidak menunjukkan penjelasan lebih lanjut. Mey Yan mengangguk pelan, berusaha menampilkan senyuman meskipun hatinya masih dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. “Oh, tentu saja. Aku tidak bermaksud ingin tahu,” jawabnya lirih. Tuan Zhao tidak menjawab. Ia hanya memandangnya beberapa detik lebih lama sebelum akhirnya berjalan melewatinya menuju ruang kerjanya. Pintu ruang kerja itu tertutup pelan di belakangnya, seakan menutup juga semua perasaan yang berusaha Mey Yan sembunyikan. Malam itu, Mey Yan duduk sendirian di kamarnya. Pikirannya kembali ke kedekatan Tuan Zhao dengan wanita tadi. "Apa dia seseorang yang
Namun, Mey Yan menolak tenggelam dalam rasa sepinya. Ia teringat kembali pesan ibunya sebelum meninggalkan rumah. "Seberapa pun sulit hidupmu nanti, jangan menyerah. Jangan biarkan siapa pun menghancurkan semangatmu." Kata-kata itu kini terasa lebih nyata daripada sebelumnya. Ia menarik napas panjang dan bangkit dari tempat tidur. Ia memutuskan untuk keluar, berjalan di taman belakang yang luas.Langkahnya terhenti saat melihat seorang pelayan sedang memetik bunga-bunga di dekat kolam. Wanita paruh baya itu terlihat akrab, dengan wajah yang lembut namun tampak lelah. Mey Yan menghampirinya.“Apakah ada bunga yang sedang bermekaran?” tanyanya dengan lembut, mencoba membuka percakapan.Wanita itu sedikit terkejut dan buru-buru membungkuk hormat. “Nyonya muda, ada beberapa bunga camelia yang mulai mekar. Apakah Anda ingin saya memetikkan untuk Anda?”Mey Yan menggelengkan kepala. “Tidak perlu. Saya hanya ingin melihat-lihat saja.” Ia melirik ke
“Aku tidak bercanda,” balas Mey Yan tegas. “Kami memiliki bukti yang cukup untuk menunjukkan adanya penyimpangan. Jika kau merasa tidak bersalah, kau seharusnya tidak keberatan membantu kami menyelidikinya lebih lanjut.”Li tampak mulai kehilangan kendali. Dia berdiri dari kursinya, wajahnya memerah karena marah. “Kau berani menuduhku tanpa bukti yang jelas? Ini bisa disebut pencemaran nama baik!” suaranya meninggi, menarik perhatian beberapa karyawan di luar ruangan yang kini mulai melirik ke arah mereka.Duke Zhao mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Li tenang. “Kita tidak sedang menuduhmu, Li. Kita hanya ingin memastikan bahwa semuanya berjalan sesuai prosedur. Jika memang tidak ada yang salah, maka kau tidak perlu khawatir.”Li akhirnya menghela napas dan duduk kembali, tetapi ekspresinya masih tidak bisa menutupi kegelisahannya. “Baiklah, aku akan bekerja sama. Tapi ingat, Zhao, aku sudah bertahun-tahun bekerja untuk perusahaan ini. Tidak mungkin aku melakukan hal seperti i
“Saya dengar, Duchess, Anda sering bertemu dengan teman lama Anda, Tuan Jinhai,” kata Li dengan nada santai namun menyiratkan sesuatu. “Saya harap Anda tidak melibatkan orang luar dalam urusan istana. Itu bisa berbahaya, Anda tahu.”Mey Yan menatap Li dengan tatapan tegas, tidak terpengaruh oleh sindiran itu. “Saya tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan istana. Tujuan saya hanya untuk memastikan semuanya berjalan sesuai aturan.”Wakil Menteri Li tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Baiklah, saya hanya ingin memastikan. Sebagai bagian dari keluarga Zhao, tentu Anda tahu bahwa menjaga nama baik kerajaan adalah prioritas utama.”Pertemuan itu membuat Mey Yan semakin yakin bahwa Li memang terlibat dalam penyimpangan yang terjadi. Dia pun memutuskan untuk mempercepat penyelidikannya dan mengumpulkan bukti yang cukup untuk dihadapkan kepada suaminya. Namun, di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa rumor tentang dirinya dan Jinhai bisa menimbulkan
Mey Yan terkejut mendengar nama Jinhai disebut. “Tidak, sebenarnya tidak. Keinginan untuk berubah datang dariku sendiri. Jinhai hanya memberikan dorongan dan bantuan saat aku membutuhkannya,” jawab Mey Yan dengan jujur.Tuan Muda Xu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Jadi, apa yang sebenarnya ingin kau capai, Mey Yan?”Pertanyaan itu membuat Mey Yan terdiam sejenak. Dia menatap suaminya dengan serius, lalu berkata, “Aku ingin mendapatkan tempatku di sisi suamiku. Bukan hanya sebagai seorang istri yang berada di belakang, tetapi sebagai mitra yang dapat dipercaya. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa kau andalkan, baik dalam kehidupan maupun urusan kerajaan.”Jawaban Mey Yan membuat Duke Zhao terdiam. Dia tidak menyangka istrinya memiliki ambisi sebesar itu. Meskipun begitu, dia tetap menjaga wajahnya agar tidak menunjukkan terlalu banyak emosi. “Kita lihat saja,” jawabnya singkat sebelum beranjak pergi.Meski jawabannya singkat dan datar, Mey Yan merasa ada harapan. Dia