Setelah selesai, Mei Yan melipat surat itu dengan hati-hati dan menyimpannya dalam saku. Dia merasa sedikit lebih lega setelah menulis semua itu. Esok harinya, dia berniat untuk mengantarkan surat tersebut ke taman dan berharap bisa menemui Jinhai lagi.
Ketika hari beranjak siang, Mei Yan dan Lian berjalan menuju taman, tempat di mana mereka pertama kali bertemu dengan Jinhai. Mei Yan bisa merasakan ketegangan di udara. “Aku akan menunggu di pinggir jalan. Jika kau merasa tidak nyaman, beritahu aku dan aku akan segera datang,” kata Lian, suaranya tegas tetapi juga penuh kehangatan. Mei Yan mengangguk dan melangkah lebih jauh ke dalam taman. Dia merasakan sinar matahari menerpa wajahnya, tetapi bayangan kekhawatiran masih menghantuinya. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah langkah yang benar. Saat tiba di tempat mereka pertama kali bertemu, Mei Yan melihat Jinhai duduk di bangku kayu, menatap pemandangan taman dengan serius. Hatinya berdebar. Dia mengumpulkan keberanian dan mendekatinya. “Jinhai,” panggilnya pelan. Pria itu menoleh, dan wajahnya bersinar saat melihatnya. “Mei Yan! Kau datang,” jawabnya dengan senyum hangat. “Apa kabar?” “Aku baik… maksudku, aku mencoba untuk baik-baik saja,” katanya, sedikit gugup. “Aku… aku menulis surat untukmu.” Dia mengeluarkan surat dari sakunya dan menyerahkannya kepada Jinhai. Jinhai menerima surat itu dengan ragu. “Surat? Untukku?” “Ya, aku hanya ingin berbagi beberapa perasaanku,” Mei Yan menjelaskan. “Aku berharap bisa tahu lebih banyak tentang dirimu dan cara kau bisa membantuku.” Jinhai membuka surat itu perlahan, membaca kata-kata Mei Yan dengan seksama. Dalam keheningan, Mei Yan bisa merasakan ketegangan menurun. Jinhai kemudian menatapnya dengan tatapan serius. “Aku mengerti apa yang kau rasakan, Mei Yan. Aku sendiri pernah mengalami saat-saat kelam dalam hidupku. Dan meskipun kita tidak mengenal satu sama lain dengan baik, aku ingin kau tahu bahwa aku di sini untuk mendengarkanmu,” katanya, suaranya lembut dan penuh perhatian. Mei Yan merasa sedikit lega mendengar kata-katanya. “Aku merasa terjebak. Hidupku terasa hampa dan tidak ada yang bisa mengerti.” “Bersama kita bisa mencari jalan keluar. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Mari kita lakukan ini perlahan, satu langkah demi satu langkah,” jawab Jinhai, matanya tidak lepas dari wajah Mei Yan. Mereka menghabiskan waktu di taman, berbicara tentang kehidupan, harapan, dan ketakutan. Jinhai berbagi kisah hidupnya, bagaimana ia juga pernah merasakan kesedihan dan penolakan dari orang-orang terdekatnya. “Ketika aku merasa dunia tidak adil, aku belajar bahwa terkadang kita harus menciptakan kebahagiaan kita sendiri, meskipun dengan cara yang kecil,” katanya. Mendengar cerita Jinhai membuat Mei Yan merasa terhubung. “Bagaimana kau bisa begitu kuat? Aku sering merasa lemah dan tidak berdaya,” tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu. “Karena aku menemukan kekuatan dalam diri sendiri. Saat aku merasa tidak ada yang peduli, aku belajar untuk mencintai diriku sendiri. Itu adalah perjalanan panjang, tetapi setiap langkahnya berharga,” Jinhai menjawab. Mei Yan mengangguk, merenungkan kata-kata itu. “Mungkin aku perlu mencoba untuk mencintai diriku sendiri juga. Tapi bagaimana aku bisa memulainya?” “Mulailah dengan hal-hal kecil. Cobalah untuk melihat dirimu dengan cara yang lebih baik. Hargai setiap pencapaian, sekecil apa pun. Dan jika kau merasa kesepian, ingatlah bahwa ada orang di luar sana yang peduli padamu, seperti aku,” kata Jinhai dengan tulus. Mata Mei Yan berbinar. “Terima kasih, Jinhai. Kau telah membuatku merasa tidak sendirian. Aku berharap aku bisa menemukan kekuatan yang sama.” “Ini hanya awal, Mei Yan. Kita akan menjelajahi perjalanan ini bersama,” balas Jinhai, memberi semangat. Ketika hari mulai gelap, Mei Yan merasa lebih bersemangat daripada sebelumnya. Dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi dia merasa ada harapan yang baru. Mungkin, hanya mungkin, Jinhai bisa membantunya menemukan cara untuk bersinar di tengah kegelapan hidupnya. “Kalau begitu, sampai jumpa lagi,” kata Mei Yan, merasa bersemangat. “Ya, sampai jumpa. Aku akan selalu ada di sini untukmu,” jawab Jinhai, memberikan senyuman yang tulus sebelum pergi. Mei Yan berjalan pulang dengan perasaan penuh harapan. Dia tahu bahwa langkah ini bisa membawa perubahan besar dalam hidupnya. Meskipun tidak ada jaminan, dia merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Satu hal yang pasti, dia tidak lagi merasa sendirian. Mei Yan pulang dengan langkah yang lebih ringan, hatinya berdebar dengan semangat baru. Setiap langkahnya di jalan setapak itu seolah membawanya lebih dekat kepada sesuatu yang lebih baik. Dia tidak lagi merasa terasing; ada seseorang yang peduli padanya. Ketika dia memasuki rumah, aroma masakan ibunya menyambutnya, tetapi saat itu, dia tidak bisa merasakan kebahagiaan yang biasanya menyelimuti suasana rumah. Ibu Mei Yan sedang menyiapkan makan malam, tetapi terlihat terburu-buru dan cemas. "Mei Yan! Kenapa kau pulang terlambat? Kau harus memberitahu Ibu jika kau pergi ke mana-mana," katanya dengan nada penuh perhatian. Mei Yan hanya mengangguk, berusaha menahan diri agar tidak menjawab dengan kasar. “Maaf, Ibu. Aku hanya pergi ke taman sebentar,” katanya, suara lembut. Dia tidak ingin memicu pertengkaran yang biasa terjadi jika membahas rasa kesepiannya di rumah. “Jangan biarkan dirimu terjebak dalam kesedihan. Kehidupan ini tidak akan menunggu,” lanjut ibunya, sambil mengaduk panci di atas kompor. Mei Yan tahu bahwa ibunya sangat menyayanginya, tetapi rasa sakit yang ia rasakan tidak bisa dipahami oleh keluarganya. Dia merasa terasing, bahkan di tengah keluarga sendiri. Dengan hati yang berat, dia pergi ke kamarnya setelah makan malam, menyalakan lampu yang remang-remang dan duduk di atas tempat tidurnya. Dia mengeluarkan surat yang dia tulis untuk Jinhai dan membacanya kembali, merasakan setiap kata yang dia tuangkan ke dalam surat itu. Ada harapan, ada kerinduan untuk saling berbagi, dan ada keinginan untuk melawan rasa sepinya. Mungkin, Jinhai adalah jawaban untuk semua pertanyaannya. Malam itu, Mei Yan terjaga lama, berpikir tentang apa yang bisa dia lakukan selanjutnya. Jika Jinhai benar-benar bersedia membantunya, apa langkah yang harus diambil? Menghubungi Jinhai melalui surat adalah satu-satunya cara, tetapi dia juga merasakan tekanan untuk tidak mengecewakannya. Dia ingin berusaha, tetapi rasa takut itu selalu mengintainya. Keesokan harinya, dia menyiapkan surat baru, menuliskan semua pertanyaan yang menggelayut di pikirannya. Dia ingin menanyakan lebih banyak tentang kehidupan Jinhai, bagaimana dia bisa bangkit dari kesedihan, dan apa yang bisa dia lakukan untuk memulai perjalanan ini. --- Kepada Jinhai, Setelah pertemuan kita kemarin, aku merasa lebih baik. Mungkin aku sudah mulai melihat harapan. Tapi aku punya banyak pertanyaan dan bingung tentang langkah selanjutnya. Bagaimana kau bisa menemukan kekuatan dalam dirimu? Apa yang kau lakukan untuk merasa lebih baik? Aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu dan harapanmu. Sekali lagi, terima kasih telah membantuku merasa tidak sendirian. Jika kau bersedia, aku ingin kita bertemu lagi di taman. Hormatku, Mei YanSetelah menulis surat itu, Mei Yan berusaha untuk menyelinap keluar rumah tanpa membuat kegaduhan. Dia merasa ada keinginan mendalam untuk mengirimkan surat ini kepada Jinhai. Dengan hati-hati, dia melangkah menuju taman, merasakan angin sepoi-sepoi yang menyapu wajah nya.Saat tiba di taman, dia melihat Jinhai sudah menunggu di bangku kayu yang sama. Hatinya berdebar-debar. Dia merasa senang melihat wajahnya, tetapi juga khawatir tentang reaksi Jinhai terhadap suratnya.“Mei Yan!” Jinhai melambaikan tangan dan berdiri saat melihatnya. Senyum di wajahnya membuat hati Mei Yan bergetar.“Jinhai,” sapanya dengan lembut, mengeluarkan surat yang baru saja ditulisnya. “Ini untukmu.”Jinhai mengambil surat itu dengan antusias. “Kau kembali! Aku senang melihatmu.” Dia membacanya dengan seksama, dan Mei Yan bisa melihat ekspresi di wajahnya berubah, dari penasaran menjadi serius.“Aku sangat menghargai kejujuranmu,” Jinhai akhirnya berkata, menatap Mei Yan dengan penuh perhatian. “Kekuatan yan
"HUKUM SAJA!""BAKAR PUTRI PENGHIANAT!""HABISI PUTRI PENGHIANAT!"Suara kejam itu saling bersahutan menghakimi sosok gadis yang telah siap untuk menerima hukuman nya di atas altar, mata nya menyorot sang ayah dan juga kakak nya yang hanya menatap datar dirinya. Matanya beralih menatap sosok gagah di sebelah sang ayah, sosok itu menatap datar dirinya, bahkan tak ada raut kesedihan ataupun rasa ingin melindungi dirinya yang sebentar lagi akan kehilangan nyawa."Huhuhu tuan putri! Jangan penggal tuan putri!" Mata indah gadis itu beralih pada sosok gadis mungil dan juga wanita tua yang tengah menangis dan berusaha meminta belas kasih semua orang agar melepaskan nya dari hukuman mati ini.Matanya menatap sayu pada kedua pelayan setia nya, ia hanya bisa menitikkan air mata di saat semua orang mengharapkan kematiannya tapi kedua pelayan itu rela mendapat tendangan dan juga pukulan hanya demi dirinya tak di hukum mati."Maaf," lirih nya kemudian kedua mata indah itu tertutup disertai goresan
Saat itu, ia hanya ingat keributan yang terjadi di istana. Banyak hal yang tidak masuk akal—bisikan-bisikan rahasia yang menyebar di balik pintu tertutup, tatapan-tatapan curiga yang dilemparkan kepadanya, dan rasa dingin yang tiba-tiba menyelimuti ruangan tempat ia berdiri. Lalu, semuanya menjadi gelap. Lehernya dijerat, suaranya hilang, dan napasnya terputus. Sebelum ia sadar sepenuhnya, hidupnya telah diambil dari tangannya.Namun, di sinilah ia sekarang, di dalam tubuh yang sama, tetapi di waktu yang berbeda. Tidak ada yang tahu bahwa ia telah kembali, dan mungkin itulah keuntungan yang bisa ia manfaatkan. Mei Yan menyadari bahwa jika ia ingin mengungkap kebenaran dan mencari dalang di balik penderitaannya, ia harus memulai dari lingkaran terdekatnya sendiri. Ia harus berhati-hati, karena musuhnya bisa jadi adalah orang-orang yang dulu pernah dekat dengannya.Saat ia masih larut dalam pemikirannya, suara langkah kaki lembut terdengar mendekat. Pelayan yang tadi ia suruh pergi kini
Mei Yan mengangguk, berusaha menyembunyikan kecemasannya. “Ya, aku dengar banyak tentang dia. Sepertinya dia memiliki banyak penggemar.”Adik perempuan Duke Zhao tersenyum, tidak menyadari ketegangan dalam suara Mei Yan. “Dia adalah sosok yang menarik, tidak diragukan lagi. Tetapi jangan khawatir, Mei Yan. Yang terpenting adalah kita menikmati malam ini.”Mei Yan berusaha tersenyum, tetapi pikirannya terus melayang kepada Tuan Muda Xu. Saat mereka berjalan menyusuri taman, suara pertunjukan tari mulai menggema. Penari-penari berbusana indah muncul di atas panggung, memikat perhatian semua orang. Mei Yan merasa terjebak di antara keindahan pertunjukan dan ketidakpastian yang menggelayuti hatinya.Ketika pertunjukan berlangsung, Mei Yan mencuri pandang ke arah Tuan Muda Xu, yang kini tampak berbincang akrab dengan beberapa pejabat. Senyumnya tampak begitu cerah, dan tawanya menggema di antara kerumunan, membuatnya tampak sangat disukai. Sementara itu, Duke Zhao asyik berbicara dengan be
“Baiklah,” kata Lian akhirnya, suaranya tetap tegas. “Tapi jika ada yang mencurigakan, aku akan langsung menarikmu pergi.”Pria itu mengangguk, dan wajahnya terlihat lebih tenang. “Terima kasih. Aku hanya ingin menjelaskan situasi yang terjadi.”Mei Yan mengambil napas dalam-dalam. “Apa yang ingin kau jelaskan?” tanyanya, berusaha untuk tidak terdengar terlalu tegang.“Aku tahu kau mungkin merasa terancam dengan kehadiranku. Tapi aku tidak bermaksud buruk,” pria itu berkata, suaranya tenang dan dalam. “Aku sudah melihatmu beberapa kali di taman, dan aku tahu kau mengalami masa sulit. Aku… ingin membantumu.”“Bantuan? Dari siapa kau?” tanya Mei Yan skeptis. “Kau tidak mengenalku.”“Memang benar. Aku tidak mengenalmu dengan baik. Tapi aku merasa ada sesuatu yang… berbeda tentangmu. Sesuatu yang membuatku ingin membantu. Namaku Jinhai,” pria itu memperkenalkan diri.“Jinhai…” Mei Yan mengulang namanya pelan, mencoba mencerna informasi baru ini. Dia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya,