Zhao menarik napas dalam-dalam, menekan perasaan yang mulai memuncak di dadanya. Ia tahu bahwa keadaan di luar sana tidaklah mudah, dan meskipun ia terbiasa menghadapi pertempuran, tekanan yang datang dari dalam hati jauh lebih sulit untuk dihadapi. Tidak ada yang bisa menjelaskan kecemasannya saat memikirkan Mey Yan—istrinya yang kini berada di Istana, tempat yang penuh dengan intrik dan permainan kekuasaan yang tak terduga.Dalam hening malam itu, langkah-langkah lembut terdengar dari pintu belakang ruangannya. Zhao berbalik, dan dengan cepat, wajahnya yang penuh pemikiran berubah menjadi serius. Seorang pelayan masuk dengan membawa surat. “Tuan, surat dari Putri Mey Yan,” kata pelayan itu, membungkuk rendah.Zhao meraih surat itu dengan cepat, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka gulungan surat tersebut. Hatinya berdebar saat membaca tulisan tangan Mey Yan, yang meskipun sederhana, terasa penuh dengan ketulusan dan perasaan y
"HUKUM SAJA!""BAKAR PUTRI PENGHIANAT!""HABISI PUTRI PENGHIANAT!"Suara kejam itu saling bersahutan menghakimi sosok gadis yang telah siap untuk menerima hukuman nya di atas altar, mata nya menyorot sang ayah dan juga kakak nya yang hanya menatap datar dirinya. Matanya beralih menatap sosok gagah di sebelah sang ayah, sosok itu menatap datar dirinya, bahkan tak ada raut kesedihan ataupun rasa ingin melindungi dirinya yang sebentar lagi akan kehilangan nyawa."Huhuhu tuan putri! Jangan penggal tuan putri!" Mata indah gadis itu beralih pada sosok gadis mungil dan juga wanita tua yang tengah menangis dan berusaha meminta belas kasih semua orang agar melepaskan nya dari hukuman mati ini.Matanya menatap sayu pada kedua pelayan setia nya, ia hanya bisa menitikkan air mata di saat semua orang mengharapkan kematiannya tapi kedua pelayan itu rela mendapat tendangan dan juga pukulan hanya demi dirinya tak di hukum mati."Maaf," lirih nya kemudian kedua mata indah itu tertutup disertai goresan
Saat itu, ia hanya ingat keributan yang terjadi di istana. Banyak hal yang tidak masuk akal—bisikan-bisikan rahasia yang menyebar di balik pintu tertutup, tatapan-tatapan curiga yang dilemparkan kepadanya, dan rasa dingin yang tiba-tiba menyelimuti ruangan tempat ia berdiri. Lalu, semuanya menjadi gelap. Lehernya dijerat, suaranya hilang, dan napasnya terputus. Sebelum ia sadar sepenuhnya, hidupnya telah diambil dari tangannya.Namun, di sinilah ia sekarang, di dalam tubuh yang sama, tetapi di waktu yang berbeda. Tidak ada yang tahu bahwa ia telah kembali, dan mungkin itulah keuntungan yang bisa ia manfaatkan. Mei Yan menyadari bahwa jika ia ingin mengungkap kebenaran dan mencari dalang di balik penderitaannya, ia harus memulai dari lingkaran terdekatnya sendiri. Ia harus berhati-hati, karena musuhnya bisa jadi adalah orang-orang yang dulu pernah dekat dengannya.Saat ia masih larut dalam pemikirannya, suara langkah kaki lembut terdengar mendekat. Pelayan yang tadi ia suruh pergi kini
Mei Yan mengangguk, berusaha menyembunyikan kecemasannya. “Ya, aku dengar banyak tentang dia. Sepertinya dia memiliki banyak penggemar.”Adik perempuan Duke Zhao tersenyum, tidak menyadari ketegangan dalam suara Mei Yan. “Dia adalah sosok yang menarik, tidak diragukan lagi. Tetapi jangan khawatir, Mei Yan. Yang terpenting adalah kita menikmati malam ini.”Mei Yan berusaha tersenyum, tetapi pikirannya terus melayang kepada Tuan Muda Xu. Saat mereka berjalan menyusuri taman, suara pertunjukan tari mulai menggema. Penari-penari berbusana indah muncul di atas panggung, memikat perhatian semua orang. Mei Yan merasa terjebak di antara keindahan pertunjukan dan ketidakpastian yang menggelayuti hatinya.Ketika pertunjukan berlangsung, Mei Yan mencuri pandang ke arah Tuan Muda Xu, yang kini tampak berbincang akrab dengan beberapa pejabat. Senyumnya tampak begitu cerah, dan tawanya menggema di antara kerumunan, membuatnya tampak sangat disukai. Sementara itu, Duke Zhao asyik berbicara dengan be
“Baiklah,” kata Lian akhirnya, suaranya tetap tegas. “Tapi jika ada yang mencurigakan, aku akan langsung menarikmu pergi.”Pria itu mengangguk, dan wajahnya terlihat lebih tenang. “Terima kasih. Aku hanya ingin menjelaskan situasi yang terjadi.”Mei Yan mengambil napas dalam-dalam. “Apa yang ingin kau jelaskan?” tanyanya, berusaha untuk tidak terdengar terlalu tegang.“Aku tahu kau mungkin merasa terancam dengan kehadiranku. Tapi aku tidak bermaksud buruk,” pria itu berkata, suaranya tenang dan dalam. “Aku sudah melihatmu beberapa kali di taman, dan aku tahu kau mengalami masa sulit. Aku… ingin membantumu.”“Bantuan? Dari siapa kau?” tanya Mei Yan skeptis. “Kau tidak mengenalku.”“Memang benar. Aku tidak mengenalmu dengan baik. Tapi aku merasa ada sesuatu yang… berbeda tentangmu. Sesuatu yang membuatku ingin membantu. Namaku Jinhai,” pria itu memperkenalkan diri.“Jinhai…” Mei Yan mengulang namanya pelan, mencoba mencerna informasi baru ini. Dia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya,
Setelah selesai, Mei Yan melipat surat itu dengan hati-hati dan menyimpannya dalam saku. Dia merasa sedikit lebih lega setelah menulis semua itu. Esok harinya, dia berniat untuk mengantarkan surat tersebut ke taman dan berharap bisa menemui Jinhai lagi.Ketika hari beranjak siang, Mei Yan dan Lian berjalan menuju taman, tempat di mana mereka pertama kali bertemu dengan Jinhai. Mei Yan bisa merasakan ketegangan di udara. “Aku akan menunggu di pinggir jalan. Jika kau merasa tidak nyaman, beritahu aku dan aku akan segera datang,” kata Lian, suaranya tegas tetapi juga penuh kehangatan.Mei Yan mengangguk dan melangkah lebih jauh ke dalam taman. Dia merasakan sinar matahari menerpa wajahnya, tetapi bayangan kekhawatiran masih menghantuinya. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah langkah yang benar.Saat tiba di tempat mereka pertama kali bertemu, Mei Yan melihat Jinhai duduk di bangku kayu, menatap pemandangan taman dengan serius. Hatinya berdebar. Dia mengumpulkan keberanian dan me
Setelah menulis surat itu, Mei Yan berusaha untuk menyelinap keluar rumah tanpa membuat kegaduhan. Dia merasa ada keinginan mendalam untuk mengirimkan surat ini kepada Jinhai. Dengan hati-hati, dia melangkah menuju taman, merasakan angin sepoi-sepoi yang menyapu wajah nya.Saat tiba di taman, dia melihat Jinhai sudah menunggu di bangku kayu yang sama. Hatinya berdebar-debar. Dia merasa senang melihat wajahnya, tetapi juga khawatir tentang reaksi Jinhai terhadap suratnya.“Mei Yan!” Jinhai melambaikan tangan dan berdiri saat melihatnya. Senyum di wajahnya membuat hati Mei Yan bergetar.“Jinhai,” sapanya dengan lembut, mengeluarkan surat yang baru saja ditulisnya. “Ini untukmu.”Jinhai mengambil surat itu dengan antusias. “Kau kembali! Aku senang melihatmu.” Dia membacanya dengan seksama, dan Mei Yan bisa melihat ekspresi di wajahnya berubah, dari penasaran menjadi serius.“Aku sangat menghargai kejujuranmu,” Jinhai akhirnya berkata, menatap Mei Yan dengan penuh perhatian. “Kekuatan yan
Bagi Mey Yan, sebuah kehadiran yang menyelamatkannya dari kesendirian.Suatu sore, Jinhai membawakan Mey Yan sebuah buku dengan sampul yang tampak tua. “Ini mungkin bisa membantumu,” katanya sambil menyerahkan buku itu padanya.Mey Yan membuka buku itu dan melihat bahwa isinya adalah tentang strategi bisnis dan manajemen. “Terima kasih, Jinhai. Ini pasti sangat berguna,” ujarnya dengan tulus.“Jangan hanya berterima kasih. Kau harus berhasil, Mey Yan. Aku yakin kau bisa,” balas Jinhai dengan senyuman penuh semangat.Namun, kedekatan mereka tidak luput dari perhatian Duke Zhao. Suatu malam, ketika Mey Yan baru saja pulang dari pertemuannya dengan Jinhai, dia mendapati Duke Zhao menunggunya di ruang tamu. Tatapan pria itu terlihat lebih tajam daripada biasanya.“Ke mana saja kau?” tanyanya dengan nada yang lebih menuntut daripada biasanya.Mey Yan merasa ada sedikit getaran dalam suaranya, tapi dia mencoba untuk tetap tenang. “Aku bertemu dengan seorang teman. Dia membantuku mempelajari
Zhao menarik napas dalam-dalam, menekan perasaan yang mulai memuncak di dadanya. Ia tahu bahwa keadaan di luar sana tidaklah mudah, dan meskipun ia terbiasa menghadapi pertempuran, tekanan yang datang dari dalam hati jauh lebih sulit untuk dihadapi. Tidak ada yang bisa menjelaskan kecemasannya saat memikirkan Mey Yan—istrinya yang kini berada di Istana, tempat yang penuh dengan intrik dan permainan kekuasaan yang tak terduga.Dalam hening malam itu, langkah-langkah lembut terdengar dari pintu belakang ruangannya. Zhao berbalik, dan dengan cepat, wajahnya yang penuh pemikiran berubah menjadi serius. Seorang pelayan masuk dengan membawa surat. “Tuan, surat dari Putri Mey Yan,” kata pelayan itu, membungkuk rendah.Zhao meraih surat itu dengan cepat, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka gulungan surat tersebut. Hatinya berdebar saat membaca tulisan tangan Mey Yan, yang meskipun sederhana, terasa penuh dengan ketulusan dan perasaan y
Senja di Kediaman JenderalLangit berubah warna menjadi jingga keemasan saat matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Angin musim semi berembus lembut, menggoyangkan kelopak bunga plum yang bermekaran di halaman kediaman Jenderal Zhao. Aroma tanah dan embun bercampur dengan wangi teh hangat yang baru saja dituangkan oleh Lian di meja batu.Mey Yan duduk di bawah paviliun kayu, menatap cangkir teh di tangannya dengan tatapan kosong. Ia masih memikirkan percakapannya dengan Zhao tadi sore."Aku ingin memperbaiki semuanya."Kata-kata itu terus terngiang di benaknya. Ia ingin mempercayai Zhao, tapi terlalu banyak ketidakpastian yang masih mengikat hatinya. Apalagi, bayangan Lady Lin terus menghantui pikirannya.Suara langkah kaki di jalan berbatu menarik perhatiannya. Ia mengangkat kepala dan melihat Zhao berjalan mendekat. Mantel militernya sedikit berkibar tertiup angin, menambah kesan gagah pada sosoknya."Sudah malam, kenapa kau belum masuk?" tanya Zhao dengan suara rendah, matanya
Mey Yan masih menatap Zhao dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia ingin mempercayai kata-katanya, ingin mempercayai bahwa tak ada yang terjadi antara Zhao dan Lady Lin. Namun, bayangan wanita itu yang berdiri di sisi Zhao di perkemahan masih membekas di benaknya."Aku ingin percaya padamu, Zhao," katanya pelan, suaranya hampir bergetar. "Tapi selama ini aku merasa seperti orang luar dalam hidupmu. Aku tidak pernah tahu apa yang kau pikirkan, bagaimana perasaanmu… dan sekarang, tiba-tiba kau mengatakan kau takut kehilangan aku. Bagaimana aku bisa memahami semua ini?"Zhao menatapnya dengan sorot mata yang jarang ia tunjukkan—sesuatu yang dalam, penuh perasaan. "Aku tahu aku telah banyak melakukan kesalahan, Mey Yan. Aku tahu aku telah membuatmu merasa sendirian. Tapi percayalah, bukan karena aku tidak peduli. Justru karena aku peduli, aku tidak tahu harus berbuat apa."Mey Yan tertawa kecil, tapi itu bukan tawa bahagia. "Kalau kau peduli, seharusnya kau tidak membuatku merasa sendiria
Malam semakin larut, tetapi Mey Yan masih belum beranjak dari tempatnya. Udara dingin menyelinap di antara helaian rambutnya, namun pikirannya tetap dipenuhi oleh bayangan Zhao. Kata-kata Nenek Ru masih terngiang di telinganya, membiarkan hatinya bergulat dengan perasaan yang sulit ia kendalikan.Zhao memang bukan pria yang mudah di mengerti. Ia dingin, keras, dan selalu menyimpan pikirannya sendiri. Tetapi, di balik sikapnya yang terlihat tak peduli, ada hal-hal kecil yang selama ini mungkin luput dari perhatiannya—tatapan yang lebih lama dari seharusnya, genggaman yang tidak segera dilepaskan, dan kata-kata yang meskipun sederhana, terasa jujur.Mey Yan menarik napas dalam-dalam, matanya menatap permukaan air di kolam yang bergoyang pelan. Apakah ia benar-benar ingin terus meragukan perasaan Zhao? Atau ini hanya bentuk ketakutannya sendiri?"Nyonya, lebih baik masuk sebelum udara semakin dingin." Suara lembut Nenek Ru membuyarkan lamunannya.Mey Yan menoleh, lalu tersenyum tipis. "A
Mey Yan menghela napas panjang. Malam yang seharusnya memberi ketenangan justru menjadi saksi atas perasaannya yang bergejolak. Kata-kata Zhao terdengar tulus, tapi bayangan Lady Lin masih terukir jelas dalam benaknya. Apakah benar tidak ada yang terjadi di antara mereka? Ataukah ia hanya terlalu takut menerima kenyataan?Zhao menggenggam tangannya lebih erat, seolah tak ingin kehilangan kesempatan untuk meyakinkannya. “Aku tahu sulit bagimu untuk mempercayaiku sekarang, tapi aku ingin kamu melihat hatiku, Nyonya. Aku tidak akan pernah melukai perasaanmu dengan sengaja.”Mey Yan menatapnya, mencari sesuatu dalam sorot mata Zhao—kejujuran, ketulusan, atau mungkin hanya jawaban yang bisa menenangkan pikirannya. Namun, pikirannya tetap dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung menemukan kepastian.“Aku ingin percaya, Tuan,” katanya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh hembusan angin malam. “Tapi hatiku masih takut.”Zhao terdiam, lalu mengangguk pelan. “Aku tidak akan memaksamu untuk memperc
Setelah beberapa hari di ibu kota, Mey Yan mulai merasakan betapa beratnya beban yang harus ia pikul. Setiap langkah yang diambilnya terasa lebih berat dari sebelumnya, seperti ada banyak mata yang mengawasi, menilai, dan mungkin saja menunggunya untuk gagal. Istana yang dulu terasa begitu nyaman kini menjadi penjara bagi hatinya. Rasa cemas yang menggerogoti dirinya terus mengganggu, terutama setelah ia mendapatkan kabar bahwa ada kelompok yang berusaha menggulingkan kekuasaan kerajaan. Hal itu membuat situasi semakin tidak menentu, dan Mey Yan merasa seperti berada di tengah badai yang tak bisa ia hindari.Malam itu, setelah berhari-hari sibuk dengan berbagai urusan kerajaan, Mey Yan memutuskan untuk berjalan di sekitar taman istana. Angin malam yang sejuk berhembus, membawa aroma bunga-bunga yang masih mekar, namun tidak mampu mengusir kegelisahan yang menggelayuti pikirannya. Setiap bayangan di sekitar taman seolah menjadi sesuatu yang asing dan menakutkan. Tiba-tiba, langkahnya t
Zhao masih memeluk Mey Yan dengan erat, seolah ingin menyatukan dua jiwa yang terpisah oleh jarak dan waktu. Mey Yan bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, begitu jelas di telinganya. Ada sesuatu dalam pelukan itu yang membuat hatinya sedikit lebih tenang, namun keraguan yang masih mengendap tak bisa diabaikan begitu saja.“Mey Yan…” suara Zhao terdengar lagi, lebih lembut, namun ada penekanan dalam kata-katanya. “Aku tahu, ini tidak mudah. Aku tahu aku telah membuatmu merasa sepi dan terabaikan, dan itu adalah salahku. Tapi percayalah, tidak ada satu pun hal yang lebih penting bagiku selain dirimu.”Mey Yan menatap ke lantai, matanya mulai buram oleh air mata yang menunggu untuk jatuh. Ia ingin percaya, ia ingin sekali mempercayai kata-kata itu. Tapi hatinya terlalu rapuh untuk itu. Rasa takut yang tiba-tiba datang, keraguan yang begitu dalam, semua itu seakan-akan meruntuhkan segala usaha yang telah dilakukan Zhao untuk meyakinkannya.“Dan Lady Lin, Tuan?” Suaranya hamp
Zhao berdiri di depan Mey Yan, memandangnya dengan tatapan penuh makna. Meski ia mencoba mengendalikan diri, ada perasaan cemas yang terpendam dalam hatinya. Ia tahu betapa berat perasaan Mey Yan saat ini, betapa banyak yang harus ia hadapi dan jelaskan. Namun, kata-kata tak selalu cukup untuk menyembuhkan luka yang ada.Mey Yan menunduk, matanya menyentuh tanah seakan mencoba menghindari tatapan Zhao. Beberapa saat yang lalu, saat pertama kali datang ke kamp, semuanya terasa jauh lebih sederhana. Perasaan yang ia miliki untuk Zhao begitu kuat, bahkan sebelum mereka menikah, tapi kenyataan ini terasa berbeda. Begitu banyak yang mengganggu pikirannya, termasuk kehadiran Lady Lin yang sering datang membawa hadiah dan makanan untuk para prajurit. Hatinya terasa tercabik-cabik, tak tahu apa yang harus ia percayai lagi.Zhao menghela napas panjang, mendekat sedikit, dan meraih tangan Mey Yan yang terkulai di sampingnya. “Aku tahu kau terluka, Mey Yan. Aku juga merasakannya. Tapi kita harus
Mey Yan berdiri di balik pepohonan, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, tapi bukan karena perjalanan panjang yang baru saja ia tempuh. Apa yang dilihatnya kini—Zhao dan Lady Lin berdiri berdekatan, berbincang dalam suasana yang tampak akrab—membuat dadanya terasa sesak.Lady Lin tersenyum lembut, tatapannya tertuju pada Zhao dengan cara yang membuat hati Mey Yan bergejolak. Ia tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi cukup melihat gerak-gerik keduanya untuk merasakan sesuatu yang asing di dalam hatinya.Ragu, Mey Yan menggigit bibir bawahnya. Apakah ia harus maju dan memanggil Zhao? Atau haruskah ia tetap di tempatnya dan menunggu hingga mereka berpisah?Liang Hui yang berdiri di sampingnya tampak gelisah. “Nyonya…” bisiknya pelan, seolah ikut merasakan kebimbangan yang sama.Mey Yan menghela napas panjang. Ia tidak ingin berpikiran buruk, tetapi bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan apa yang ada di depan matanya?Namun, sebelum ia semp