Share

bab 6

Setelah menulis surat itu, Mei Yan berusaha untuk menyelinap keluar rumah tanpa membuat kegaduhan. Dia merasa ada keinginan mendalam untuk mengirimkan surat ini kepada Jinhai. Dengan hati-hati, dia melangkah menuju taman, merasakan angin sepoi-sepoi yang menyapu wajah nya.

Saat tiba di taman, dia melihat Jinhai sudah menunggu di bangku kayu yang sama. Hatinya berdebar-debar. Dia merasa senang melihat wajahnya, tetapi juga khawatir tentang reaksi Jinhai terhadap suratnya.

“Mei Yan!” Jinhai melambaikan tangan dan berdiri saat melihatnya. Senyum di wajahnya membuat hati Mei Yan bergetar.

“Jinhai,” sapanya dengan lembut, mengeluarkan surat yang baru saja ditulisnya. “Ini untukmu.”

Jinhai mengambil surat itu dengan antusias. “Kau kembali! Aku senang melihatmu.” Dia membacanya dengan seksama, dan Mei Yan bisa melihat ekspresi di wajahnya berubah, dari penasaran menjadi serius.

“Aku sangat menghargai kejujuranmu,” Jinhai akhirnya berkata, menatap Mei Yan dengan penuh perhatian. “Kekuatan yang aku miliki tidak datang begitu saja. Aku harus melewati banyak cobaan dan kesedihan. Tetapi aku belajar bahwa kita tidak sendirian.”

“Apa yang kau lakukan untuk merasa lebih baik?” tanya Mei Yan, ingin tahu.

“Setiap hari, aku berusaha mencari hal-hal kecil yang bisa membuatku bahagia. Dari hal sepele, seperti menikmati secangkir teh di pagi hari, hingga berjalan-jalan di taman ini. Dan yang terpenting, aku berusaha untuk berbagi dengan orang lain,” jawab Jinhai, senyum di wajahnya tulus.

Mei Yan terpesona mendengar kata-katanya. “Apakah itu benar-benar berhasil?”

“Ya. Ketika kita mulai membuka diri, kita akan menemukan bahwa ada orang lain yang juga merasakan hal yang sama. Koneksi itu yang akan membuat kita lebih kuat,” Jinhai menjelaskan.

Mei Yan merenungkan kata-kata itu. Dia ingin mencoba. “Bagaimana kalau kita mulai berbagi cerita? Mungkin itu bisa membantu kita berdua.”

“Bagus! Aku suka ide itu. Mulai dari mana?” Jinhai menanyakan.

Mei Yan mengatur napas. “Aku… Aku tidak ingin mengeluh terus-menerus, tetapi aku merasa selalu tertekan di rumah. Keluargaku tidak pernah mengerti apa yang aku alami, dan seringkali aku merasa terasing.”

Jinhai mendengarkan dengan seksama, seolah menyimpan setiap kata yang diucapkan Mei Yan. “Itu sangat berat. Tetapi ingatlah, perasaanmu benar. Tidak ada yang salah dengan merasakan kesedihan. Apa kau pernah mencoba berbicara dengan keluargamu?”

“Tidak pernah. Aku takut mereka tidak akan memahami atau bahkan menganggapku aneh. Aku merasa terjebak di antara keinginan untuk dicintai dan rasa takut ditolak,” Mei Yan menjawab, air mata mulai menggenang di matanya.

“Mei Yan, tidak apa-apa untuk merasa seperti itu. Tapi kamu harus mencoba untuk berbagi perasaanmu. Terkadang, orang-orang terdekat kita tidak tahu betapa kita menderita. Mungkin mereka tidak menyadari,” Jinhai berkata, matanya bersinar dengan harapan.

“Apa yang harus kulakukan?” tanya Mei Yan, merasakan harapan baru.

“Buatlah catatan kecil atau surat, seperti yang kau lakukan untukku. Cobalah ungkapkan perasaanmu tanpa rasa takut. Setiap kata itu akan membawa beban yang lebih ringan,” Jinhai menyarankan.

Mei Yan merasa semangat baru mengalir dalam dirinya. Dia tahu ini bukan solusi instan, tetapi setidaknya, ini adalah langkah menuju perubahan. “Aku akan mencobanya. Terima kasih, Jinhai.”

Mereka melanjutkan percakapan, berbagi cerita dan pengalaman. Waktu berlalu tanpa terasa, dan Mei Yan merasa terhubung dengan Jinhai lebih dari sebelumnya. Rasanya seperti menemukan seseorang yang benar-benar memahami.

Saat mereka berpisah, Mei Yan merasa lebih kuat dari sebelumnya. “Sampai jumpa lagi, Jinhai. Aku akan berusaha,” katanya dengan tegas.

“Semangat, Mei Yan! Aku akan selalu ada untukmu. Ingat, kau tidak sendirian,” Jinhai membalas, senyumnya membakar semangatnya.

Dengan langkah yang mantap, Mei Yan pulang. Dalam hatinya, ada harapan yang baru. Dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi dia siap untuk menghadapi setiap langkah. Karena kini, ada seseorang yang bersedia membantunya, dan dia merasa tidak lagi sendirian di dalam kegelapan.

Setelah pertemuannya dengan Jinhai, Mei Yan merasa bahwa hidupnya mulai menemukan arah yang baru. Jinhai memberikannya semangat yang tak pernah dia rasakan sebelumnya, seperti dorongan untuk melangkah keluar dari bayang-bayang dan memulai kembali. Ketika Mei Yan kembali ke rumah, suasana masih terasa sama—sunyi, dingin, dan penuh dengan jarak antara dirinya dan Duke Zhao. Namun, kali ini, ada secercah cahaya dalam hatinya yang membuatnya ingin berjuang lebih keras.

Hari demi hari berlalu, Mei Yan mulai mengubah rutinitasnya. Dia mengisi waktunya dengan hal-hal yang berguna, termasuk mempelajari tentang bisnis keluarga Zhao dan mengurus beberapa dokumen yang selama ini dia abaikan. Dia ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak hanya sekadar istri yang tinggal di rumah, tetapi juga seseorang yang mampu berkontribusi pada keluarga ini.

Suatu hari, saat Duke Zhao pulang lebih awal dari biasanya, dia menemukan Mei Yan sedang duduk di ruang kerja, membaca beberapa dokumen penting. Duke Zhao mengerutkan dahi, merasa terkejut melihat istrinya yang biasanya lebih banyak menghabiskan waktu di dapur atau kamar.

“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya dingin, suaranya penuh dengan nada curiga.

Mei Yan menatap suaminya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Aku sedang mempelajari tentang perusahaan. Aku ingin tahu lebih banyak tentang bisnis keluarga ini dan bagaimana aku bisa membantu,” jawabnya dengan tenang.

Duke Zhao mendekat dan mengambil salah satu dokumen dari meja, memeriksa isinya. “Kau tidak perlu terlibat dalam hal-hal seperti ini. Ini bukan tugasmu,” katanya dengan nada datar.

Mei Yan terdiam sejenak. Dia bisa merasakan dinginnya sikap suaminya, tetapi kali ini, dia menolak untuk mundur. “Aku tahu ini bukan tugasku, tapi aku ingin melakukan sesuatu yang lebih. Aku ingin menjadi istri yang pantas untukmu dan seseorang yang bisa kau andalkan, bukan hanya seseorang yang berada di sini tanpa tujuan.”

Duke Zhao menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Lakukan sesukamu,” katanya akhirnya, lalu berbalik dan meninggalkan ruang kerja tanpa berkata lebih.

Meski jawabannya tidak mengandung dukungan yang diharapkan, Mei Yan merasa bahwa setidaknya dia telah mengutarakan niatnya. Itu adalah langkah kecil, tetapi berarti baginya. Sejak saat itu, dia semakin giat mempelajari berbagai hal tentang perusahaan, menghabiskan malam-malamnya membaca laporan dan mempersiapkan berbagai hal yang mungkin diperlukan Duke zhao. Dia tahu mungkin tidak akan langsung terlihat hasilnya, tetapi dia bertekad untuk berusaha.

Sementara itu, pertemuannya dengan Jinhai terus berlangsung secara berkala. Mereka bertemu di tempat yang berbeda-beda, kadang di kafe kecil di dekat taman, atau di perpustakaan kota. Jinhai selalu ada untuk mendengarkan, memberikan saran, dan bahkan kadang-kadang membantu nya memahami beberapa dokumen yang sulit. Kehadiran nya menjadi pelipur lara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status