"HUKUM SAJA!"
"BAKAR PUTRI PENGHIANAT!" "HABISI PUTRI PENGHIANAT!" Suara kejam itu saling bersahutan menghakimi sosok gadis yang telah siap untuk menerima hukuman nya di atas altar, mata nya menyorot sang ayah dan juga kakak nya yang hanya menatap datar dirinya. Matanya beralih menatap sosok gagah di sebelah sang ayah, sosok itu menatap datar dirinya, bahkan tak ada raut kesedihan ataupun rasa ingin melindungi dirinya yang sebentar lagi akan kehilangan nyawa. "Huhuhu tuan putri! Jangan penggal tuan putri!" Mata indah gadis itu beralih pada sosok gadis mungil dan juga wanita tua yang tengah menangis dan berusaha meminta belas kasih semua orang agar melepaskan nya dari hukuman mati ini. Matanya menatap sayu pada kedua pelayan setia nya, ia hanya bisa menitikkan air mata di saat semua orang mengharapkan kematiannya tapi kedua pelayan itu rela mendapat tendangan dan juga pukulan hanya demi dirinya tak di hukum mati. "Maaf," lirih nya kemudian kedua mata indah itu tertutup disertai goresan di lehernya. Suara gemuruh petir disertai hujan lebat membasahi seluruh tanah yang ada di sana, suara lolongan serigala terdengar pilu menyertai kepergian sosok gadis cantik yang tak lain adalah Mey Yan. ..... “Ces… Duches…” Sayup-sayup terdengar suara memanggilnya, samar seperti hembusan angin yang menyusup melalui celah-celah jendela. Perlahan, kelopak matanya mulai terbuka, cahaya lembut memenuhi pandangannya yang kabur. Di atasnya, langit-langit ruangan yang tinggi dihiasi ukiran rumit yang tampak mewah dan elegan. Ia tahu tempat ini—ruangan ini tidak asing. Namun, ada sesuatu yang berbeda, seolah-olah ia telah lama meninggalkannya dan kini kembali dengan perasaan yang tidak sepenuhnya nyata. Dengan hati-hati, ia mengangkat tubuhnya dari ranjang besar yang dihiasi tirai sutra merah tua. Jubah putih panjang yang ia kenakan menyentuh lantai dingin, dan rambut hitamnya yang terurai jatuh melewati bahu, terasa berat dan acak. Pandangannya mengelilingi ruangan: meja kecil dari kayu mahoni di dekat jendela, sebuah guci besar dengan lukisan bunga peony, dan pintu yang sedikit terbuka menampakkan taman kecil di luar. Ruangan ini… begitu akrab, tetapi kenangan tentangnya seperti dilapisi kabut tebal yang sulit ditembus. “Duchess Mei Yan, Anda sudah bangun.” Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas. Seorang pelayan muda dengan wajah manis muncul dari balik tirai, mengenakan pakaian biru langit yang kontras dengan kain merah yang menggantung di sekitarnya. Ia membawa nampan berisi semangkuk bubur panas yang masih mengepul dan secangkir teh ginseng. “Saya telah menyiapkan sarapan. Apakah Anda ingin menyantapnya sekarang?” Mei Yan menatap gadis itu dengan bingung sejenak. Matanya berusaha menangkap detail dari wajah pelayan itu, namun pikirannya masih samar, seperti seseorang yang baru saja terbangun dari mimpi panjang. “Di mana aku…?” Ia akhirnya bertanya, suaranya serak. “Apakah ini… surga?” Gadis itu mengernyit bingung, kemudian menunduk hormat, "Duches...apa yang terjadi? Apakah Duches merasa ada yang sakit?" Tanya gadis itu penuh kebingungan. "Ah... Maaf, seperti nya aku sedikit kelelahan. Taruh saja sarapan nya di sana, kau boleh keluar sekarang," suruh nya dengan lembut, bahkan pelayan itu saja sampai melongo mendengar nada lembut yang keluar dari bibir sang nyonya, suara lembut yang hanya akan keluar jika berbicara dengan sang Duke. "Maaf nyonya, apakah budak ini melakukan kesalahan... Budak rendah ini siap menerima hukuman." Mey Yan panik saat sang gadis pelayan sujud dan membenturkan kepalanya ke lantai, ia dengan segera membantu pelayan muda itu untuk bangun dan berdiri di depannya. "Apakah aku terlihat menyeramkan?" Tanya Mey Yan yang di balas gelengan cepat oleh gadis pelayan itu. "Nyonya, apakah lili boleh memanggil tabib?" Tanya gadis pelayan dengan nada takut pada sang nyonya. "Kau sakit? Tentu saja boleh jika kau sakit," ujar Mey Yan cepat, ia tak mau gadis pelayan ini celaka karena nya dan ia sangat ingat jelas, gadis pelayan ini bahkan rela ukit mendapatkan hukuman demi meringankan hukuman sang nyonya tapi ternyata pengorbanan nya tak mendapatkan apa-apa, ia juga harus ikut mati bersama sang nyonya. “Aku bersalah padamu. Pergilah, obati luka di dahimu. Kembali ke sini jika aku memanggilmu,” perintahnya tegas, namun ada kelembutan yang tersirat dalam nadanya. Sang pelayan mengangguk patuh, meskipun ekspresi wajahnya masih menyiratkan kekhawatiran. Tanpa membantah, ia berbalik dan keluar dari kamar dengan langkah pelan. Begitu keheningan menguasai ruangan, Mei Yan kembali menghempaskan tubuhnya ke atas kasur empuk. Ia menarik napas dalam-dalam, berharap udara yang ia hirup dapat menghalau bayang-bayang kelam yang menghantui benaknya. Kenangan itu—hari kematiannya—datang begitu jelas, bagai mimpi buruk yang terus berulang dan menolak pudar. Rasa ngilu yang masih terasa di lehernya seakan menjadi pengingat abadi akan akhir yang tak seharusnya ia alami. Ia mengulurkan tangan, menyentuh tengkuknya yang dingin. Sekilas, ia dapat merasakan lagi tekanan menyakitkan itu, seolah-olah tali yang menjerat lehernya masih ada, menariknya kembali ke saat-saat terakhir yang penuh dengan kepedihan dan ketidakberdayaan. Namun kini, ia tidak lagi terjerat oleh takdir yang sama. Ia telah kembali—entah bagaimana caranya—dengan sebuah kesempatan kedua untuk merubah nasibnya dan mencari kebenaran yang tersembunyi di balik penderitaan itu. “Aku tidak akan menyerah,” bisiknya pada dirinya sendiri, seperti janji yang diikrarkan dengan segenap jiwa. “Aku akan mengungkap siapa yang telah menghancurkan hidupku… dan kali ini, aku tidak akan menjadi korban.” Mei Yan bangkit dari ranjangnya dan berjalan mendekati jendela. Ia mendorong tirai dengan lembut, membiarkan sinar matahari pagi menerobos masuk dan menerangi wajahnya yang pucat. Taman di luar tampak damai, bunga-bunga bermekaran dan angin berhembus pelan, membawa harum krisan yang menenangkan. Namun, kedamaian itu terasa palsu baginya, seperti topeng indah yang menutupi luka yang dalam. Tatapannya terhenti pada permukaan kolam kecil yang memantulkan bayangan langit biru dan pepohonan. Di sana, ia melihat pantulan wajahnya sendiri. Tampak seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang berbeda pada sorot matanya—lebih tajam, penuh tekad, dan sedikit keruh oleh rasa sakit yang belum sirna. Seperti bayangan yang bukan sepenuhnya miliknya, wajah itu berbicara tentang hal-hal yang belum selesai dan dendam yang belum terbalaskan. Pikirannya kembali melayang ke hari-hari terakhir sebelum kematiannya. Ia adalah putri dari keluarga bangsawan yang dihormati ah tidak, lebih tepatnya putri dari raja negri ini, memiliki segala kemewahan yang diidamkan banyak orang. Namun, di balik tembok istana yang megah, ia hidup dalam intrik yang penuh dengan tipu daya. Saudara-saudaranya, rekan-rekan keluarganya, bahkan beberapa pelayan istana, semuanya memiliki wajah yang tak sepenuhnya dapat dipercaya. Ia selalu tahu ada sesuatu yang salah, tetapi tidak pernah menyangka bahwa pengkhianatan itu akan datang begitu dekat, begitu cepat, hingga ia tidak memiliki waktu untuk menyadari kebenaran.Saat itu, ia hanya ingat keributan yang terjadi di istana. Banyak hal yang tidak masuk akal—bisikan-bisikan rahasia yang menyebar di balik pintu tertutup, tatapan-tatapan curiga yang dilemparkan kepadanya, dan rasa dingin yang tiba-tiba menyelimuti ruangan tempat ia berdiri. Lalu, semuanya menjadi gelap. Lehernya dijerat, suaranya hilang, dan napasnya terputus. Sebelum ia sadar sepenuhnya, hidupnya telah diambil dari tangannya.Namun, di sinilah ia sekarang, di dalam tubuh yang sama, tetapi di waktu yang berbeda. Tidak ada yang tahu bahwa ia telah kembali, dan mungkin itulah keuntungan yang bisa ia manfaatkan. Mei Yan menyadari bahwa jika ia ingin mengungkap kebenaran dan mencari dalang di balik penderitaannya, ia harus memulai dari lingkaran terdekatnya sendiri. Ia harus berhati-hati, karena musuhnya bisa jadi adalah orang-orang yang dulu pernah dekat dengannya.Saat ia masih larut dalam pemikirannya, suara langkah kaki lembut terdengar mendekat. Pelayan yang tadi ia suruh pergi kini
Mei Yan mengangguk, berusaha menyembunyikan kecemasannya. “Ya, aku dengar banyak tentang dia. Sepertinya dia memiliki banyak penggemar.”Adik perempuan Duke Zhao tersenyum, tidak menyadari ketegangan dalam suara Mei Yan. “Dia adalah sosok yang menarik, tidak diragukan lagi. Tetapi jangan khawatir, Mei Yan. Yang terpenting adalah kita menikmati malam ini.”Mei Yan berusaha tersenyum, tetapi pikirannya terus melayang kepada Tuan Muda Xu. Saat mereka berjalan menyusuri taman, suara pertunjukan tari mulai menggema. Penari-penari berbusana indah muncul di atas panggung, memikat perhatian semua orang. Mei Yan merasa terjebak di antara keindahan pertunjukan dan ketidakpastian yang menggelayuti hatinya.Ketika pertunjukan berlangsung, Mei Yan mencuri pandang ke arah Tuan Muda Xu, yang kini tampak berbincang akrab dengan beberapa pejabat. Senyumnya tampak begitu cerah, dan tawanya menggema di antara kerumunan, membuatnya tampak sangat disukai. Sementara itu, Duke Zhao asyik berbicara dengan be
“Baiklah,” kata Lian akhirnya, suaranya tetap tegas. “Tapi jika ada yang mencurigakan, aku akan langsung menarikmu pergi.”Pria itu mengangguk, dan wajahnya terlihat lebih tenang. “Terima kasih. Aku hanya ingin menjelaskan situasi yang terjadi.”Mei Yan mengambil napas dalam-dalam. “Apa yang ingin kau jelaskan?” tanyanya, berusaha untuk tidak terdengar terlalu tegang.“Aku tahu kau mungkin merasa terancam dengan kehadiranku. Tapi aku tidak bermaksud buruk,” pria itu berkata, suaranya tenang dan dalam. “Aku sudah melihatmu beberapa kali di taman, dan aku tahu kau mengalami masa sulit. Aku… ingin membantumu.”“Bantuan? Dari siapa kau?” tanya Mei Yan skeptis. “Kau tidak mengenalku.”“Memang benar. Aku tidak mengenalmu dengan baik. Tapi aku merasa ada sesuatu yang… berbeda tentangmu. Sesuatu yang membuatku ingin membantu. Namaku Jinhai,” pria itu memperkenalkan diri.“Jinhai…” Mei Yan mengulang namanya pelan, mencoba mencerna informasi baru ini. Dia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya,
Setelah selesai, Mei Yan melipat surat itu dengan hati-hati dan menyimpannya dalam saku. Dia merasa sedikit lebih lega setelah menulis semua itu. Esok harinya, dia berniat untuk mengantarkan surat tersebut ke taman dan berharap bisa menemui Jinhai lagi.Ketika hari beranjak siang, Mei Yan dan Lian berjalan menuju taman, tempat di mana mereka pertama kali bertemu dengan Jinhai. Mei Yan bisa merasakan ketegangan di udara. “Aku akan menunggu di pinggir jalan. Jika kau merasa tidak nyaman, beritahu aku dan aku akan segera datang,” kata Lian, suaranya tegas tetapi juga penuh kehangatan.Mei Yan mengangguk dan melangkah lebih jauh ke dalam taman. Dia merasakan sinar matahari menerpa wajahnya, tetapi bayangan kekhawatiran masih menghantuinya. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah langkah yang benar.Saat tiba di tempat mereka pertama kali bertemu, Mei Yan melihat Jinhai duduk di bangku kayu, menatap pemandangan taman dengan serius. Hatinya berdebar. Dia mengumpulkan keberanian dan me
Setelah menulis surat itu, Mei Yan berusaha untuk menyelinap keluar rumah tanpa membuat kegaduhan. Dia merasa ada keinginan mendalam untuk mengirimkan surat ini kepada Jinhai. Dengan hati-hati, dia melangkah menuju taman, merasakan angin sepoi-sepoi yang menyapu wajah nya.Saat tiba di taman, dia melihat Jinhai sudah menunggu di bangku kayu yang sama. Hatinya berdebar-debar. Dia merasa senang melihat wajahnya, tetapi juga khawatir tentang reaksi Jinhai terhadap suratnya.“Mei Yan!” Jinhai melambaikan tangan dan berdiri saat melihatnya. Senyum di wajahnya membuat hati Mei Yan bergetar.“Jinhai,” sapanya dengan lembut, mengeluarkan surat yang baru saja ditulisnya. “Ini untukmu.”Jinhai mengambil surat itu dengan antusias. “Kau kembali! Aku senang melihatmu.” Dia membacanya dengan seksama, dan Mei Yan bisa melihat ekspresi di wajahnya berubah, dari penasaran menjadi serius.“Aku sangat menghargai kejujuranmu,” Jinhai akhirnya berkata, menatap Mei Yan dengan penuh perhatian. “Kekuatan yan