"Fatin kan, anak baek budi. Pasti mau minta maaf. Bunda kan, sering bilang. Kalau kita salah, kita harus berani minta maaf."
"Tapi … Farel duluan Bun. Dia ambil kotak mainan Fatin. Fatin gak boleh main, Fatin kesel, jadi Fatin timpuk," katanya sambil menangis.
"Tante Ira, dorong Fatin Bun huhuhuhu." Dadaku bergemuruh mendengarnya.
Aku mendekapnya erat, kuelus lembut rambutnya yang sudah panjang. Bunda tau Nak, bagaimana rasanya. Mataku berkaca-kaca, cepat kuhapus buliran itu, jangan sampai terjatuh di depan si Nini pelet. Aku sudah bersumpah dengan diriku sendiri. Tak akan mengeluarkan air mata di depannya maupun mas Pur.
Aku tak ingin terlihat lemah, di hadapan mereka. Cukup mereka me
Sampai juga taksi yang kami naiki dihalaman rumah mbak Asih. Udah gak sabar ketemu Mbakku itu. Kami cuma dua bersaudara, sejak kecil selalu kompak. Beberapa waktu tak melihatnya secara langsung, membuat rasa rindu membuncah di dalam dada. Apalagi Ibuk, jelas rindunya sudah sampai di ubun-ubun.Aku menggendong Tama, yang tertidur pulas, Ibu yang membawa tas kami berdua. Kami tak membawa banyak baju, hanya baju buat jalan-jalan saja. Ibu sudah mengagendakan, kami akan pergi ke beberapa tempat rekreasi. Kalau baju rumah, nanti bisa pakai punya mbak Asih saja.TOK TOK TOKIbu mengetuk pintu rumah mbak Asih, belum ada jawaban. Ibu mengetuk lagi, tak lama terdengar suara kunci pintu yang di putar. Pintu terbuka, tapi bukan mbak Asih yang kami lihat.
"Terus kenapa sekarang perempuan itu bisa ada di rumah Mbak?" tanyaku."Sesudah Bapak mertua meninggal, Mas Pur baru berani membawanya. Mbak pun taunya setelah perempuan itu datang.""Tega sekali Mas Pur," gumamku, tak menyangka Abang ipar panutanku ternyata perangainya jauh lebih buruk dari mas Bayu. Karena dia melakukan semua dalam keadaan sadar."Kenapa, Mbak tak cerita ke Nawang?""Sebenarnya waktu Mbak chat kamu beberapa waktu lalu, Mbak mau cerita. Tapi takut kamu ngomong sama Ibuk. Tau sendiri, Ibuk gak bisa dengar berita mengejutkan seperti ini. Mbak takut, sakit jantung Ibuk kumat."Ternyata pikiranku sama Mbak Asih sama. Ka
Air mata Ibu terus saja mengalir, beliau terisak hingga tersengal, "Íbuu, sudah jangan begini. Nawang! Panggil dokter!""Eyang huhuhu." Fatin menangis melihat keadaan Ibu.Nawang sigap keluar ruangan memanggil dokter."Ibuk, jangan begini. Asih baik-baik aja." Aku terus berusaha membuat Ibu tenang. Nafas Ibu masih saja tersengal-sengal."Biar saya periksa," kata Dokter, yang baru saja datang. Aku segera menyingkir ke belakang."Mbak." Nawang memegang tanganku. Kami berusaha saling menguatkan, berharap Ibu baik-baik saja."Ibu Anda, sepertinya mengalami syok berat. Tap
"Pak, kita ke counter hape dulu ya," kataku ke driver ojol."Baik Buk."Sepanjang jalan, pikiranku terus berkecamuk. Aku sangat takut terjadi apa-apa dengan Ibu. Akan kubuat perhitungan sama Ira, kalau sampai kondisi Ibu tak semakin parah. Aku selama ini selalu berusaha menahan rasa perih hatiku demi Ibu. Tapi sekarang Ibu sudah tau semua. Tak perlu lagi aku menahannya. Tunggu saja Ira, akan kubuat perhitungan!Mobil yang kunaiki berhenti di depan sebuah counter hape. "Pak, sebentar ya," kataku sebelum turun dari mobil."Iya, Mbak."Di zaman serba modern seperti sekarang ini, kebutuhan akan barang yang satu itu sama saja dengan kebutuhan p
"Mbak, justru dampaknya tak baik buat Tama, bila aku terus bersama mas Bayu. Bayang-bayang kekerasan yang dilakukan mas Bayu, tak mau hilang dari ingatanku. Aku takut dia mengulanginya lagi." Aku merasa keputusan yang kuambil sudah tepat. Aku takut mental Tama terganggu. Aku pun tak mau, terus menerus dibayangi dengan ketakutan bila terus bersama Mas Bayu."Coba dipikir lagi Dek. Kasih kesempatan sekali lagi buat Bayu. Siapa tau, dia berubah setelah direhab." Mbak Asih berusaha meyakinkanku untuk tak berpisah dari mas Bayu."Menurut Nawang belum tentu juga Mbak. Banyak sekali Nawang kasih kesempatan buat Mas Bayu. Tapi nyatanya … Mas Bayu selalu ingkar. Dia terus saja berbuat hal yang sama. Cemburu buta, marah-marah tak jelas, main tangan sesuka hatinya," beberku dengan dada bergemuruh. Aku fikir, bercerita dengan Mbak Asih bi
"Kok malah makin kenceng nangisnya." Bapak mulai bingung. Apalagi aku dan mbak Asih juga ikut menangis."Loh … kok, malah nangis semua. Ada masalah apa? Tadi pagi, Ibuk baik-baik saja. Sebelum pergi, Ibuk juga check up dulu kan? Tapi kenapa Ibuk bisa anfal?" tanya Bapak, mulai curiga. Kami hanya diam."Tadi Eyang putri berantem sama Tante Ira, Yang," celetuk Fatin."Ira?" Bapak memandangi kami satu persatu. Tapi kami masih diam.Bapak mendatangi Fatin, yang duduk bersama Tama. Sukurlah Tama baik budi sekali. Bapak duduk di hadapan Fatin, beliau memangku Tama."Tante Ira itu, siapa?" tanya Bapak ke Fatin.&n
POV Asih"Andainya kita bisa kembali ke masa kecil kita, pasti menyenangkan ya Mbak," kata Nawang dengan pandangan menerawang, senyum tipis terulas di bibirnya. Kepalanya dia sandarkan di dinding dengan kaki kanan menopang kaki kirinya yang berselonjor."Tapi gak mungkin, waktu bisa diputar lagi. Sekarang tugas kita, bagaimana supaya masa depan kita, bisa semanis masa kecil kita dulu," sahutku. Nawang memandang ke arahku, yang coba membayangkan tentang bahagianya masa depanku kelak."Emang bisa, Mbak?" tanyanya."Mudah-mudahan bisa. Kita pasti tetap bisa bahagia bersama anak-anak kita," jawabku menoleh ke arahnya. Padahal hatiku sendiri masih diselimuti keraguan.
Ibu ternyata menelepon Kak Lasmi. Kakak tertua Mas Pur yang juga sahabat Ibu sejak lama. Sebab itu Ibu menjodohkan aku dan Mas Pur. Atas rekomendasi Kak Lasmi.[Saya gak tau soal itu Jeng] sahut kak Lasmi."Gak mungkin kamu gak tau! Seharusnya kamu tegas sama adikmu itu! Bukannya membiarkan anakku dizolimi sama dia! Dimana pikiran kalian! Bisa-bisanya anakku dijadikan pembantu, kalian diam saja! Kami akan melaporkan adikmu ke polisi!" Klik, Ibu langsung mematikan gawainya."Ibuk menelepon Kak Lasmi?" tanyaku, ketika Ibu menyerahkan gawainya untuk kusimpan lagi."Iya, kalau saja Ibu sehat. Sudah Ibu datangi dia, gak ikhlas Ibu. Kamu diperlakukan begini!" Ibu masih sangat marah.