POV Asih
"Andainya kita bisa kembali ke masa kecil kita, pasti menyenangkan ya Mbak," kata Nawang dengan pandangan menerawang, senyum tipis terulas di bibirnya. Kepalanya dia sandarkan di dinding dengan kaki kanan menopang kaki kirinya yang berselonjor.
"Tapi gak mungkin, waktu bisa diputar lagi. Sekarang tugas kita, bagaimana supaya masa depan kita, bisa semanis masa kecil kita dulu," sahutku. Nawang memandang ke arahku, yang coba membayangkan tentang bahagianya masa depanku kelak.
"Emang bisa, Mbak?" tanyanya.
"Mudah-mudahan bisa. Kita pasti tetap bisa bahagia bersama anak-anak kita," jawabku menoleh ke arahnya. Padahal hatiku sendiri masih diselimuti keraguan.
Ibu ternyata menelepon Kak Lasmi. Kakak tertua Mas Pur yang juga sahabat Ibu sejak lama. Sebab itu Ibu menjodohkan aku dan Mas Pur. Atas rekomendasi Kak Lasmi.[Saya gak tau soal itu Jeng] sahut kak Lasmi."Gak mungkin kamu gak tau! Seharusnya kamu tegas sama adikmu itu! Bukannya membiarkan anakku dizolimi sama dia! Dimana pikiran kalian! Bisa-bisanya anakku dijadikan pembantu, kalian diam saja! Kami akan melaporkan adikmu ke polisi!" Klik, Ibu langsung mematikan gawainya."Ibuk menelepon Kak Lasmi?" tanyaku, ketika Ibu menyerahkan gawainya untuk kusimpan lagi."Iya, kalau saja Ibu sehat. Sudah Ibu datangi dia, gak ikhlas Ibu. Kamu diperlakukan begini!" Ibu masih sangat marah.
Kami hanya berjalan kaki saja ke rumah pak Rt, rumahnya tak jauh dari rumahku. Di tengah perjalanan, gawaiku bergetar terdengar ringtone alunan sholawat pertanda ada panggilan masuk dari aplikasi bergambar telepon berwarna hijau.Ku keluarkan gawaiku dari dalam tas sandang berwarna hitam yang ku sampirkan di bahuku. Ternyata panggilan dari Nawang."Iya, Dek," sapaku begitu kuterima panggilan dari Nawang.[Kata Dokter, kalau keadaan Ibu stabil seperti hari ini. Sudah boleh pulang dua hari lagi, Mbak] sahut Nawang."Nanti Mbak bilang Bapak. Fatin gak rewel kan?" tanyaku. Bapak mengambil alih koper yang kubawa, karena agak kesulitan juga menelepon sambil bawa koper yang lumayan besar.
Sebelum kami masuk ke Rumah Sakit tempat Ibuk dirawat. Bapak terlebih dahulu mengajakku booking penginapan yang tak jauh dari Rumah Sakit. Bapak merasa, anak-anak tak baik kalau terlalu lama di Rumah Sakit. Setelahnya kami baru ke tempat Ibuk dirawat.Fatin sangat senang melihatku, yang baru datang. "Bunda kok lama banget?" tanyanya."Bunda ngambil baju kita kerumah," jawabku."Tapi, kita mau nginap di rumah Eyang," lanjutku sembari kuangkat dia ke dalam gendonganku."Beneran?" Dia bertanya lagi, seolah tak percaya. Wajar saja, kami sudah sangat lama tak berkunjung ke rumah orangtuaku."Iyya … suer," kataku dengan menunjukkan dua jariku.&
Aku menghela nafas panjang mendengarnya. Apa yang dialami mbak Asih memang sangat menyakitkan. Setiap hari harus menyaksikan kemesraan suaminya dengan wanita lain. Juga diperlakukan layaknya babu. Apalagi yang harus dipertahankan dari lelaki seperti itu. Mas Pur menyiksa bathin mbak Asih, habis-habisan.Memikirkan hancurnya rumah tangga mbak Asih, membuatku teringat akan diriku sendiri. Pikiranku menerawang. Bayangan mas Bayu yang selalu melakukan kekerasan fisik padaku, berkelebat di ingatanku. Ngeri mengingatnya, tapi tak mau hilang dari memoriku."Dek." Suara mbak Asih membuyarkan lamunanku."Kamu gak mau mikir ulang lagi?" tanyanya."Apanya?" Dahiku mengernyit, tak mengerti maksud pertanyaan mbak Asi
TOK TOK TOKSuara pintu diketuk. Kubuka pintu perlahan, ternyata Bapak."Ini, Bapak belikan sarapan. Buat Fatin dan Tama juga," kata Bapak ketika masuk ke kamar."Makasih Pak. Ibuk sama siapa Pak?" tanyaku. Aku menerima bungkusan yang disodorkan Bapak."Sendiri, Bapak juga mau balik kesana. Cuma beli sarapan tadi. Mbakmu mana?" tanya Bapak, celingukan mencari keberadaan mbak Asih."Lagi mandi, sekalian mandiin Fatin," jawabku."Kamu jadi, mau urus surat pindah sekolah Fatin?" tanya Bapak, begitu melihat mbak Asih yang baru keluar dari kamar mandi.
Kukepalkan buku-buku tanganku, menahan diri. Jangan sampai amarahku meledak di sini. Malu juga kalau dilihat guru-guru di sekolah Fatin."Gak usah diladeni Mbak. Orang sinting itu," bisik Nawang."Iya, Mbak juga males ribut sama dia," bisikku pula."Kok lama mobilnya datang Mbak?" tanya Nawang. Kepalanya dilongokkan ke.arah jalanan, melihat mobil ojol yang kami order."Emang kamu udah order?""Belom. Kirain Mbak yang order.""Lah, Mbak belum order juga," sahutku, geli sendiri kalau ingat Nawang dari tadi celingak celinguk nungguin taksi online datang. Kuambil gawaiku dari da
"Mbak mau fokus dulu sama perceraian Mbak sama Mas Pur. Baru urusan rumah. Kemungkinan Mbak mau jual rumah itu. Pasti akan sedikit makan waktu. Tentunya Mas Pur sama Ira, juga akan berusaha mempertahankan rumah itu.""Nanti Mbak ceritakan sama Bapak, siapa tau Bapak bisa bantu. Bapak itu, kelihatannya aja diem. Tapi actionnya mantap." Aku tersenyum melihat mimik wajah Nawang yang memuji Bapak. Layaknya seorang anak kecil yang membanggakan orang tuanya."Kalau kamu lihat semalam, waktu Bapak ngomong sama Ira. Pasti kamu merasa Bapak kita paling keren. Cool banget cara Bapak membungkam mulut Ira. Tadinya dia sok mau melawan Bapak. Satu kalimat aja keluar dari mulut Bapak dia langsung bungkam.""Pasti seru, terus Mas Pur gimana Mbak?" 
"Yuk, mari ikut ke ruangan saya." Dia mengajakku ke ruangannya. Kuikuti langkahnya dari belakang.Kami melewati beberapa ruangan, sampai juga kami di ruangan yang dia maksudkan."Silahkan duduk Bu," ucapnya dengan sopan."Bisa saya minta berkasnya," katanya lagi."Eh, ini Pak." Kuserahkan map berisi berkas untuk gugatan ceraiku.Dia membaca isi berkasku, sesekali kepalanya mengangguk. Aku memperhatikan sekitar ruangan, tampaknya ruangan ini bukan ruangan pribadinya. Ada beberapa orang yang sepertinya berprofesi yang sama dengannya, tampak mondar mandir keluar masuk ruangan.
Naldi dan Asih terperangah melihat kehadiran Rika yang datang berdua dengan Pur ke rumah mereka. Sempat terlintas pikiran buruk di benak mereka. Apalagi mendengar Pur dan Rika mengutarakan niat mereka untuk menikah. "Bagaimana kalian bisa saling kenal? Tau-tau kalian ingin menikah?" selidik Naldi. "Tak perlu kami ceritakan bagaimana prosesnya. Yang jelas, keinginan kami sungguh-sungguh untuk menikah," jawab Pur. Dia merasa tak perlu berbagi cerita tentang niat terselubung mereka pada awalnya. Yang terpenting sekarang, dia dan Rika sungguh-sungguh ingin menjalin cinta mereka sendiri. Tanpa mengusik jalinan cinta orang lain lagi. "Tapi Rika masih kuliah, pasti Ayah tak akan mengizinkannya menikah semuda ini. Apalagi dengan orang yang usianya jauh lebih tua." "Aku tetap mengizinkan Rika menyambung kuliahnya. Tapi dia harus balik lagi ke Kalimantan. Soal usia, aku rasa tak masalah. Asal Rika nyaman." Naldi memandangi wajah adiknya. Naldi melihat harapan besar akan restunya buat Rika,
Hari-hari terus berlalu, hubungan Rika dan Asih semakin akrab. Rika juga tetap menjalankan aktifitasnya bersama Pur. Menghabiskan sore hari dengan bermandi peluh, menikmati kenikmatan sesaat. Sebelum tujuannya tercapai, Rika tak akan berhenti. "Huh, kamu gagal!" Rika langsung memukul Pur, saat baru saja Pur membuka pintu kamarnya di hotel.Pur bingung, melihat tingkah Rika kali ini. Biasanya Rika datang langsung mendorongnya ke atas tempat tidur. Rika bertindak lebih agresif memang. Dia yang selalu memulai duluan, tanpa menciptakan suasana romantis sebelum memulainya.Jelas saja, tak dibutuhkan romantisme. Tak ada cinta di antara mereka. Mereka melakukan itu hanya untuk memuluskan rencana mereka saja.Ada sedikit penyesalan di hati Pur. Sejak awal manis madu Rika dia reguk. Dia tau, Rika gadis yang tak mudah mengobral diri. Terbukti, meski perangainya terlalu menyebalkan. Tapi dia masih bisa menjaga kesucian. Dia menyerahkan pada Pur hanya untuk satu tujuan. Merebut Naldi dari Asih.
Naldi memandangi gawainya cukup lama. Dia merasa heran dengan sikap Rika barusan saat dia hubungi. Kenapa Rika tan sepertinya? batinnya. Bukan dia tak menyenangi perubahan Rika yang sepertinya sudah bisa menerima pernikahannya dengan Asih. Tapi terlalu mendadak bagi Naldi. Masih dia ingat, bagaimana sikap Rika terakhir kali. Ada rasa curiga terselip di hatinya. "Apa Rika sedang merencanakan sesuatu?" gumamnya. "Bang!" "Ya!" sahut Naldi mendengar panggilan Rika dari dapur yang ada di lantai bawah."Tolongin dong!" kata Asih. Tanpa bertanya, pertolongan seperti apa yang diinginkan istrinya. Naldi bangkit dari peraduan, diletakkan kacamata yang sedari tadi bertengger di hidungnya ke atas meja kerjanya beserta dengan file yang ada ditangannya. Dia segera keluar kamar dan menuruni anak tangga satu persatu. Langsung menuju ke arah dapur. "Tolong apa, Dek?" tanyanya saat sudah sampai di dapur."Ini, tolong buatkan sangkutan buat menyangkutkan wajan juga panci." Naldi langsung memenuhi
"Syukurlah, sekarang Karin sudah keluar dari rumah ini. Kalau tidak, kita pasti akan dalam masalah lebih besar," kata Papa Bayu setelah mendengar cerita Bayu, tentang kronologi perempuan bernama Ayu mencari Karin hingga membawa orang-orang suruhan, membuat kekacauan di rumah mereka."Bayu juga nggak nyangka Pa. Karin bisa terlibat dengan sindikat seperti itu." "Begitulah, kalau terlalu materialistis. Gak pikir panjang, kalau mau berbuat sesuatu. Ada hikmahnya juga, dia dulu ninggalin kamu." "Iya Pa. Hikmah terbesarnya, Bayu bisa punya istri seperti Nawang," kata Bayu melirik Nawang yang pura-pura asik mencari channel siaran yang menarik di tivi. Padahal dia juga mendengar pembicaraan bapak dan anak itu. Nawang mencoba menutupi semburat merah di pipinya dengan pura-pura mencium ujung rambutnya sendiri.Nawang tak henti mengucap syukur di dalam hatinya, ternyata kesabarannya berbuah manis. Meski sempat hampir menyerah menghadapi sikap temperamental Bayu. Namun kesempatan kedua yang di
Karin benar-benar merasa bingung sekarang. Kalau dia menyeret nama Bram, dia khawatir keselamatan keluarganya akan terancam. Bram merupakan otak dari sindikat perdagangan manusia. Bisnis prostitusinya sangat sulit diendus pihak berwajib. Bukan hanya secara online, Bram juga menjalani bisnisnya secara offline, yang menyasar kalangan atas. Bram pasti tidak akan tinggal diam. Selama ini dia selalu bekerja di belakang layar dan sangat rapi, wanita-wanita yang dia pekerjakan tak ada yang mengenalnya. Hingga sulit bagi polisi untuk melacaknya. "Saudari Karin, sebaiknya Anda bekerja sama. Kalau Anda kooperatif, itu dapat mengurangi hukuman Anda." Penyidik terus memperhatikan ekspresi Karin, yang jelas ketakutan juga kebingungan."Apa … Anda sedang merasa terancam?" tanya penyidik. Karin masih saja bungkam."Kami akan memberi perlindungan pada Anda, kalau benar ada yang mengancam keselamatan Anda," kata penyidik. Karin tetap saja tidak berani buka suara, meski polisi berjanji akan melindungi
Sementara itu di tempat lain. Rika datang menemui Pur ke hotel tempatnya menginap. Rika mengambil gawainya dari dalam tas. Dicarinya nama Pur, tertera tulisan Secret Man. Dihubunginya melalui aplikasi bergambar gagang telepon berwarna hijau."Aku sudah di depan hotel," kata Rika langsung tanpa basa basi, saat Pur mengangkat panggilannya."Aku di kamar Melati. Kamu temui saja customer service, nanti aku akan menghubunginya. Aku akan beritahu dia, kalau kamu adalah tamuku." Klik, Rika langsung mematikan gawaiya. Kakinya melangkah dengan mantap masuk ke dalam hotel, tak ada keraguan sedikitpun ataupun merasa risih, dia akan mendatangi seorang pria yang usianya jauh lebih tua darinya. "Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" sambut customer service ramah, saat Rika sudah ada di hadapannya."Saya mau ke kamar Melati," jawab Rika."Oh iya, tadi sudah diberitahu kalau akan ada tamu. Silahkan naik ke lantai tiga, sebelah kiri, kamar ketiga, nanti ada tulisan kamar Melati di pintunya. Terima
Seorang polisi juga ikut ke kamar tamu bersama dengan Bayu. Mata mereka memindai setiap sudut kamar, hingga bawah kolong tempat tidur juga di dalam lemari, tak ditemukan keberadaan Karin. "Apa mungkin dia keluar sebelum orang-orang tadi datang?" gumam Bayu. Bukan tanpa alasan Bayu berpikir seperti itu. Seluruh rumah mereka memiliki jerjak besi di tiap jendela juga pintunya, tak mungkin bagi Karin bisa keluar tanpa diketahui siapa pun. "Karin! Keluar!" teriak Bayu, matanya nyalang. Dia geram, karena Karin tak kunjung keluar dari persembunyian. Padahal polisi sudah mengamankan ke empat orang yang mencarinya."Saudari Karin! Sebaiknya anda keluar, sudah aman sekarang. Orang yang mencari anda sudah ditahan!" polisi berpangkat kapten yang bersama Bayu juga turut memanggil Karin.Karin mendengar, tapi dia terlalu takut untuk keluar. Dia bertahan di tempat persembunyiannya, berencana akan kabur bila nanti ada kesempatan. Menunggu Bayu dan keluarganya lengah. Dia tak may polisi menahannya.
Laki-laki itu langsung masuk ke kamar tamu. Kali ini Nawang tak lagi mencegahnya. Dia mengambil gawai yang ada di saku celananya. Mencoba menghubungi Bayu."Anak ganteng." Nawang berhenti, urung menghubungi Bayu. Saat dilihatnya wanita itu mengangkat Bayu tinggi-tinggi seolah hendak menghempaskan tubuh putranya.Nawang dan Mama Bayu sangat khawatir, kalau perempuan itu benar akan menghempaskan tubuh Tama. Tama justru tertawa-tawa, merasa senang saat perempuan itu berulangkali melempar tubuhnya ke udara lalu menangkapnya lagi. Tama mengira, perempuan itu sedang mengajaknya main."Tolong, lepasin anak saya." Karin memelas pada wanita itu. Tapi tak diindahkan."Dia gak ada bos," kata laki-laki tadi keluar dari ka
Cipto menggeleng-gelengkan kepalanya, menghembuskan nafasnya perlahan. Membuat Bayu bingung dengan sikap Cipto."Apa Karin yang mengatakan begitu?" tanya laki-laki berjenggot itu."Ya," jawab Bayu seraya mengangguk."Maafkan aku, jujur, dulu aku memang sangat menggilai dia. Sampai tak berpikir panjang waktu itu. Memang kuakui, beberapa hari sebelum kalian menikah, aku masih berusaha membujuk Karin untuk kembali." Cipto mulai bercerita. Bayu tak berniat menyelanya. Sudah tak lagi ada amarah di hatinya, karena perbuatan Cipto yang ingin merebut Karin kembali dulu. Semua itu hanya tinggal masa lalu back Bayu."Tapi waktu itu Karin menolak. Dengan alasan, dia sudah tak mencintai aku. Dan kamu lebih memiliki segalanya da