Kami hanya berjalan kaki saja ke rumah pak Rt, rumahnya tak jauh dari rumahku. Di tengah perjalanan, gawaiku bergetar terdengar ringtone alunan sholawat pertanda ada panggilan masuk dari aplikasi bergambar telepon berwarna hijau.
Ku keluarkan gawaiku dari dalam tas sandang berwarna hitam yang ku sampirkan di bahuku. Ternyata panggilan dari Nawang.
"Iya, Dek," sapaku begitu kuterima panggilan dari Nawang.
[Kata Dokter, kalau keadaan Ibu stabil seperti hari ini. Sudah boleh pulang dua hari lagi, Mbak] sahut Nawang.
"Nanti Mbak bilang Bapak. Fatin gak rewel kan?" tanyaku. Bapak mengambil alih koper yang kubawa, karena agak kesulitan juga menelepon sambil bawa koper yang lumayan besar.
Sebelum kami masuk ke Rumah Sakit tempat Ibuk dirawat. Bapak terlebih dahulu mengajakku booking penginapan yang tak jauh dari Rumah Sakit. Bapak merasa, anak-anak tak baik kalau terlalu lama di Rumah Sakit. Setelahnya kami baru ke tempat Ibuk dirawat.Fatin sangat senang melihatku, yang baru datang. "Bunda kok lama banget?" tanyanya."Bunda ngambil baju kita kerumah," jawabku."Tapi, kita mau nginap di rumah Eyang," lanjutku sembari kuangkat dia ke dalam gendonganku."Beneran?" Dia bertanya lagi, seolah tak percaya. Wajar saja, kami sudah sangat lama tak berkunjung ke rumah orangtuaku."Iyya … suer," kataku dengan menunjukkan dua jariku.&
Aku menghela nafas panjang mendengarnya. Apa yang dialami mbak Asih memang sangat menyakitkan. Setiap hari harus menyaksikan kemesraan suaminya dengan wanita lain. Juga diperlakukan layaknya babu. Apalagi yang harus dipertahankan dari lelaki seperti itu. Mas Pur menyiksa bathin mbak Asih, habis-habisan.Memikirkan hancurnya rumah tangga mbak Asih, membuatku teringat akan diriku sendiri. Pikiranku menerawang. Bayangan mas Bayu yang selalu melakukan kekerasan fisik padaku, berkelebat di ingatanku. Ngeri mengingatnya, tapi tak mau hilang dari memoriku."Dek." Suara mbak Asih membuyarkan lamunanku."Kamu gak mau mikir ulang lagi?" tanyanya."Apanya?" Dahiku mengernyit, tak mengerti maksud pertanyaan mbak Asi
TOK TOK TOKSuara pintu diketuk. Kubuka pintu perlahan, ternyata Bapak."Ini, Bapak belikan sarapan. Buat Fatin dan Tama juga," kata Bapak ketika masuk ke kamar."Makasih Pak. Ibuk sama siapa Pak?" tanyaku. Aku menerima bungkusan yang disodorkan Bapak."Sendiri, Bapak juga mau balik kesana. Cuma beli sarapan tadi. Mbakmu mana?" tanya Bapak, celingukan mencari keberadaan mbak Asih."Lagi mandi, sekalian mandiin Fatin," jawabku."Kamu jadi, mau urus surat pindah sekolah Fatin?" tanya Bapak, begitu melihat mbak Asih yang baru keluar dari kamar mandi.
Kukepalkan buku-buku tanganku, menahan diri. Jangan sampai amarahku meledak di sini. Malu juga kalau dilihat guru-guru di sekolah Fatin."Gak usah diladeni Mbak. Orang sinting itu," bisik Nawang."Iya, Mbak juga males ribut sama dia," bisikku pula."Kok lama mobilnya datang Mbak?" tanya Nawang. Kepalanya dilongokkan ke.arah jalanan, melihat mobil ojol yang kami order."Emang kamu udah order?""Belom. Kirain Mbak yang order.""Lah, Mbak belum order juga," sahutku, geli sendiri kalau ingat Nawang dari tadi celingak celinguk nungguin taksi online datang. Kuambil gawaiku dari da
"Mbak mau fokus dulu sama perceraian Mbak sama Mas Pur. Baru urusan rumah. Kemungkinan Mbak mau jual rumah itu. Pasti akan sedikit makan waktu. Tentunya Mas Pur sama Ira, juga akan berusaha mempertahankan rumah itu.""Nanti Mbak ceritakan sama Bapak, siapa tau Bapak bisa bantu. Bapak itu, kelihatannya aja diem. Tapi actionnya mantap." Aku tersenyum melihat mimik wajah Nawang yang memuji Bapak. Layaknya seorang anak kecil yang membanggakan orang tuanya."Kalau kamu lihat semalam, waktu Bapak ngomong sama Ira. Pasti kamu merasa Bapak kita paling keren. Cool banget cara Bapak membungkam mulut Ira. Tadinya dia sok mau melawan Bapak. Satu kalimat aja keluar dari mulut Bapak dia langsung bungkam.""Pasti seru, terus Mas Pur gimana Mbak?" 
"Yuk, mari ikut ke ruangan saya." Dia mengajakku ke ruangannya. Kuikuti langkahnya dari belakang.Kami melewati beberapa ruangan, sampai juga kami di ruangan yang dia maksudkan."Silahkan duduk Bu," ucapnya dengan sopan."Bisa saya minta berkasnya," katanya lagi."Eh, ini Pak." Kuserahkan map berisi berkas untuk gugatan ceraiku.Dia membaca isi berkasku, sesekali kepalanya mengangguk. Aku memperhatikan sekitar ruangan, tampaknya ruangan ini bukan ruangan pribadinya. Ada beberapa orang yang sepertinya berprofesi yang sama dengannya, tampak mondar mandir keluar masuk ruangan.
"Harta Hibah, tidak termasuk harta bersama. Hal ini merujuk pada pasal delapan puluh tujuh, ayat dua KHI. Yang isinya kurang lebih begini. Suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berapa hibah, sodaqoh, hadiah atau yang lainnya.""Jadi … saya bisa menuntut hak atas rumah itu Bang?""Bisa, itu hak mutlak kamu. Apa kamu ada bawa suratnya?""Saya tinggal Bang. Nanti saya kirim gambarnya ke Abang.""Baik, saya sudah tau garis besarnya. Kamu tunggu saja, nanti akan datang surat panggilan sidang pertama," kata bang Naldi."Kira-kira kapan Bang? Mungkin dua tiga hari lagi, saya akan bera
"Ehem, ada yang lagi bahagia nih," kataku sambil melirik ke arah gawai Mbak Asih, yang dipandanginya dari tadi."Siapa?" Dia tersenyum malu-malu meong."Barang kamu udah siap semua Dek?" tanya Mbak Asih. Sengaja kali, mengalihkan pembicaraan hehe."Barang yang mana sih Mbak? Kan tau sendiri, Nawang cuma bawa sedikit baju. Niat Ibu, tadinya mau jalan-jalan juga shopping di sini. Gak taunya, gara-gara Mas Pur, malah jalan-jalan seputaran Rumah Sakit." Aku cemberut, sebel sama Mas Pur. Gagal semua rencanaku sama Ibu.Tadinya ke sini mau sejenak melupakan masalahku dengan Mas Bayu. Eh, malah nemu masalah yang lebih pelik. Tapi … sukur juga Ibu kemaren berpikir mau ngasih kejutan sama