"Ehem, ada yang lagi bahagia nih," kataku sambil melirik ke arah gawai Mbak Asih, yang dipandanginya dari tadi.
"Siapa?" Dia tersenyum malu-malu meong.
"Barang kamu udah siap semua Dek?" tanya Mbak Asih. Sengaja kali, mengalihkan pembicaraan hehe.
"Barang yang mana sih Mbak? Kan tau sendiri, Nawang cuma bawa sedikit baju. Niat Ibu, tadinya mau jalan-jalan juga shopping di sini. Gak taunya, gara-gara Mas Pur, malah jalan-jalan seputaran Rumah Sakit." Aku cemberut, sebel sama Mas Pur. Gagal semua rencanaku sama Ibu.
Tadinya ke sini mau sejenak melupakan masalahku dengan Mas Bayu. Eh, malah nemu masalah yang lebih pelik. Tapi … sukur juga Ibu kemaren berpikir mau ngasih kejutan sama
"Itulah masalahnya Buk. Saya terlalu fokus mengejar karir sehingga gak mikir mau berumah tangga. Juga belum nemu yang cocok. Akhirnya begini, umur udah banyak masih sendiri. Kayak lagi Caca Handika yang judulnya angka satu. Masak sendiri, nyuci sendiri, makan sendiri." Kami semua tertawa mendengarnya. Kecuali Mbak Asih, dia hanya tersenyum tertunduk malu."Jangan terlalu milih Nak Naldi. Yang penting seiman, baik agamanya," kata Bapak."Iya Pak, mudah-mudahan dipertemukan Allah dengan yang baik," kata Bang Naldi."Ngomong-ngomong. Saya juga orang Medan, Pak. Ibu kandung saya masih tinggal di Medan. Saya dulu diangkat anak sama orangtua saya, yang menetap di sini. Masih kerabat almarhum Ayah saya. Ayah saya meninggal saat saya masih sangat kecil. Kami tiga b
Kudengar suara pintu kamarku dibuka. Ternyata Mbak Asih, "Ada apa Mbak?" tanyaku.Dia berjalan ke arahku, duduk di tepian ranjang . "Gak ada, bosen aja sendirian di kamar," ucapnya."Fatin mana?" tanyaku karena tak melihat Fatin ikut dengan Mbak Asih."Nemeni Ibuk, di kamar Ibuk." Mbak Asih mengayun Tama yang menggeliat di ayunannya."Ibuk udah tidur Mbak?" tanyaku, kuletakkan gelas berisi coklat panasku di atas nakas."Belum, masih diajak ngobrol sama Fatin. Lagian masih sore gini.""Kirain, Ibuk capek di perjalanan tadi."
Ibu tersenyum, sudah hafal dengan tingkah lakuku yang pura-pura itu."Ibu merasa sangat bersalah sama kalian. Sekarang apapun keputusan yang kalian ambil buat masa depan kalian, Ibuk akan dukung."Untuk sesaat suasana menjadi hening. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing."Buk, menurut Ibuk … Mas Bayu masih berubah?" tanyaku meminta pendapat Ibuk. Perkataan Mbak Asih, membuatku jadi ragu dalam mengambil keputusan."Hanya Tuhan yang tau apa yang terjadi kedepannya. Kan, kamu yang menjalankan selama ini. Ibuk kurang tau secara pasti bagaimana Bayu," jawab Ibuk."Menurut Asih, Bayu masih bisa berubah Buk. Bayu &helli
"Ssttt, kita kasih kejutan," kata Nawang meletakkan jari telunjuknya di bibir. Kami berjalan berjingkat ke arah pintu belakang.Saat langkah kami sudah dekat, kami berdiri sejenak dibelakang jendela. Sepertinya Papa dan Mama Bayu, sedang membicarakan hal yang serius, hingga tak memperhatikan sekitar. Padahal dari teras belakang, bisa kelihatan ke ruangan dalam, bila dilihat dari jendela.Nawang menghentikan aksinya, yang ingin memberi kejutan, saat kami dengar nama Nawang disebut dalam perbincangan mereka."Pa, apa mungkin? Bayu bisa melakukan kekerasan terhadap Nawang, karena masih teringat sama Karin?" Kulihat Nawang agak terperanjat mendengar suara Mama Bayu, yang membawa nama Karin dalam pembicaraan mereka. Siapa Karin?
Aku mulai terganggu dengan panggilan itu, "Angkat aja Dek," titahku. Nawang hanya diam tak mengindahkan kata-kataku."Biar Mbak yang angkat!" Aku berusaha mengambil gawai Nawang dari tangannya."Biar saja Mbak," katanya tetap menolak dan mempertahankan gawainya."Kamu baik-baik saja kan, Dek?" tanyaku hati-hati. Saat ini hati Nawang sedang sangat rapuh.Dia tak menjawab, hanya air matanya yang terus mengalir, mewakili jawaban atas pertanyaanku. Sepertinya percuma bicara dengan Nawang saat ini. Aku berbalik arah, juga memandang jauh keluar mobil. Tapi pikiranku melayang entah kemana.Sepertinya tak seharusnya aku membujuk Nawang untuk kembali sam
Begitu sampai rumah, aku langsung saja masuk ke rumah tanpa menegur Bapak dan Ibuk yang lagi di teras depan rumah. Aku tau, mereka pasti merasa heran dan mengkhawatirkan keadaanku."Kenapa Adekmu, Sih?" tanya Ibuk ke Mbak Asih yang masih sempat kudengar. Maafkan Nawang, Buk. Saat ini Nawang butuh waktu untuk sendiri."Nanti Asih cerita ya Buk. Asih lihat Nawang dulu." Masih sempat kudengar jawaban Mbak Asih.Aku langsung menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Tubuhku luruh dibalik pintu kamarku. Air mataku masih saja tak bisa kuhentikan, aku berusaha kuat namun tak bisa."Dek, buka dulu pintunya. Jangan begini Dek." Mbak Asih mengetuk-ngetuk pintu kamarku.
Aku bimbang, bila aku tak keluar, sangat tak sopan rasanya. Namun, aku sangat ingin sendiri. Untuk menetralisir perasaanku lagi."Nawang … Nawang gak mau maafin Mama?" Aku dengar suara Mama bergetar, seperti menahan tangis.Aku bangkit dari pembaringanku, kubuka pintu kamarku perlahan. Kulihat Mama, Mbak Asih juga Ibuk sudah ada di depan pintu kamarku.Mama memelukku erat sekali. "Maafkan Mama," katanya.Aku hanya membalas dengan isakan tangis. Entah kenapa aku merasa hatiku sangat sakit. Mama perlahan melepas pelukannya, dia membimbingku untuk duduk di ruang tamu. Papa dan Bapak sudah duluan berada di situ."Nawang … M
Aku tak menyangka ternyata Bayu mempunyai masa lalu yang kelam. Tentunya ditinggal calon istri tepat hari pernikahan, sangat menyakitkan baginya. Apalagi tanpa alasan yang tak diketahui secara pasti. Meskipun hal itu tak bisa dijadikan pembenaran atas apa yang dilakukannya terhadap Nawang. Paling tidak, kami mengetahui penyebab Bayu menjadi seorang yang sangat posesif dan temperamental.Mendengar Nawang pun bersedia untuk konsultasi ke psikiater, membuat kami lega. Hal itu untuk kebaikan Nawang sendiri. Takut juga, trauma Nawang terhadap Bayu berdampak buruk buat Nawang sendiri nantinya.Terdengar suara ringtone gawaiku berbunyi. Hmm, ternyata dari Bang Naldi lagi. Aku pamit, masuk ke kamarku. Tak etis rasanya menerima telepon di hadapan orang tua."Assalam