Aku mulai terganggu dengan panggilan itu, "Angkat aja Dek," titahku. Nawang hanya diam tak mengindahkan kata-kataku.
"Biar Mbak yang angkat!" Aku berusaha mengambil gawai Nawang dari tangannya.
"Biar saja Mbak," katanya tetap menolak dan mempertahankan gawainya.
"Kamu baik-baik saja kan, Dek?" tanyaku hati-hati. Saat ini hati Nawang sedang sangat rapuh.
Dia tak menjawab, hanya air matanya yang terus mengalir, mewakili jawaban atas pertanyaanku. Sepertinya percuma bicara dengan Nawang saat ini. Aku berbalik arah, juga memandang jauh keluar mobil. Tapi pikiranku melayang entah kemana.
Sepertinya tak seharusnya aku membujuk Nawang untuk kembali sam
Begitu sampai rumah, aku langsung saja masuk ke rumah tanpa menegur Bapak dan Ibuk yang lagi di teras depan rumah. Aku tau, mereka pasti merasa heran dan mengkhawatirkan keadaanku."Kenapa Adekmu, Sih?" tanya Ibuk ke Mbak Asih yang masih sempat kudengar. Maafkan Nawang, Buk. Saat ini Nawang butuh waktu untuk sendiri."Nanti Asih cerita ya Buk. Asih lihat Nawang dulu." Masih sempat kudengar jawaban Mbak Asih.Aku langsung menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Tubuhku luruh dibalik pintu kamarku. Air mataku masih saja tak bisa kuhentikan, aku berusaha kuat namun tak bisa."Dek, buka dulu pintunya. Jangan begini Dek." Mbak Asih mengetuk-ngetuk pintu kamarku.
Aku bimbang, bila aku tak keluar, sangat tak sopan rasanya. Namun, aku sangat ingin sendiri. Untuk menetralisir perasaanku lagi."Nawang … Nawang gak mau maafin Mama?" Aku dengar suara Mama bergetar, seperti menahan tangis.Aku bangkit dari pembaringanku, kubuka pintu kamarku perlahan. Kulihat Mama, Mbak Asih juga Ibuk sudah ada di depan pintu kamarku.Mama memelukku erat sekali. "Maafkan Mama," katanya.Aku hanya membalas dengan isakan tangis. Entah kenapa aku merasa hatiku sangat sakit. Mama perlahan melepas pelukannya, dia membimbingku untuk duduk di ruang tamu. Papa dan Bapak sudah duluan berada di situ."Nawang … M
Aku tak menyangka ternyata Bayu mempunyai masa lalu yang kelam. Tentunya ditinggal calon istri tepat hari pernikahan, sangat menyakitkan baginya. Apalagi tanpa alasan yang tak diketahui secara pasti. Meskipun hal itu tak bisa dijadikan pembenaran atas apa yang dilakukannya terhadap Nawang. Paling tidak, kami mengetahui penyebab Bayu menjadi seorang yang sangat posesif dan temperamental.Mendengar Nawang pun bersedia untuk konsultasi ke psikiater, membuat kami lega. Hal itu untuk kebaikan Nawang sendiri. Takut juga, trauma Nawang terhadap Bayu berdampak buruk buat Nawang sendiri nantinya.Terdengar suara ringtone gawaiku berbunyi. Hmm, ternyata dari Bang Naldi lagi. Aku pamit, masuk ke kamarku. Tak etis rasanya menerima telepon di hadapan orang tua."Assalam
Bukan hanya Fatin, orang tuaku juga bisa cepat akrab dengannya. Meski hanya berhubungan melalui jarak jauh saja.Namun aku tak mau geer dulu. Sebagai pengacara, tentunya Bang Naldi harus menjalin komunikasi aktif terhadap kliennya. Mungkin saja seperti itu.Sejak Nawang mulai konsultasi ke psikiater, aku lihat mulai ada perubahan. Dia mulai bisa tersenyum hangat di depan Bayu. Tidak seperti waktu pertama kali aku ikut menemaninya menemui Bayu. Dia tampak tegang, senyumnya dipaksakan.Aku sengaja, selalu minta ikut menemaninya. Karena aku ingin melihat, sejauh mana perkembangan hubungan mereka. Apakah masih bisa diselamatkan? Kalau memang Nawang tetap memutuskan ingin berpisah dari Bayu. Aku pun tak akan mencoba meyakinkannya lagi. Bagaimanapun, Nawang yang
"Saya Rika, calon istri Bang Naldi." Wanita itu cepat memperkenalkan dirinya sendiri, sebelum Bang Naldi sempat memperkenalkannya. Ih, lebay. Aku mencebik, dalam hati aja sih hehe."Bukan bukan." Bang Naldi reflek melambaikan dua tangannya ke hadapanku. Aku bengong, melihat ekspresinya. Dia seperti takut aku percaya dengan kata-kata Rika."Kalo iya, juga gak papa. Aku Asih, klien Bang Naldi," jawabku santai sembari memperkenalkan diriku juga tanpa bersalaman."Beneran, Rika ini adikku–""Bukan adik kandung kok. Berarti bisa dong, Bang Naldi menikah sama aku," kata Rika masih saja bergelayut manja di tangan Bang Naldi. Lagi-lagi Bang Naldi terlihat gusar karena Rika memotong kalimatnya yang ingin me
"Pokoknya Bang Naldi, cuma boleh kawin sama Rika," sungut Rika dengan mulut manyun."Kau ini, macam tak bisa cari laki-laki lain. Bang Naldi itu, Abangmu sendiri." Wak Soraya menampik kata-kata Rika."Tapi kan, Bang Naldi bukan Abang kandung Rika. Rika cintanya sama Bang Naldi." Rika tetap ngotot."Tetap saja, kalian masih ada hubungan saudara. Mamaknya Naldi, adik Bapakmu. Macam mana bertambah saudara kalau kau menikah sama si Naldi?!" Wak Soraya tak kalah sengit."Kau itu cantek pun, masak tak bisa dapat laki-laki yang lain," sambung Wak Soraya."Gak mau, pokoknya Bang Naldi harus menikah sama Rika." Rika tetap keras kepala.&
"Kalau kau mau serius sama si Asih. Kau harus cari cara menghadapi Ayahmu, Naldi." Bang Naldi terdiam mendengar kata-kata Wak Soraya. Dan kalian tau, rasanya kepiting rebus nemplok di wajahku saat ini.Entah apa maksud Wak Soraya berkata seperti itu ke Bang Naldi. Apa Bang Naldi, cerita sesuatu tentang aku ke Wak Soraya? Apa Bang Naldi … menaruh hati padaku? Ups, jangan geer Asih. Sejak berkenalan dengan Bang Naldi, aku jadi selalu geer sendiri."Nanti saja kita bicarakan Wak. Naldi takut bertepuk sebelah tangan," kata Bang Naldi, ekor matanya melirik ke arahku. Cepat-cepat aku mengalihkan pandangan, malu terlihat olehnya. Kalau aku pun sedang curi-curi pandang."Iyalah, biar dulu diselesaikan urusan kalian satu persatu," ucap Wak Soraya.
"Yah." Bang Naldi mengulurkan tangan, ingin menyalami laki-laki itu, yang ternyata Ayahnya, tapi dia tak membalas. Bang Naldi beralih ke perempuan di sebelah Wak Soraya. Dia menerima salam takzim dari Bang Naldi.Ayah Bang Naldi, malah menatap dengan sorotan mata tajam, ke arahku dan Bang Naldi. Aku merasa jengah ditatap seperti itu."Jadi … gara-gara dia kau menolak Rika?!" Aku terhenyak mendengarnya. Apa maksudnya ini?"Ini klien Naldi, Yah," kata Bang Naldi."Halah, alasan saja kau! Anak tak tau diuntung!" Laki-laki itu tampak gusar,dengan raut wajah ditekuk. Bang Naldi tertunduk diam.