"Kalau kau mau serius sama si Asih. Kau harus cari cara menghadapi Ayahmu, Naldi." Bang Naldi terdiam mendengar kata-kata Wak Soraya. Dan kalian tau, rasanya kepiting rebus nemplok di wajahku saat ini.
Entah apa maksud Wak Soraya berkata seperti itu ke Bang Naldi. Apa Bang Naldi, cerita sesuatu tentang aku ke Wak Soraya? Apa Bang Naldi … menaruh hati padaku? Ups, jangan geer Asih. Sejak berkenalan dengan Bang Naldi, aku jadi selalu geer sendiri.
"Nanti saja kita bicarakan Wak. Naldi takut bertepuk sebelah tangan," kata Bang Naldi, ekor matanya melirik ke arahku. Cepat-cepat aku mengalihkan pandangan, malu terlihat olehnya. Kalau aku pun sedang curi-curi pandang.
"Iyalah, biar dulu diselesaikan urusan kalian satu persatu," ucap Wak Soraya.
"Yah." Bang Naldi mengulurkan tangan, ingin menyalami laki-laki itu, yang ternyata Ayahnya, tapi dia tak membalas. Bang Naldi beralih ke perempuan di sebelah Wak Soraya. Dia menerima salam takzim dari Bang Naldi.Ayah Bang Naldi, malah menatap dengan sorotan mata tajam, ke arahku dan Bang Naldi. Aku merasa jengah ditatap seperti itu."Jadi … gara-gara dia kau menolak Rika?!" Aku terhenyak mendengarnya. Apa maksudnya ini?"Ini klien Naldi, Yah," kata Bang Naldi."Halah, alasan saja kau! Anak tak tau diuntung!" Laki-laki itu tampak gusar,dengan raut wajah ditekuk. Bang Naldi tertunduk diam.
Sudah beberapa kali aku konsultasi ke psikiater untuk menghilangkan rasa takutku ke Mas Bayu. Trauma akibat perlakuan KDRT yang kuterima dari Mas Bayu terhadapku sudah berangsur berkurang. Aku yang tadinya setiap bertemu dia selalu merasa panas dingin, telapak tangan berkeringat, jantung berdebar-debar dengan irama yang beraturan. Rasanya seperti melihat hantu kalau bersama dengan dia. Meskipun tetap mencoba untuk biasa saja. Sekarang sudah berangsur menghilang.Hari ini agendaku untuk bertemu dengan Mas Bayu. Memang sudah menjadi rutinitasku, menjenguknya seminggu sekali dengan membawa Tama. Biasanya aku ditemani Mbak Asih. Tapi Mbak Asih lagi ke Palangkaraya, untuk menghadiri sidang kedua gugatan cerainya. Mungkin besok baru pulang."Buk, Nawang nginap di rumah Mama ya?" Ibu sedang menyirami tanaman-tanaman hiasnya di t
"Wak, terima kasih banyak ya, sudah mengizinkan Asih menginap di sini." Hari ini aku berpamitan pulang sama Wak Soraya."Cepat kali kau pulang Asih. Sepi lagi lah rumah ini. Nanti, kalau kau datang lagi ke sini. Di sini lagi ya, nginapnya." Wak Soraya tampak kecewa."Iya Wak. Asal Uwak tak bosan sama Asih. Asih memang ada rencana mau ke sini lagi. Mungkin sebulan lagi, mengurus rumah Asih yang masih ditempati mantan suami.""Iya lah, cepat kau urus. Enak kali mantan kau itu, udah kau gak dikasih apa-apa. Masak rumah yang sudah dikasih buat kau pun, mau dikuasainya!" Wak Soraya agak sedikit emosional.Aku memang sudah menceritakan sebab musabab perceraianku, juga mengenai rumah yang sekarang m
"Habis masa iddah kamu. Abang akan mengkhitbah kamu." Rasanya hatiku keblingsatan. Gak tau kenapa, apa harus seneng gitu?"Kita baru kenal." Aku coba menampiknya."Kamu sama Pur juga baru kenal dulu. Kamu langsung mau. Apa karena dijodohkan Ibu? Kalau Abang, biarpun baru kenal. Kamu sudah taukan, Abang dijamin masih lajang hehehe.""Eleh, ngejek." Aku mencebikkan bibirku. Dia malah tertawa ngakak melihatku."Abang beneran serius Asih. Sejak pertama kali melihatmu di ruang tunggu pengadilan. Entah kenapa, Abang merasakan sesuatu yang lain." Rayuan mulai dilancarkan."Ya iyalah lain. Abang merasakan … kalau aku bisa
"Yang mana rumahnya?" tanya Bapak. Saat ini kami sudah sampai di alamat yang diberikan Wak Soraya. Alamat rumah Ibu Bang Naldi. Tapi aku tak pasti yang mana rumahnya.Bang Nadi dan Wak Soraya sudah memberi petunjuk warna cat rumah, nomor juga tampilan rumah yang dikelilingi banyak bunga. Daerah Tanjung Morawa memang terkenal dengan banyaknya warga yang bercocok tanam bunga. Bahkan ada area khusus tempat berjual beli bunga juga tanaman lainnya. Lokasi itu selalu saja ramai dikunjungi, apalagi bila di akhir pekan."Assalamualaikum." Aku memberi salam pada seorang wanita paruh baya, yang tampak sedang asyik mengurus bunga-bunga di depan halaman rumahnya yang asri."Waalaikumussalam," sahutnya membalik badannya. Dia kelihatan heran melihatku, karena belum pernah bertemu sama sek
"Kamu sudah siapkan, menghadapi kemungkinan yang akan terjadi nanti," kata Bang Naldi. Saat ini kami akan berangkat ke 'rumahku'. Baru tadi malam aku sampai ke sini. Dan tak mau menunda waktu lagi. Biasanya hari Minggu begini, Mas Pur di rumah. Aku sudah hafal jadwalnya ke luar kota. "Perlu, Wak dampingi kau Asih," kata Wak Soraya. Begitu tau aku akan datang, semalam Wak Soraya menghubungiku, memintaku menginap lagi di rumahnya. "Tak perlu Wak. Kalau nanti prosesnya alot. Kalau memang diperlukan, Asih akan panggil pihak berwajib," tolakku halus. "Iyalah, kasih pelajaran mantanmu itu!" Wak Soraya terlihat geram.&
Ternyata kak Nurul. Kulangkahkan kakiku menuju ke arahnya."Si Nini pelet lagi bertengkar sama si Pur. Sekarang, setiap Pur ada di rumah. Selalu aja bertengkar. Gak tau apa sebabnya." Kak Nurul langsung memberi info tanpa ditanya."Um, kenapa ya Kak. Gak pernah Mas Pur seperti itu?" Aku cukup penasaran.Walaupun Mas Pur mengakui tak mencintaiku seperti dia mencintai Ira. Tapi selama enam tahun lebih kami berubah tangga. Belum pernah kami bertengkar. Bahkan sejak Ira datang. Paling dia hanya cuek saja denganku dan Fatin. Tak memperdulikan perasaanku, juga abai akan nafkah kami. Namun, tak pernah sampai bersuara besar seperti itu."Ya gak tau pastinya. Cuma pernah sekali Kakak dengar. Katanya Nini pe
"Ya sudah! Kalau Ibu tetap mau ada di sini. Dan mendengarkan apa yang akan kami sampaikan. Saya harap Ibu bisa bekerjasama. Jangan buat suasana menjadi keruh! Kalau Ibu tak bisa diajak kerjasama, kami bisa meminta pihak berwajib untuk mengamankan Ibu!" tegas Bang Naldi.Kali ini Nini pelet tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya diam dengan mulutnya yang terlihat manyun. Dalam hati, ada rasa kagum sama Bang Naldi. Dia bisa membungkam Ira, hanya dengan kata-kata. Sangat berwibawa."Baik, saya akan memberitahukan maksud kedatangan kami kesini," kata Bang Naldi kepada Mas Pur, yang terlihat santai saja."Sebelumnya saya ingin tanya, apa Bapak sudah menerima pemberitahuan dari pengadilan. Bahwa putusan cerai talak satu Bapak, telah jatuh kepada klien saya Ibu