Ibu tersenyum, sudah hafal dengan tingkah lakuku yang pura-pura itu.
"Ibu merasa sangat bersalah sama kalian. Sekarang apapun keputusan yang kalian ambil buat masa depan kalian, Ibuk akan dukung."
Untuk sesaat suasana menjadi hening. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
"Buk, menurut Ibuk … Mas Bayu masih berubah?" tanyaku meminta pendapat Ibuk. Perkataan Mbak Asih, membuatku jadi ragu dalam mengambil keputusan.
"Hanya Tuhan yang tau apa yang terjadi kedepannya. Kan, kamu yang menjalankan selama ini. Ibuk kurang tau secara pasti bagaimana Bayu," jawab Ibuk.
"Menurut Asih, Bayu masih bisa berubah Buk. Bayu &helli
"Ssttt, kita kasih kejutan," kata Nawang meletakkan jari telunjuknya di bibir. Kami berjalan berjingkat ke arah pintu belakang.Saat langkah kami sudah dekat, kami berdiri sejenak dibelakang jendela. Sepertinya Papa dan Mama Bayu, sedang membicarakan hal yang serius, hingga tak memperhatikan sekitar. Padahal dari teras belakang, bisa kelihatan ke ruangan dalam, bila dilihat dari jendela.Nawang menghentikan aksinya, yang ingin memberi kejutan, saat kami dengar nama Nawang disebut dalam perbincangan mereka."Pa, apa mungkin? Bayu bisa melakukan kekerasan terhadap Nawang, karena masih teringat sama Karin?" Kulihat Nawang agak terperanjat mendengar suara Mama Bayu, yang membawa nama Karin dalam pembicaraan mereka. Siapa Karin?
Aku mulai terganggu dengan panggilan itu, "Angkat aja Dek," titahku. Nawang hanya diam tak mengindahkan kata-kataku."Biar Mbak yang angkat!" Aku berusaha mengambil gawai Nawang dari tangannya."Biar saja Mbak," katanya tetap menolak dan mempertahankan gawainya."Kamu baik-baik saja kan, Dek?" tanyaku hati-hati. Saat ini hati Nawang sedang sangat rapuh.Dia tak menjawab, hanya air matanya yang terus mengalir, mewakili jawaban atas pertanyaanku. Sepertinya percuma bicara dengan Nawang saat ini. Aku berbalik arah, juga memandang jauh keluar mobil. Tapi pikiranku melayang entah kemana.Sepertinya tak seharusnya aku membujuk Nawang untuk kembali sam
Begitu sampai rumah, aku langsung saja masuk ke rumah tanpa menegur Bapak dan Ibuk yang lagi di teras depan rumah. Aku tau, mereka pasti merasa heran dan mengkhawatirkan keadaanku."Kenapa Adekmu, Sih?" tanya Ibuk ke Mbak Asih yang masih sempat kudengar. Maafkan Nawang, Buk. Saat ini Nawang butuh waktu untuk sendiri."Nanti Asih cerita ya Buk. Asih lihat Nawang dulu." Masih sempat kudengar jawaban Mbak Asih.Aku langsung menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Tubuhku luruh dibalik pintu kamarku. Air mataku masih saja tak bisa kuhentikan, aku berusaha kuat namun tak bisa."Dek, buka dulu pintunya. Jangan begini Dek." Mbak Asih mengetuk-ngetuk pintu kamarku.
Aku bimbang, bila aku tak keluar, sangat tak sopan rasanya. Namun, aku sangat ingin sendiri. Untuk menetralisir perasaanku lagi."Nawang … Nawang gak mau maafin Mama?" Aku dengar suara Mama bergetar, seperti menahan tangis.Aku bangkit dari pembaringanku, kubuka pintu kamarku perlahan. Kulihat Mama, Mbak Asih juga Ibuk sudah ada di depan pintu kamarku.Mama memelukku erat sekali. "Maafkan Mama," katanya.Aku hanya membalas dengan isakan tangis. Entah kenapa aku merasa hatiku sangat sakit. Mama perlahan melepas pelukannya, dia membimbingku untuk duduk di ruang tamu. Papa dan Bapak sudah duluan berada di situ."Nawang … M
Aku tak menyangka ternyata Bayu mempunyai masa lalu yang kelam. Tentunya ditinggal calon istri tepat hari pernikahan, sangat menyakitkan baginya. Apalagi tanpa alasan yang tak diketahui secara pasti. Meskipun hal itu tak bisa dijadikan pembenaran atas apa yang dilakukannya terhadap Nawang. Paling tidak, kami mengetahui penyebab Bayu menjadi seorang yang sangat posesif dan temperamental.Mendengar Nawang pun bersedia untuk konsultasi ke psikiater, membuat kami lega. Hal itu untuk kebaikan Nawang sendiri. Takut juga, trauma Nawang terhadap Bayu berdampak buruk buat Nawang sendiri nantinya.Terdengar suara ringtone gawaiku berbunyi. Hmm, ternyata dari Bang Naldi lagi. Aku pamit, masuk ke kamarku. Tak etis rasanya menerima telepon di hadapan orang tua."Assalam
Bukan hanya Fatin, orang tuaku juga bisa cepat akrab dengannya. Meski hanya berhubungan melalui jarak jauh saja.Namun aku tak mau geer dulu. Sebagai pengacara, tentunya Bang Naldi harus menjalin komunikasi aktif terhadap kliennya. Mungkin saja seperti itu.Sejak Nawang mulai konsultasi ke psikiater, aku lihat mulai ada perubahan. Dia mulai bisa tersenyum hangat di depan Bayu. Tidak seperti waktu pertama kali aku ikut menemaninya menemui Bayu. Dia tampak tegang, senyumnya dipaksakan.Aku sengaja, selalu minta ikut menemaninya. Karena aku ingin melihat, sejauh mana perkembangan hubungan mereka. Apakah masih bisa diselamatkan? Kalau memang Nawang tetap memutuskan ingin berpisah dari Bayu. Aku pun tak akan mencoba meyakinkannya lagi. Bagaimanapun, Nawang yang
"Saya Rika, calon istri Bang Naldi." Wanita itu cepat memperkenalkan dirinya sendiri, sebelum Bang Naldi sempat memperkenalkannya. Ih, lebay. Aku mencebik, dalam hati aja sih hehe."Bukan bukan." Bang Naldi reflek melambaikan dua tangannya ke hadapanku. Aku bengong, melihat ekspresinya. Dia seperti takut aku percaya dengan kata-kata Rika."Kalo iya, juga gak papa. Aku Asih, klien Bang Naldi," jawabku santai sembari memperkenalkan diriku juga tanpa bersalaman."Beneran, Rika ini adikku–""Bukan adik kandung kok. Berarti bisa dong, Bang Naldi menikah sama aku," kata Rika masih saja bergelayut manja di tangan Bang Naldi. Lagi-lagi Bang Naldi terlihat gusar karena Rika memotong kalimatnya yang ingin me
"Pokoknya Bang Naldi, cuma boleh kawin sama Rika," sungut Rika dengan mulut manyun."Kau ini, macam tak bisa cari laki-laki lain. Bang Naldi itu, Abangmu sendiri." Wak Soraya menampik kata-kata Rika."Tapi kan, Bang Naldi bukan Abang kandung Rika. Rika cintanya sama Bang Naldi." Rika tetap ngotot."Tetap saja, kalian masih ada hubungan saudara. Mamaknya Naldi, adik Bapakmu. Macam mana bertambah saudara kalau kau menikah sama si Naldi?!" Wak Soraya tak kalah sengit."Kau itu cantek pun, masak tak bisa dapat laki-laki yang lain," sambung Wak Soraya."Gak mau, pokoknya Bang Naldi harus menikah sama Rika." Rika tetap keras kepala.&