Aku menghela nafas panjang mendengarnya. Apa yang dialami mbak Asih memang sangat menyakitkan. Setiap hari harus menyaksikan kemesraan suaminya dengan wanita lain. Juga diperlakukan layaknya babu. Apalagi yang harus dipertahankan dari lelaki seperti itu. Mas Pur menyiksa bathin mbak Asih, habis-habisan.
Memikirkan hancurnya rumah tangga mbak Asih, membuatku teringat akan diriku sendiri. Pikiranku menerawang. Bayangan mas Bayu yang selalu melakukan kekerasan fisik padaku, berkelebat di ingatanku. Ngeri mengingatnya, tapi tak mau hilang dari memoriku.
"Dek." Suara mbak Asih membuyarkan lamunanku.
"Kamu gak mau mikir ulang lagi?" tanyanya.
"Apanya?" Dahiku mengernyit, tak mengerti maksud pertanyaan mbak Asi
TOK TOK TOKSuara pintu diketuk. Kubuka pintu perlahan, ternyata Bapak."Ini, Bapak belikan sarapan. Buat Fatin dan Tama juga," kata Bapak ketika masuk ke kamar."Makasih Pak. Ibuk sama siapa Pak?" tanyaku. Aku menerima bungkusan yang disodorkan Bapak."Sendiri, Bapak juga mau balik kesana. Cuma beli sarapan tadi. Mbakmu mana?" tanya Bapak, celingukan mencari keberadaan mbak Asih."Lagi mandi, sekalian mandiin Fatin," jawabku."Kamu jadi, mau urus surat pindah sekolah Fatin?" tanya Bapak, begitu melihat mbak Asih yang baru keluar dari kamar mandi.
Kukepalkan buku-buku tanganku, menahan diri. Jangan sampai amarahku meledak di sini. Malu juga kalau dilihat guru-guru di sekolah Fatin."Gak usah diladeni Mbak. Orang sinting itu," bisik Nawang."Iya, Mbak juga males ribut sama dia," bisikku pula."Kok lama mobilnya datang Mbak?" tanya Nawang. Kepalanya dilongokkan ke.arah jalanan, melihat mobil ojol yang kami order."Emang kamu udah order?""Belom. Kirain Mbak yang order.""Lah, Mbak belum order juga," sahutku, geli sendiri kalau ingat Nawang dari tadi celingak celinguk nungguin taksi online datang. Kuambil gawaiku dari da
"Mbak mau fokus dulu sama perceraian Mbak sama Mas Pur. Baru urusan rumah. Kemungkinan Mbak mau jual rumah itu. Pasti akan sedikit makan waktu. Tentunya Mas Pur sama Ira, juga akan berusaha mempertahankan rumah itu.""Nanti Mbak ceritakan sama Bapak, siapa tau Bapak bisa bantu. Bapak itu, kelihatannya aja diem. Tapi actionnya mantap." Aku tersenyum melihat mimik wajah Nawang yang memuji Bapak. Layaknya seorang anak kecil yang membanggakan orang tuanya."Kalau kamu lihat semalam, waktu Bapak ngomong sama Ira. Pasti kamu merasa Bapak kita paling keren. Cool banget cara Bapak membungkam mulut Ira. Tadinya dia sok mau melawan Bapak. Satu kalimat aja keluar dari mulut Bapak dia langsung bungkam.""Pasti seru, terus Mas Pur gimana Mbak?" 
"Yuk, mari ikut ke ruangan saya." Dia mengajakku ke ruangannya. Kuikuti langkahnya dari belakang.Kami melewati beberapa ruangan, sampai juga kami di ruangan yang dia maksudkan."Silahkan duduk Bu," ucapnya dengan sopan."Bisa saya minta berkasnya," katanya lagi."Eh, ini Pak." Kuserahkan map berisi berkas untuk gugatan ceraiku.Dia membaca isi berkasku, sesekali kepalanya mengangguk. Aku memperhatikan sekitar ruangan, tampaknya ruangan ini bukan ruangan pribadinya. Ada beberapa orang yang sepertinya berprofesi yang sama dengannya, tampak mondar mandir keluar masuk ruangan.
"Harta Hibah, tidak termasuk harta bersama. Hal ini merujuk pada pasal delapan puluh tujuh, ayat dua KHI. Yang isinya kurang lebih begini. Suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berapa hibah, sodaqoh, hadiah atau yang lainnya.""Jadi … saya bisa menuntut hak atas rumah itu Bang?""Bisa, itu hak mutlak kamu. Apa kamu ada bawa suratnya?""Saya tinggal Bang. Nanti saya kirim gambarnya ke Abang.""Baik, saya sudah tau garis besarnya. Kamu tunggu saja, nanti akan datang surat panggilan sidang pertama," kata bang Naldi."Kira-kira kapan Bang? Mungkin dua tiga hari lagi, saya akan bera
"Ehem, ada yang lagi bahagia nih," kataku sambil melirik ke arah gawai Mbak Asih, yang dipandanginya dari tadi."Siapa?" Dia tersenyum malu-malu meong."Barang kamu udah siap semua Dek?" tanya Mbak Asih. Sengaja kali, mengalihkan pembicaraan hehe."Barang yang mana sih Mbak? Kan tau sendiri, Nawang cuma bawa sedikit baju. Niat Ibu, tadinya mau jalan-jalan juga shopping di sini. Gak taunya, gara-gara Mas Pur, malah jalan-jalan seputaran Rumah Sakit." Aku cemberut, sebel sama Mas Pur. Gagal semua rencanaku sama Ibu.Tadinya ke sini mau sejenak melupakan masalahku dengan Mas Bayu. Eh, malah nemu masalah yang lebih pelik. Tapi … sukur juga Ibu kemaren berpikir mau ngasih kejutan sama
"Itulah masalahnya Buk. Saya terlalu fokus mengejar karir sehingga gak mikir mau berumah tangga. Juga belum nemu yang cocok. Akhirnya begini, umur udah banyak masih sendiri. Kayak lagi Caca Handika yang judulnya angka satu. Masak sendiri, nyuci sendiri, makan sendiri." Kami semua tertawa mendengarnya. Kecuali Mbak Asih, dia hanya tersenyum tertunduk malu."Jangan terlalu milih Nak Naldi. Yang penting seiman, baik agamanya," kata Bapak."Iya Pak, mudah-mudahan dipertemukan Allah dengan yang baik," kata Bang Naldi."Ngomong-ngomong. Saya juga orang Medan, Pak. Ibu kandung saya masih tinggal di Medan. Saya dulu diangkat anak sama orangtua saya, yang menetap di sini. Masih kerabat almarhum Ayah saya. Ayah saya meninggal saat saya masih sangat kecil. Kami tiga b
Kudengar suara pintu kamarku dibuka. Ternyata Mbak Asih, "Ada apa Mbak?" tanyaku.Dia berjalan ke arahku, duduk di tepian ranjang . "Gak ada, bosen aja sendirian di kamar," ucapnya."Fatin mana?" tanyaku karena tak melihat Fatin ikut dengan Mbak Asih."Nemeni Ibuk, di kamar Ibuk." Mbak Asih mengayun Tama yang menggeliat di ayunannya."Ibuk udah tidur Mbak?" tanyaku, kuletakkan gelas berisi coklat panasku di atas nakas."Belum, masih diajak ngobrol sama Fatin. Lagian masih sore gini.""Kirain, Ibuk capek di perjalanan tadi."