"Mbak mau fokus dulu sama perceraian Mbak sama Mas Pur. Baru urusan rumah. Kemungkinan Mbak mau jual rumah itu. Pasti akan sedikit makan waktu. Tentunya Mas Pur sama Ira, juga akan berusaha mempertahankan rumah itu."
"Nanti Mbak ceritakan sama Bapak, siapa tau Bapak bisa bantu. Bapak itu, kelihatannya aja diem. Tapi actionnya mantap." Aku tersenyum melihat mimik wajah Nawang yang memuji Bapak. Layaknya seorang anak kecil yang membanggakan orang tuanya.
"Kalau kamu lihat semalam, waktu Bapak ngomong sama Ira. Pasti kamu merasa Bapak kita paling keren. Cool banget cara Bapak membungkam mulut Ira. Tadinya dia sok mau melawan Bapak. Satu kalimat aja keluar dari mulut Bapak dia langsung bungkam."
"Pasti seru, terus Mas Pur gimana Mbak?"
 
"Yuk, mari ikut ke ruangan saya." Dia mengajakku ke ruangannya. Kuikuti langkahnya dari belakang.Kami melewati beberapa ruangan, sampai juga kami di ruangan yang dia maksudkan."Silahkan duduk Bu," ucapnya dengan sopan."Bisa saya minta berkasnya," katanya lagi."Eh, ini Pak." Kuserahkan map berisi berkas untuk gugatan ceraiku.Dia membaca isi berkasku, sesekali kepalanya mengangguk. Aku memperhatikan sekitar ruangan, tampaknya ruangan ini bukan ruangan pribadinya. Ada beberapa orang yang sepertinya berprofesi yang sama dengannya, tampak mondar mandir keluar masuk ruangan.
"Harta Hibah, tidak termasuk harta bersama. Hal ini merujuk pada pasal delapan puluh tujuh, ayat dua KHI. Yang isinya kurang lebih begini. Suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berapa hibah, sodaqoh, hadiah atau yang lainnya.""Jadi … saya bisa menuntut hak atas rumah itu Bang?""Bisa, itu hak mutlak kamu. Apa kamu ada bawa suratnya?""Saya tinggal Bang. Nanti saya kirim gambarnya ke Abang.""Baik, saya sudah tau garis besarnya. Kamu tunggu saja, nanti akan datang surat panggilan sidang pertama," kata bang Naldi."Kira-kira kapan Bang? Mungkin dua tiga hari lagi, saya akan bera
"Ehem, ada yang lagi bahagia nih," kataku sambil melirik ke arah gawai Mbak Asih, yang dipandanginya dari tadi."Siapa?" Dia tersenyum malu-malu meong."Barang kamu udah siap semua Dek?" tanya Mbak Asih. Sengaja kali, mengalihkan pembicaraan hehe."Barang yang mana sih Mbak? Kan tau sendiri, Nawang cuma bawa sedikit baju. Niat Ibu, tadinya mau jalan-jalan juga shopping di sini. Gak taunya, gara-gara Mas Pur, malah jalan-jalan seputaran Rumah Sakit." Aku cemberut, sebel sama Mas Pur. Gagal semua rencanaku sama Ibu.Tadinya ke sini mau sejenak melupakan masalahku dengan Mas Bayu. Eh, malah nemu masalah yang lebih pelik. Tapi … sukur juga Ibu kemaren berpikir mau ngasih kejutan sama
"Itulah masalahnya Buk. Saya terlalu fokus mengejar karir sehingga gak mikir mau berumah tangga. Juga belum nemu yang cocok. Akhirnya begini, umur udah banyak masih sendiri. Kayak lagi Caca Handika yang judulnya angka satu. Masak sendiri, nyuci sendiri, makan sendiri." Kami semua tertawa mendengarnya. Kecuali Mbak Asih, dia hanya tersenyum tertunduk malu."Jangan terlalu milih Nak Naldi. Yang penting seiman, baik agamanya," kata Bapak."Iya Pak, mudah-mudahan dipertemukan Allah dengan yang baik," kata Bang Naldi."Ngomong-ngomong. Saya juga orang Medan, Pak. Ibu kandung saya masih tinggal di Medan. Saya dulu diangkat anak sama orangtua saya, yang menetap di sini. Masih kerabat almarhum Ayah saya. Ayah saya meninggal saat saya masih sangat kecil. Kami tiga b
Kudengar suara pintu kamarku dibuka. Ternyata Mbak Asih, "Ada apa Mbak?" tanyaku.Dia berjalan ke arahku, duduk di tepian ranjang . "Gak ada, bosen aja sendirian di kamar," ucapnya."Fatin mana?" tanyaku karena tak melihat Fatin ikut dengan Mbak Asih."Nemeni Ibuk, di kamar Ibuk." Mbak Asih mengayun Tama yang menggeliat di ayunannya."Ibuk udah tidur Mbak?" tanyaku, kuletakkan gelas berisi coklat panasku di atas nakas."Belum, masih diajak ngobrol sama Fatin. Lagian masih sore gini.""Kirain, Ibuk capek di perjalanan tadi."
Ibu tersenyum, sudah hafal dengan tingkah lakuku yang pura-pura itu."Ibu merasa sangat bersalah sama kalian. Sekarang apapun keputusan yang kalian ambil buat masa depan kalian, Ibuk akan dukung."Untuk sesaat suasana menjadi hening. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing."Buk, menurut Ibuk … Mas Bayu masih berubah?" tanyaku meminta pendapat Ibuk. Perkataan Mbak Asih, membuatku jadi ragu dalam mengambil keputusan."Hanya Tuhan yang tau apa yang terjadi kedepannya. Kan, kamu yang menjalankan selama ini. Ibuk kurang tau secara pasti bagaimana Bayu," jawab Ibuk."Menurut Asih, Bayu masih bisa berubah Buk. Bayu &helli
"Ssttt, kita kasih kejutan," kata Nawang meletakkan jari telunjuknya di bibir. Kami berjalan berjingkat ke arah pintu belakang.Saat langkah kami sudah dekat, kami berdiri sejenak dibelakang jendela. Sepertinya Papa dan Mama Bayu, sedang membicarakan hal yang serius, hingga tak memperhatikan sekitar. Padahal dari teras belakang, bisa kelihatan ke ruangan dalam, bila dilihat dari jendela.Nawang menghentikan aksinya, yang ingin memberi kejutan, saat kami dengar nama Nawang disebut dalam perbincangan mereka."Pa, apa mungkin? Bayu bisa melakukan kekerasan terhadap Nawang, karena masih teringat sama Karin?" Kulihat Nawang agak terperanjat mendengar suara Mama Bayu, yang membawa nama Karin dalam pembicaraan mereka. Siapa Karin?
Aku mulai terganggu dengan panggilan itu, "Angkat aja Dek," titahku. Nawang hanya diam tak mengindahkan kata-kataku."Biar Mbak yang angkat!" Aku berusaha mengambil gawai Nawang dari tangannya."Biar saja Mbak," katanya tetap menolak dan mempertahankan gawainya."Kamu baik-baik saja kan, Dek?" tanyaku hati-hati. Saat ini hati Nawang sedang sangat rapuh.Dia tak menjawab, hanya air matanya yang terus mengalir, mewakili jawaban atas pertanyaanku. Sepertinya percuma bicara dengan Nawang saat ini. Aku berbalik arah, juga memandang jauh keluar mobil. Tapi pikiranku melayang entah kemana.Sepertinya tak seharusnya aku membujuk Nawang untuk kembali sam