"Kok malah makin kenceng nangisnya." Bapak mulai bingung. Apalagi aku dan mbak Asih juga ikut menangis.
"Loh … kok, malah nangis semua. Ada masalah apa? Tadi pagi, Ibuk baik-baik saja. Sebelum pergi, Ibuk juga check up dulu kan? Tapi kenapa Ibuk bisa anfal?" tanya Bapak, mulai curiga. Kami hanya diam.
"Tadi Eyang putri berantem sama Tante Ira, Yang," celetuk Fatin.
"Ira?" Bapak memandangi kami satu persatu. Tapi kami masih diam.
Bapak mendatangi Fatin, yang duduk bersama Tama. Sukurlah Tama baik budi sekali. Bapak duduk di hadapan Fatin, beliau memangku Tama.
"Tante Ira itu, siapa?" tanya Bapak ke Fatin.
&n
POV Asih"Andainya kita bisa kembali ke masa kecil kita, pasti menyenangkan ya Mbak," kata Nawang dengan pandangan menerawang, senyum tipis terulas di bibirnya. Kepalanya dia sandarkan di dinding dengan kaki kanan menopang kaki kirinya yang berselonjor."Tapi gak mungkin, waktu bisa diputar lagi. Sekarang tugas kita, bagaimana supaya masa depan kita, bisa semanis masa kecil kita dulu," sahutku. Nawang memandang ke arahku, yang coba membayangkan tentang bahagianya masa depanku kelak."Emang bisa, Mbak?" tanyanya."Mudah-mudahan bisa. Kita pasti tetap bisa bahagia bersama anak-anak kita," jawabku menoleh ke arahnya. Padahal hatiku sendiri masih diselimuti keraguan.
Ibu ternyata menelepon Kak Lasmi. Kakak tertua Mas Pur yang juga sahabat Ibu sejak lama. Sebab itu Ibu menjodohkan aku dan Mas Pur. Atas rekomendasi Kak Lasmi.[Saya gak tau soal itu Jeng] sahut kak Lasmi."Gak mungkin kamu gak tau! Seharusnya kamu tegas sama adikmu itu! Bukannya membiarkan anakku dizolimi sama dia! Dimana pikiran kalian! Bisa-bisanya anakku dijadikan pembantu, kalian diam saja! Kami akan melaporkan adikmu ke polisi!" Klik, Ibu langsung mematikan gawainya."Ibuk menelepon Kak Lasmi?" tanyaku, ketika Ibu menyerahkan gawainya untuk kusimpan lagi."Iya, kalau saja Ibu sehat. Sudah Ibu datangi dia, gak ikhlas Ibu. Kamu diperlakukan begini!" Ibu masih sangat marah.
Kami hanya berjalan kaki saja ke rumah pak Rt, rumahnya tak jauh dari rumahku. Di tengah perjalanan, gawaiku bergetar terdengar ringtone alunan sholawat pertanda ada panggilan masuk dari aplikasi bergambar telepon berwarna hijau.Ku keluarkan gawaiku dari dalam tas sandang berwarna hitam yang ku sampirkan di bahuku. Ternyata panggilan dari Nawang."Iya, Dek," sapaku begitu kuterima panggilan dari Nawang.[Kata Dokter, kalau keadaan Ibu stabil seperti hari ini. Sudah boleh pulang dua hari lagi, Mbak] sahut Nawang."Nanti Mbak bilang Bapak. Fatin gak rewel kan?" tanyaku. Bapak mengambil alih koper yang kubawa, karena agak kesulitan juga menelepon sambil bawa koper yang lumayan besar.
Sebelum kami masuk ke Rumah Sakit tempat Ibuk dirawat. Bapak terlebih dahulu mengajakku booking penginapan yang tak jauh dari Rumah Sakit. Bapak merasa, anak-anak tak baik kalau terlalu lama di Rumah Sakit. Setelahnya kami baru ke tempat Ibuk dirawat.Fatin sangat senang melihatku, yang baru datang. "Bunda kok lama banget?" tanyanya."Bunda ngambil baju kita kerumah," jawabku."Tapi, kita mau nginap di rumah Eyang," lanjutku sembari kuangkat dia ke dalam gendonganku."Beneran?" Dia bertanya lagi, seolah tak percaya. Wajar saja, kami sudah sangat lama tak berkunjung ke rumah orangtuaku."Iyya … suer," kataku dengan menunjukkan dua jariku.&
Aku menghela nafas panjang mendengarnya. Apa yang dialami mbak Asih memang sangat menyakitkan. Setiap hari harus menyaksikan kemesraan suaminya dengan wanita lain. Juga diperlakukan layaknya babu. Apalagi yang harus dipertahankan dari lelaki seperti itu. Mas Pur menyiksa bathin mbak Asih, habis-habisan.Memikirkan hancurnya rumah tangga mbak Asih, membuatku teringat akan diriku sendiri. Pikiranku menerawang. Bayangan mas Bayu yang selalu melakukan kekerasan fisik padaku, berkelebat di ingatanku. Ngeri mengingatnya, tapi tak mau hilang dari memoriku."Dek." Suara mbak Asih membuyarkan lamunanku."Kamu gak mau mikir ulang lagi?" tanyanya."Apanya?" Dahiku mengernyit, tak mengerti maksud pertanyaan mbak Asi
TOK TOK TOKSuara pintu diketuk. Kubuka pintu perlahan, ternyata Bapak."Ini, Bapak belikan sarapan. Buat Fatin dan Tama juga," kata Bapak ketika masuk ke kamar."Makasih Pak. Ibuk sama siapa Pak?" tanyaku. Aku menerima bungkusan yang disodorkan Bapak."Sendiri, Bapak juga mau balik kesana. Cuma beli sarapan tadi. Mbakmu mana?" tanya Bapak, celingukan mencari keberadaan mbak Asih."Lagi mandi, sekalian mandiin Fatin," jawabku."Kamu jadi, mau urus surat pindah sekolah Fatin?" tanya Bapak, begitu melihat mbak Asih yang baru keluar dari kamar mandi.
Kukepalkan buku-buku tanganku, menahan diri. Jangan sampai amarahku meledak di sini. Malu juga kalau dilihat guru-guru di sekolah Fatin."Gak usah diladeni Mbak. Orang sinting itu," bisik Nawang."Iya, Mbak juga males ribut sama dia," bisikku pula."Kok lama mobilnya datang Mbak?" tanya Nawang. Kepalanya dilongokkan ke.arah jalanan, melihat mobil ojol yang kami order."Emang kamu udah order?""Belom. Kirain Mbak yang order.""Lah, Mbak belum order juga," sahutku, geli sendiri kalau ingat Nawang dari tadi celingak celinguk nungguin taksi online datang. Kuambil gawaiku dari da
"Mbak mau fokus dulu sama perceraian Mbak sama Mas Pur. Baru urusan rumah. Kemungkinan Mbak mau jual rumah itu. Pasti akan sedikit makan waktu. Tentunya Mas Pur sama Ira, juga akan berusaha mempertahankan rumah itu.""Nanti Mbak ceritakan sama Bapak, siapa tau Bapak bisa bantu. Bapak itu, kelihatannya aja diem. Tapi actionnya mantap." Aku tersenyum melihat mimik wajah Nawang yang memuji Bapak. Layaknya seorang anak kecil yang membanggakan orang tuanya."Kalau kamu lihat semalam, waktu Bapak ngomong sama Ira. Pasti kamu merasa Bapak kita paling keren. Cool banget cara Bapak membungkam mulut Ira. Tadinya dia sok mau melawan Bapak. Satu kalimat aja keluar dari mulut Bapak dia langsung bungkam.""Pasti seru, terus Mas Pur gimana Mbak?"