Air mata Ibu terus saja mengalir, beliau terisak hingga tersengal, "Íbuu, sudah jangan begini. Nawang! Panggil dokter!"
"Eyang huhuhu." Fatin menangis melihat keadaan Ibu.
Nawang sigap keluar ruangan memanggil dokter.
"Ibuk, jangan begini. Asih baik-baik aja." Aku terus berusaha membuat Ibu tenang. Nafas Ibu masih saja tersengal-sengal.
"Biar saya periksa," kata Dokter, yang baru saja datang. Aku segera menyingkir ke belakang.
"Mbak." Nawang memegang tanganku. Kami berusaha saling menguatkan, berharap Ibu baik-baik saja.
"Ibu Anda, sepertinya mengalami syok berat. Tap
"Pak, kita ke counter hape dulu ya," kataku ke driver ojol."Baik Buk."Sepanjang jalan, pikiranku terus berkecamuk. Aku sangat takut terjadi apa-apa dengan Ibu. Akan kubuat perhitungan sama Ira, kalau sampai kondisi Ibu tak semakin parah. Aku selama ini selalu berusaha menahan rasa perih hatiku demi Ibu. Tapi sekarang Ibu sudah tau semua. Tak perlu lagi aku menahannya. Tunggu saja Ira, akan kubuat perhitungan!Mobil yang kunaiki berhenti di depan sebuah counter hape. "Pak, sebentar ya," kataku sebelum turun dari mobil."Iya, Mbak."Di zaman serba modern seperti sekarang ini, kebutuhan akan barang yang satu itu sama saja dengan kebutuhan p
"Mbak, justru dampaknya tak baik buat Tama, bila aku terus bersama mas Bayu. Bayang-bayang kekerasan yang dilakukan mas Bayu, tak mau hilang dari ingatanku. Aku takut dia mengulanginya lagi." Aku merasa keputusan yang kuambil sudah tepat. Aku takut mental Tama terganggu. Aku pun tak mau, terus menerus dibayangi dengan ketakutan bila terus bersama Mas Bayu."Coba dipikir lagi Dek. Kasih kesempatan sekali lagi buat Bayu. Siapa tau, dia berubah setelah direhab." Mbak Asih berusaha meyakinkanku untuk tak berpisah dari mas Bayu."Menurut Nawang belum tentu juga Mbak. Banyak sekali Nawang kasih kesempatan buat Mas Bayu. Tapi nyatanya … Mas Bayu selalu ingkar. Dia terus saja berbuat hal yang sama. Cemburu buta, marah-marah tak jelas, main tangan sesuka hatinya," beberku dengan dada bergemuruh. Aku fikir, bercerita dengan Mbak Asih bi
"Kok malah makin kenceng nangisnya." Bapak mulai bingung. Apalagi aku dan mbak Asih juga ikut menangis."Loh … kok, malah nangis semua. Ada masalah apa? Tadi pagi, Ibuk baik-baik saja. Sebelum pergi, Ibuk juga check up dulu kan? Tapi kenapa Ibuk bisa anfal?" tanya Bapak, mulai curiga. Kami hanya diam."Tadi Eyang putri berantem sama Tante Ira, Yang," celetuk Fatin."Ira?" Bapak memandangi kami satu persatu. Tapi kami masih diam.Bapak mendatangi Fatin, yang duduk bersama Tama. Sukurlah Tama baik budi sekali. Bapak duduk di hadapan Fatin, beliau memangku Tama."Tante Ira itu, siapa?" tanya Bapak ke Fatin.&n
POV Asih"Andainya kita bisa kembali ke masa kecil kita, pasti menyenangkan ya Mbak," kata Nawang dengan pandangan menerawang, senyum tipis terulas di bibirnya. Kepalanya dia sandarkan di dinding dengan kaki kanan menopang kaki kirinya yang berselonjor."Tapi gak mungkin, waktu bisa diputar lagi. Sekarang tugas kita, bagaimana supaya masa depan kita, bisa semanis masa kecil kita dulu," sahutku. Nawang memandang ke arahku, yang coba membayangkan tentang bahagianya masa depanku kelak."Emang bisa, Mbak?" tanyanya."Mudah-mudahan bisa. Kita pasti tetap bisa bahagia bersama anak-anak kita," jawabku menoleh ke arahnya. Padahal hatiku sendiri masih diselimuti keraguan.
Ibu ternyata menelepon Kak Lasmi. Kakak tertua Mas Pur yang juga sahabat Ibu sejak lama. Sebab itu Ibu menjodohkan aku dan Mas Pur. Atas rekomendasi Kak Lasmi.[Saya gak tau soal itu Jeng] sahut kak Lasmi."Gak mungkin kamu gak tau! Seharusnya kamu tegas sama adikmu itu! Bukannya membiarkan anakku dizolimi sama dia! Dimana pikiran kalian! Bisa-bisanya anakku dijadikan pembantu, kalian diam saja! Kami akan melaporkan adikmu ke polisi!" Klik, Ibu langsung mematikan gawainya."Ibuk menelepon Kak Lasmi?" tanyaku, ketika Ibu menyerahkan gawainya untuk kusimpan lagi."Iya, kalau saja Ibu sehat. Sudah Ibu datangi dia, gak ikhlas Ibu. Kamu diperlakukan begini!" Ibu masih sangat marah.
Kami hanya berjalan kaki saja ke rumah pak Rt, rumahnya tak jauh dari rumahku. Di tengah perjalanan, gawaiku bergetar terdengar ringtone alunan sholawat pertanda ada panggilan masuk dari aplikasi bergambar telepon berwarna hijau.Ku keluarkan gawaiku dari dalam tas sandang berwarna hitam yang ku sampirkan di bahuku. Ternyata panggilan dari Nawang."Iya, Dek," sapaku begitu kuterima panggilan dari Nawang.[Kata Dokter, kalau keadaan Ibu stabil seperti hari ini. Sudah boleh pulang dua hari lagi, Mbak] sahut Nawang."Nanti Mbak bilang Bapak. Fatin gak rewel kan?" tanyaku. Bapak mengambil alih koper yang kubawa, karena agak kesulitan juga menelepon sambil bawa koper yang lumayan besar.
Sebelum kami masuk ke Rumah Sakit tempat Ibuk dirawat. Bapak terlebih dahulu mengajakku booking penginapan yang tak jauh dari Rumah Sakit. Bapak merasa, anak-anak tak baik kalau terlalu lama di Rumah Sakit. Setelahnya kami baru ke tempat Ibuk dirawat.Fatin sangat senang melihatku, yang baru datang. "Bunda kok lama banget?" tanyanya."Bunda ngambil baju kita kerumah," jawabku."Tapi, kita mau nginap di rumah Eyang," lanjutku sembari kuangkat dia ke dalam gendonganku."Beneran?" Dia bertanya lagi, seolah tak percaya. Wajar saja, kami sudah sangat lama tak berkunjung ke rumah orangtuaku."Iyya … suer," kataku dengan menunjukkan dua jariku.&
Aku menghela nafas panjang mendengarnya. Apa yang dialami mbak Asih memang sangat menyakitkan. Setiap hari harus menyaksikan kemesraan suaminya dengan wanita lain. Juga diperlakukan layaknya babu. Apalagi yang harus dipertahankan dari lelaki seperti itu. Mas Pur menyiksa bathin mbak Asih, habis-habisan.Memikirkan hancurnya rumah tangga mbak Asih, membuatku teringat akan diriku sendiri. Pikiranku menerawang. Bayangan mas Bayu yang selalu melakukan kekerasan fisik padaku, berkelebat di ingatanku. Ngeri mengingatnya, tapi tak mau hilang dari memoriku."Dek." Suara mbak Asih membuyarkan lamunanku."Kamu gak mau mikir ulang lagi?" tanyanya."Apanya?" Dahiku mengernyit, tak mengerti maksud pertanyaan mbak Asi