POV Nawang
"NAWANG!" Reflek aku menoleh ke arah suara yang memanggil namaku.
"Aw, sakit." Tau-tau Ibu sudah menarik tanganku dengan kasar.
"Kamu bohong sama Ibuk! Kamu bilang sudah tak menjalin hubungan lagi dengan laki-laki kere ini!" Ibu menuding wajah mas Dimas, yang memaku menatap Ibuk.
"Malu, Buk. Diliatin orang." Bapak berucap setengah berbisik.
Aku melihat ke sekeliling, banyak mata memandang penuh tanya, mulut-mulut yang saling berbisik dengan opininya sendiri-sendiri.
"Gak ada malu-malu! Biar tau diri si Nawang ini! Apa yang kamu lihat dari laki-laki ini hah! Kerjaan cuma buruh! Tampang pas-pasan!" Ibuk mulai dengan kebiasaannya yang selalu memandang hina orang lain.
"Nawang … sayang sama Mas Dimas, Buk." Aku berucap lirih, mataku sudah terasa kabur karena penuh sesak dengan cairan kristal.
"Sayang! Kamu sangka zaman sekarang bisa makan sayang?! Pikir pake otak Nawang! Bapak sama Ibu membesarkan kamu susah payah, bukan untuk hidup susah sama laki-laki ini." Ibu terus melontarkan kata-kata kasar seraya mengacungkan jari telunjuknya wajah Mas Dimas . Namun mas Dimas tak bergeming, dia tetap berusaha untuk tenang. Dia menelan bulat-bulat setiap hinaan yang keluar dari mulut Ibu.
Aku mencintai mas Dimas, dia pribadi yang tenang. Aku bisa selalu merasa tenang berada di dekatnya, dia memang tak berharta juga tak rupawan. Tapi setiap bersamanya aku selalu merasa bahagia.
"Ayok, pulang!" Ibu menyeret tanganku paksa. Keluar dari warung bakso langgananku dan mas Dimas.
Mas Dimas terperangah melihatku yang diseret paksa oleh Ibu. Matanya terlihat iba. Tapi tak berdaya.
BUGH
"Sakit, Buk." Ibu mendorongku dengan kasar masuk ke dalam mobil.
BAAKK
Pintu mobil ditutup dengan kasar.
"Lebih sakit hati Ibuk! Punya anak gak nurut kayak kamu! Mulai besok, kamu gak boleh keluar rumah sendiri! Harus sama Ibuk! Gak bisa dipercaya kamu! Katanya gak akan lagi berhubungan sama si kere itu! Nyatanya, jumpa diam-diam di belakang Ibuk!" Ibu terus mencecarku dengan omelannya sepanjang perjalanan pulang.
"Apa yang kamu pandang dari dia! Dia cuma buruh kebun! Sementara kamu seorang calon pewaris kebun sawit di kampung kita! Mau kamu! Dia nanti cuma jadi benalu yang bisanya cuma menumpang hidup!" Kata-kata hinaan terus meluncur dari mulut Ibu.
Aku tau, mas Dimas hanya bekerja menjadi mandor pemetik buah sawit milik pemerintah. Tapi dia pekerja keras dan juga seorang yang sangat baik. Setidaknya tiga tahun aku menjalin hubungan dengan mas Dimas, tak sekalipun terdengar cerita miring tentangnya.
★★★KARTIKA DEKA★★★
"Masuk!" Ibu mendorongku kasar, masuk ke dalam kamarku. Hingga aku hampir terjungkal.
"Mulai sekarang, kamu gak boleh kemana-mana tanpa seizin Ibuk! Beberapa hari lagi, Bayu datang. Kamu harus menerima dia jadi calon suamimu! Kali ini, kamu gak bisa nawar lagi! Kamu harus nurut kata-kata Ibu! Lihat Mbakmu! Dia bahagia kan, dengan suami pilihan Ibuk!" Aku tak mampu menjawab setiap kalimat yang keluar dari mulut Ibuk. Hanya terdiam, dalam isak tangis, yang sama sekali tak membuat iba hati ibuku.
CEKLEK. Suara pintu yang dikunci dari luar.
"Buk, jangan dikunciin gitu. Kalau Nawang mau apa-apa gimana? Jangan terlalu keras sama Nawang, Buk." Terdengar suara Bapak yang mencoba membujuk Ibuk.
"Biarin, Pak! Biar dia introspeksi diri. Ibuk cuma mau yang terbaik buat dia. Anak kita cuma dua, Pak. Ibuk gak mau lihat mereka hidup susah. Seharusnya dia lihat kehidupan Asih sama Pur sekarang. Walaupun Ibuk jodohkan, Asih bisa bahagia. Aduhhhh …." Kudengar Ibuk seperti kesakitan.
Ibuk kenapa? Maafin Nawang, Buk. Air mataku terus meleleh, rasa khawatir menyergap hatiku. Kurapatkan telinga di pintu kamar, agar bisa mendengar dengan jelas, apa gerangan yang terjadi di luar kamarku.
"Minum dulu, Buk. Obatnya dimana." Bapak terdengar sedikit khawatir.
Lalu terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa juga suara laci yang dibuka. Pasti Bapak sedang membuka laci nakas di depan kamarku. Biasanya di situ Ibu menyimpan obatnya.
"Nah, minum obatnya dulu. Makanya jangan marah-marah melulu. Nanti jantungnya kumat lagi. Udah enakan, Buk."
"Udah, Pak." Suara Ibu masih lemah. Aku yang mendengarkan dari balik pintu kamarku, merasa lega. Berarti tadi penyakit jantung Ibu hampir saja kumat.
Aku berjalan dengan langkah gontai ke ranjangku, terduduk lemas di tepian ranjangku, beginilah akhir cintaku dengan Mas Dimas. Impianku hidup bahagia, dalam rumah tangga yang sakinah bersamanya menguap begitu saja.
Bisa saja aku kawin lari dengan mas Dimas. Tapi dia laki-laki gentleman, dia tak mau bertindak pengecut dengan melarikan anak orang. Dia ingin keberkahan dalam rumah tangga. Bagaimana bisa berkah? Tanpa ada restu di dalamnya. Itu yang pernah dikatakannya, saat aku mengajaknya pergi jauh, beberapa waktu yang lalu.
Bayu, laki-laki yang dijodohkan Ibuk denganku. Dia anak sahabat Ibuk, yang juga memiliki kebun sawit pribadi. Bahkan kebun sawit milik keluarganya, lebih luas dari milik keluarga kami di luar pulau.
Sudah beberapa kali, Ibuk mempertemukan kami. Dari segi fisik, kuakui dia jauh lebih tampan dari mas Dimas. Orangnya juga kelihatan baik dan santun dengan orang tua. Tapi tak ada getaran di hatiku saat bersamanya, seperti saat aku bersama mas Dimas. Dia bilang dia sudah menyukaiku sejak pertama melihatku.
Apakah aku memang harus memutuskan mas Dimas? Mengingat penyakit Ibuk, aku takut penyakitnya kambuh karena aku. Hanya akan ada penyesalan dalam hidupku, bila terjadi apa-apa dengan Ibuk.
Sepertinya aku yang harus mengalah, menyingkirkan egoku. Menghapus bayang-bayang masa depanku dengan mas Dimas.
Aku harus mulai bisa menerima kenyataan, bahwa aku tak berjodoh dengan mas Dimas. Dan menerima laki-laki pilihan Ibuk. Benar kata Ibuk, dulu Mbak Asih, juga dijodohkan sama Ibuk. Selama lima tahun pernikahannya, Mbak Asih terlihat bahagia.
Ibuk, pasti memilihkan yang terbaik buat kami.
Maafkan Nawang, mas Dimas.
★★★KARTIKA DEKA★★★
"Nawang. Bangun, makan dulu." Lamat-lamat aku seperti mendengar suara Ibuk.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, terasa berat. Mungkin karena tertidur dalam keadaan menangis. Agak susah aku membuka kelopak mataku, mungkin penampakan mataku sedang bengkak saat ini.
Aku melihat Ibuk, duduk di tepian ranjang. Sepertinya Ibu tak marah lagi. Aku beringsut bangkit dari tidurku, Ibuk merapikan rambutku yang berantakan dengan tangannya.
"Mandi dulu sana, terus makan," katanya lembut.
"Buk, maafin Nawang." Aku memeluk Ibuk, membenamkan wajahku di dadanya. Mendengarkan detak irama jantungnya.
Ibuk membelai rambutku "Iya, Ibuk juga minta maaf, tadi udah kasar."
Aku semakin memeluk Ibuk dengan erat.
"Mandi dulu sana, bau asem." Aku tersenyum mendengar kata-kata Ibuk.
"Buk... besok Nawang izin menemui mas Dimas, ya." Aku berkata dengan agak takut. Takut amarah Ibuk meledak lagi.
"Buat apa lagi menemui dia." Syukurlah, Ibuk bisa berkata dengan tenang.
"Nawang cuma ingin, memutuskan hubungan Nawang dengan mas Dimas. Biar mas Dimas tak berharap lagi sama Nawang." Aku menutup mataku, kata-kata yang keluar dari mulutku. Justru terasa menyakitkan buat diriku sendiri.
"Benar, begitu?" selidik Ibu seakan tak percaya.
Selama ini, Ibuk berusaha keras memutuskan hubunganku dengan mas Dimas. Tapi aku tetap keras kepala, tetap menjalin hubungan diam-diam di belakang Ibuk.
"Iya, Buk. Nawang janji, kali ini gak ngecewain Ibuk lagi." Aku memastikan kata-kataku sendiri seraya melepaskan pelukanku dari tubuh Ibu.
"Ibuk yang akan temani!" Ibu berbicara dengan tegas. Ternyata masih belum percaya denganku.
"Tapi, Buk …."
★★★KARTIKA DEKA★★★
"Gak ada tapi-tapi, kamu sudah pernah buat Ibu kecewa. Sulit buat Ibuk bisa percaya!" Aku menelan salivaku mendengar perkataan Ibu."Cepat mandi, terus makan." Perintah Ibu. Sebelum dia akhirnya lebih dulu keluar dari kamarku.Kuambil gawaiku dari dalam tas.[Mas, besok kita ketemu di taman kota. Di tempat biasa. Jam lima sore] send. Kukirim pesan melalui aplikasi hijau ke nomor Mas Dimas. Aku tercenung, bagaimana caranya merangkai kata putus terbaik, agar Mas Dimas tak.merasa sakit hati.Hah, sebaik apapun aku merangkai kata. Tetap saja, kata putus akan sangat menyakitkan buat Mas Dimas dan juga diriku sendiri.★★★KART
Aku membuka mataku, kepalaku masih terasa berat. Pandanganku masih kabur, apa yang terjadi?"Sudah sadar, Nawang." Kudengar Suara Ibu.Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, mulai jelas terlihat siapa saja yang berada di kamarku. Ada Ibu di sampingku dan mbak Asih. Mbak Asih menggosok-gosok tanganku yang dingin agar terasa hangat."Nawang kenapa, Bu?" Aku bertanya lirih."Kamu pingsan tadi," jawab Ibu."Pingsan?" tanyaku."Iya, kamu belum makan dari pagi, ya? Kata Mbok, kamu gak ada makan." Aku terdiam mendengarkan Ibu.Aku baru ingat, keluarga calon sua
"Mbak Nawang, gak papa?" Mbok Ijah terlihat khawatir. Kuhentikan laju motorku."Gak papa, Mbok. Mbok gak papa kan?" Aku bertanya balik."Gak papa. Hati-hati Mbak. Calon pengantin, memang rawan hal beginian. Makanya dilarang keluar lama dan jauh dari rumah," ujar mbok Ijah.Aku yang melamun saat tengah membawa motor maticku. Hampir saja terserempet pengendara lain yang menyalip dari samping kananku."Iya Mbok. Hahhhh, yuk kita pulang." Aku menarik nafas sebelum melajukan motorku lagi."Pelan-pelan saja ya Mbak. Gak papa lama, yang penting tetap sampe di rumah." Mbok Ijah terlihat masih khawatir."Iya Mbok, t
Tiba-tiba mas Bayu menggendongku, semua orang terdengar sumringah bahagia. Aku sedikit merasa tersipu. Kami masih lagi belum turun dari pelaminan. Mungkin dia memang jodoh terbaik buatku. Tak mungkin Ibu memilih menantu yang salah untuknya. Dia pasti mencari yang terbaik untuk menjadi suamiku."Belum selesai acaranya Bayu.""Masih sore ini, Bay."Begitulah kira-kira ledekan yang dilontarkan, tapi tak dihiraukan mas Bayu."Mas ... malu." Aku berbisik ke telinganya."Simpan wajahmu di dada, Mas," katanya tersenyum simpul.Aku merasakannya, aku mendengar detak jantungnya yang tak beraturan. Dan apa ini! Kenapa aku b
POV NawangIbu … inikah lelaki yang Ibu pilihkan untukku. Ratap batinku.Mas Bayu mendapatkan malam pertama kami sesuai kehendaknya. Namun tidak denganku. Aku hanya merasakan perih di sekujur tubuhku. Dia begitu kasar melakukannya. Aku yang baru kali ini melakukannya, harus mengalami trauma di malam pertama. Kata orang malam pertama itu malam yang indah. Tapi tidak denganku.Apa yang harus kulakukan? Apa Ibu akan percaya bila aku mengadu? Tapi tidak! Aku harus diam, menelan sendiri penderitaanku. Aku takut penyakit jantung Ibu kambuh.Mas Bayu telah tidur karena kelelahan. Aku bangkit dari peraduan, tubuhku sakit semua, tampak beberapa bekas lebam di area sensitifku. Kulangkahkan kaki perlahan, menuju ke kamar mandi. Aku ingin mandi, menghil
"Kenapa bibir kamu, Nawang?" tanya Ibu. Ternyata Ibu memperhatikan, aku harus jawab apa?"Maklumlah Bu, manten baru. Belum pinter caranya hehehe." Syukurlah mbak Asih yang menjawab pertanyaan Ibu. Meski jawabannya membuat hatiku teriris. Mbak gak tau, apa yang sebenarnya terjadi?"Ini loh, Papa Mamanya, Bayu mau pamitan. Mau balik ke rumah. Katanya masih banyak persiapan lagi yang belum tuntas, buat acara ngundo mantu minggu depan," beber Ibu."Cepat banget sih Bu," kataku mencoba mengakrabkan diri dengan mertua."Kok, Ibu sih. Panggil Mama Papa. Sama seperti Bayu memanggil kami," kata Mama mas Bayu."Iya Ma." Masih agak canggung aku meman
POV Nawang"Gak bisa Bu. Mas Pur nggak bisa lama-lama ninggalin kerjaan. Asih kan udah sebulan di sini. Nanti, kalau Mas Pur cuti panjang lagi, kami bakalan nginap di sini.""Ya udah, tapi bener ya. Sering-sering ke sini. Nawang juga udah nikah. Ibu kesepian cuma berduaan sama Bapak.""Yes Mem!" kata Mbak Asih seraya memeluk Ibu dari belakang, yang sedang duduk menikmati tehnya.Akhirnya Ibu menerima penjelasan mbak Asih, mbak Asih memang sudah satu bulan lebih di sini. Tentunya juga harus menjaga perasaan mas Pur dan keluarganya. Tak ada alasan kuat lagi untuk menunda kepulangan. Kalau hanya acara ngunduh mantu, tentu tak begitu memberatkan mbak Asih untuk pulang.
POV NawangPLAKKDia menamparku lagi. Kurasakan sudut bibirku begitu perih. Luka yang kemaren baru sembuh. Sudah harus terluka lagi.Aku menangis menahan rasa perih di bibirku dan sakit di bagian punggung yang terhempas.Mas Bayu yang lagi berdiri, datang berlutut ke arahku yang sedang meringkuk, menahan sakit dan rasa takut."A-ampun Mas!" Aku memohon ampun, kututupi wajahku dengan kedua tanganku. Takut dia menamparku lagi.Tiba-tiba dia menggendongku, menghempaskan tubuhku dengan kasar ke atas peraduan.