POV Nawang
"NAWANG!" Reflek aku menoleh ke arah suara yang memanggil namaku.
"Aw, sakit." Tau-tau Ibu sudah menarik tanganku dengan kasar.
"Kamu bohong sama Ibuk! Kamu bilang sudah tak menjalin hubungan lagi dengan laki-laki kere ini!" Ibu menuding wajah mas Dimas, yang memaku menatap Ibuk.
"Malu, Buk. Diliatin orang." Bapak berucap setengah berbisik.
Aku melihat ke sekeliling, banyak mata memandang penuh tanya, mulut-mulut yang saling berbisik dengan opininya sendiri-sendiri.
"Gak ada malu-malu! Biar tau diri si Nawang ini! Apa yang kamu lihat dari laki-laki ini hah! Kerjaan cuma buruh! Tampang pas-pasan!" Ibuk mulai dengan kebiasaannya yang selalu memandang hina orang lain.
"Nawang … sayang sama Mas Dimas, Buk." Aku berucap lirih, mataku sudah terasa kabur karena penuh sesak dengan cairan kristal.
"Sayang! Kamu sangka zaman sekarang bisa makan sayang?! Pikir pake otak Nawang! Bapak sama Ibu membesarkan kamu susah payah, bukan untuk hidup susah sama laki-laki ini." Ibu terus melontarkan kata-kata kasar seraya mengacungkan jari telunjuknya wajah Mas Dimas . Namun mas Dimas tak bergeming, dia tetap berusaha untuk tenang. Dia menelan bulat-bulat setiap hinaan yang keluar dari mulut Ibu.
Aku mencintai mas Dimas, dia pribadi yang tenang. Aku bisa selalu merasa tenang berada di dekatnya, dia memang tak berharta juga tak rupawan. Tapi setiap bersamanya aku selalu merasa bahagia.
"Ayok, pulang!" Ibu menyeret tanganku paksa. Keluar dari warung bakso langgananku dan mas Dimas.
Mas Dimas terperangah melihatku yang diseret paksa oleh Ibu. Matanya terlihat iba. Tapi tak berdaya.
BUGH
"Sakit, Buk." Ibu mendorongku dengan kasar masuk ke dalam mobil.
BAAKK
Pintu mobil ditutup dengan kasar.
"Lebih sakit hati Ibuk! Punya anak gak nurut kayak kamu! Mulai besok, kamu gak boleh keluar rumah sendiri! Harus sama Ibuk! Gak bisa dipercaya kamu! Katanya gak akan lagi berhubungan sama si kere itu! Nyatanya, jumpa diam-diam di belakang Ibuk!" Ibu terus mencecarku dengan omelannya sepanjang perjalanan pulang.
"Apa yang kamu pandang dari dia! Dia cuma buruh kebun! Sementara kamu seorang calon pewaris kebun sawit di kampung kita! Mau kamu! Dia nanti cuma jadi benalu yang bisanya cuma menumpang hidup!" Kata-kata hinaan terus meluncur dari mulut Ibu.
Aku tau, mas Dimas hanya bekerja menjadi mandor pemetik buah sawit milik pemerintah. Tapi dia pekerja keras dan juga seorang yang sangat baik. Setidaknya tiga tahun aku menjalin hubungan dengan mas Dimas, tak sekalipun terdengar cerita miring tentangnya.
★★★KARTIKA DEKA★★★
"Masuk!" Ibu mendorongku kasar, masuk ke dalam kamarku. Hingga aku hampir terjungkal.
"Mulai sekarang, kamu gak boleh kemana-mana tanpa seizin Ibuk! Beberapa hari lagi, Bayu datang. Kamu harus menerima dia jadi calon suamimu! Kali ini, kamu gak bisa nawar lagi! Kamu harus nurut kata-kata Ibu! Lihat Mbakmu! Dia bahagia kan, dengan suami pilihan Ibuk!" Aku tak mampu menjawab setiap kalimat yang keluar dari mulut Ibuk. Hanya terdiam, dalam isak tangis, yang sama sekali tak membuat iba hati ibuku.
CEKLEK. Suara pintu yang dikunci dari luar.
"Buk, jangan dikunciin gitu. Kalau Nawang mau apa-apa gimana? Jangan terlalu keras sama Nawang, Buk." Terdengar suara Bapak yang mencoba membujuk Ibuk.
"Biarin, Pak! Biar dia introspeksi diri. Ibuk cuma mau yang terbaik buat dia. Anak kita cuma dua, Pak. Ibuk gak mau lihat mereka hidup susah. Seharusnya dia lihat kehidupan Asih sama Pur sekarang. Walaupun Ibuk jodohkan, Asih bisa bahagia. Aduhhhh …." Kudengar Ibuk seperti kesakitan.
Ibuk kenapa? Maafin Nawang, Buk. Air mataku terus meleleh, rasa khawatir menyergap hatiku. Kurapatkan telinga di pintu kamar, agar bisa mendengar dengan jelas, apa gerangan yang terjadi di luar kamarku.
"Minum dulu, Buk. Obatnya dimana." Bapak terdengar sedikit khawatir.
Lalu terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa juga suara laci yang dibuka. Pasti Bapak sedang membuka laci nakas di depan kamarku. Biasanya di situ Ibu menyimpan obatnya.
"Nah, minum obatnya dulu. Makanya jangan marah-marah melulu. Nanti jantungnya kumat lagi. Udah enakan, Buk."
"Udah, Pak." Suara Ibu masih lemah. Aku yang mendengarkan dari balik pintu kamarku, merasa lega. Berarti tadi penyakit jantung Ibu hampir saja kumat.
Aku berjalan dengan langkah gontai ke ranjangku, terduduk lemas di tepian ranjangku, beginilah akhir cintaku dengan Mas Dimas. Impianku hidup bahagia, dalam rumah tangga yang sakinah bersamanya menguap begitu saja.
Bisa saja aku kawin lari dengan mas Dimas. Tapi dia laki-laki gentleman, dia tak mau bertindak pengecut dengan melarikan anak orang. Dia ingin keberkahan dalam rumah tangga. Bagaimana bisa berkah? Tanpa ada restu di dalamnya. Itu yang pernah dikatakannya, saat aku mengajaknya pergi jauh, beberapa waktu yang lalu.
Bayu, laki-laki yang dijodohkan Ibuk denganku. Dia anak sahabat Ibuk, yang juga memiliki kebun sawit pribadi. Bahkan kebun sawit milik keluarganya, lebih luas dari milik keluarga kami di luar pulau.
Sudah beberapa kali, Ibuk mempertemukan kami. Dari segi fisik, kuakui dia jauh lebih tampan dari mas Dimas. Orangnya juga kelihatan baik dan santun dengan orang tua. Tapi tak ada getaran di hatiku saat bersamanya, seperti saat aku bersama mas Dimas. Dia bilang dia sudah menyukaiku sejak pertama melihatku.
Apakah aku memang harus memutuskan mas Dimas? Mengingat penyakit Ibuk, aku takut penyakitnya kambuh karena aku. Hanya akan ada penyesalan dalam hidupku, bila terjadi apa-apa dengan Ibuk.
Sepertinya aku yang harus mengalah, menyingkirkan egoku. Menghapus bayang-bayang masa depanku dengan mas Dimas.
Aku harus mulai bisa menerima kenyataan, bahwa aku tak berjodoh dengan mas Dimas. Dan menerima laki-laki pilihan Ibuk. Benar kata Ibuk, dulu Mbak Asih, juga dijodohkan sama Ibuk. Selama lima tahun pernikahannya, Mbak Asih terlihat bahagia.
Ibuk, pasti memilihkan yang terbaik buat kami.
Maafkan Nawang, mas Dimas.
★★★KARTIKA DEKA★★★
"Nawang. Bangun, makan dulu." Lamat-lamat aku seperti mendengar suara Ibuk.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, terasa berat. Mungkin karena tertidur dalam keadaan menangis. Agak susah aku membuka kelopak mataku, mungkin penampakan mataku sedang bengkak saat ini.
Aku melihat Ibuk, duduk di tepian ranjang. Sepertinya Ibu tak marah lagi. Aku beringsut bangkit dari tidurku, Ibuk merapikan rambutku yang berantakan dengan tangannya.
"Mandi dulu sana, terus makan," katanya lembut.
"Buk, maafin Nawang." Aku memeluk Ibuk, membenamkan wajahku di dadanya. Mendengarkan detak irama jantungnya.
Ibuk membelai rambutku "Iya, Ibuk juga minta maaf, tadi udah kasar."
Aku semakin memeluk Ibuk dengan erat.
"Mandi dulu sana, bau asem." Aku tersenyum mendengar kata-kata Ibuk.
"Buk... besok Nawang izin menemui mas Dimas, ya." Aku berkata dengan agak takut. Takut amarah Ibuk meledak lagi.
"Buat apa lagi menemui dia." Syukurlah, Ibuk bisa berkata dengan tenang.
"Nawang cuma ingin, memutuskan hubungan Nawang dengan mas Dimas. Biar mas Dimas tak berharap lagi sama Nawang." Aku menutup mataku, kata-kata yang keluar dari mulutku. Justru terasa menyakitkan buat diriku sendiri.
"Benar, begitu?" selidik Ibu seakan tak percaya.
Selama ini, Ibuk berusaha keras memutuskan hubunganku dengan mas Dimas. Tapi aku tetap keras kepala, tetap menjalin hubungan diam-diam di belakang Ibuk.
"Iya, Buk. Nawang janji, kali ini gak ngecewain Ibuk lagi." Aku memastikan kata-kataku sendiri seraya melepaskan pelukanku dari tubuh Ibu.
"Ibuk yang akan temani!" Ibu berbicara dengan tegas. Ternyata masih belum percaya denganku.
"Tapi, Buk …."
★★★KARTIKA DEKA★★★
"Gak ada tapi-tapi, kamu sudah pernah buat Ibu kecewa. Sulit buat Ibuk bisa percaya!" Aku menelan salivaku mendengar perkataan Ibu."Cepat mandi, terus makan." Perintah Ibu. Sebelum dia akhirnya lebih dulu keluar dari kamarku.Kuambil gawaiku dari dalam tas.[Mas, besok kita ketemu di taman kota. Di tempat biasa. Jam lima sore] send. Kukirim pesan melalui aplikasi hijau ke nomor Mas Dimas. Aku tercenung, bagaimana caranya merangkai kata putus terbaik, agar Mas Dimas tak.merasa sakit hati.Hah, sebaik apapun aku merangkai kata. Tetap saja, kata putus akan sangat menyakitkan buat Mas Dimas dan juga diriku sendiri.★★★KART
Aku membuka mataku, kepalaku masih terasa berat. Pandanganku masih kabur, apa yang terjadi?"Sudah sadar, Nawang." Kudengar Suara Ibu.Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, mulai jelas terlihat siapa saja yang berada di kamarku. Ada Ibu di sampingku dan mbak Asih. Mbak Asih menggosok-gosok tanganku yang dingin agar terasa hangat."Nawang kenapa, Bu?" Aku bertanya lirih."Kamu pingsan tadi," jawab Ibu."Pingsan?" tanyaku."Iya, kamu belum makan dari pagi, ya? Kata Mbok, kamu gak ada makan." Aku terdiam mendengarkan Ibu.Aku baru ingat, keluarga calon sua
"Mbak Nawang, gak papa?" Mbok Ijah terlihat khawatir. Kuhentikan laju motorku."Gak papa, Mbok. Mbok gak papa kan?" Aku bertanya balik."Gak papa. Hati-hati Mbak. Calon pengantin, memang rawan hal beginian. Makanya dilarang keluar lama dan jauh dari rumah," ujar mbok Ijah.Aku yang melamun saat tengah membawa motor maticku. Hampir saja terserempet pengendara lain yang menyalip dari samping kananku."Iya Mbok. Hahhhh, yuk kita pulang." Aku menarik nafas sebelum melajukan motorku lagi."Pelan-pelan saja ya Mbak. Gak papa lama, yang penting tetap sampe di rumah." Mbok Ijah terlihat masih khawatir."Iya Mbok, t
Tiba-tiba mas Bayu menggendongku, semua orang terdengar sumringah bahagia. Aku sedikit merasa tersipu. Kami masih lagi belum turun dari pelaminan. Mungkin dia memang jodoh terbaik buatku. Tak mungkin Ibu memilih menantu yang salah untuknya. Dia pasti mencari yang terbaik untuk menjadi suamiku."Belum selesai acaranya Bayu.""Masih sore ini, Bay."Begitulah kira-kira ledekan yang dilontarkan, tapi tak dihiraukan mas Bayu."Mas ... malu." Aku berbisik ke telinganya."Simpan wajahmu di dada, Mas," katanya tersenyum simpul.Aku merasakannya, aku mendengar detak jantungnya yang tak beraturan. Dan apa ini! Kenapa aku b
POV NawangIbu … inikah lelaki yang Ibu pilihkan untukku. Ratap batinku.Mas Bayu mendapatkan malam pertama kami sesuai kehendaknya. Namun tidak denganku. Aku hanya merasakan perih di sekujur tubuhku. Dia begitu kasar melakukannya. Aku yang baru kali ini melakukannya, harus mengalami trauma di malam pertama. Kata orang malam pertama itu malam yang indah. Tapi tidak denganku.Apa yang harus kulakukan? Apa Ibu akan percaya bila aku mengadu? Tapi tidak! Aku harus diam, menelan sendiri penderitaanku. Aku takut penyakit jantung Ibu kambuh.Mas Bayu telah tidur karena kelelahan. Aku bangkit dari peraduan, tubuhku sakit semua, tampak beberapa bekas lebam di area sensitifku. Kulangkahkan kaki perlahan, menuju ke kamar mandi. Aku ingin mandi, menghil
"Kenapa bibir kamu, Nawang?" tanya Ibu. Ternyata Ibu memperhatikan, aku harus jawab apa?"Maklumlah Bu, manten baru. Belum pinter caranya hehehe." Syukurlah mbak Asih yang menjawab pertanyaan Ibu. Meski jawabannya membuat hatiku teriris. Mbak gak tau, apa yang sebenarnya terjadi?"Ini loh, Papa Mamanya, Bayu mau pamitan. Mau balik ke rumah. Katanya masih banyak persiapan lagi yang belum tuntas, buat acara ngundo mantu minggu depan," beber Ibu."Cepat banget sih Bu," kataku mencoba mengakrabkan diri dengan mertua."Kok, Ibu sih. Panggil Mama Papa. Sama seperti Bayu memanggil kami," kata Mama mas Bayu."Iya Ma." Masih agak canggung aku meman
POV Nawang"Gak bisa Bu. Mas Pur nggak bisa lama-lama ninggalin kerjaan. Asih kan udah sebulan di sini. Nanti, kalau Mas Pur cuti panjang lagi, kami bakalan nginap di sini.""Ya udah, tapi bener ya. Sering-sering ke sini. Nawang juga udah nikah. Ibu kesepian cuma berduaan sama Bapak.""Yes Mem!" kata Mbak Asih seraya memeluk Ibu dari belakang, yang sedang duduk menikmati tehnya.Akhirnya Ibu menerima penjelasan mbak Asih, mbak Asih memang sudah satu bulan lebih di sini. Tentunya juga harus menjaga perasaan mas Pur dan keluarganya. Tak ada alasan kuat lagi untuk menunda kepulangan. Kalau hanya acara ngunduh mantu, tentu tak begitu memberatkan mbak Asih untuk pulang.
POV NawangPLAKKDia menamparku lagi. Kurasakan sudut bibirku begitu perih. Luka yang kemaren baru sembuh. Sudah harus terluka lagi.Aku menangis menahan rasa perih di bibirku dan sakit di bagian punggung yang terhempas.Mas Bayu yang lagi berdiri, datang berlutut ke arahku yang sedang meringkuk, menahan sakit dan rasa takut."A-ampun Mas!" Aku memohon ampun, kututupi wajahku dengan kedua tanganku. Takut dia menamparku lagi.Tiba-tiba dia menggendongku, menghempaskan tubuhku dengan kasar ke atas peraduan.
Naldi dan Asih terperangah melihat kehadiran Rika yang datang berdua dengan Pur ke rumah mereka. Sempat terlintas pikiran buruk di benak mereka. Apalagi mendengar Pur dan Rika mengutarakan niat mereka untuk menikah. "Bagaimana kalian bisa saling kenal? Tau-tau kalian ingin menikah?" selidik Naldi. "Tak perlu kami ceritakan bagaimana prosesnya. Yang jelas, keinginan kami sungguh-sungguh untuk menikah," jawab Pur. Dia merasa tak perlu berbagi cerita tentang niat terselubung mereka pada awalnya. Yang terpenting sekarang, dia dan Rika sungguh-sungguh ingin menjalin cinta mereka sendiri. Tanpa mengusik jalinan cinta orang lain lagi. "Tapi Rika masih kuliah, pasti Ayah tak akan mengizinkannya menikah semuda ini. Apalagi dengan orang yang usianya jauh lebih tua." "Aku tetap mengizinkan Rika menyambung kuliahnya. Tapi dia harus balik lagi ke Kalimantan. Soal usia, aku rasa tak masalah. Asal Rika nyaman." Naldi memandangi wajah adiknya. Naldi melihat harapan besar akan restunya buat Rika,
Hari-hari terus berlalu, hubungan Rika dan Asih semakin akrab. Rika juga tetap menjalankan aktifitasnya bersama Pur. Menghabiskan sore hari dengan bermandi peluh, menikmati kenikmatan sesaat. Sebelum tujuannya tercapai, Rika tak akan berhenti. "Huh, kamu gagal!" Rika langsung memukul Pur, saat baru saja Pur membuka pintu kamarnya di hotel.Pur bingung, melihat tingkah Rika kali ini. Biasanya Rika datang langsung mendorongnya ke atas tempat tidur. Rika bertindak lebih agresif memang. Dia yang selalu memulai duluan, tanpa menciptakan suasana romantis sebelum memulainya.Jelas saja, tak dibutuhkan romantisme. Tak ada cinta di antara mereka. Mereka melakukan itu hanya untuk memuluskan rencana mereka saja.Ada sedikit penyesalan di hati Pur. Sejak awal manis madu Rika dia reguk. Dia tau, Rika gadis yang tak mudah mengobral diri. Terbukti, meski perangainya terlalu menyebalkan. Tapi dia masih bisa menjaga kesucian. Dia menyerahkan pada Pur hanya untuk satu tujuan. Merebut Naldi dari Asih.
Naldi memandangi gawainya cukup lama. Dia merasa heran dengan sikap Rika barusan saat dia hubungi. Kenapa Rika tan sepertinya? batinnya. Bukan dia tak menyenangi perubahan Rika yang sepertinya sudah bisa menerima pernikahannya dengan Asih. Tapi terlalu mendadak bagi Naldi. Masih dia ingat, bagaimana sikap Rika terakhir kali. Ada rasa curiga terselip di hatinya. "Apa Rika sedang merencanakan sesuatu?" gumamnya. "Bang!" "Ya!" sahut Naldi mendengar panggilan Rika dari dapur yang ada di lantai bawah."Tolongin dong!" kata Asih. Tanpa bertanya, pertolongan seperti apa yang diinginkan istrinya. Naldi bangkit dari peraduan, diletakkan kacamata yang sedari tadi bertengger di hidungnya ke atas meja kerjanya beserta dengan file yang ada ditangannya. Dia segera keluar kamar dan menuruni anak tangga satu persatu. Langsung menuju ke arah dapur. "Tolong apa, Dek?" tanyanya saat sudah sampai di dapur."Ini, tolong buatkan sangkutan buat menyangkutkan wajan juga panci." Naldi langsung memenuhi
"Syukurlah, sekarang Karin sudah keluar dari rumah ini. Kalau tidak, kita pasti akan dalam masalah lebih besar," kata Papa Bayu setelah mendengar cerita Bayu, tentang kronologi perempuan bernama Ayu mencari Karin hingga membawa orang-orang suruhan, membuat kekacauan di rumah mereka."Bayu juga nggak nyangka Pa. Karin bisa terlibat dengan sindikat seperti itu." "Begitulah, kalau terlalu materialistis. Gak pikir panjang, kalau mau berbuat sesuatu. Ada hikmahnya juga, dia dulu ninggalin kamu." "Iya Pa. Hikmah terbesarnya, Bayu bisa punya istri seperti Nawang," kata Bayu melirik Nawang yang pura-pura asik mencari channel siaran yang menarik di tivi. Padahal dia juga mendengar pembicaraan bapak dan anak itu. Nawang mencoba menutupi semburat merah di pipinya dengan pura-pura mencium ujung rambutnya sendiri.Nawang tak henti mengucap syukur di dalam hatinya, ternyata kesabarannya berbuah manis. Meski sempat hampir menyerah menghadapi sikap temperamental Bayu. Namun kesempatan kedua yang di
Karin benar-benar merasa bingung sekarang. Kalau dia menyeret nama Bram, dia khawatir keselamatan keluarganya akan terancam. Bram merupakan otak dari sindikat perdagangan manusia. Bisnis prostitusinya sangat sulit diendus pihak berwajib. Bukan hanya secara online, Bram juga menjalani bisnisnya secara offline, yang menyasar kalangan atas. Bram pasti tidak akan tinggal diam. Selama ini dia selalu bekerja di belakang layar dan sangat rapi, wanita-wanita yang dia pekerjakan tak ada yang mengenalnya. Hingga sulit bagi polisi untuk melacaknya. "Saudari Karin, sebaiknya Anda bekerja sama. Kalau Anda kooperatif, itu dapat mengurangi hukuman Anda." Penyidik terus memperhatikan ekspresi Karin, yang jelas ketakutan juga kebingungan."Apa … Anda sedang merasa terancam?" tanya penyidik. Karin masih saja bungkam."Kami akan memberi perlindungan pada Anda, kalau benar ada yang mengancam keselamatan Anda," kata penyidik. Karin tetap saja tidak berani buka suara, meski polisi berjanji akan melindungi
Sementara itu di tempat lain. Rika datang menemui Pur ke hotel tempatnya menginap. Rika mengambil gawainya dari dalam tas. Dicarinya nama Pur, tertera tulisan Secret Man. Dihubunginya melalui aplikasi bergambar gagang telepon berwarna hijau."Aku sudah di depan hotel," kata Rika langsung tanpa basa basi, saat Pur mengangkat panggilannya."Aku di kamar Melati. Kamu temui saja customer service, nanti aku akan menghubunginya. Aku akan beritahu dia, kalau kamu adalah tamuku." Klik, Rika langsung mematikan gawaiya. Kakinya melangkah dengan mantap masuk ke dalam hotel, tak ada keraguan sedikitpun ataupun merasa risih, dia akan mendatangi seorang pria yang usianya jauh lebih tua darinya. "Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" sambut customer service ramah, saat Rika sudah ada di hadapannya."Saya mau ke kamar Melati," jawab Rika."Oh iya, tadi sudah diberitahu kalau akan ada tamu. Silahkan naik ke lantai tiga, sebelah kiri, kamar ketiga, nanti ada tulisan kamar Melati di pintunya. Terima
Seorang polisi juga ikut ke kamar tamu bersama dengan Bayu. Mata mereka memindai setiap sudut kamar, hingga bawah kolong tempat tidur juga di dalam lemari, tak ditemukan keberadaan Karin. "Apa mungkin dia keluar sebelum orang-orang tadi datang?" gumam Bayu. Bukan tanpa alasan Bayu berpikir seperti itu. Seluruh rumah mereka memiliki jerjak besi di tiap jendela juga pintunya, tak mungkin bagi Karin bisa keluar tanpa diketahui siapa pun. "Karin! Keluar!" teriak Bayu, matanya nyalang. Dia geram, karena Karin tak kunjung keluar dari persembunyian. Padahal polisi sudah mengamankan ke empat orang yang mencarinya."Saudari Karin! Sebaiknya anda keluar, sudah aman sekarang. Orang yang mencari anda sudah ditahan!" polisi berpangkat kapten yang bersama Bayu juga turut memanggil Karin.Karin mendengar, tapi dia terlalu takut untuk keluar. Dia bertahan di tempat persembunyiannya, berencana akan kabur bila nanti ada kesempatan. Menunggu Bayu dan keluarganya lengah. Dia tak may polisi menahannya.
Laki-laki itu langsung masuk ke kamar tamu. Kali ini Nawang tak lagi mencegahnya. Dia mengambil gawai yang ada di saku celananya. Mencoba menghubungi Bayu."Anak ganteng." Nawang berhenti, urung menghubungi Bayu. Saat dilihatnya wanita itu mengangkat Bayu tinggi-tinggi seolah hendak menghempaskan tubuh putranya.Nawang dan Mama Bayu sangat khawatir, kalau perempuan itu benar akan menghempaskan tubuh Tama. Tama justru tertawa-tawa, merasa senang saat perempuan itu berulangkali melempar tubuhnya ke udara lalu menangkapnya lagi. Tama mengira, perempuan itu sedang mengajaknya main."Tolong, lepasin anak saya." Karin memelas pada wanita itu. Tapi tak diindahkan."Dia gak ada bos," kata laki-laki tadi keluar dari ka
Cipto menggeleng-gelengkan kepalanya, menghembuskan nafasnya perlahan. Membuat Bayu bingung dengan sikap Cipto."Apa Karin yang mengatakan begitu?" tanya laki-laki berjenggot itu."Ya," jawab Bayu seraya mengangguk."Maafkan aku, jujur, dulu aku memang sangat menggilai dia. Sampai tak berpikir panjang waktu itu. Memang kuakui, beberapa hari sebelum kalian menikah, aku masih berusaha membujuk Karin untuk kembali." Cipto mulai bercerita. Bayu tak berniat menyelanya. Sudah tak lagi ada amarah di hatinya, karena perbuatan Cipto yang ingin merebut Karin kembali dulu. Semua itu hanya tinggal masa lalu back Bayu."Tapi waktu itu Karin menolak. Dengan alasan, dia sudah tak mencintai aku. Dan kamu lebih memiliki segalanya da